Surau itu tua, dinding kayunya telah menghitam oleh asap dupa dan ribuan zikir yang diembuskan. Letaknya di tepi sebuah desa yang seolah tersembunyi dari derap waktu, diapit sawah hijau dan sungai kecil yang bening. Di sanalah Syaikh Alif tinggal, seorang tua yang gerakannya setenang air di tempayan, dan bicaranya sehemat embun pagi. Orang-orang datang kepadanya bukan untuk mencari jawaban, melainkan untuk menemukan ketenangan yang membuat pertanyaan mereka terasa tak lagi penting.
Kecuali Banyu.
Banyu, muridnya yang paling cerdas sekaligus paling gelisah, datang dengan setumpuk buku di benaknya. Pagi itu, ia menemukan Syaikh Alif sedang menyiram sebatang pohon delima. Sang Syaikh tidak menuangkan air begitu saja, melainkan meneteskannya perlahan ke akar, seolah setiap tetes adalah permata yang ia persembahkan.
Chapter Pertama: Perbedatan Murid dan Guru
“Syaikh,” Banyu memulai, suaranya tajam membelah keheningan. “Aku telah membaca lagi. Logika menuntut kejelasan. Jika Dia adalah Yang Maha Pengasih, mengapa ada tangis bayi yang kelaparan? Jika Dia adalah Yang Maha Adil, mengapa ada tiran yang hidup dalam kemewahan? Jika seluruh semesta ini adalah Cermin Wajah-Nya, mengapa ada wajah yang buruk rupa dan cacat?”
Syaikh Alif menyelesaikan tugasnya, meletakkan gayung tempurung kelapa itu dengan lembut. Ia menatap Banyu, matanya yang teduh laksana telaga yang dalam. Ia tidak menjawab, melainkan mengambil sebuah cermin retak dari dinding surau.
“Lihatlah kemari, Banyu,” katanya pelan. Ia mengarahkan cermin itu pada wajah Banyu, lalu pada sebatang bunga, lalu pada seekor semut yang merayap di tanah, lalu pada bayangan pohon yang gelap. “Apa yang kau lihat?”
“Aku melihat pantulan,” jawab Banyu, sedikit tak sabar. “Pantulan wajahku, bunga, semut, dan bayangan.”
“Apakah cermin ini menjadi bunga saat memantulkan bunga? Apakah ia menjadi gelap saat memantulkan bayangan?” tanya Syaikh.
“Tentu tidak! Cermin tetaplah cermin. Ia hanya wadah bagi penampakan!” seru Banyu, merasa menang angin.
“Bagus,” Syaikh Alif tersenyum tipis. “Sekarang, katakan padaku, Banyu. Jika cahaya yang sama menyinari sebuah permata dan sebuah gumpalan lumpur, apakah cahaya itu menjadi kotor karena menyentuh lumpur?”
Banyu terdiam. Logikanya berputar, mencari sanggahan. “Ini kiasan, Syaikh. Aku butuh jawaban yang pasti, yang bisa diukur. Bukan teka-teki.”
Debat itu terus berlanjut selama berhari-hari, berminggu-minggu. Banyu datang dengan argumen filsafat, membawa dalil-dalil yang ia tafsirkan dengan akalnya yang tajam. Ia menuntut Tuhan yang bisa dimasukkan ke dalam kotak logikanya. Tuhan yang adil menurut timbangan manusia, yang baik menurut definisi manusia.
Puncaknya terjadi di suatu senja. Langit berwarna jingga, memantul di permukaan sungai. “Aku tidak bisa lagi menerima ini,” kata Banyu, suaranya bergetar menahan frustrasi. “Ajaran ini menidurkan akal. Menyuruh kita pasrah pada penderitaan dengan alasan semua ini adalah Wajah-Nya. Bagiku, itu adalah bentuk keputusasaan yang indah. Aku akan pergi ke kota, mencari kebenaran yang nyata, yang membangun peradaban, bukan yang meninabobokan jiwa dalam kiasan.”
Syaikh Alif menatapnya lama. Tidak ada kemarahan di wajahnya, hanya keluasan yang Banyu tak pernah bisa pahami. “Pergilah, Banyu. Pergilah. Engkau adalah air yang bersemangat. Engkau ingin mengukir bebatuan dan membelah lembah. Lakukanlah. Tapi ingatlah satu hal,” kata Syaikh sambil menunjuk ke arah sungai yang mengalir menuju hilir, “Setiap sungai, tak peduli seberapa jauh ia berkelana di daratan, pada akhirnya akan selalu rindu pada lautan.”
Banyu menganggap kalimat itu sebagai ucapan perpisahan puitis yang tak bermakna. Dengan punggung yang tegak dan kepala yang penuh dengan keyakinan pada nalarnya sendiri, ia meninggalkan surau, meninggalkan Syaikh Alif, dan melangkah menuju dunia yang menjanjikan kejelasan.
Chapter Kedua: Jatuh dan Jauh, Tersiksa
Kota adalah hutan beton dan baja, riuh oleh klakson dan ambisi. Banyu terjun ke dalamnya seperti ikan yang menemukan samudra baru. Ia melahap buku-buku filsafat eksistensialisme, materialisme, dan rasionalisme. Ia bergabung dengan kelompok-kelompok diskusi di mana akal dipuja sebagai satu-satunya tuhan.
Di sinilah Banyu merasa benar-benar hidup. Ajarannya yang lama terasa seperti pakaian anak kecil yang sempit. Di sebuah podium yang terang benderang, di hadapan puluhan pemikir sepertinya, ia dengan lantang dan sadar menyatakan dirinya terbebas. Ia mengurai setiap keyakinan lamanya dengan pisau analisis yang tajam, menyebutnya sebagai mitos, belenggu budaya, dan candu bagi kaum lemah. Ia murtad bukan karena kebencian, tapi karena merasa telah menemukan cahaya yang lebih terang: cahaya akal manusia.
Tepuk tangan membahana. Ia dipuji, dielu-elukan. Tulisannya dimuat di jurnal-jurnal bergengsi. Ia menjadi suara bagi generasi yang haus akan kepastian logis. Ia punya uang, punya nama, punya pengakuan. Ia telah memenangkan setiap perdebatan.
Namun, malam-malamnya mulai terasa dingin.
Kemenangan dalam debat terasa seperti meminum air garam; semakin banyak ia minum, semakin ia merasa haus. Ia bisa membuktikan bahwa cinta hanyalah reaksi kimia di otak, tapi itu tidak bisa menjelaskan mengapa hatinya terasa sakit saat dikhianati seorang teman. Ia bisa berargumen bahwa alam semesta ini acak dan tak bertujuan, tapi itu tidak bisa memberinya kedamaian saat menatap langit malam yang penuh bintang.
Ia tinggal di apartemen mewah di lantai tertinggi, memandang kelip lampu kota yang tak pernah tidur. Ia memiliki semua jawaban, tetapi jiwanya kelaparan. Piala emas yang ia genggam erat-erat, ternyata hanya berisi abu.
Lalu, keruntuhan itu datang. Bukan dalam bentuk argumen yang tak bisa ia patahkan, melainkan dalam bentuk yang paling purba dan manusiawi. Ayahnya di desa meninggal dunia. Banyu pulang, bukan sebagai murid yang kembali, tapi sebagai anak yang berduka. Saat ia melihat ibunya menangis dalam kepasrahan yang total, semua bangunan filsafatnya goyah. Ilmunya yang cemerlang tak bisa menawarkan satu kata pun untuk menenangkan hati ibunya. Teorinya tentang ketiadaan makna hidup terasa kejam dan kosong di hadapan duka yang nyata.
Kembali ke kota, kekosongan itu menjadi jurang yang menganga. Ia mencoba mengisinya dengan lebih banyak pekerjaan, lebih banyak pesta, lebih banyak pengakuan. Tapi semua itu hanya gema di dalam ruang hampa. Suatu malam, setelah mengalami pengkhianatan bisnis yang membuatnya kehilangan hampir segalanya, ia berdiri di depan cermin besar di apartemennya.
Ia melihat sosok yang angkuh, dengan mata yang lelah dan kesepian. Cermin itu tidak retak seperti milik Syaikh Alif, tapi yang terpantul di dalamnya adalah jiwa yang telah pecah berkeping-keping. Di puncak kesuksesan dunianya, ia adalah manusia paling miskin yang ia kenal.
Dalam keheningan yang memekakkan telinga itu, sebuah gema muncul dari dasar sumur hatinya yang paling dalam. Bukan sebuah argumen, bukan sebuah dalil. Melainkan sebuah gambaran: wajah teduh Syaikh Alif yang sedang menyiram pohon delima. Lalu sebuah kalimat terngiang, bukan sebagai kata-kata, tapi sebagai getaran yang merambati seluruh tubuhnya.
Setiap sungai… akan selalu rindu pada lautan.
Kerinduan itu begitu kuat, begitu nyata, lebih nyata dari semua buku yang pernah ia baca, lebih nyata dari semua tepuk tangan yang pernah ia terima. Saat itu juga, di tengah kemewahan kotanya, Banyu menangis seperti anak kecil yang tersesat dan ingin pulang.
Chapter Ketiga: Berjalan Pulang
Perjalanan pulangnya terasa berbeda. Ia tidak lagi mengendarai mobil dengan cepat sambil mendengarkan berita. Ia menumpang kendaraan umum, berhenti di setiap kota kecil. Ia tidak lagi menganalisis dunia, tetapi merasakannya. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar melihat kerutan di wajah seorang nenek penjual jamu dan merasakan ada semesta cerita di sana. Ia mendengar musik dalam tangis seorang anak kecil. Ia merasakan keagungan dalam sebatang pohon beringin tua.
Ia menyadari kebodohannya. Selama ini ia mencoba memahami lautan dengan cara membaca peta dan komposisi kimianya, padahal yang perlu ia lakukan hanyalah menceburkan diri dan merasakan airnya.
Ketika ia akhirnya tiba di jalan setapak menuju surau, hatinya berdebar kencang. Bagaimana jika ia ditolak? Bagaimana jika Syaikh mengusirnya karena kemurtadannya?
Ia melihat surau itu, masih sama. Dan di halamannya, ia melihat Syaikh Alif sedang menyapu daun-daun kering. Gerakannya masih sama tenangnya, seolah Banyu baru saja pergi kemarin sore.
Syaikh Alif mengangkat kepala saat merasakan kehadirannya. Ia melihat Banyu yang berdiri canggung, dengan pakaian kota yang lusuh dan wajah yang basah oleh air mata yang tak tertahankan lagi. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada penghakiman. Tidak ada kalimat “Sudah kubilang, kan?”.
Syaikh Alif hanya tersenyum, senyum yang seolah merangkum seluruh lautan.
“Selamat datang kembali, Air,” katanya lembut. “Lautan telah menunggumu.”
Tangis Banyu pecah seketika. Ia bersimpuh di tanah, bukan karena merasa hina, tetapi karena kelegaan yang luar biasa. Beban di pundaknya selama bertahun-tahun terangkat sudah. Ia diterima, tanpa syarat.
Pelajaran barunya pun dimulai. Syaikh Alif tidak lagi mengajaknya berdebat tentang Tuhan. Tugas pertama Banyu adalah menyapu halaman setiap pagi. Tugas keduanya adalah mengisi semua tempayan di surau dengan air dari sungai. Tugas ketiganya adalah duduk diam dan mendengarkan suara jangkrik di malam hari.
Awalnya, egonya yang terpelajar memberontak. Aku seorang pemikir! Aku penulis! Mengapa aku harus melakukan pekerjaan kasar ini? Ia mencoba mencari makna filosofis di balik setiap ayunan sapu, mencari simbolisme dalam setiap timba air.
Syaikh Alif yang melihat kegelisahannya hanya berkata, “Jangan mencari makna pada sapu itu, Banyu. Jadilah sapu itu. Jangan berpikir tentang air itu, jadilah air itu.”
Perlahan, sangat perlahan, Banyu mengerti. Dalam kesunyian kerja, pikirannya yang riuh mulai tenang. Saat tangannya menyentuh gagang sapu yang kasar, ia tidak lagi memikirkan konsep tentang kerendahan hati; ia mengalami kerendahan hati. Saat ia merasakan dinginnya air sungai di kakinya, ia tidak lagi berteori tentang sumber kehidupan; ia menyatu dengan sumber kehidupan. Ia menemukan Tuhan bukan dalam sebuah konsep di langit, tapi dalam kehadiran penuh saat mencabut sehelai rumput liar.
Suatu pagi, setelah selesai mengisi tempayan terakhir hingga penuh dan jernih, Banyu melihat pantulan wajahnya di permukaan air. Tapi kali ini, ia melihat lebih dari itu. Ia melihat wajahnya, awan di atasnya, dan langit biru yang tak terbatas, semua menari bersama di dalam air. Wajahnya ada di sana, tetapi ia hanyalah bagian dari gambaran yang lebih besar. Ia, sang sungai, tidak pernah benar-benar terpisah dari lautan. Seluruh perjalanannya—kesombongannya, penolakannya, penderitaannya yang pedih—bukanlah sebuah kesalahan. Itu adalah jalan berkelok yang harus ditempuh sungainya untuk mengenali keluasan lautannya sendiri.
Tawa kecil, tulus, dan ringan meledak dari bibirnya.
Syaikh Alif, yang sedang duduk di beranda, mendengarnya dan mengangguk perlahan, seolah sudah tahu tawa itu akan datang.
Banyu tidak menjadi guru baru. Ia tidak menulis buku lagi. Ia menemukan kebahagiaan tertinggi dalam menjadi seorang murid abadi. Ia menjadi secangkir cangkir yang kosong, selalu siap untuk diisi oleh Samudra Rahmat yang tak pernah kering dan tak bertepi. Ia telah pulang.