Di tengah berbagai perbincangan mengenai cara berdoa dan memohon kepada Allah SWT, sering kali muncul pembahasan tentang tawassul—menjadikan sesuatu sebagai perantara dalam berdoa. Sebagian kalangan mungkin meragukannya, namun sebuah hadis sahih yang dijelaskan oleh Al-Habib Umar bin Hafidz memberikan pencerahan yang gamblang. Kisah ini tidak hanya menjadi dalil kuat tentang keabsahan tawassul, tetapi juga cerminan dari kemurahan Allah SWT yang tak terbatas dan kedermawanan Rasulullah SAW yang agung.
Dalam sebuah ceramahnya, Habib Umar bin Hafidz mengisahkan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan para ulama hadis lainnya dari sahabat Utsman bin Hanif.
1. Dalil Tawassul: Ajaran Langsung dari Rasulullah SAW
Kisah ini dimulai ketika para sahabat sedang berkumpul bersama Rasulullah SAW. Tiba-tiba, datang seorang sahabat yang buta matanya. Ia datang dengan satu hajat yang mendesak: “Wahai Rasulullah, aku datang kepadamu meminta engkau berdoa kepada Allah agar mengembalikan penglihatanku.”
Rasulullah SAW tidak langsung mendoakannya, tetapi Beliau mengajarkan sebuah metode, sebuah cara berdoa yang spesifik. Beliau memberikan pilihan: “Jika kamu mau, aku minta kepada Allah SWT agar mengembalikan penglihatanmu, dan jika kamu mau bersabar maka bagimu adalah surga.”
Namun, sahabat ini, dengan keyakinan penuh pada kemurahan Allah dan kemuliaan Rasul-Nya, menjawab, “Wahai Rasulullah, surga adalah balasan yang indah, aku inginkan surga dan aku inginkan Allah SWT kembalikan penglihatanku.”
Mendengar permintaan yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat ini, Rasulullah SAW tidak menolaknya. Sebaliknya, Beliau mengajarkan cara untuk meraihnya. Beliau bersabda:
“Berdirilah kemudian berwudhu dan sholat 2 rakaat kemudian berdoalah:
‘Ya Allah, aku memohon dan menuju kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang rahmat.’
‘Ya Muhammad, sungguh aku bertawassul denganmu kepada Allah atas hajatku ini untuk dipenuhi. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya untukku.'”
Perintah ini adalah bukti yang tak terbantahkan. Rasulullah SAW secara eksplisit mengajarkan sahabatnya untuk:
- Menyebut nama Beliau sebagai perantara (wasilah) kepada Allah.
- Menyeru langsung kepada Beliau dalam doanya (“Ya Muhammad…”) sebagai bentuk permohonan agar Beliau menjadi perantara doanya kepada Allah.
Utsman bin Hanif, sang perawi hadis, bersumpah, “Demi Allah, tidak berlangsung lama majelis kami dan kami belum bubar, sampai pria itu masuk kembali dan dia dalam keadaan melihat.”
Kisah ini ditutup dengan penegasan dari Rasulullah SAW yang menjadikan amalan ini sebagai ajaran umum: “Seandainya kamu punya hajat (lain), maka lakukanlah seperti itu.” Ini menunjukkan bahwa tawassul dengan Nabi Muhammad SAW bukanlah kejadian khusus yang hanya berlaku satu kali, melainkan sebuah metode doa yang bisa diamalkan oleh umatnya kapan pun mereka memiliki hajat.
2. Cerminan Sifat Karim Allah dan Kedermawanan Rasulullah
Kisah ini juga membuka mata kita tentang betapa luasnya rahmat Allah (Al-Karim) dan betapa agungnya kedermawanan Rasulullah SAW. Ketika dihadapkan pada pilihan antara kesembuhan di dunia atau pahala surga di akhirat, sahabat tersebut tidak merasa cukup dengan salah satunya. Ia menginginkan keduanya.
Permintaannya, “Aku inginkan surga dan aku inginkan penglihatanku kembali,” bukanlah bentuk ketamakan. Sebaliknya, itu adalah cerminan dari keyakinannya bahwa Allah Maha Pemurah, yang karunia-Nya tidak akan berkurang sedikit pun meski Dia memberikan kebaikan dunia dan akhirat sekaligus kepada hamba-Nya.
Sikap Rasulullah SAW yang tidak menegur, bahkan memfasilitasi permintaan tersebut dengan mengajarkan doa tawassul, menunjukkan sifat Beliau sebagai Rahmatan lil ‘Alamin (rahmat bagi seluruh alam). Beliau tidak membatasi harapan umatnya, melainkan menunjukkan jalan terluas untuk meraih karunia Allah. Beliau rida jika umatnya mendapatkan kebahagiaan duniawi tanpa harus kehilangan ganjaran ukhrawi.
Kesimpulan
Melalui kisah sahabat buta ini, Habib Umar bin Hafidz menegaskan bahwa tawassul bukanlah inovasi yang menyimpang, melainkan sebuah sunnah yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW. Ini adalah salah satu pintu cinta dan penghormatan kepada Nabi, di mana kita memohon kepada Allah melalui kedudukan mulia hamba yang paling dicintai-Nya. Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak pernah ragu akan kemurahan Allah dan untuk senantiasa menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan dan perantara dalam mendekatkan diri kepada-Nya.
Allahumma sholli ‘ala Sayyidina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wasallim.