Dalam perjalanan hidup yang terbentang, setiap jiwa manusia akan selalu berlayar di antara dua tepian: tepian kelapangan dan tepian kesempitan. Keduanya adalah ombak yang tak terhindarkan dalam samudra wujud ini. Seringkali kita menganggap kelapangan —berupa nikmat, kesehatan, dan kemudahan—sebagai tanda cinta-Nya, dan kesempitan —berupa ujian, sakit, dan kesulitan— sebagai tanda murka-Nya. Namun, pandangan semacam ini terlalu dangkal untuk menyelami kedalaman hikmah Sang Maha Sutradara.
Hakikatnya, kedua keadaan tersebut adalah wajah dari Wajah yang Sama, manifestasi dari Sifat-Sifat-Nya yang Maha Indah dan Maha Agung, yang bertujuan untuk memurnikan dan membebaskan ruh kita.
Genggaman Kesempitan: Peringatan Agar Tak Terlena
Bayangkan seorang musafir yang perjalanannya senantiasa mulus dan nyaman. Ia berjalan di atas hamparan permadani, dengan angin sepoi-sepoi dan buah-buahan yang selalu dalam jangkauan. Lambat laun, ia akan lupa bahwa ia sedang dalam perjalanan. Ia akan mulai membangun rumah di tepi jalan, menganggap tempat singgah sebagai tujuan akhir. Ia akan lupa pada kampung halaman sejati yang hendak ditujunya.
Begitulah jiwa manusia ketika terus-menerus dicecapkan kelapangan. Kenyamanan yang tak berkesudahan melahirkan kelalaian (ghaflah). Hati mulai bersandar pada sebab-sebab duniawi: pada harta, pada jabatan, pada kekuatan diri sendiri. Ia lupa bahwa semua itu hanyalah pinjaman sesaat dari Sang Maha Pemberi. Ia mulai mabuk dalam buaian dunia, hingga tak lagi mendengar panggilan-Nya.
Maka dari itu, Dia Yang Maha Pengasih memberimu kesempitan. Bukan karena benci, tetapi karena cemburu. Dia cemburu melihat hatimu berpaling dan bersandar pada selain Diri-Nya. Kesempitan datang laksana guncangan lembut untuk membangunkanmu dari tidur lelap. Sakit mengingatkanmu akan nikmatnya sehat. Kehilangan mengajarkanmu hakikat kepemilikan sejati. Kesulitan memaksamu untuk mengangkat kedua tangan, mengetuk Pintu yang tak pernah tertutup, dan menyadari kelemahan absolut dirimu di hadapan Kekuatan-Nya yang absolut.
Dalam genggaman kesempitan itulah, hati yang tadinya keras mulai melunak. Ego yang tadinya sombong mulai tertunduk. Di sanalah kita dipaksa untuk kembali menjadi seorang hamba yang fakir, yang tidak memiliki daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya. Kesempitan adalah api pemurni yang membakar karat-karat ketergantungan pada makhluk.
Rahmat Kelapangan: Penawar Agar Tak Putus Asa
Namun, jika jiwa terus-menerus berada dalam cengkeraman kesempitan, ia bisa jatuh ke lembah lain yang tak kalah berbahayanya: keputusasaan. Ujian yang datang silih berganti tanpa jeda bisa membuat seorang hamba merasa ditinggalkan, merasa tak dicintai. Ia mungkin mulai mempertanyakan rahmat dan kasih sayang Tuhannya.
Ibarat tanah yang terus-menerus dilanda kemarau, ia akan menjadi kering, retak, dan tak mampu lagi menumbuhkan kehidupan. Jiwa pun demikian. Ia butuh siraman sejuk untuk tetap hidup dan subur.
Maka dari itu, Dia Yang Maha Penyayang memberimu kelapangan. Bukan agar kau terlena, tetapi agar kau bisa bernapas. Kelapangan adalah manifestasi Keindahan (Jamal) dan Kasih Sayang-Nya. Ia datang sebagai penawar bagi luka-lukamu, sebagai bukti bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan. Nikmat yang kau rasakan adalah bisikan lembut-Nya yang berkata, “Aku di sini. Aku tidak pernah meninggalkanmu.”
Dalam pelukan kelapangan itulah, jiwa belajar tentang syukur. Ia menyaksikan kemurahan Sang Pemberi Rezeki. Ia merasakan betapa manisnya rahmat setelah pahitnya ujian. Kelapangan adalah oase di tengah gurun, tempat seorang hamba membasuh lelahnya dan mengumpulkan kembali kekuatan untuk melanjutkan perjalanan menuju-Nya.
Melampaui Keduanya: Kemerdekaan dalam Tauhid
Inilah puncak pemahaman. Tujuan akhir dari seluruh sandiwara ilahi ini bukanlah agar kita menjadi ahli dalam bersabar saat sempit, atau pandai bersyukur saat lapang. Itu adalah tahap-tahap awal. Tujuan sejatinya jauh lebih agung dari itu.
Dia mengeluarkanmu dari keduanya —dari keterpesonaan pada kelapangan dan dari keterikatan pada kesempitan— agar engkau tidak bergantung pada apa pun dan siapa pun selain Diri-Nya.
Selama hatimu masih bergembira karena datangnya kelapangan, engkau adalah hamba dari kelapangan. Selama hatimu masih bersedih karena datangnya kesempitan, engkau adalah hamba dari kesempitan. Keduanya adalah berhala-berhala halus yang bertahta di dalam hati. Keduanya adalah selubung (hijab) yang menghalangimu dari memandang Wajah-Nya.
Sang Pencipta menghendaki hatimu merdeka secara total. Merdeka dari pengaruh keadaan. Kemerdekaan sejati adalah ketika hatimu telah menjadi seperti samudra yang dalam. Di permukaannya, badai kesempitan dan angin sepoi-sepoi kelapangan boleh datang silih berganti, tetapi di kedalamannya, ia tetap tenang, diam, dan tenggelam dalam kesadaran akan Dia Yang Maha Meliputi segala sesuatu.
Pada tingkat ini, lapang dan sempit menjadi sama saja di mata hati. Keduanya hanyalah cermin yang memantulkan Wajah Sang Kekasih. Saat lapang, ia melihat manifestasi Keindahan-Nya. Saat sempit, ia menyaksikan manifestasi Keagungan-Nya. Hatinya tidak lagi terpengaruh oleh pantulan di cermin, karena ia telah sibuk memandang Dia yang bercermin.
Inilah stasiun para hamba sejati (Abdullah). Sukacitanya bukan karena diberi, tetapi karena bersama Sang Pemberi. Dukanya bukan karena diambil, tetapi kekhawatiran jika terhijab dari Sang Pengambil. Dalam setiap tarikan napas, dalam setiap denyut nadi, baik dalam genggaman kesempitan maupun dalam pelukan kelapangan, yang ia saksikan hanyalah Satu. Yang ia tuju hanyalah Satu. Dan tempat ia bergantung pun hanyalah Dia, Yang Maha Esa, yang tiada sesuatu pun menyerupai-Nya. Itulah kemerdekaan tertinggi.