Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah tokoh sufi pertama yang memperkenalkan konsep al-fana dan al-baqa serta konsep ittihad.Ā Fana adalah sirnanya segala sesuatu selain AllahĀ dari pandangan seorang sufi. Di mana ia tidak lagi menyaksikan kecuali hakekat yang satu yaitu Allah. DanĀ Baqa adalah merupakan konsekuensi dari adanya fana, ketika seseorang bersatu dengan Tuhan (ittihad), dalam hal ini baqa mengandung pengertian kekal dalam kebaikan. Sehingga apa yang diupayakannya bisa tercapai yaitu bisa bersatu dengan Tuhan, yang dalam bahasa Abu Yazid disebut dengan istilah ittihad.
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu, dan al-fana jauh lebih berbeda dengan al-fasad (rusak), fana artinya tidak kelihatannya sesuatu, sedang al-fasad adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Konsep ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Sina di mana ketika membedakan antara benda-benda yang bersifat samawiyah dan bersifat alam, di mana ia mengambil konklusi bahwa keberadaan benda alam itu berdasarkan permulaannya, bukan perubahan bentuk yang satu kepada bentuk yang lain, dan hilangnya benda alam itu dengan cara fana bukan dengan fasad.
Adapun makna fana dalam pandangan kaum sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya dan dari makhluk lainnya. Sebenarnya dirinya tetap sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya. Dalam konteks lain, fana mengandung pengertian gugurnya sifat-sifat tercela, makna lainnya bergantung sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan
Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana an-nafs).Ā Fana an-nafs adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah.
Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan bahwa ia telah berada dekat dengan Tuhan, hal ini dapat dilihat dari kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathahat) yang dia ungkapkan, seperti : āTidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Akuā.
Al-Busthami pernah mengatakan bahwa ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang ia lihat adalah bangunan Kaābah dan dirinya, kemudian ia naik haji lagi, maka selain melihat bangunan Kaābah dan dirinya, ia merasakan Tuhan Kaābah. Pada haji ketiga, ia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhan Kaābah.
Tentang kefanaan Syaikh Abu Yazid al-Busthami ini, pernah dikisahkan oleh sahabatnya,Ā Dzun Nun al-MishriĀ yang mengutus seseorang untuk menemui Abu Yazid, ketika utusan itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid, terjadilah percakapan antara utusan Dzun Nun dengan Abu Yazid :
Abu Yazid : āSiapa di luar?ā
Utusan : ā Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazidā
Abu Yazid : āAbu Yazid siapa? Dimana dia? Saya pun mencari Abu Yazid
Rombongan utusan itu pun pulang dan kemudian memberitahukan kepada Dzun Nun. Mendengar keterangan itu Dzun Nun berkata: āSahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana.”
Kejadian yang menimpa Abu Yazid ini disebabkan keinginannya untuk selalu dekat dengan Tuhan. Bahkan ia selalu berusaha untuk mencari jalan agar selalu berada di hadirat Tuhan. Ia pernah berkata: āAku bermimpi melihat Tuhanā, Aku pun bertanya: āTuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada-Mu?ā. Ia menjawab: āTinggalkan dirimu dan datanglah.ā
Menurut Abu Yazid ada empat situasi gradual dalam proses fana, yakni:
-Tingkatan fana yang paling rendah yaitu fana yang dicapai atau dihasilkan melalui mujahadah
-Tingkatan fana terhadap kenikmatan surga dan kepedihan siksa neraka
-Fana terhadap pemberian Allah
-Fana terhadap fana itu sendiri (fana al-fana)
Apabila seseorang telah mencapai fana pada tahap akhir, seseorang akan secara totalitas lupa terhadap segala sesuatu yang sedang terjadi padanya. Hatinya sudah tidak lagi terisi oleh kesan apapun yang ditangkap oleh panca indera.
Konsekuensi dari terjadinya fana itu, maka terjadi pulalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan dalam kaca mata sufi, baqa mengandung makna kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Sedangkan menurut Abu Yazid, baqa adalah hilangnya sifat-sifat kemanusiaan yang dirasakan hanyalah sifat-sifat Tuhan yang kekal dalam dirinya dengan kata lain merasa hidupnya selaras dengan sifat-sifat Tuhan, sistem kerja fana-baqa ini selalu beriringan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli tasawuf.
āApabila nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yang kekalā
Kata al-Busthami, āIa telah membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya, dan aku pun hidupā, aku berkata: “Bila pada diriku adalah kehancuran (fana) sedang gila pada-Mu adalah kelanjutan hidup (baqa)ā. Al-Busthami juga berkata: āAku tahu pada Tuhan melalui diriku, sampai aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup.”
Untuk mencapai station al-baqa ini seseorang perlu melakukan perjuangan dan usaha-usaha yang keras dan kontinyu, seperti dzikir, beribadah, dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji. Jika dilihat dari sisi lain, yang disebut fana dan baqa itu dapat pula disebut sebagai ittihad.
Situasi ittihad itu diperjelas dalam ungkapannya: āTuhan berkata: semua mereka kecuali Engkau, adalah makhluk-Ku. Akupun berkata: Aku adalah engkau, Engkau adalah Akuā.
Ungkapan kata Abu Yazid ini telah mendapat tanggapan, bahkan kecaman dari para ulama di zamannya. Bagi para ulama yang toleran menilainya sebagai suatu penyelewengan, tetapi bagi ulama yang ekstrim menilainya sebagai suatu kekufuran. Namun ada pula yang menilainya merupakan kasus tertentu bagi seorang sufi dan kata-kata yang dilontarkan adalah kata-kata yang terlontar di kala kondisi kejiwaannya tidak stabil. Dalam kondisi seperti ini, seorang sufi tidak sepenuhnya bisa mengandalkan diri pribadinya, dan dia pada saat itu tidak mampu lagi mengendalikan dirinya.
Karena keinginan yang mendalam untuk selalu dekat dengan Tuhan, mengakibatkan seakan-akan Abu Yazid merasa bersatu dengan Tuhan. Dengan fana, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi kehadirat Tuhan, bahwa ia telah dekat dengan sang Khaliq, ini dapat dicermati dari syathahat yang diucapkannya, dan dalam hal ini ucapan tersebut tidak dapat dipegangi dan dikenakan hukum. Karena orang yang berkata pada waktu itu sedang mabuk. Mabuk oleh fananya, oleh tiada sadar diri lagi, sebab tenggelam dalam tafakkur. Ungkapan Abu Yazid tentang fana dan ittihad menurut al-Taftazani: āmemang terlalu berlebih-lebihanā, antara lain seperti yang diucapkan Abu Yazid: āAku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali aku, maka sembahlah Akuā.
Abu Yazid juga pernah mengatakan: Tuhan berfirman: āSemua mereka, kecuali Engkai adalah Aku, dan Aku adalah Engkau”
Secara harfiah ungkapan-ungkapan Abu Yazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Abu Yazid pribadi. Dialog yang terjadi pada waktu itu pada hakekatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana an-nafs. Pada saat bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud, yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapannya itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan :
āSebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya, sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana.ā
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan oleh Firāaun. Proses ittihad ini menurut Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia kehadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang terlihat.