Tarekat ini berhulu pada diri Nabi Muhammad SAW yang kemudian mengalir kepada Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A, sahabat kesayangan Nabi Muhammad SAW dan khalifahnya yang pertama, yang telah menerima ilmu istimewa seperti diterangkan Nabi Muhammad SAW sendiri, “Tidak ada sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar”.
Pola hidup bersahaja yang ditampilkan Abu Bakar ditiru para sufi pada periode selanjutnya. Menurut riwayat, Abu Bakar pernah hidup dengan sehelai kain saja. Ia pernah memegang lidahnya sendiri, seraya berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku“. Kemudian untuk menjaga dari berkata-kata yang tidak bermanfaat, Abu Bakar lazim mengulum batu kerikil.
Kedermawanan Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A juga tak terukur nilainya. Misalnya pada Perang Tabuk, Rasulullah SAW meminta kepada kaum Muslim agar mengorbankan hartanya. Maka datanglah Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A membawa hartanya dan diletakkannya di antara dua tangan Rasulullah SAW, seraya Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Apalagi yang engkau tinggalkan bagi anak-anakmu, wahai Abu Bakar?” Jawabnya sambil tertawa, “Saya tinggalkan bagi mereka Allah dan Rasul-Nya”.
Sikap kedermawanan Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A ini merupakan kerelaan berkorban di jalan Allah. Dia hanya menyandarkan diri kepada Allah dan Rasul-Nya, dan hal ini merupakan sikap kepasrahan yang tinggi yang kemudian dijadikan sebagai teladan bagi para sufi. Di mata para sufi, sikap-sikap Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A seperti itu merefleksikan ahwal (keadaan) yang selalu disandarkan kepada Allah semata. Inilah, yang oleh kaum sufi dianggap sebagai benih-benih akhlak para sufi.
Oleh sebab itu, kendatipun di abad ke-1 Hijriah orang Islam belum mengenal istilah tasawuf, tetapi benih-benihnya sudah tampak, seperti pada diri Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A. Dan pada masa itu banyak sekali ditemui perilaku atau sifat-sifat yang dimiliki Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya, yang mencirikan pengajaran dan amalan ilmu tasawuf. Sikap kepasrahan Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A yang tinggi dijadikan sebagai teladan bagi para sufi.
Tarekat yang diterima Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq R.A yang nantinya populer dengan nama Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah telah mengalami pergantian penyebutan beberapa kali. Dalam silsilah keguruan tarekat ini, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq R.A berada pada urutan pertama. Periode antara Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq sampai Sayyidi Syaikh Abu Yazid al-Bistami, yang nama aslinya Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Bistami dan berada pada urutan kelima, dinamakan “Shiddiqiah“. Periode antara Syaikh Tayfur sampai Sayyidi Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani, silsilah kesembilan, dinamakan “Tayfuriah“. Periode antara Khawajah Abdul Khaliq al-Ghujdawani yang lahir di daerah Uzbekistan itu sampai Sayyidi Syaikh Bahauddin Naqsyabandi, silsilah ke-15, dinamakan “Khawajakaniah“. Diambil dari istilah Khwajagan (tuan guru yang bersilsilah). Periode antara Syaikh Bahauddin Naqsyabandi sampai Sayyidi Syaikh Nashiruddin Ubaidullah Al-Ahrar, silsilah ke-18, dinamakan “Naqsyabandiyah”.
Dalam tahun-tahun terakhir abad ke-10 Hijriah atau 16 Masehi, pusat aktivitas Naqsyabandiyah dan daya tarik intelektualnya bergeser ke India. Sayyidi Syaikh Muaiyiduddin Muhammad Baqibillah, silsilah ke-22, yang lahir di Kabul (971-1012 H/1563-1603M), berpetualang di Transoxiana, Samarqand, Bukhara, Kashmir dan sekitarnya, kemudian datang ke India.
Dalam suatu catatan, dikatakan “tengah membawa benih kesucian (dalam tarekat) dari Samarqand dan Bukhara dan menyemaikannya di tanah subur India.” Dalam waktu singkat, lima tahun, dia mencurahkan perhatian yang sama kepada orang awam dan kaum bangsawan Mughal. Dia sampaikan pesan silsilah kepada para ulama, kaum sufi, para malik (tuan tanah) dan manshabdar (pejabat) dengan tingkat keefektifan yang sama. Penglihatannya tajam dalam memilih bakat terbaik di pelbagai area – dari kalangan tokoh politik Nawab Murtadha Khan, di kalangan kaum sufi Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, dan dari kalangan ulama Syaikh Abd Al-Haqq – adalah murid-murid terkemuka Khawajah Muhammad Baqi.
Tarekat Naqsyabandiyah pada periode antara Syaikh Ubaidullah Al- Ahrar sampai Sayyidi Syaikh Ahmad Faruqi Sirhindi, silsilah ke-23, dinamakan “Ahrariah“. Periode antara Syaikh Ahmad Al-Faruqi sampai Sayyidi Syaikh Dhiyauddin Khalid Kurdi Al Usmani, silsilah ke-29, dinamakan “Mujaddidiah“.
Lalu periode antara Syaikh Khalid Kurdi Al Usmani sampai dewasa ini dinamakan “Khalidiah“, atau dikenal dengan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah.
Setelah itu, tarekat ini tidak mengalami perubahan penyebutan nama. Karena bagi para pengamal tasawuf di masa berikutnya, yang menjadi pusat perhatian adalah ilmu yang diajarkan dan sumber ilmu yang ditunjukkan pada untaian silsilah keguruan. Lalu, setelah Maulana Syaikh Khalid, silsilah keguruan berikutnya berturut-turut adalah Sayyidi Syaikh Abdullah Afandi, Sayyidi Syaikh Sulaiman Qarimi, kemudian Sayyidi Syaikh Sulaiman Zuhdi.
Pada Sayyidi Syaikh Sulaiman Zuhdi, yang berkedudukan di Jabal Qubaisy dan berada pada silsilah ke-32, berguru murid-murid yang nanti menjadi penerusnya, yakni Syaikh Usman Fauzi (Jabal Qubaisy), Sayyidi Syaikh M. Hadi (Girikusumo-Jawa Tengah), putra beliau sendiri Sayyidi Syaikh Ali Ridho (Jabal Qubaisy), Sayyidi Syaikh Sulaiman (Huta Pungkut-Sumatera Barat), dan Sayyidi Syaikh Abdul Wahab Rokan (Babussalam-Aceh). Silsilah keguruan selanjutnya berada pada Sayyidi Syaikh Ali Ridho.
Sekembali dari Jabal Qubaisy, Sayyidi Syaikh Sulaiman mengembangkan tarekat ini yang berpusat di Huta Pungkut-Sumatera Barat, dan mendapatkan murid yang sangat cemerlang, yakni Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim Al-Khalidi (Buayan-Sumatera Barat). Sayyidi Syaikh Muhammad Hasyim melawat ke Jabal Qubaisy dan mendapatkan ijazah keguruan pada silsilah ke-34. Selanjutnya kepada Sayyidi Syaikh Hasyim Al-Khalidi inilah Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya berguru dan mendapatkan ijazah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah dan pemegang silsilah ke-35.
Selain dari Sayyidi Syaikh Hasyim, Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya juga mendapatkan ijazah keguruan dari Syaikh Abdul Majid (Batusangkar) dan Syaikh Syahbuddin (Sayurmatinggi) yang keduanya juga pemegang silsilah keguruan Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah namun dari alur silsilah yang berbeda dengan Sayyidi Syaikh Hasyim.
Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah yang diwarisi dan diteruskan oleh Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya berkembang pesat di Indonesia, Malaysia bahkan juga ada Amerika Serikat. Rumah-rumah wirid yang lazim disebut surau tumbuh berkembang hampir di 700 tempat. (Baca Mozaik edisi April 2008).
Untuk mengelola tempat-tempat wirid yang tersebar itu, berikut mewadahi aktivitas sosial kemasyarakatannya, maka didirikan Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya yang berpusat di Medan. Yayasan ini menaungi bidang ketarekatan dan lembaga pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi.
Selanjutnya ijazah keguruan Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, yang oleh para gurunya dijuluki “guru para cerdik pandai,” diteruskan oleh putra pertama beliau Sayyidi Syaikh Drs. H. Iskandar Zulkarnain, SH.MH. Kemudian sekarang ini ijazah keguruan tersebut sampai pada putra kedua, Sayyidi Syaikh H. Abdul Khalik Fajduani, SH. Semenjak itu, nama tarekat dari jalur silsilah ini, lazim disebut Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiah dalam naungan Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya. Setelah Sayyidi Syaikh H. Abdul Khalik Fajduani, SH berpulang, kemursyidan saat ini diteruskan oleh putra terakhir Sayyidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, yakni Sayyidi Syaikh Drs. H. Ahmad Farqi al-Khalidi qs. Selain sebagai Guru Mursyid & Pembina pada surau-surau yg bernaung dalam Yayasan Prof. DR. H. Kadirun Yahya, Beliau juga sebagai Guru Mursyid pada jajaran surau-surau Baitul yg tersebar di seluruh Indonesia, dan di mancanegara.
Menurut uraian K.A. Nizami dalam Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi (2003), Editor: Seyyed Hossein Nasr, sepanjang sejarahnya, Tarekat Naqsyabandiyah memiliki dua karakteristik menonjol yang menentukan peranan dan pengaruhnya; (1) Ketaatan yang ketat dan kuat pada Hukum Islam (syariat) dan Sunnah Nabi. (2) Upaya tekun untuk mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama.
Tidak seperti tarekat-tarekat sufi lainnya, lanjut Nizami, Tarekat Naqsyabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang tengah berkuasa saat itu. Sebaliknya, ia gigih melancarkan ikhtiar dengan pelbagai kekuatan politik agar dapat mengubah pandangan mereka. “Raja adalah jiwa dan masyarakat adalah tubuh. Jika sang Raja tersesat, rakyat akan ikut tersesat.” Demikian kutipan pesan yang dikatakan oleh Syaikh Ahmad Sirhindi. []