Kabar robohnya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo menyisakan duka yang mendalam. Di tengah puing-puing beton dan suasana yang memilukan, secercah cahaya iman memancar dari seorang santri muda bernama Syailendra Haikal. Kisahnya bukan sekadar cerita tentang bertahan hidup, melainkan sebuah hikmah agung tentang bagaimana nilai-nilai tasawuf termanifestasi dalam ujian yang paling berat sekalipun.
Sabar dan Tawakal di Tengah Kegelapan
Selama hampir tiga hari, Haikal terhimpit reruntuhan, merasakan sakit yang tak terbayangkan di sekujur tubuhnya. Ketika tim penyelamat bertanya, “Mananya yang sakit?” dengan kepolosan dan ketabahan luar biasa ia menjawab, “Semuanya sakit.” Jawaban ini bukanlah keluhan, melainkan sebuah pengakuan tulus atas kondisi yang ia pasrahkan sepenuhnya kepada Sang Pencipta. Inilah manifestasi sabar dalam level tertinggi; sabar bukan berarti tidak merasakan sakit, tetapi menerima rasa sakit itu sebagai bagian dari ketetapan Allah tanpa pernah goyah.
Di tengah kondisi yang mustahil, Haikal tidak berhenti beribadah. Ia tetap menunaikan salat dalam posisi terbaring, bahkan sempat mengajak temannya di sebelah untuk salat Isya berjamaah. Ada pula kisah di luar nalar yang ia ceritakan, bahwa saat Maghrib dan Isya, ia merasa diajak salat berjamaah oleh imam yang tak ia kenali. Pengalaman spiritual ini adalah buah dari tawakal—penyerahan diri secara total. Di saat semua daya dan upaya manusia sirna, hanya pertolongan Allah yang menjadi satu-satunya sandaran. Hatinya tetap terhubung dengan-Nya, meyakini bahwa bahkan dalam kungkungan beton sekalipun, ia tidak pernah sendirian.
Syukur dalam Ujian Paling Berat
Salah satu kisah Haikal yang paling menggugah adalah ketika ia menahan haus yang luar biasa meskipun ada dua botol air minum di dekatnya. Alasannya sederhana: ia merasa minuman itu bukan miliknya. Dalam ilmu tasawuf, sikap ini dikenal sebagai wara’, yaitu kehati-hatian dalam menjaga diri dari hal-hal yang syubhat (tidak jelas halal haramnya).
Sikap wara’ ini lahir dari rasa syukur yang mendalam. Haikal tidak memandang penderitaannya sebagai alasan untuk menghalalkan segala cara. Sebaliknya, ia tetap menjaga integritasnya sebagai seorang santri. Ia bersyukur atas napas yang masih ada, atas kesadaran untuk beribadah yang masih terjaga, sehingga ia tidak mau menodai sisa hidupnya dengan mengambil hak orang lain. Ini adalah pelajaran bahwa syukur sejati bukanlah tentang berterima kasih saat mendapat nikmat, tetapi tentang menjaga adab dan akhlak bahkan saat berada di titik terendah dalam hidup.
Ujian Setelah Keselamatan
Kisah Haikal tidak berhenti pada penyelamatan yang dramatis. Ujiannya berlanjut di ruang perawatan intensif. Akibat terhimpit reruntuhan selama berhari-hari, hati dan ginjalnya mengalami kerusakan parah, yang berujung pada tindakan amputasi. Di sinilah letak puncak ujian keimanan. Selamat dari reruntuhan bukanlah akhir dari penderitaan, melainkan gerbang menuju ujian kesabaran dan keikhlasan yang baru.
Bagi kita yang mendengar, berita ini mungkin terasa menyakitkan. Namun, dari sudut pandang tasawuf, ini adalah cara Allah untuk mengangkat derajat hamba-Nya. Tubuh Haikal mungkin menanggung luka, tetapi jiwanya telah ditempa dalam api ujian menjadi jiwa yang kuat, yang pasrah, dan yang sepenuhnya bergantung hanya kepada-Nya.
Kisah Haikal mengajarkan kita bahwa esensi spiritualitas tidak selalu ditemukan dalam ketenangan ibadah di atas sajadah yang empuk, tetapi sering kali lahir dari rahim penderitaan. Dari balik reruntuhan itu, Haikal telah menjadi guru bagi kita semua tentang makna sejati dari sabar, puncak dari tawakal, dan wujud nyata dari syukur. Cahaya imannya yang tetap menyala di tengah kegelapan menjadi pengingat abadi bahwa pertolongan Allah selalu dekat bagi hamba-Nya yang tulus berserah diri.