Salah satu peran tarekat itu adalah menjaga hati agar terus-menerus selalu mengingat Allah Ta’ala.. Antara waktu subuh sampai dhuhur, dhuhur sampai ashar, ashar sampai maghrib, maghrib sampai isya’ dan dari isya’ sampai subuh kembali. Begitu secara terus-menerus, hingga kita merasa mampu selalu berada di dekat Allah. Tarekat dimungkinkan untuk menjaga diri kita dari kemungkinan berbuat maksiat.
Patut diketahui, tarekat tidak bisa lepas dari yg namanya istighfar, shalawat, dan dzikir. Itu semua yg ditalqinkan (diajarkan langsung) Baginda Nabi Saw. kepada para sahabat juga para tabiāin. Sedangkan mu’amalah (amalan lahiriah) orangĀ² tarekat selalu menekankan untuk meningkatkan kedekatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya.
Sekaligus agar mu’amalah itu juga bisa membuat penganutnya makin teguh memegang kitabullah dan sunnah Rasul. Salah satu tanda yg akan tampak dari para penganut tarekat di antaranya, tidak melepaskan sunnahĀ² muakkad seperti qabliyah, ba’diyah, Dhuha, Tahajjud, dan dzikir. AmalanĀ² seperti itu menjadi amalan yg sering diamalkan penganut tarekat.
Seseorang yg mengamalkan tarekat, akan memperlihatkan peningkatan nilaiĀ² akhlak, adab, dan budi pekerti. Baik dalam hubungannya kepada Allah Taala, Rasulullah Saw., maupun kepada sesama hamba Allah. Para awliya’ (Waliyullah), para ulama, termasuk dengan sesama kita. Bahkan, tidak cukup sampai di situ. Kepada binatang pun mereka mempunyai kepedulian.
Satu contoh, ketika kita lewat, kebetulan ada binatang sedang makan sisa makanan manusia. Bagi seorang penganut tarekat, ia tak akan mengganggu binatang yg sedang makan tersebut, dengan harus lewat di jalan itu. la lebih suka mengalah mencari jalan lain agar tak mengganggunya. Artinya, kita tidak ingin memutuskan nikmat yg telah Allah berikan pada binatang tersebut. Coba hargai mereka yg sedang mendapat nikmat dari Yang Maha Kuasa. Kalau kita berhenti sejenak atau memutar sedikit, apa sih salahnya. Berikanlah mereka haknya dalam menerima kenikmatan tersebut. Inilah adab dan akhlak yg harus selalu dijaga, bukan saja kepada Allah, Rasul, dan awliya’, binatang pun kita hargai.
Habib Luthfi bin Yahya dalam rubrik Al Kisah