Setiap perjumpaan adalah sebuah tarian adab. Secara naluriah, kita menyesuaikan sikap, tutur kata, dan bahkan cara kita berpikir ketika berhadapan dengan orang yang berbeda. Namun, ada sebuah kearifan kuno yang melihat etika ini bukan sekadar sopan santun sosial, melainkan sebuah cermin untuk mengenali tingkatan realitas dan posisi jiwa kita di hadapan-Nya.
Seorang guru arif dari Damaskus, Syaikh Muhammad Al-Yaqoubi, merangkum tangga pendakian spiritual ini dalam sebuah nasihat yang ringkas namun mengandung lautan makna. Petuah beliau menjadi peta bagi para pencari untuk menavigasi perjumpaan mereka dengan berbagai manifestasi Kebenaran di dunia ini.
Mari kita selami empat tingkatan adab ini, bukan sebagai aturan kaku, tetapi sebagai undangan untuk memahami di mana kita berdiri.
1. Di Hadapan Kekuasaan Duniawi: Jagalah Perbuatanmu
Saat engkau duduk bersama para raja, penguasa, atau pemegang otoritas duniawi (royalties), nasihatnya adalah: “Jagalah perbuatanmu.” Mengapa? Karena mereka adalah simbol dari tatanan lahiriah (zahir). Mereka adalah penjaga hukum, struktur, dan aturan kasatmata. Di hadapan mereka, yang dinilai adalah tindakanmu, kepatuhanmu pada protokol, dan kesesuaian gerak-gerikmu dengan norma yang berlaku. Dunia mereka adalah dunia bentuk dan fungsi. Menjaga perbuatan di sini adalah adab terhadap manifestasi keteraturan di alam semesta yang tampak.
2. Di Hadapan Para Pewaris Ilmu: Jagalah Lisanmu
Ketika engkau bermajelis dengan para ulama, para cendekia yang mewarisi sabda Kenabian, nasihatnya bergeser menjadi: “Jagalah lisanmu.” Tingkatannya naik dari sekadar perbuatan fisik ke ranah ucapan dan pemikiran. Para ulama adalah penjaga Kalam, penjaga makna-makna yang diturunkan. Mereka berurusan dengan dalil, argumen, dan presisi kata. Di hadapan mereka, satu kata yang salah tempat bisa mengaburkan sebuah kebenaran. Menjaga lisan bukan sekadar takut salah, tetapi sebuah penghormatan terhadap kesakralan ilmu dan warisan Sabda Ilahi yang mereka emban. Di sini, engkau diundang untuk menjadi pendengar yang baik sebelum menjadi pembicara.
3. Di Hadapan Para Kekasih Tuhan: Jagalah Hatimu
Lalu, engkau naik lebih dalam lagi. Saat engkau mendapat anugerah untuk duduk bersama para Awliya, para Kekasih Allah yang hatinya telah dibersihkan, nasihatnya menembus ke inti: “Jagalah hatimu.” Mereka tidak lagi terlalu sibuk dengan perbuatan lahiriahmu atau kecerdasan lisanmu. Pandangan mereka menembus semua itu, langsung menuju ke sumbernya: keadaan hatimu. Hati mereka adalah cermin yang bening. Di hadapannya, segala niat tersembunyi, riak kesombongan, atau secuil ketidaktulusan akan terpantul dengan jelas. Menjaga hati di sini berarti memurnikan niat, membersihkan batin dari apa pun selain Dia, karena hanya itulah yang “terlihat” oleh mereka. Perjumpaan ini bukan lagi soal apa yang engkau lakukan atau katakan, tetapi soal “siapa” dirimu di dalam.
4. Di Hadapan Para Arif Billah: Jadilah Sesuai Kehendakmu
Di puncak tangga ini, ada sebuah pernyataan yang terdengar paradoks. Saat engkau bersama para Gnostik (al-‘Arifin), mereka yang telah “mengenal” Allah dalam arti lebur di dalam-Nya, nasihatnya adalah: “Jadilah sesuai kehendakmu.”
Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah semua adab sebelumnya gugur?
Justru sebaliknya. Ini adalah puncak dari segala adab. Para ‘Arifin tidak lagi melihat “engkau” sebagai entitas yang terpisah dari mereka atau dari Tuhan. Dalam pandangan mereka, yang ada hanyalah satu Wujud, satu Realitas Tunggal yang senantiasa bergerak dan bermanifestasi dalam ragam bentuk. Mereka tidak sibuk dengan “dirimu”—dengan kesalahan atau kebaikanmu—karena mereka sibuk dengan Dia Yang Maha Esa, yang menjadi Penggerak di balik dirimu.
Mereka melihat ombak, tetapi kesadaran mereka tertuju sepenuhnya pada Samudra. Mereka melihat tulisan, tetapi perhatian mereka tercurah pada Sang Penulis. Di hadapan mereka, “menjadi sesuai kehendakmu” bukanlah izin untuk berbuat sesuka hati. Itu adalah pengakuan bahwa “kehendakmu” pun sesungguhnya adalah percikan dari Kehendak-Nya. Mereka tidak lagi menghakimi bentuk, karena mereka telah tenggelam dalam Sumber segala bentuk. Di hadapan mereka, engkau bebas, karena mereka telah melihatmu dalam kebebasanmu yang paling hakiki: sebagai manifestasi dari Dia yang tak terbatas.
Perjalanan adab ini, dari menjaga perbuatan hingga menjadi bebas, adalah perjalanan pulang. Ia adalah perjalanan dari kulit menuju isi, dari bentuk menuju makna, dari keterpisahan menuju Keesaan. Setiap perjumpaan, pada hakikatnya, adalah kesempatan untuk bercermin dan bertanya: sudah sampai di manakah aku dalam perjalanan mengenali-Nya? Sebab setiap wajah di dunia ini, pada akhirnya, adalah tabir sekaligus jendela menuju Wajah-Nya yang Tunggal.