Makna Musyahadah dan Mukasyafah

3 months ago

5 min read

Sesungguhnya, Musyahadah dan Mukasyafah adalah dua maqam (kedudukan ruhani) yang tak terpisahkan, bahkan saling berkelindan satu sama lain. Mustahil bagi seorang hamba untuk mencapai Musyahadah (penyaksian) tanpa terlebih dahulu mengalami Mukasyafah (tersingkapnya tabir). Sebaliknya, Mukasyafah menjadi jembatan yang niscaya menuju Musyahadah.

Hakikat Mukasyafah

Mukasyafah berasal dari akar kata kasyaf (tersingkap atau terbuka), sebagaimana firman-Nya: fakasyafna. Maknanya adalah tersingkapnya tirai (hijab) yang selama ini menghalangi seorang hamba dengan Tuhannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’anul Karim:

فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاۤءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ

“Maka Kami singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.” (QS. Qaf: 22)

Menurut istilah Tasawuf, kasyf adalah tersingkapnya tabir yang menghalangi hati (qalb) seorang hamba, yang terjadi berkat bersinarnya Cahaya Ilahi di dalamnya setelah hati itu dibersihkan. Dari sana, tampaklah di dalam hati berbagai pengertian agung sebagai buah dari ma’rifatullah (mengenal Allah).

Dalam pandangan Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, kasyf ini disebut sebagai fana’ fi at-Tauhid. Dengan demikian, fana’ dalam pemahaman beliau adalah kefanaan qalb, yakni hilangnya kesadaran hati akan dirinya sendiri karena tersingkapnya hakikat-realitas, sehingga yang tinggal dalam kesadaran hanyalah Dia Yang Maha Esa.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati memiliki dua pintu. Satu pintu terbuka ke arah alam malakut (alam gaib), yaitu Lauhul Mahfuzh dan alam para malaikat (alam ruhani). Pintu yang lain terbuka ke arah panca indra yang terhubung dengan alam dunia (fisik), yang sejatinya merupakan cerminan dari apa yang ada di alam ruhani.

Pintu yang terbuka menuju alam gaib inilah yang memungkinkan terjadinya keajaiban mimpi yang benar (ru’ya shadiqah), di mana hati dapat menyaksikan dalam lelapnya, berbagai peristiwa yang akan datang atau yang telah lalu, tanpa perantaraan indra jasmani. Dari uraian ini, Imam Al-Ghazali menghubungkan antara ilmu mukasyafah—yang juga dikenal sebagai Ilmu Laduni—dengan ilmu ta’limiyah (ilmu yang dipelajari), laksana hubungan antara naskah asli dengan salinannya.

Beliau mengklasifikasikan pengetahuan ke dalam tiga tingkatan:

  1. Pengetahuan Awam: Diperoleh melalui taqlid (mengikuti tanpa dalil).
  2. Pengetahuan Ahli Kalam: Diperoleh melalui pembuktian rasional.
  3. Pengetahuan Para Sufi: Tingkatan tertinggi, diperoleh melalui penyaksian langsung (musyahadah) dengan radar qalb yang telah bening.

Dalam perkembangannya, para sufi membagi kasyf menjadi dua tingkatan:

  • Kasyf ‘Aqli
    Penyingkapan melalui akal. Ini merupakan tingkatan pengetahuan intuitif yang paling dasar. Allah tidak dapat sepenuhnya diketahui dan dicintai melalui akal, sebab akal pada tahap-tahap akhir pendakian ruhani (taraqqi) justru dapat menjadi belenggu.
  • Kasyf Bashari
    Penyingkapan visual yang terjadi melalui penciptaan langsung dari Allah. Sebuah peristiwa, tempat, tindakan, atau ucapan dapat menjadi medium bagi seorang sufi untuk mengalami peningkatan visual ini. Allah adalah Yang Maha Mutlak, Dia adalah Keindahan (Jamal) dan Keagungan (Jalal). Melalui ciptaan-Nya, Allah dapat menyingkapkan Diri-Nya kepada hamba-Nya lewat salah satu Asma Keindahan-Nya, yang melahirkan kemanisan dan kebahagiaan, atau lewat salah satu Asma Keagungan-Nya, yang membangkitkan rasa takzim dan gentar.

Demikianlah kasyf, sebuah kondisi di mana hati seorang hamba menjadi suci dan bening, sehingga dengannya ia mampu melihat dan menyaksikan apa yang selama ini terhijab oleh dosa dan gemerlap materi duniawi.

Puncak Musyahadah

Musyahadah adalah penyaksian akan hakikat yang tersingkap dengan begitu nyata, sehingga tidak lagi memerlukan bukti atau penjelasan. Di dalamnya, tiada lagi imajinasi maupun keraguan sekecil apa pun. Dikatakan, “Syuhud (penyaksian) adalah melihat yang disaksikan dan tersingkapnya Sang Wujud.”

Allah Ta’ala berfirman mengenai penyaksian ini:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)

Dan Dia berfirman:

إِنِّى وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS. Al-An’am: 79)

Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari melukiskannya dengan penuh hikmah:

“Alam semesta ini gelap, dan menjadi terang hanya karena dicahayai Allah di dalamnya. Barang siapa melihat semesta, namun tidak menyaksikan Allah di dalamnya, atau di sisinya, atau sebelum dan sesudahnya, sungguh ia telah dikaburkan dari wujud Cahaya, dan tertutup dari matahari ma’rifat oleh mendung-mendung duniawi.”

Pada hakikatnya, tiada sesuatu pun yang dapat menghalangi seorang hamba dari Allah. Penghalang itu sejatinya adalah prasangka hamba itu sendiri, yang menyangka adanya sesuatu selain Allah. Allah tidak dapat dihijab oleh apa pun, karena jika ada hijab yang mampu menutupi-Nya, berarti hijab itu lebih besar dan lebih agung daripada-Nya. Syaikh Ibnu Atha’illah menegaskan:

“Bagaimana mungkin Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia lebih nyata dari segala sesuatu?Bagaimana mungkin Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal Dia-lah yang menjadikan segala sesuatu?Dan bagaimana mungkin Allah dapat dihijab oleh sesuatu, padahal jika tiada Dia, maka tiada pula sesuatu?”

Kesadaran akan kedekatan (taqarrub) hingga seakan-akan melihat-Nya, lahir dari keyakinan mendalam bahwa “Dia senantiasa melihat kita.” Kesadaran jiwa bahwa Allah terus-menerus memandang kita akan menimbulkan pantulan pada diri, yang membukakan mata hati (bashirah) dan rahasia batin (sirr) kita untuk balas memandang-Nya.

Pengalaman Musyahadah ini akan diekspresikan secara berbeda-beda oleh para Sufi, sesuai dengan tingkat maqam ruhaniyah mereka. Ada yang menyaksikannya pada tingkatan Asma’ Allah, ada yang mencapai Sifat-Nya, bahkan ada yang sampai kepada Dzat-Nya, lalu turun kembali menyaksikan Sifat-Sifat-Nya, Asma’-Asma’-Nya, hingga akhirnya melihat alam semesta sebagai tajalli (manifestasi) dari-Nya.

Adab dan Bimbingan di Jalan Penyaksian

Untuk menyikapi Musyahadah dan Mukasyafah, kita perlu senantiasa mengoreksi diri dengan wasiat Syaikh Abu Yazid al-Busthami:

“Apa pun yang engkau bayangkan tentang Allah—bahwa Dia bertempat, berwarna, berpenjuru, bergerak, atau diam—itu semua pasti bukan Allah. Karena sifat-sifat tersebut adalah sifat makhluk.”

Kontemplasi tanpa bimbingan seorang Guru Mursyid yang Kamil Mukammil (sempurna dan menyempurnakan) hanya akan berujung pada jalan buntu, sekalipun dalam praktik Muraqabah, Musyahadah, maupun Ma’rifah. Oleh karena itu, bimbingan seorang Guru adalah keniscayaan agar perjalanan ruhani tidak menjadi kesia-siaan.

Bagi mereka yang telah dicahayai oleh Allah:

“Telah terpancar cahayanya dan jelaslah kegembiraannya. Lalu ia pejamkan matanya dari dunia dan berpaling darinya; dunia sama sekali bukan tempat tinggal dan bukan tempat ketenteraman. Jiwanya bangkit di dalam dunia semata-mata menuju Allah Ta’ala, berjalan di dalamnya sembari memohon pertolongan dari Allah untuk sampai kepada Allah. Hamparan tekadnya tak pernah terhenti, dan selamanya berjalan, sampai ia lunglai di hadapan Hadratul Quds dan hamparan kemesraan dengan-Nya, sebagai tempat Mufatahah, Muwajjahah, Mujalasah, Muhadatsah, Musyahadah, dan Muthala’ah.”

Syaikh Ibnu Atha’illah menyebutkan enam tingkatan dalam hubungan mesra antara hamba dengan Tuhannya, yang perlu dimaknai dengan rasa terdalam:

  1. Mufatahah: Permulaan hamba menghadap-Nya dalam keadaan remuk redam, lalu Allah membukakan tirai hakikat Asma’, Sifat, dan keagungan Dzat-Nya, agar sang hamba luruh dan lebur di sana.
  2. Muwajjahah: Saling berhadapan, di mana hamba menghadapkan seluruh dirinya kepada Tuhannya tanpa berpaling sedikit pun. Allah menemuinya dengan Cahaya-Nya, dan hamba menghadap-Nya dengan Sirr-nya, hingga tiada lagi ruang untuk melihat selain-Nya.
  3. Mujalasah: Menetap dalam majelis-Nya dengan teguh berzikir, patuh tanpa lalai, dan beradab tanpa tergoda. Di sinilah Allah berfirman dalam Hadits Qudsi, “Aku berada dalam majelis hamba yang berzikir kepada-Ku.”
  4. Muhadatsah: Dialog batin, di mana Sirr hamba senantiasa mengingat-Nya, lalu Allah menampakkan berbagai rahasia ke dalam Sirr itu. Inilah yang disabdakan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pada umat-umat terdahulu ada kalangan yang disebut muhaddatsun (yang diajak bicara oleh Allah), dan pada umatku pun ada; Umar di antaranya.”
  5. Musyahadah: Ketersingkapan yang nyata, yang tidak lagi butuh bukti, imajinasi, maupun keraguan. Inilah penyaksian akan Sang Wujud yang disaksikan.
  6. Muthala’ah: Keselarasan sempurna dengan Tauhid dalam setiap gerak lahir dan batin, di mana setiap yang tampak senantiasa memancarkan rahasia-Nya.

Demikianlah sekelumit keterangan mengenai maqam Musyahadah dan Mukasyafah. Semoga dapat menjadi perbendaharaan ilmu dan pemahaman yang bermanfaat bagi kita semua.

Wallaahu a’lam bish-shawab.

Share this post

July 15, 2025

Copy Title and Content
Content has been copied.

Artikel

Baca juga:

Baca berbagai artikel Islami dan tambah wawasan bersama.

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Sekretariat:
Perum Jaya Maspion Permata Beryl
B2-10 Gedangan, Sidoarjo
Jawa Timur
61254

Email Sekretariat:
suraubaitulfatih@gmail.com
baruk46@gmail.com

Web/App Developer:
Hubungi nomor atau email berikut untuk perihal teknis yang berhubungan dengan website/aplikasi Pejalan Ruhani.

aldibudimanputra@gmail.com
Whatsapp link