Ritual dan Ajaran Tarekat Khalwatiyah | Pejalan Ruhani

4 years ago

2 min read

Ajaran tarekat sufi yang disampaikan oleh Syaikh Musthafa ibn Kamal Al-Din Al-Bakri banyak diambil dari sang guru, Syaikh Abdul Latif bin Syaikh Husamuddin Al-Halabi. Berbagai ritual yang dijalankan oleh Syaikh Abdul Latif telah memberi pengaruh pada pemikiran ataupun praktik kehidupan Al-Bakri sehari-hari. Tiga unsur dalam ajaran Al-Bakri-lah yang barangkali turut memberi andil dalam menghidupkan kembali Tarekat Khalwatiyah.

Ketiga unsur tersebut adalah tuntutan kepatuhan yang eksklusif pada tarekat dan disiplin yang ketat dalam menjalankan amalan Khalwatiyah; partisipasi orang awam dalam ritual tarekat; dan ketaatan pada syari’at.

Sebagai tarekat yang berorientasi pada syari’at, Khalwatiyah menekankan penggabungan pengetahuan (‘ilm) dan praktik (‘amal). Ia juga menuntut pengikatan hati (rabth al-qalb) seorang murid kepada guru (syaikh) sedemikian rupa sehingga hubungan antara keduanya harus lebih erat daripada hubungan antara seorang ayah dan anak.

Selain melakukan khalwah (mengasingkan diri), berbagai amalan praktis lainnya yang diajarkan dalam Khalwatiyah adalah berdiam diri (shamt), menjaga diri (sahar), mengingat Allah SWT (dzikir), dan membaca secara berjama’ah (wirid alsattar). Wirid ini merupakan pusat dan puncak ritual Khalwatiyah.

Seperti tarekat sufi lainnya, Tarekat Khalwatiyah juga mengenal sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni, tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap murid (salik).

Dzikir pertama adalah La Ilaaha Illallah (pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah SWT). Dzikir pada tingkat pertama ini disebut an-Nafs al-Ammarah (nafsu yang bermuara pada keburukan dan amarah). Jiwa pada tingkatan ini dianggap sebagai jiwa yang paling kotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat, seperti mencuri, berzina, membunuh, dan sebagainya.

Kedua, Allah SWT. Pada tingkatan kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya serta menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.

Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.

Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthma’innah (jiwa yang tenang). Jiwa ini, selain bersih, juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problem hidup ataupun guncangan jiwa lainnya.

Kelima, Hayy (Maha Hidup). Dzikir pada tingkatan ini disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridha). Jiwa ini semakin bersih, tenang, dan ridha (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya, karena semua itu semata-mata pemberian Allah SWT.

Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridhai). Jiwa ini semakin bersih, tenang, dan ridha terhadap semua pemberian Allah SWT serta juga mendapatkan keridhaan-Nya.

Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan, inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna yang akan terus mengalami kesempurnaan selama hidup pemiliknya.

Inti dari tujuh tingkatan dzikir tersebut didasarkan kepada ayat-ayat Al Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan pada Surah Yusuf ayat 53, ”Sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan.” Tingkatan kedua dari Surah Al-Qiyamah ayat 2, ”Dan, Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali.”

Tingkatan ketiga dari Surah As-Syams ayat 7 dan 8, ”Demi jiwa dan yang menyempurnakannya. Allah SWT mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan ketakwaannya.”

Tingkatan keempat dari Surah Al-Fajr ayat 27, ”Wahai jiwa yang tenang.” Tingkatan kelima dan keenam dari Surah Al-Fajr ayat 28, ”Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridhaan dan diridhai.”

Sementara itu, untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna atau yang berada di atas semua jiwa, secara eksplisit tidak ada dalam Al Qur’an karena kitab suci ini seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa pemiliknya.

Share this post

January 9, 2021

Copy Title and Content
Content has been copied.

Artikel

Baca juga:

Baca berbagai artikel Islami dan tambah wawasan bersama.

Kopi Panas dan Jin | Pejalan Ruhani

Al-Habib Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-‘Attas Huraidhah, Yaman, dalam karyanya yg berjudul Tadzkir An-Nas, hal. 177, mengutip perkataan Gurunya, Al-Habib Al-Imam Abu Bakar bin “Abdillah

Gelas yang Bersih | Pejalan Ruhani

Seseorang bertanya, “Jika saya berdosa, lalu beristighfar, apakah kondisi saya sama dengan sebelum berdosa?” Alfaqir menatapnya sebentar, sambil menunjuk gelas di depan kami dan berucap;

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Sekretariat:
Perum Jaya Maspion Permata Beryl
B2-10 Gedangan, Sidoarjo
Jawa Timur
61254

Email Sekretariat:
suraubaitulfatih@gmail.com
baruk46@gmail.com

Web/App Developer:
Hubungi nomor atau email berikut untuk perihal teknis yang berhubungan dengan website/aplikasi Pejalan Ruhani.

aldibudimanputra@gmail.com
Whatsapp link