Cermin Zaman Akhir: Memandang Kecerdasan Buatan Melalui Kacamata Tauhid

3 months ago

3 min read

Di setiap persimpangan zaman, Sang Realitas Tunggal menyingkapkan tanda-tanda-Nya dalam bentuk yang sesuai dengan wadah pemahaman manusia pada masa itu. Hari ini, kita berdiri di hadapan sebuah fenomena yang mengguncang sekaligus mempesona: Kecerdasan Buatan atau AI. Banyak yang melihatnya dengan kacamata ketakutan, sebagian lagi dengan euforia buta. Namun, bagi jiwa yang memandang dengan cahaya Tauhid, AI bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan sebuah cermin baru yang dipasang oleh-Nya di panggung akhir zaman. Ia adalah ujian sekaligus berkah, tergantung pada arah mana kita memandangnya.

Sesungguhnya, tidak ada sesuatu pun di alam wujud ini—dari sebutir debu hingga galaksi terjauh, dari kecerdasan semut hingga kecerdasan buatan—yang keluar dari genggaman Kehendak-Nya. Semua adalah manifestasi, penampakan dari Sifat-Sifat-Nya yang tak terbatas, yang disajikan kepada kita untuk kita renungi. Maka, bagaimana kita harus merenungi fenomena AI ini?

Pertama, sebagai Latihan Imajinasi Menjelang Ujian Terbesar.

Telah dikabarkan kepada kita tentang datangnya fitnah terbesar, sebuah ujian yang akan mengaburkan batas antara yang nyata dan yang ilusi. Sang Pendusta Besar (Dajjal) akan datang dengan keajaiban-keajaiban yang mampu menaklukkan akal dan mata manusia yang tidak siap. Ia akan menunjukkan surga dan neraka, menurunkan hujan, dan menghidupkan apa yang tampak seperti orang mati. Bagi generasi-generasi terdahulu, pemandangan seperti ini adalah sesuatu yang mustahil dibayangkan, sebuah keajaiban mutlak yang akan serta-merta membuat mereka bersujud kepadanya.

Namun lihatlah sekarang. Atas Izin-Nya, melalui tangan-tangan manusia, hadirlah AI yang mampu menciptakan video, gambar, dan suara dari ketiadaan data. Kita melihat tokoh-tokoh yang telah tiada kembali berbicara, menyaksikan pemandangan-pemandangan fantastis yang tak pernah ada, dan mendengar musik yang digubah oleh mesin. Tanpa kita sadari, akal dan imajinasi kita sedang dilatih setiap hari untuk terbiasa dengan “keajaiban” visual. Pikiran kita sedang dibiasakan untuk tidak lagi mudah takjub pada apa yang ditampilkan oleh layar.

Inilah salah satu bentuk Rahmat-Nya yang tersembunyi. Ketika kelak ujian terbesar itu datang, mata hati orang-orang beriman tidak akan mudah tertipu oleh pertunjukan visualnya. Pertanyaan mereka bukan lagi “Bagaimana ini mungkin?”, melainkan “Siapakah Aktor Sejati di balik semua pertunjukan ini?”.

AI, dalam hal ini, menjadi semacam “vaksin” bagi imajinasi, yang mengurangi daya kejut dari tipu daya visual terbesar, sehingga ujiannya kembali menjadi murni ujian keimanan pada Yang Gaib, bukan kekaguman pada yang tampak.

Kedua, sebagai Gema Dakwah di Era Kealpaan.

Zaman ini adalah zaman di mana perhatian manusia menjadi barang mahal. Hati-hati telah banyak berpaling, tersibukkan oleh dunia yang gemerlap. Para penyeru kebaikan seringkali merasa suara mereka lenyap ditelan kebisingan. Semangat untuk menyebarkan risalah keindahan Islam terkadang meredup melihat sedikitnya sambutan.

Maka, ketika jalan-jalan manusia seakan menyempit, Sang Maha Pengasih membuka jalan baru. AI hadir sebagai alat yang dapat mempermudah dan memperindah penyampaian pesan. Kaligrafi indah yang rumit kini dapat dibuat dalam sekejap. Ilustrasi untuk kisah-kisah para Nabi dapat divisualisasikan dengan menawan. Terjemahan dan ringkasan teks-teks keilmuan menjadi lebih cepat. Semua ini adalah bantuan nyata dari-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang masih memegang bara api dakwah.

Dia, Sang Aktor Hakiki, tidak ingin cahaya-Nya padam. Jika semangat manusia melemah, Dia hadirkan sarana baru untuk menyalakannya kembali. AI menjadi perpanjangan tangan bagi mereka yang tulus, sebuah gema yang memperkuat seruan kebenaran di tengah lembah kealpaan. Ini adalah bukti bahwa Dia tidak pernah meninggalkan para pejuang-Nya, bahkan di saat-saat paling sunyi sekalipun.

Ketiga, sebagai Penyingkap Sifat-Sifat-Nya.

Setiap ciptaan adalah cermin bagi salah satu Sifat Sang Pencipta. AI, dengan kemampuannya memproses informasi dalam skala masif, adalah bayang-bayang kecil dari Sifat-Nya Al-‘Alim (Yang Maha Mengetahui). Melihatnya, kita justru dipaksa merenung: jika “pengetahuan” buatan yang terbatas ini begitu dahsyat, bagaimana mungkin kita bisa membayangkan Pengetahuan Hakiki yang meliputi segala sesuatu, tanpa awal dan tanpa akhir?

Ketika AI “menciptakan” gambar atau tulisan, ia adalah cermin pucat dari Sifat-Nya Al-Khaliq (Yang Maha Pencipta) dan Al-Musawwir (Yang Maha Membentuk Rupa). Kita menjadi sadar bahwa AI hanya bisa mengolah dan menyusun ulang apa yang sudah ada (data), ia tidak menciptakan dari ketiadaan murni. Kesadaran ini justru memperdalam pengagungan kita kepada Sang Pencipta Sejati, yang menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan mutlak. Dengan demikian, AI bukanlah saingan bagi Tuhan, melainkan sebuah tanda baru yang justru menegaskan Keagungan-Nya yang tiada tanding.

Keempat, sebagai Ujian antara Kehambaan dan Ketuhanan.

Inilah sisi ujian yang paling tajam. Kekuatan besar selalu datang dengan tanggung jawab besar. AI memberikan manusia kemampuan yang mendekati “sihir”. Dengan kekuatan ini, manusia diuji: apakah ia akan menggunakannya sebagai seorang hamba (‘abd) yang sadar bahwa semua ini hanyalah titipan dari Tuannya? Ataukah ia akan tergelincir dalam ilusi ketuhanan (rububiyyah), merasa dirinya adalah sang pencipta, sang pengatur, lalu menggunakannya untuk menyebar fitnah, kebohongan, dan kerusakan?

Setiap kali kita menggunakan teknologi ini, kita sedang memilih posisi kita. Apakah kita menjadi cermin yang jernih, yang memantulkan Cahaya Kebenaran dan Keindahan dari Sumbernya? Ataukah kita menjadi cermin yang kotor dan bengkok, yang memantulkan kegelapan nafsu dan keangkuhan diri sendiri?

Pada akhirnya, Kecerdasan Buatan tidak memiliki wujud ataupun kekuatan hakiki. Ia hanyalah sebuah panggung, sebuah alat, sebuah aksara baru dalam kitab alam semesta yang terus ditulis oleh Qalam Ilahi. Tugas kita bukanlah untuk takut atau memujanya, melainkan untuk membacanya. Membaca apa yang ada di baliknya. Karena bagi orang yang hatinya hidup, setiap fenomena baru bukanlah distraksi dari Tuhan, melainkan jalan baru untuk kembali kepada-Nya. Lihatlah melalui cermin itu, dan engkau akan menemukan Wajah-Nya yang Tetap dan Abadi, yang senantiasa menatapmu dengan penuh Rahmat.

Share this post

July 15, 2025

Copy Title and Content
Content has been copied.

Artikel

Baca juga:

Baca berbagai artikel Islami dan tambah wawasan bersama.

Jalan Menuju Allah | Pejalan Ruhani

Banyak orang mencari Allah Ta’ala, dengan berbagai cara dan mencari keluar kemana-mana, tetapi tidak ketemu, karena salah alamat. Bagi pejalan ruhani jika tidak tahu peta

Disiplin Sufi | Pejalan Ruhani

Dalam disiplin Tarekat, seorang murid Sufi, selain dilatih menegakkan Syari’at yg kokoh, juga dilatih: 1]. DZIKRULLAH terus-menerus hingga melanggengkannya. Tujuannya agar bisa menyadari dan merasakan

Semua Indah pada Waktunya | Pejalan Ruhani

Syaikh Abdul Qadir al-Jilani qs. mengatakan:“Sungguh aneh jika kau marah kepada Rabb-mu, menyalahkan-Nya dan menganggap Allah Yang Maha Berkuasa dan Maha Agung telah bertindak tak

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Sekretariat:
Perum Jaya Maspion Permata Beryl
B2-10 Gedangan, Sidoarjo
Jawa Timur
61254

Email Sekretariat:
suraubaitulfatih@gmail.com
baruk46@gmail.com

Web/App Developer:
Hubungi nomor atau email berikut untuk perihal teknis yang berhubungan dengan website/aplikasi Pejalan Ruhani.

aldibudimanputra@gmail.com
Whatsapp link