Ada satu ciri tarekat lagi yang tak boleh diabaikan dalam pembahasan mengenai tarekat dan politik. Amalan tarekat bisa saja dilakukan secara perseorangan, tetapi biasanya murid yang telah di bai’at akan tetap menjaga hubungan khusus dengan gurunya dan juga dengan sesama murid. Kalau tempat tinggal guru tidak terlalu jauh, para murid secara teratur ikut dzikir bersama dan juga cenderung bergaul lebih banyak dengan sesama “ikhwan” daripada orang lain. Seorang syaikh besar biasanya punya beberapa orang wakil (khalifah, badal), dan melalui mereka ia bisa memimpin puluhan ribu murid yang tersebar secara luas.
Jaringan syaikh-syaikh dengan wakil-wakil mereka merupakan suatu organisasi informal yang kadangkala sangat berpengaruh. Contoh klasik dari tarekat sebagai jaringan pemersatu masyarakat adalah tarekat Sanusiyah di Libya. Orang Badui di sana terdiri dari sejumlah suku yang di antaranya terdapat banyak persaingan dan peperangan. Syaikh Muhammad al-Sanusi al-Kabir dan putranya al-Mahdi melantik banyak khalifah, yang biasanya mendirikan zawiyah di perbatasan antara wilayah dua atau tiga suku dan yang sengaja berusaha agar pengikutnya tidak terdiri dari satu suku saja. Ketika terjadi perlawanan terhadap penjajah Perancis dan Italia, guru-guru tarekatlah yang bisa mengkoordinir dan mempersatukan semua suku Badui. Negara Libya modern merupakan hasil perjuangan tarekat Sanusiyah (dan syaikh tarekat Sanusiyah yang ke-empat, Sayyid Muhammad Idris, menjadi raja pertama negara Libya).
Di Kurdistan – wilayah yang sekarang dibagi antara Turki, Irak dan Iran – peranan pemersatu itu dimainkan oleh tarekat Naqsyabandiyah pada menghujung abad ke-19. Masyarakat Kurdi, seperti halnya masyarakat Badui, terdiri dari sejumlah suku (‘asyirah) besar dan kecil. Dulu pernah ada kerajaan-kerajaan Kurdi yang mampu mengendalikan suku-suku dan pertentangan-pertentangannya, namun kerajaan-kerajaan Kurdi terakhir dibubarkan oleh negara Turki Usmani pada awal abad ke-19. Selama puluhan tahun tidak ada pemimpin Kurdi yang punya wibawa lebih luas daripada sukunya sendiri. Kekosongan itu mulai diisi oleh syaikh-syaikh tarekat. Mereka memang sudah ada sejak lama tetapi dalam situasi politik baru ini mereka mulai memainkan peranan baru. Mereka biasanya mempunyai pengikut dari berbagai suku, sehingga mereka sering menjadi perantara antara suku-suku dan wasit dalam konflik antarsuku.
Pemberontakan-pemberontakan nasionalis Kurdi yang pertama, antara tahun 1880 dan 1925, hampir semua dipimpin oleh syaikh tarekat Naqsyabandiyah, karena hanya merekalah yang bisa mengkordinir suku-suku yang terus bersaing dan berkonflik. Masyarakat Indonesia (sekurang-kurangnya suku bangsa besar seperti Jawa dan Sunda) tidak terdiri dari banyak suku yang saling bersaing seperti masyarakat Arab dan Kurdi, sehingga fenomena di atas tidak ditemui dalam bentuk yang sama di sini. Walau demikian, dalam beberapa pemberontakan anti kolonial terlihat tarekat memainkan peranan koordinasi dan komunikasi yang mirip. Pemberontakan Banten 1888, yang cukup dikenal berkat kajian Sartono Kartodirdjo, menggambarkan peranan itu. Dalam pemberontakan tersebut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah berperan penting, walaupun khalifah-khalifahnya barangkali tidak bertindak sebagai perencana ataupun pemimpin.
Syaikh Abdul Karim Banten, pemimpin utama tarekat ini, menetap di Makkah pada masa itu dan tidak ikut berpolitik. Seorang khalifahnya, Haji Marjuki, memang sangat anti-penjajah, dan pidato-pidatonya ikut memanaskan suasana. Tetapi dalam pemberontakan sendiri, Haji Marjuki tidak memainkan peranan yang menonjol. Tarekat berperan sebagai jaringan komunikasi dan koordinasi antara para pemberontak. Sesama ikhwan saling mengenal dan saling mempercayai, dan itulah yang menyebabkan para anggota tarekat menjadi kelompok inti pemberontakan ini. (Di samping itu, tentunya para pemberontak meminta jimat-jimat dan amalan untuk kekebalan pada guru tarekat pada tingkat lokal).
Jaringan tarekat, yang lebih luas daripada organisasi informal lainnya, tentu mempunyai potensi politik. Pada zaman kolonial, potensi itu berulang kali muncul dalam bentuk gerakan rakyat. Pada zaman merdeka, potensi itu muncul dengan tujuan yang lain. Karena ketaatan para murid kepada syaikh mereka, para syaikh bisa menjanjikan ribuan, puluhan ribu suara menjelang pemilihan. Dengan demikian, seorang syaikh bisa merunding dengan partai-partai politik untuk mendapatkan imbalan yang cukup berarti. Di Turki, tarekat sampai sekarang tetap terlarang, tetapi syaikh-syaikh belakangan ini terang-terangan memainkan peranan politik yang menonjol. Demokratisasi sistem politik Turki secara bertahap sejak tahun 1945 memberikan semangat baru kepada tarekat.
Dalam istilah politik Turki, tarekat-tarekat merupakan “gudang suara”, dan semua partai memperebutkan gudang-gudang yang penuh suara itu. Dalam posisi tawar-menawar yang begitu kuat, para syaikh berhasil mendapatkan berbagai fasilitas. Beberapa syaikh, atau orang kepercayaan mereka, menjadi anggota parlemen, dan anak buah mereka ditempatkan dalam jajaran birokrasi. Di berbagai daerah terdapat hubungan cukup erat antara syaikh dengan aparat pemerintahan yang saling menguntungkan. Dengan demikian para syaikh dengan mudah memperjuangkan kepentingan-kepentingan pengikutnya dan mendapatkan berbagai jenis fasilitas untuk mereka (tender, pembangunan jalan atau saluran irigasi, listrik, pekerjaan, pendidikan, dll). Perkembangan ini, tentu saja, memperkuat posisi syaikh dalam masyarakat, dan jumlah pengikut tarekat kelihatannya kini sedang naik drastis!
Di Indonesia, Golkar dan partai politik lainnya juga sangat sadar akan potensi tarekat sebagai “gudang suara”. Potensi itu telah menjadi pokok perhatian luas ketika Kiai Musta’in Romly, tokoh tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, menyatakan dukungannya terhadap Golkar pada awal dasawarsa 1970-an. Pernyataan ini menimbulkan reaksi keras dari kyai-kyai lainnya, yang menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap NU (yang waktu itu belum “kembali ke khitthah”). Pesantren Tebuireng mempelopori usaha “penggembosan” pengaruh Kyai Musta’in. Sebagai hasil usaha ini, sebagian besar khalifah dan badalnya pindah kiblat kepada Kyai Adlan Ali, sehingga pada pemilu 1977 dan 1982 gudang suara besar itu dapat diserahkan kepada Ka’bah ketimbang pohon Beringin. Kiai Musta’in bukan guru tarekat pertama yang ikut dalam permainan politik di Indonesia.
Pada awal masa kemerdekaan, Syaikh Haji Jalaluddin Bukittinggi mendirikan Partai Politik Tharikat Islam (PPTI). Guru Naqsyabandiyah ini sebelumnya adalah anggota Perti tetapi meninggalkan partai itu karena suatu konflik dengan Syaikh Sulaiman Al-Rasuli. Dalam pemilu 1955, PPTI menang 35.000 suara di Sumatera Tengah (2,2%) dan 27.000 di Sumatera Utara (1,3%). Selama dasawarsa berikut, PPTI berkembang terus dan mendirikan perwakilan di berbagai propinsi lainnya. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Syaikh Jalaluddin menjadi pendukung presiden Sukarno yang sangat setia. Kelak untuk mengikuti tuntutan keadaan, partainya diubah menjadi ormas (1961), dan kepanjangan dari PPTI diubah pula menjadi Persatuan Pembela Tharikat Islam. Pada permulaan Orde Baru, PPTI masuk Golkar, dan pada tahun 1971 menganjurkan semua anggota dan simpatisannya untuk menusuk tanda gambar Beringin.
Semenjak itu PPTI merupakan “underbow”nya Golkar untuk tarekat. Syaikh Haji Jalaluddin sendiri meninggal dunia pada tahun 1976; organisasinya (yang pada 1975 telah pecah menjadi dua, “Pembela” dan “Pembina” Tarekat) tetap berjalan tetapi tidak lagi mempunyai pemimpin kharismatik sebanding Haji Jalaluddin. PPTI sekarang merupakan organisasi Golkar untuk tarekat daripada organisasi tarekat yang mendukung Golkar. Organisasi tarekat yang mempunyai massa besar adalah Jam’iyyah Ahl Al-Thariqah Al- Mu’tabarah, yang didirikan pada tahun 1957. Anggotanya terutama terdiri dari kyai-kyai tarekat Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan rata-rata adalah orang NU. Kyai Musta’in pernah dipilih sebagai ketua organisasi ini, dan setelah penyeberangannya ke Golkar, Jam’iyyah ini juga pecah menjadi dua. Pada muktamar yang diadakan oleh kubu non-Golkar di Semarang pada tahun 1979, kata An-Nahdhiyah ditambah kepada nama organisasi. Perpecahan di dalam Jam’iyyah tidaklah berlangsung tajam; berbagai kyai tarekat tetap menjalin hubungan dengan kedua kubu. Namun terlihat bahwa Jam’iyyah-nya Kyai Musta’in (almarhum) jauh lebih kecil daripada yang Nahdhiyah.
Menarik sekali melihat bahwa ketika NU mengambil keputusan untuk meninggalkan politik praktis, justru organisasi tarekat ini yang cenderung tetap mendukung PPP. Atau mungkin lebih tepat dikatakan bahwa Jam’iyyah Ahl Al-Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdhiyah telah menjadi benteng terakhir untuk orang NU yang tetap ingin berpolitik. Kyai yang paling vokal menentang keputusan Situbondo, Kyai Syamsuri Badawi dari Tebuireng, memainkan peranan sentral dalam Jam’iyyah (walaupun ia sebelumnya tidak dikenal sebagai guru tarekat). Dan politikus NU yang paling berpengalaman, Idham Chalid, aktif juga di Jam’iyyah setelah ia digeser dari kepemimpinan NU pada muktamar Situbondo.
Tarekat-tarekat di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami perkembangan pesat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Salah satu faktor penyebabnya adalah perubahan sosial yang terjadi, di mana proses modernisasi diiringi pula oleh memudarnya ikatan sosial tradisional, telah menimbulkan kekosongan emosional dan moral. Tarekat dan aliran mistisisme lain telah mampu memenuhi kebutuhan yang dirasakan orang banyak tersebut. Organisasi informal seperti itu menawarkan suasana emosional dan spiritual yang semakin sulit dicari dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, proses depolitisasi Islam beberapa dasawarsa ini mendorong umat tidak lagi menaruh perhatian pada cita-cita politik Islam tetapi kepada pengalaman ruhani dan akhlaq pribadi. Perkembangan ini turut pula menambah popularitas tarekat. Walaupun suburnya perkembangan tarekat untuk sebagian disebabkan oleh depolitisasi Islam, namun sebagai akibat potensi politik tarekat – dalam arti terbatas, tentunya – menjadi semakin nampak.
Jumlah pengikut seorang guru tarekat rata-rata jauh lebih banyak daripada pengikut kyai lainnya, dan pengaruhnya terhadap pengikutnya lebih besar. Karena gudang suara yang digenggamnya, kyai tarekat mempunyai posisi tawar menawar (dengan aparat pemerintahan atau dengan partai politik) yang kuat. Peranan mantan politisi NU dalam Jam’iyyah Ahl Al-Thariqah dapat dipandang sebagai salah satu gejala depolitisasi – tetapi juga sebagai indikasi potensi politik wadah-wadah kaum tarekat.