Setiap jiwa adalah pengembara. Ia terlahir dari Samudra Wujud Yang Maha Esa, laksana gelombang yang sejenak tampak terpisah, padahal hakikatnya tak pernah sedetik pun lepas dari lautan itu sendiri. Perjalanan hidup, dengan segala liku dan warnanya, adalah perjalanan sang gelombang untuk kembali menyadari ke-lautan-nya.
Di sebuah sudut dunia, hiduplah seorang murid yang cerdas. Akalnya tajam, semangatnya menyala-nyala. Ia duduk di hadapan seorang Guru yang arif, yang bicaranya adalah keheningan dan pengajarannya adalah kehadiran. Sang murid menyerap ilmu laksana tanah kering menyerap hujan. Namun, di dalam dirinya, tumbuh benih kesombongan halus. Ia mulai merasa ‘tahu’. Ia memprotes, mendebat, dan merasa pemahamannya telah melampaui apa yang diajarkan. Baginya, jalan yang diajarkan Gurunya terlalu sempit, terlalu sederhana.
Sang Guru hanya tersenyum. Senyumnya laksana cakrawala senja yang menampung semua warna, baik kelam maupun benderang. Beliau melihat sang murid bukan sebagai pembangkang, melainkan sebagai manifestasi dari sebuah Nama Ilahi yang sedang berkehendak. Bukankah ada Nama Yang Maha Membimbing (Al-Hadi), dan juga ada Nama Yang Maha Menyesatkan (Al-Mudhill)? Keduanya adalah cermin dari Wajah-Nya yang sama, yang tak bisa dipahami oleh akal yang terbatas.
Akhirnya, sang murid pun pergi. Ia menyatakan diri lepas dari jalan Gurunya, bahkan lepas dari keyakinan yang selama ini membesarkannya. Ia menempuh jalan akal semata, mencari kebenaran di luar ‘rumah’-nya. Ia berkelana dari satu filsafat ke filsafat lain, dari satu keyakinan ke keyakinan lain, mencoba mengisi kekosongan yang justru semakin menganga di dalam dadanya. Ia telah menjadi kafir, dalam arti yang paling hakiki: seorang yang ‘menutupi’ (kufr) asal-usul sejatinya. Ia menutupi fakta bahwa ia adalah gelombang dari Samudra Yang Esa.
Bertahun-tahun berlalu. Sang Guru tetap dalam keheningannya, tak pernah sekalipun mencela atau menghakimi muridnya yang telah ‘murtad’. Bagi Sang Guru, murid itu tak pernah benar-benar pergi. Bagaimana mungkin setetes air pergi dari lautan? Ia hanya sedang menjalani takdirnya untuk mengarungi pantai-pantai keterasingan, agar ia kelak merindukan kedalaman samudra. Rahmat-Nya tak terbatas oleh dinding-dinding keyakinan yang dibangun manusia. Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, termasuk mereka yang sedang tersesat dalam pencariannya.
Di ujung usianya, sang murid terbaring lemah. Semua pengetahuan yang ia kumpulkan, semua argumen yang ia banggakan, sirna tak berbekas. Yang tersisa hanyalah kehampaan dan rasa lelah yang luar biasa. Ia telah mencari kebenaran di mana-mana, hanya untuk menemukan bahwa ia tak menemukan apa-apa. Dalam keputusasaan itulah, secercah ingatan muncul: wajah teduh Gurunya, kehangatan majelisnya, ketenangan yang pernah ia rasakan sebelum akalnya memberontak.
Tiba-tiba, di ambang sakaratul mautnya, pintu kamarnya terbuka. Sosok yang ia rindukan dalam diam itu berdiri di sana. Sang Guru datang. Bukan untuk menghakimi. Bukan untuk menagih. Beliau datang sebagai pengejawantahan Rahmat Yang Maha Agung, yang tak pernah meninggalkan hamba-Nya.
Dengan kelembutan yang melampaui kata-kata, Sang Guru membisikkan kalimah agung di telinga muridnya, menuntunnya untuk kembali pada pengakuan paling puncak: Lā ilāha illallāh.
Kalimat itu bukan lagi sekadar hafalan. Di telinga sang murid yang jiwanya telah telanjang dari segala kepalsuan, kalimat itu bermakna: “Tidak ada wujud yang nyata, tidak ada realitas sejati, tidak ada ‘aku’ atau ‘engkau’, kecuali Dia.” Seluruh perjalanannya yang jauh, seluruh penolakannya, seluruh kesesatannya, lebur dalam satu kesadaran agung itu. Ia menyadari, petualangannya menjauh dari Tuhan justru adalah cara Tuhan menariknya kembali dengan cara yang paling intim.
Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan senyum di bibir. Sebuah husnul khotimah yang manis, sebuah kepulangan yang indah.
Kisah ini adalah cermin bagi kita semua. Betapa sering kita merasa jauh, merasa tersesat, bahkan merasa telah meninggalkan-Nya. Kita membangun dinding dari dosa, keraguan, dan kesombongan intelektual kita. Namun, kita lupa. Dia adalah Yang Maha Meliputi. Tak ada satu sudut pun di alam semesta ini yang berada di luar genggaman Rahmat-Nya. Dia adalah Sang Pemilik Skenario, yang terkadang menampakkan Wajah-Nya melalui jalan yang lurus, dan terkadang melalui jalan yang berliku.
Jangan pernah berputus asa dari Rahmat-Nya, sejauh apapun kau merasa telah pergi. Sebab pada hakikatnya, tidak ada perjalanan ‘meninggalkan’. Yang ada hanyalah perjalanan ‘mengenali’ jalan pulang. Dan Dia, melalui para kekasih-Nya atau melalui cara-Nya yang paling misterius, akan selalu menunggu di ujung perjalanan itu untuk membisikkan kebenaran yang sama: Engkau tak pernah ke mana-mana. Engkau selalu bersama-Ku.