Imam Ghozali ditanya, “Anda mengagung-agungkan perkara dzikir, apakah dzikir itu lebih agung derajatnya dari membaca Al-Qur’an?”
Imam Ghozali menjawab;
ŁŲ§Ų¹ŁŁ Ų£Ł ŁŲ±Ų§Ų”Ų© Ų§ŁŁŲ±Ų¢Ł Ų£ŁŲ¶Ł ŁŁŲ®ŁŁ ŁŁŁŁ Ų„ŁŲ§ ŁŁŲ°Ų§ŁŲØ Ų„ŁŁ Ų§ŁŁŁ Ų¹Ų² ŁŲ¬Ł
“Ketahuilah bahwa membaca Al-Qur’an itu lebih utama bagi seluruh manusia, kecuali bagi orang yg sedang berjalan menuju Allah ‘Azza Wa Jalla.”
Bahwa membaca Al-Qur’an itu seperti kita membaca surat perintah dan petunjuk dari Sang Juragan. Kita harus begini dan begitu. Kita kudu simak betul apa yg Dia kehendaki untuk kita. Hal ini adalah kewajiban dan paling utamanya amal bagi semua orang yg hendak berjalan menuju Allah Ta’ala.
Karena hidup ini seperti jalan raya. Membaca Al-Qur’an analoginya seperti membaca peta GPS, mempelajari rambuĀ² yg akan kita temui, tujuan kemana kita akan melangkah, apa yg akan kita temui, belajar navigasi dan menilik medan jalan raya tersebut. Ini sebagai bekal penting bagi orang yg akan memulai stepĀ² perjalanannya. Setiap akan melangkah ke step selanjutnya atau menemui hal baru, kita perlu baca peta dalam Al-Qur’an itu. Agar kita ingat terus peta dan rambunya, maka tiap hari harus dibaca dan dipahami betul.
Nah, setelah membaca peta tersebut, maka sebagai logistik, kendaraan, alat dan senjata saat menjelajahi jalan tersebut adalah dengan dzikrullah. Kita gak mungkin terus-terusan melihat peta saat berjalan menyusuri jalan, karena kita bakal gak fokus pada jalan dan bisaĀ² malah ketabrak. Maka, peta disimpan dulu, alat utama saat menempuh perjalanan menyusuri jalan tersebut adalah dzikir.
Saat kita sudah masuk satu jalan baru, ketemu rest area dan berhenti sejenak untuk beristirahat, kita baca lagi peta untuk mereview perjalanan dan melihat jalan mana lagi yg akan kita tempuh. Kita pun baca Al-Qur’an. Setelah lelah hilang, peta kita simpan, kita lanjut perjalanan dengan mengendarai dzikir.
Ini seperti yg diriwayatkan saat Sayyidina Mu’adz ra. bertanya kepada Sayyidina Abu Musa ra.;
” ŁŁŲ§ Ų¹ŁŲØŁŲÆŁ Ų§ŁŁŁŁŁŁ ŁŁŁŁŁŁ ŲŖŁŁŁŲ±ŁŲ£Ł Ų§ŁŁŁŁŲ±ŁŲ¢ŁŁ ŁŁŲ§ŁŁ Ų£ŁŲŖŁŁŁŁŁŁŁŁŁŁ “
“Hai Abdullah bin Qais, bagaimana kamu mengkhatamkan Al-Qur’an? Sayyidina Abu Musa ra. menjawab: “Saya membacanya setiap ada kesempatan.”
Jadi Sayyidina Abu Musa ra. tidak membacanya setiap detik. Tapi Beliau baca hanya di setiap ada waktu kosong. Karena membaca Al-Qur’an tidak bisa sekedar dibaca. Perlu konsentrasi untuk memahaminya. Sehingga perlu waktu luang. Sedangkan saat waktu luang usai, Beliau melanjutkan aktivitasnya dengan selalu mengingat Allah Ta’ala alias dzikir.
Maka sebagai pejalan menuju Allah Ta’ala, harus memahami kedudukan masingĀ² amal tersebut. Mana yg lebih prioritas saat waktu luang dan mana yg lebih utama saat waktu beraktivitas. Jadikan Al-Qur’an pedoman sebelum berkendara dan jadikan dzikir sebagai kesadaran saat berkendara. Pas leyeh2 ya baca Al-Qur’an. Pas waktunya macul, terus berdzikir.
Kalo ini semua sudah jadi kebiasaan, maka tidak akan ada waktu kosong untuk mengingat Allah Ta’ala. LamaĀ² kita akan muncul ketergantungan pada Allah Ta’ala. Hati pun hanya berkata;
ŁŁŁŁŲ°ŁŁŁŲ±Ł Ų§ŁŁŁŁŁŁ Ų£ŁŁŁŲØŁŲ±Ł
“Sesungguhnya mengingat Allah adalah aktivitas paling utama.” (QS. Al-Ankabuut 45)
Semoga bermanfaat.