“Engkau adalah Asma-Ku dan dalil bagi Dzat-Ku. Barangsiapa melihatmu maka ia telah melihat-Ku, barangsiapa menghormatimu maka ia telah menghormati-Ku, barangsiapa menghinamu maka jiwanya dalam kehinaan, dan barangsiapa merendahkanmu maka jiwanya dalam kerendahan.
Engkau adalah cermin-Ku, rumah-Ku, tempat tinggal-Ku, harta karun dari rahasia-Ku, dan wadah dari pengetahuan-Ku. Bila engkau tidak ada, maka Aku tidak akan diketahui, disembah, dipuja, atau pun ditolak.”
Dikutip oleh Syaikh Al-Akbar, Imam Ibnu ‘Arabi (qs.), dalam Kitab Masyaahid Al-Asraar Al-Qudsiyyah.
Kutipan di atas, yang merupakan dialog Ilahi, menyingkap rahasia agung tentang kedudukan manusia di hadapan Sang Pencipta. Manusia, dalam esensinya yang paling murni, adalah cermin bagi Tuhan—wadah di mana Nama dan Sifat-Nya termanifestasi di alam semesta. Melalui manusialah Tuhan “dikenal”, karena kitalah yang diberi potensi untuk memandang dan menyaksikan-Nya. Kehormatan dan kerendahan kita terikat langsung pada sejauh mana kita menyadari dan memanifestasikan hakikat luhur ini.
Namun, dalam perjalanan menjadi cermin yang bening, kita seringkali dihadapkan pada ujian keinginan dan doa yang seolah tak kunjung terkabul. Di sinilah hikmah dari Syaikh Ibnu Atha’illah As-Sakandari (qs.) memberikan cahayanya: “Ketika Dia telah membukakan bagimu pintu pemahaman atas penangguhan permintaanmu, maka penangguhan itu berubah menjadi mata air pemberian.”
Penundaan bukanlah bentuk penolakan, melainkan sebuah bentuk tarbiyah (pendidikan) dari-Nya. Saat sebuah permintaan ditangguhkan, kita dipaksa untuk berpaling dari keinginan kita kepada Sang Pemberi Keinginan itu sendiri. Proses inilah yang disebut sebagai “pintu pemahaman”. Ketika kita mulai mengerti bahwa pilihan-Nya jauh lebih baik dari pilihan kita, maka penundaan itu sendiri menjadi sebuah anugerah tak ternilai. Ia membersihkan cermin jiwa kita dari noda keakuan dan kehendak pribadi, sehingga cahaya Ilahi dapat terpantul dengan lebih sempurna. Dengan demikian, penangguhan itu sejatinya adalah “mata air pemberian” yang mengalirkan ma’rifat dan kedekatan dengan-Nya, sebuah karunia yang jauh lebih agung daripada terkabulnya permintaan duniawi.
: : : : : : : : :