Di tengah duka yang menyelimuti Pondok Pesantren Al Khoziny, satu lagi kisah keajaiban terungkap, membawa pesan mendalam tentang kekuatan kepasrahan dan pertolongan gaib. Kisah ini datang dari Alfatih Cakra Buana, putra dari Kyai Abdul Hannan. Pengalamannya di bawah reruntuhan adalah sebuah manifestasi nyata dari bagaimana istiqomah dalam berzikir menjadi perisai di saat-saat paling genting.
“Ditidurkan” oleh Allah: Buah Istiqomah dan Tabah
Ketika bangunan itu runtuh, Alfatih sedang tertidur. Ia tak sempat berlari, tak sempat menghindar. Selama tiga hari tiga malam, ia terkubur dalam kegelapan total. Namun, yang ia rasakan bukanlah teror yang mencekam, melainkan sebuah ketenangan yang luar biasa. Ia merasa seolah-olah hanya “tertidur.”
Dalam “tidurnya” itu, Alfatih mengalami peristiwa di luar nalar. Ia menuturkan ada sosok yang memberinya minum, menghilangkan dahaga yang seharusnya menyiksanya. Ia tidak merasakan lapar, tidak merasakan sakit yang parah. Ia baru benar-benar tersadar sepenuhnya ketika tim penyelamat menemukannya. Ini adalah bentuk tabah (keteguhan hati) yang bukan berasal dari kekuatan manusia biasa, melainkan anugerah langsung dari Allah SWT.
Ketenangan ini diyakini sebagai buah dari dawamul wirid atau istiqomah dalam mengamalkan sholawat. Di saat akal manusia tak lagi mampu berfungsi, lisannya yang terbiasa basah karena sholawat menjadi penarik rahmat. Amalan yang dilakukan secara konsisten di waktu lapang inilah yang menjadi penyelamat di waktu sempit.
Di Antara Dua Sayap: Khauf dan Roja’
Kisah Alfatih adalah cerminan sempurna dari keseimbangan antara Khauf (rasa takut) dan Roja’ (rasa harap) dalam hati seorang hamba.
- Khauf adalah rasa takut yang fitrah kepada Allah dan akibat dari situasi yang mengancam jiwa. Terjebak di bawah reruntuhan, dalam gelap dan sempit, adalah manifestasi puncak dari sumber ketakutan duniawi. Namun, Alfatih tidak membiarkan rasa takut ini melumpuhkan hatinya.
- Roja’ adalah harapannya yang tak pernah putus kepada pertolongan Allah dan syafaat Rasulullah SAW. Harapan inilah yang ia pupuk melalui lantunan sholawat. Sholawat menjadi tali penghubungnya kepada Sang Maha Penyelamat. Dengan bersholawat, ia tidak sedang meminta untuk selamat secara verbal, tetapi ia sedang memuji Kekasih Allah, dan dengan itu, ia mengundang kasih dan pertolongan-Nya.
Ia menyeimbangkan dua “sayap” ini dengan sempurna. Rasa takutnya mendorongnya untuk semakin mendekat, dan harapannya memberinya kekuatan untuk tidak berputus asa. Keseimbangan inilah yang membuatnya tetap tenang dalam situasi yang seharusnya meremukkan mental siapa pun.
Intervensi Gaib dan Kekuatan Doa
Kisah Alfatih juga membuka mata kita pada realitas pertolongan gaib. Seperti yang diyakini banyak orang, dalam reruntuhan itu pertolongan Allah hadir dalam berbagai bentuk. Mungkin melalui perantaraan malaikat, mungkin berkat kehadiran ruh para masyayikh (guru-guru mulia) pondok yang telah wafat, atau mungkin para waliyullah yang ditugaskan menjaga.
Lebih dari itu, keselamatannya adalah jawaban dari untaian doa dan laku spiritual orang tua serta para leluhurnya. Dalam dunia tasawuf, nasab spiritual dan keberkahan doa orang tua memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam menjaga seorang anak. Apa yang dialami Alfatih adalah bukti nyata bahwa doa adalah senjata paling ampuh dan istiqomah adalah perisai paling kokoh.
Alfatih tidak hanya selamat secara fisik. Ia keluar dari reruntuhan itu dengan membawa pelajaran agung: bahwa siapa pun yang menjaga Allah (dengan zikir dan amal saleh) di waktu senangnya, maka Allah akan menjaganya di waktu susahnya.