Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan terlebih dahulu mengucapkan Astaghfirullaahal adziim yang sedalam-dalamnya, serta membaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlas yang dihadiahkan kepada ruhaniah Ahli Silsilah Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah serta di iringi pula dengan shalawat dan salam kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW., maka saya beranikan diri untuk menulis risalah yang saya anggap sangat berharga ini, untuk memenuhi permintaan dari saudara² seperamalan saja yang diberi judul “NAPAK TILAS“.
Dengan tidak melupakan sifat ’ubudiyah atau sifat kehambaan, hina, papa, dha’if dan lemah, saya pandang diri saya sekecil-kecilnya sehingga menjadi nol kosong melompong yang menurut hemat kami tidaklah bernilai sebesar rambut dibelah tujuh pada sisi Allah SWT, Rasul dan Auliya’-Nya. Sangat miskin hatinya daripada ilmu² dan amal dan jauh sekali daripada kesempurnaan adab yang menjadi pokok utama di dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Dikarenakan oleh hal² yang saya uraikan di atas dengan penuh kerendahan hati, terlebih dahulu saya memohon maaf yang sebesar-besarnya keharibaan YM. Ayahanda Guru, sekira tulisan kami ini tidak berkenan di hati YM. Ayahanda Guru, tidak tepat sasarannya, kurang lengkap keterangannya dan lain sebagainya, karena maklumlah sesuai pula dengan pepatah orang tua kita ”Dek Lamo Lupo, Dek Banyak Ragu”.
Sesuai dengan judul Risalah ini, maka saya mulailah menguraikan apa² yang langsung saya ketahui dan mendengarkan sebagai berikut:
Pada tahun 1947 yang bulan, hari dan tanggalnya tidak teringat lagi, YM. Nenek Guru H. SS Muhammad Hasyim Al Khalidi qs. bersama saya (Anwar Rangkayo Sati) sebagai murid atau Khadam Beliau, berangkat dengan bus umum dari Sawah Lunto ke Bukit Tinggi dengan maksud dan tujuan menemui salah seorang murid Beliau yang tergolong intelek yaitu Sdr. Zyauddin Sahib, jabatannya sebagai kepala kantor pos besar di Bukit Tinggi.
Bahwa Sdr. Zyauddin Sahib pada waktu itu mendapat musibah, mertua lelaki Beliau meninggal dunia dan jenazahnya dibawa ke rumah tempat tinggalnya Sdr. Zyauddin Sahib di lorong Saudagar No. 46 A Pasar Atas bukit tinggi. Jadi kedatangan YM. Nenek Guru memperlihatkan hati yang duka, muka yang sabak turut belasungkawa yang sedalam-dalamnya atas musibah yang menimpa diri Sdr. Zyauddin Sahib.
Sdr. Zyauddin Sahib jauh sebelumnya telah lama berkenalan dengan Bpk. Kadirun Yahya MA, guru SPMA dan bertempat tinggal di Aur Tajungkang Bukit Tinggi. Di samping jabatan Beliau sebagai guru SPMA, Beliau pun merangkap sebagai perwira menengah dengan pangkat Mayor pada komandemen Divisi IX Banteng Sumatra bagian persenjataan dan kami melazimkan memanggil Beliau waktu itu Pak Mayor.
Diangkatnya Beliau sebagai perwira menengah bagian persenjataan dikarenakan Beliau adalah ahli kimia. Sekarang Beliau telah memperoleh gelar dan untuk lebih lengkapnya disebut Prof. Dr. Haji Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin, Msc.Dalam kesempatan beberapa hari YM. Nenek Guru berada di rumah Sdr. Zyauddin Sahib, Beliau mengajak teman Beliau yaitu Bp. Kadirun Yahya MA bertemu muka dengan YM. Nenek Guru, dan kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh Beliau. Dan Beliau berulangkali datang berbincang-bincang dan berceramah kaji tasawuf dengan YM. Nenek Guru.
Ayahanda Masuk Tarekat
Pada suatu hari, kalau kami tak salah bertepatan dengan petang Kamis malam Jum’at, Sdr. Zyauddin Sahib memohon kepada YM. Nenek Guru berkenan mengadakan wirid tawajjuh pada hari tersebut. Permintaan Sdr. Zyauddin Sahib diperkenankan oleh YM. Nenek Guru. Lalu Beliau dengan segera menemui teman-temannya mengajak datang ke rumahnya untuk ikut bertawajjuh.
Teman² yang ditemui: 1. Sdr. Ghulam Gaus yang menghubungkan Sdr. Zyauddin Sahib dengan YM. Nenek Guru di rumah Ibu Saimah di Bukit Tinggi Apit No. 13 Bukit Tinggi. 2. Bp. Kadirun Yahya MASelesai shalat Isya’ yang langsung di imami oleh YM. Nenek Guru, maka tawajjuh pun segera akan dimulai. Sdr. Ghulam Gaus tidak lagi datang dan hadir hanya kami 4 (empat) orang, yaitu YM. Nenek Guru, saya sendiri (Anwar Rangkayo Sati), Zyauddin Sahib dan YM. Ayahanda Guru.
Anehnya YM. Ayahanda Guru belum lagi di bai’at masuk Thariqat Naqsyabandiyah, telah di izinkan ikut bertawajjuh dan sebelum tawajjuh dimulai, saya bisikkanlah dahulu secara ringkas sekali kepada YM. Ayahanda Guru apa yang akan diamalkan selama bertawajjuh. Selesai bertawajjuh yang lamanya ± 1/2 jam, lalu YM. Ayahanda Guru menyampaikan perasaan atau pengalaman yang Beliau alami selama bertawajjuh tersebut kepada YM. Nenek Guru, lalu YM. Nenek Guru menjawab dengan singkat dan padat: ”Masuk Thariqat!”
Saya jadi bertanya-tanya di dalam hati saya, mengapa YM. Ayahanda Guru belum lagi di bai’at masuk Thariqat Naqsyabandiyah kok sudah di ijinkan ikut tawajjuh. Sedangkan selama ini belum pernah kejadian. Rupanya kasus pada YM. Ayahanda Guru ada keistimewaan dari YM. Nenek Guru. Tentu ada hikmah yang terkandung, bak pepatah mengatakan: ”Kalau tidak ada berada, tidaklah tempua bersarang rendah”. Akan saya tanyakan langsung kepada YM. Nenek Guru, saya takut kalau² salah menurut adab, lalu saya tafakkur dan merenungkannya secara mendalam.
Akhirul kalam, berkat syafa’at YM. Nenek Guru, terbukalah hijab saya dan saya bacalah yang tersiratnya, apa yang dibalik keistimewaan yang diberikan YM. Nenek Guru kepada YM. Ayahanda Guru. YM. Nenek Guru berkata kepada YM. Ayahanda Guru, ”Kapan saja anak datang untuk bersuluk akan saya layani walaupun cuma satu orang”, dan janji itu Beliau penuhi di kemudian hari ketika YM. Ayahanda Guru pertama sekali ikut suluk.
Kesimpulannya adalah sbb.: Kedatangan YM. Nenek Guru ke Bukit Tinggi secara lahiriah menemui Sdr. Zyauddin Sahib yang sedang mendapat musibah, tetapi secara hakikinya bertemu dan menemui salah seorang yang bakal menjadi ulama intelek, ahli sufi, besar dan ulung, yang lengkap ilmu pengetahuannya baik dunia maupun akhirat yang akan menjadi penyambung, penerus, dan pewaris dari silsilah Thariqatullah ’Ubudiyah Naqsyabandiyah Khalidiyah yang berpusat di Jabal Qubaisy Mekkah yang cocok pula dengan jamannya, yaitu zaman mutakhir, zaman teknologi modern yang akan menjadi ikutan bagi para mahasiswa, para sarjana, para intelektual, para pejabat pemerintah baik sipil maupun TNI, dan lain². Orang tersebut tak lain adalah YM. Ayahanda Guru Prof. Dr. H. SS. Kadirun Yahya MA, Msc, Rektor Universitas Pembangunan Panca Budi Medan. Tidaklah berlebihan rasanya saya sampaikan dalam risalah singkat ini, keistimewaan² lainnya yang diberikan oleh YM. Nenek Guru kepada YM. Ayahanda Guru, untuk lebih menguatkan hasil renungan saya tersebut di atas, dan keistimewaan² lainnya tersebut akan menyusul pada lanjutan risalah ini.
Pada tahun 1947 itu juga setelah YM. Nenek Guru kembali ke Sawah Lunto, datanglah YM. Ayahanda Guru ke rumah Ibu Saimah di Bukit Apit No. 13 Bukit Tinggu untuk masuk thariqat. Ibu Saimah sekarang sudah almarhum (wafat tgl. 21-12-1985) adalah keponakan kandung YM. Nenek Guru.Pada waktu sebelum YM. Nenek Guru naik haji ke Mekkah tahun 1918 dan dibuang ke Boven Digoel tahun 1928-1932, almarhumah Ibu Saimah selalu berada di samping YM. Nenek Guru, dan ke mana saja YM. Nenek Guru bepergian selalu dibawa dan Beliau bertemu dengan Ompung Hutapungkut (Mawlana H. SS. Sulaiman al-Khalidi qs.), Guru YM. Nenek sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim qs. dan Ayah YM. Nenek Syaikh Muhammad Baqi qs.YM. Ayahanda Guru masuk thariqat dipimpin langsung oleh khalifah YM. Nenek Guru, yaitu Inyiak Gadang (Almarhum). Alm. Inyiak Gadang semasa hayat Beliau, di samping sebagai khalifah YM. Nenek Guru, juga sebagai seorang pendekar ulung yang sangat ditakuti dan disegani oleh masyarakat pada waktu itu, karena YM. Nenek Guru juga seorang pendekar ulung, jago silat kawakan yang tak ada tolok bandingnya.
Setelah selesai YM. Ayahanda Guru masuk thariqat, sesuai pula dengan situasi keamanan waktu itu, dengan bercokolnya pemerintah kolonial Belanda di kota Padang dan membunuh wali kota Padang Bagindo Aziz Chan, di samping kesibukan YM. Ayahanda Guru dengan tugas² Beliau utama sekali sebagai perwira menengah bagian persenjataan, maka secara dzahir Beliau boleh dikatakan belum dapat berulang menemui YM. Nenek Guru ke Sawah Lunto.
Pada waktu itu Pemerintah Kolonial Belanda menduduki kota Padang dan sesuai dengan perjanjian Linggarjati, daerah pendudukannya hanya sampai dekat lintasan kereta api di Tabing ± 7 km dari pusat kota Padang. Kemudian Belanda mengkhianati perjanjian Linggarjati dan bulan Juli 1947 dibunuhnya walikota Padang Bagindo Aziz Chan dan mereka melakukan serangan lagi sampai diadakannya pula perjanjian yang kedua yang disebut perjanjian Renville, dan daerah pendudukannya berbatas di Batang Tapakis Kec. Lubuk Alung Kab. Padang / Pariaman.
Karena Belanda sangat berhasrat sekali hendak mengulangi kembali penjajahannya di bumi persada Indonesia yang kita cintai ini, maka kembali Belanda berkhianat melakukan serangan terhadap RI yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 yang disebut pada waktu itu Agresi Belanda Kedua yang dimulai pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 dan Belanda waktu itu telah mendarat dengan pesawat Catalina di Danau Singkarak.
Pada hari Kamis tanggal 23-12-1948 dengan mengambil langkah pada 08.30 pagi WSU (sekarang jam 09.00) mulailah YM. Nenek Guru meninggalkan kota Sawah Lunto bersama anak² dan istri dan salah seorang di antaranya termasuk saya, berdarurat ke daerah pedalaman RI yaitu ke Nagari Lunto Kecamatan Sawah Lunto Kabupaten Sawah Lunto (Sijunjung). Di negeri ini banyak pengikut YM. Nenek Guru, di antaranya yang telah dituakan: 1. Khalifah Jini Gelar Lenggang 2. Khalifah Bakar Gelar Karib Sutan 3. Khalifah H. Abd. Rauf. Ketiga Khalifah tersebut kenal baik dengan YM. Ayahanda Guru dan sama² suluk pada suluk pertama YM. Ayahanda Guru dengan YM. Nenek Guru di Alkah YM. Nenek Guru di Kubang Sirakuk Sawah Lunto tahun 1950. YM. Ayahanda Guru beserta keluarga meninggalkan kota Bukit Tinggi berdarurat ke daerah pedalaman RI dalam daerah Kabutapaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan Kabupaten Tanah Datar.
Menurut cerita yang saya dengar langsung dari YM. Ayahanda Guru, bahwa Beliau selama berdarurat selalu suluk² saja atau berkhalwat dan setiap tentara² Belanda sampai ke tempat YM. Ayahanda Guru, mereka hanya melihat hutan belukar saja. Begitu juga dari YM. Nenek Guru, saya dengar pula kalau tentara Belanda sudah sampai ke Pondok YM. Nenek Guru, mereka melihat lautan yang sangat luas.
Memperhatikan kejadian² tersebut di atas, jelas bagi kita bahwa kedua Beliau² tersebut di atas adalah ahli/kekasih Allah SWT yang selalu dilindungi dan mendapat perlindungan dari Allah Yang Maha Kuasa, Maha Akbar, Maha Agung, dan Maha Suci, begitu juga bagi mereka yang selalu berhampiran dan selalu kontak dengan Beliau akan selalu dilindungi dan mendapatkan perlindungan sesuai dengan fatwa YM. Nenek Guru ”Barang dihampiri diperoleh”.Selama tidak berjumpa dengan YM. Nenek Guru, YM. Ayahanda Guru sangat rajin mengamalkan dzikir Ismu Dzat karena memang hanya dzikir itulah yang beliau terima dari YM. Nenek Guru. Suatu saat YM. Ayahanda Guru sampai ke sebuah surau tua dan disitu Beliau beramal dalam waktu lama. Kebetulan juga di surau itu ada seorang Syaikh beserta 12 muridnya ikut berdzikir disitu. Syaikh tersebut berdzikir di kubah sedangkan YM. Ayahanda Guru berdzikir di samping surau.
Kemudian Syaikh tersebut meminta YM. Ayahanda Guru memimpin suluk, tentu saja tawaran tersebut Beliau tolak secara halus karena memang saat itu Beliau tidak mengerti sama sekali tentang ilmu suluk. YM. Ayahanda Guru berkata, ”Saya tidak berani, silahkan Tuan musyawarahkan dengan Guru saya (Syaikh Hasyim), kalau Beliau mengizinkan maka saya berani melaksanakannya”. Kemudian Syaikh tersebut berkomunikasi secara ruhani dengan YM. Nenek Guru, 3 hari kemudian Syaikh tersebut datang dan berkata, ”Udah boleh engku mudo, udah boleh!” Dalam suluk Syaikh tersebut berkata, ”Hai engku mudo, tolong tawajjuhkan murid den ko (Hai anak muda, tolong tawajjuhkan murid aku ini)”. Pada waktu itu YM. Ayahanda Guru belum lagi diangkat jadi khalifah, bahkan suluk pun belum pernah, sehingga Beliau bingung bagaimana harus melaksanakan sesuatu yang belum diajarkan.Akhirnya YM. Ayahanda Guru menawajjuhkan murid² Syaikh tersebut, namun karena seluruh energi dzikir ditumpahkan, maka seluruh yang ditawajjuhkan itu pingsan. Selesai tawajjuh, ajaibnya seluruh yang pingsan sadar kembali. Pada waktu itu YM. Ayahanda Guru masih berumur 33 tahun. Fenomena ini sangat luar biasa, belum khalifah sudah mentawajjuhkan.
Kemudian rombongan Syaikh beserta murid²nya pindah ke kampung lain termasuk YM. Ayahanda Guru ikut juga, dan tersiarlah kabar akan diadakan suluk lagi, kebetulan saat itu datang bulan puasa maka berbondong² orang kampung ikut suluk. Masyarakat kampung meminta YM. Ayahanda Guru untuk menyulukkan mereka namun YM. Ayahanda Guru tidak menerima permintaan itu dan YM. Ayahanda Guru tinggal di sebuah surau dan dzikir sendiri.Kemudian orang kampung datang kembali kepada Beliau meminta untuk ikut suluk, akhirnya Beliau penuhi dan pada saat itu banyak pula Syaikh² yang datang ikut suluk dengan Beliau dan para Syaikh mengakui bahwa suluk yang dipimpin oleh YM. Ayahanda Guru sangat luar biasa.
Suluk Dengan Syaikh Abdul Majid
Setelah kejadian itu (memimpin suluk sebelum ikut suluk) maka YM. Ayahanda Guru merasa bersalah dan dalam hati Beliau berkata, ”Ah, tidak benar aku ini, bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan semua ini kepada Guruku dan Allah?”. Akhirnya Beliau memutuskan untuk mencari seorang Syaikh yang ahli tentang tasawuf untuk menanyakan hal² mengenai suluk sekaligus melaporkan apa yang telah Beliau kerjakan. Pada waktu YM. Ayahanda Guru sampai dalam daerah Kabupaten Tanah Datar, Beliau bertemu dengan Syaikh Abdul Majid (juga ahli tasawuf), murid dari Syaikh Busthami yang terkenal dengan kekeramatannya.
Jauh hari sebelum Ayahanda datang, Syaikh Busthami memberikan nasehat kepada Syaikh Abdul Majid, ”Hai Majid, 30 tahun engkau menjadi Syaikh, akan datang kepadamu seorang anak muda yang akan meminta suluk kepada engkau, engkau akan memberikan ijazah kepada dia.” Dan ternyata anak muda yang dimaksud tidak lain adalah YM. Ayahanda Guru sendiri yang sudah 30 tahun dinantikan oleh Syaikh Abdul Majid.
”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, YM. Ayahanda Guru memberi salam kepada Syaikh Abdul Majid ketika pertama sekali bertemu. ”Ya Tuan Syaikh, saya mohon disulukkan, saya sudah menyulukkan tapi rasanya tidak bertanggung jawab, mohon kami disulukkan.” Syaikh Abdul Majid berkata dalam bahasa Padang: ”Oh.. Indak begitu doh, awak suluk menyulukkan”, maksudnya, ”Tidak begitu, kita ini saling suluk menyulukkan. Saya tidak mau menyulukkan Tuan, tapi di antara kita saling suluk menyulukkan”, maksudnya antara Syaikh Abdul Majid dengan YM. Ayahanda Guru saling memimpin suluk.
Mula² YM. Ayahanda Guru menganggap ucapan itu hanya gurauan atau basa basi, ketika jamaah suluk sudah berkumpul, Syaikh Abdul Majid mempersilahkan YM. Ayahanda Guru untuk berdzikir dalam satu kelambu, barulah YM. Ayahanda Guru menyadari kalau ucapan ”Kita ini saling suluk menyulukkan” adalah ucapan yang serius, dan dalam pandangan Syaikh Abdul Majid, kedudukan rohani YM. Ayahanda Guru sudah sedemikian tingginya walaupun secara dzahirnya belum pernah ikut suluk.
Ada kejadian menarik dan lucu yang sering kali diceritakan oleh YM. Ayahanda Guru tentang suluk dengan Syaikh Abdul Majid, berikut saya kutip: ”Di dalam kelambu itu kalau berdzikir duduk berdua seperti orang mendayung sampan, ketika tidur kaki saya ke kepala Beliau (Syaikh Abdul Majid) dan begitu juga sebaliknya, awak anak muda yang lasak baru berumur 33 tahun, sedangkan Beliau orang tua yang jinak, waktu tidur bergulung badannya. Sesudah 3 hari ujung kaki saya masuk ke hidungnya.”
Setelah kejadian itu, YM. Ayahanda Guru merasa bersalah dan meminta izin kepada Syaikh Abdul Majid untuk berdzikir di tempat yang lain.”Abuya, tidak usah lah saya dzikir satu kelambu dengan Buya, saya ini kalau tidur lasak, masak kepala Buya saya tendang, salah adab saya ini, mohon diberi tempat lain untuk saya.”, ”Kalau begitu, jadilah.” kata Syaikh Abdul Majid. Syaikh Abdul Majid memberikan tempat dzikir kepada YM. Ayahanda Guru dibawah tempat biasa Beliau berdzikir, sedangkan Beliau tetap berdzikir di atas di tempat biasa. Selama suluk itu banyak terjadi keajaiban, YM. Ayahanda Guru berdzikir selama 3 hari 3 malam tanpa keluar dari kelambu, tidak mandi, tidak makan dan tidak minum sedikitpun.
Syaikh Abdul Majid terus memimpin suluk sedangkan YM. Ayahanda Guru tetap dzikir sendiri. Setelah 3 hari Syaikh Abdul Majid mandi, selesai mandi kebetulan YM. Ayahanda Guru juga keluar, ketika bertemu dengan YM. Ayahanda Guru, Syaikh Abdul Majid berkata, ”Abuya, setelah ini saya tidak boleh memimpin suluk lagi”. YM. Ayahanda Guru terkejut karena Syaikh Abdul Majid memanggilnya ”Abuya” kepada Beliau, sebuah panggilan kehormatan untuk para ulama yang dihormati, ucapan itu lebih cocok dari YM. Ayahanda Guru kepada Syaikh Abdul Majid.
YM. Ayahanda Guru bertanya, ”Jadi siapa yang akan memimpin suluk ini?”
”Abuya” jawab Syaikh Abdul Majid.
YM. Ayahanda Guru agak sedikit bingung, kenapa dipertengahan suluk Syaikh Abdul Majid menyerahkan kepemimpinan suluk kepada Beliau, padahal tujuan YM. Ayahanda Guru menemui Syaikh Abdul Majid adalah untuk ikut suluk.
”Janganlah saya, saya tidak pengalaman tentang suluk” jawab YM. Ayahanda Guru menolak tawaran Syaikh Abdul Majid.
”Oh, tidak boleh saya lagi, nanti dihantam saya” kata Syaikh Abdul Majid.
”Nanti siapa yang mentawajjuhkan jama’ah?” tanya Ayahanda.
”Buya semua, termasuk saya ini mohon ditawajjuhkan” jawab Syaikh Abdul Majid.
YM. Ayahanda Guru kembali menolak, tidak mungkin mentawajjuhkan (mendoakan) orang yang sudah berumur 105 tahun dan telah lama menjadi Syaikh.
”Ah.. Tidak mau saya mentawajjuhkan Buya, durhaka saya nanti.” kata YM. Ayahanda Guru.
”Tidak lah, harus ditawajjuhkan, ini perintah dari ATAS” kata Syaikh Abdul Majid.
Akhirnya YM. Ayahanda Guru memenuhi permintaan dari Syaikh Abdul Majid untuk memimpin suluk. Syaikh Abdul Majid mengalami gangguan pada matanya, namun setelah di tawajjuhkan oleh YM. Ayahanda Guru, matanya kembali sembuh. Sehingga kelak Syaikh Abdul Majid pernah berkata kepada salah seorang murid dari YM. Ayahanda Guru ketika berkunjung ke tempat Beliau, ”Gurumu itu sangat luar biasa, saya ini sembuh berkat syafa’at dari Gurumu, jangan pernah kalian menggantikan Gurumu dengan yang lain.”
Kebetulan Suluk itu berlangsung pada bulan Zulhijjah (suluk Haji) dan ditutup satu hari sebelum Hari Raya. Di akhir suluk, Syaikh Abdul Majid memberikan sebuah ijazah yang istimewa kepada YM. Ayahanda Guru. Disebut istimewa kerena selama ini Syaikh Abdul Majid tidak pernah memberikan satupun ijazah kepada orang lain. Kebetulan pula Syaikh Abdul Majid adalah seorang yang buta huruf, tidak pandai menulis dan membaca. Tapi anehnya malam itu Syaikh Abdul Majid menulis ijazah dengan huruf yang sangat bagus dan di dlm ijazahnya tertulis keistimewaan² YM. Ayahanda Guru.
Ikut Suluk dengan YM. Nenek Guru
Walaupun telah mendapat ijazah dari Syaikh Abdul Majid, namun dlm hati YM. Ayahanda Guru belum puas, dari Gurunya, Syaikh Muhammad Hasyim Buayan belum sempat diberikan kaifiyat, meminta suluk kepada Syaikh Abdul Majid malah disuruh memimpin suluk. Akhirnya YM. Ayahanda Guru memutuskan untuk menemui YM. Nenek Guru (Syaikh Muhammad Hasyim) untuk meminta ikut suluk.Saat itu kebetulan menjelang Ramadhan tahun 1950 dan YM. Nenek Guru sudah memutuskan dan mengumumkan kepada seluruh muridnya bahwa pada bulan Ramadhan kali ini tidak diadakan suluk dikarenakan ada hal² yang teramat berat yang tidak bisa diberitakan oleh YM. Nenek Guru.Ketika YM. Ayahanda Guru datang dan meminta izin untuk suluk, YM. Nenek Guru terkejut, satu sisi Beliau sudah memutuskan untuk tidak suluk namun di sisi lain YM. Nenek Guru telah berjanji kepada YM. Ayahanda Guru kalau kapan saja datang ke tempat Beliau akan diadakan suluk walau cuma satu orang. Akhirnya YM. Nenek Guru memenangkan janjinya dan membuka suluk. Sebelum suluk dimulai, YM. Ayahanda Guru menyerahkan ijazah yang diberikan oleh Syaikh Abdul Majid kepada YM. Nenek Guru dan YM. Nenek Guru menerimanya.
Suluk pertama itu YM. Ayahanda Guru langsung diangkat menjadi Khalifah dan YM. Nenek Guru berkata, ”Lihatlah itu, pelajarilah itu”. Maksudnya, lihatlah apa yang dilakukan dlm suluk, lihatlah cara memasak, cara membangunkan jama’ah, mengatur jama’ah, menghidang dan lain sebagainya, tidak pernah diajarkan kepada YM. Ayahanda Guru. Cara dzikir bahkan kaifiyat pun tidak pernah diajarkan oleh YM. Nenek Guru.Itulah pertama kali YM. Ayahanda Guru ikut serta suluk dengan YM. Nenek Guru. Selama suluk tersebut, YM. Ayahanda Guru sangat kuat sekali beramal, betul² Beliau laksanakan adab yang 21 dan secara jujur kami akui, bahkan kami yang jauh lebih dahulu berguru dengan YM. Nenek Guru, tak sanggup mengikuti ketekunan Beliau dan kami menghaturkan salut yang setinggi²nya kepada Beliau.
Pada suluk yang pertama kali itulah saya melihat dan mengetahui keistimewaan yang kedua kalinya diberikan YM. Nenek Guru kepada YM. Ayahanda Guru, yaitu memberikan kaji suluk secara keseluruhan sampai kepada tingkat yang paling tinggi, sedangkan kami (Rangkayo sati), angkatan yang lama² sudah puluhan kali ikut suluk blm lagi mencapai yang demikian.Sungguh hebat dan luar biasa sekali yang diterima dan dialami oleh YM. Ayahanda Guru, dan di balik itu tentu YM. Nenek Guru telah mengetahui dan melihat tanda² bahwa Beliau lah satu²nya nanti yang akan menjadi Pewaris Penerima Panji² Silsilah Thariqatullah ’Ubudiyah Naqsyabandiyah Khalidiyah, setelah YM. Nenek Guru nantinya telah tiada atau berlindung. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh pepatah ”Bukan intan bukan baiduri, bukan emas dapat dibeli, siapa untung dapat sendiri”.Setelah selesai suluk, YM. Ayahanda Guru pun diberi ijazah oleh YM. Nenek Guru, dan keesokan harinya Beliau bersama murid² kembali ke Bukit Tinggi. Semenjak itu sesuai pula dengan tugas² dan kesibukan YM. Ayahanda Guru, Beliau sering datang menemui YM. Nenek Guru baik YM. Nenek Guru sedang berada di Sawah Lunto maupun sedang berada di Buayan. Adakalanya kedatangan Beliau sebagai ziarah biasa saja dan adakalanya ikut suluk. Kedatangan Beliau selalu diiringi oleh beberapa murid Beliau.
Menjadi Ahli Silsilah Ke-35
Kalau kami tak salah, selama YM.Nenek Guru masih hidup, YM. Ayahanda Guru ada 3 (tiga) kali ikut suluk dengan YM. Nenek Guru, dan yang terakhir suluk di Buayan. Pada suluk yang ketiga kalinya, YM. Ayahanda Guru diberi oleh YM. Nenek Guru tentang asal muasal Thariqat Naqsyabandiyah yang diterima oleh YM. Nenek Guru dari Mawlana Sayyidi Syaikh Husin qs. yang mendampingi Mawlana Sayyidi Syaikh Ali Ridho qs. di Jabal Qubaisy Mekkah pada tahun 1918 dan langsung pula YM. Ayahanda Guru di izinkan untuk mendirikan suluk.YM. Nenek Guru menumpahkan seluruh isi dada Beliau ke dalam dada YM. Ayahanda Guru sebagaimana Rasulullah Saw. menumpahkan seluruh isi dadanya ke dada Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra. Resmilah YM. Ayahanda Guru menjadi pewaris ilmu Rasulullah Saw. sebagai Ahli Silsilah ke-35 yang telah diberitakan dlm hadist Nabi. Kali ketiganya kami mengetahui dan mempersaksikan keistimewaan yang diberikan oleh YM. Nenek Guru kepada YM. Ayahanda Guru dan cukup kuat hasil renungan kami sebagaimana yang kami uraikan di atas.
Kali pertama YM. Ayahanda Guru mendirikan suluk di Aur Tajungkang Bukit Tinggi tahun 1953, pada waktu YM. Nenek Guru masih hidup dan dibantu oleh YM. Nenek Guru dengan 2 (dua) orang khalifahnya, yakni: 1. Alm. Engku Nuruda (Mertua Haji Hasan Hasyim). 2. Alm. Kamu Mantari Ameh (semasa agresi Belanda kedua 19-12-1948 patuh dan setia mengikuti YM. Nenek Guru sebagai khadam dan menjadi kuda tunggangan YM. Nenek Guru selama berdarurat, karena YM. Nenek Guru terpaksa pindah² tempat naik bukit turun bukit selalu YM. Nenek Guru dlm dukungannya, karena fisik dan usia YM. Nenek Guru tidak mengizinkan lagi untuk jalan sendiri).
Betapa banyaknya murid YM. Nenek Guru yang telah dituakan dan yang telah diangkat jadi khalifah jauh sebelum YM. Ayahanda Guru bertemu dengan YM. Nenek Guru, satu pun belum ada yang di ijinkan YM. Nenek Guru untuk memimpin suluk, hanya baru di izinkan menurunkan thariqat, memimpin wirid khatam tawajjuh di tempat alkah masing² yang telah mempunyai alkah, dan mohon ampun, bukan karena penulis menonjolkan diri hanya sekedar memenuhi sejarah yang berkaitan dengan risalah ini. Selain dari YM. Ayahanda Guru, kami pun telah di ijinkan untuk mendirikan suluk serta dilengkapi dengan segala sesuatu yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas berat tersebut. Pemberian ijin ini terjadi pada tahun 1947 di saat kami menerima ijazah dari YM. Nenek Guru pada tanggal 18 Ramadhan tahun 1367 H. Kemudian YM. Ayahanda Guru sepeninggal YM. Nenek Guru, pindah ke Medan dan membuka alkah sendiri dengan modal Nol, sampai mencapai sukses besar dan perkembangan yang pesat sekali sebagaimana yang telah kita persaksikan bersama dan yang telah banyak mempunyai murid yang terdiri dari berbagai macam tingkatan dan golongan sejak dari tingkatan yang tertinggi, dan mempunyai banyak alkah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air bahkan sampai ke luar negeri.
Kira² awal tahun 1954 kami satu rombongan dengan mencarter sebuah bus dibawa oleh YM. Nenek Guru dari Sawah Lunto untuk ziarah ke Hutapungkut di Bukit Tinggi. YM. Ayahanda Guru diajak ikut serta oleh YM. Nenek Guru. Selama kami di Hutapungkut, YM. Nenek Guru berkata pada kami ”Nanti sepeninggal Ayah telaih tiada, kalian boleh langsung ziarah ke makam Nenek kalian”.
Rupanya YM. Nenek Guru sudah mulai sakit²an dan tak berapa lama sesudah itu YM. Nenek Guru berangkat meninggalkan Sawah Lunto menuju Padang, istirahat beberapa hari di Purus I di rumah Sdr. B. Rajo Bujang (sekarang bernama H. Abdul Majid dan masih hidup). Kemudian YM. Nenek Guru terus ke Buayan dan sakit YM. Nenek Guru bertambah parah juga, sehingga pada hari Rabu tanggal 7 April 1954 jam 1.05 WSU (± 13.35 WIB), YM. Nenek Guru dipanggil oleh Allah Ta’ala, dan atas amanatnya, Beliau dimakamkan di Tanah Dingin Buayan, Kecamatan Batang Anai, Kecamatan Padang/Pariaman Propinsi Sumatera Barat.
Sepeninggal YM. Nenek Guru telah tiada sebelum YM. Ayahanda Guru pindah ke Medan, Beliau selalu datang ziarah ke Kubang Sirakuk Sawah Lunto dan ke Tanah Dingin Buayan. Setelah Beliau pindah ke Medan, terakhir Beliau ziarah ke Kubang Sirakuk Sawah Lunto tahun 1957 dengan sedan dan didampingi oleh Bp. H. Nurdin dan Bp. Hamdan Siregar, menginap semalam di tempat YM. Nenek Guru dan besoknya Beliau kembali ke Medan dan saya ikut mengantar Beliau sampai ke Muara Sipongi. Setelah itu Beliau ziarah ke Tanah Dingin Buayan saja 3 atau 4 kali dlm setahun di luar yang insidentil.
YM. Ayahanda Guru sangat disiplin memegang amanat, segala sesuatu yang Beliau terima dari YM. Nenek Guru berupa ilmu, nasehat dan petunjuk, pengajaran dan lain², Beliau amalkan dengan sungguh², seperti pepatah mengatakan ”Setitik dilauntukan, sekepal digunungkan, digenggam erat didudur mati, siang dipertongkatkan, malam diperkalang, hidup dipakai mati ditomapang”, dan kepada YM. Ayahanda Guru berlaku apa yang dijanjikan Tuhan ”Amalkan oleh kamu ilmu yang telah sampai kepada engkau, mewarisi Aku ilmu yang belum engkau ketahui”.
Seperti yang pernah diucapkan oleh YM. Nenek Guru bahwa ilmu laduni yang dihunjamkan Allah Ta’ala kepada Sirr hati hamba-Nya yang dikasihi-Nya dan YM. Ayahanda Guru berhasil dengan gilang-gemilang betul² Beliau sebagai Penegak dan Pewaris Silsilah yang ke-35.
Berbahagialah kita semuanya di dunia dan di akhirat, baik yang dekat maupun yang jauh di mana saja kita berada yang selalu mengadakan kontak dengan Beliau. Aamiin… Aamiin Yaa Rabbal ’Aalamiin.
Demikianlah ala kadarnya yang dapat saya sumbangkan kepada teman² seperjuangan dan seperamalan saya dan akhirul kalam kembali saya mengucapkan ”Astaghfirullah Al ’Adzim” yang sedalam²nya dan diiringi dengan Laa Haula wa laa Quwwata Illa billaahil ’Aliyil ’Adzim serta saya tutup dengan mohon ampun yang sebesar²nya ke haribaan YM. Ayahanda Guru atas salah dan janggalnya. Semoga YM. Ayahanda Guru berkenan bermurah hati mengabulkannya.
Alhamdulillaahirobbil ’Aalamiin
Wabillaahittaufik Wal Hidayah
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Buayan, 08 Desember 1986
(Anwar Rangkayo Sati)