Dilihat dari segi apapun, alam semesta ini memiliki wujud, karena ia dapat kita lihat dan rasakan. Bukti keberadaan kita di dunia ini dan tinggal di dalamnya merupakan bukti konkret bahwa alam ini memiliki wujud. Sehingga tidak mengherankan apabila sebenarnya al-Rānīrī memberikan nama wujud bukan hanya untuk Allah, tetapi juga untuk selain-Nya misalnya alam dan manusia.
Table of Contents
Pengertian Wujud
Dalam memahami istilah wujud yang dikemukakan oleh Nūr al-Dīn al-Rānīrī, terlebih dahulu harus dipahami dahulu istilah wujud itu sendiri. Kata wujud biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan ‘being’ atau ‘existance’. Adapula sebagian peneliti yang menerjemahkan dengan kata finding. Adapun kata wujud sudah menjadi bahasa Indonesia, akan tetapi ia mempunyai dua cara penulisan; ‘wujud’ (dengan w), dan ‘ujud’ (tanpa w).
Kata wujud, bentuk masdar dari kata wajada atau wujida. Kata ini tidak terdapat dalam al-Qur’an. Padanan kata masdar dari kata di atas di dalam al-Qur’an ditulis dengan kata wujd seperti dalam Surat al-Ṭalāq [65] ayat 6), yang berbunyi:
Sedangkan bentuk fi’il dari kata yang sama banyak terdapat dalam Kitab Suci umat Islam ini, seperti dalam Surat Ali ‘Imrān [3] ayat 37, yang berbunyi:
dan Surat al-Kahfī [18] ayat 86 yang berbunyi:
dan lain sebagainya.
Kata wujud tidak hanya mempunyai pengertian obyektif, tetapi juga subyektif. Dalam pengertian obyektifnya, kata wujud adalah masdar dari wujida, yang berarti ‘ditemukan’. Dalam pengertian inilah kata wujud biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan ‘being’ atau ‘existence’. Dalam pengertian subyektifnya, kata wujud adalah masdar dari kata wajada yang berarti ‘menemukan’. Dalam pengertian kedua ini, kata wujud diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘finding’.
Menurut Kautsar Azhari Noer, kata wujud memiliki pengertian subyektif dan obyektif. Pengertian subyektif dalam kata wujud memiliki kandungan aspek epistemologis, sedangkan pengertian obyektif dalam kata wujud memiliki kandungan aspek ontologis. Dalam konteks pemikiran wujud al-Rānīrī, kedua aspek tersebut terjalin secara harmonis dan serasi. Sehingga, akan kita dapati bahwa wujud dalam pengertian al-Rānīrī, sebenarnya mirip dengan konsep wujud yang dikemukakan Ibn ‘Arabī, yaitu bahwa pembahasan tentang hubungan wujud Tuhan dan alam berjalan secara harmonis dan serasi.
Adapun yang dimaksud aspek ontologis dan epistemologis menyatu secara harmonis adalah bahwa pada satu sisi, wujud atau lebih tepatnya satu-satunya wujud, adalah wujud Tuhan sebagai Realitas Absolut, dan pada pihak lain wujud adalah ‘menemukan’ Tuhan yang dialami oleh Tuhan sendiri dan oleh pencarian rohani. Orang-orang yang ‘menemukan’ Tuhan dalam alam dan diri mereka sendiri disebut al-Rānīrī sebagai Ahl al-Kasyf dan Dzawq.
Ahl al-Kasyf dan dzawq dalam pengertian al-Rānīrī adalah orang-orang yang mengalami penyingsingan tabir yang memisahkan antara mereka dengan Tuhan, sehingga mereka menemukan-Nya dalam Tuhan dan diri mereka. Maka menjadi benar apa yang dikatakan oleh W.C. Chittick, bahwa wujud secara praktis berarti syuhud (menyaksikan). Baik wujud atau syuhud, keduanya adalah tajalli, penampakan diri Tuhan, dan keduanya mempunyai pengertian obyektif dan subyektif.
Wujud Menurut Sufi
Ṣūfi memakai istilah al-Ḥaqq dan al-Khalq untuk menyebut nama Tuhan dan alam. Dalam konteks ini al-Ḥaqq adalah Allah, Sang Pencipta, Yang Esa, Wājib al-Wujūd, dan Wujūd al-Mutlaq, sedangkan al-Khalq adalah alam, makhluk, yang plural, al-maujūdāt dan al-mumkināt.
Penulis akan melihat pandangan Ibn ‘Arabī tentang hubungan wujud antara Tuhan dan alam untuk merepresentasikan pandangan kelompok Ṣūfi. Ibn ‘Arabī mengatakan bahwa satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan; tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apa pun selain Tuhan tidak mempunyai wujud. Secara logis dapat diambil kesimpulan bahwa, kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan (mā siwā Allāh), alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya.
Namun demikian, Ibn ‘Arabī memakai pula kata wujud untuk menunjukkan segala sesuatu selain Tuhan. Tetapi ia menggunakannya dalam pengertian metaforis (majāzī) untuk tetap mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam, pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya.
Sebagaimana cahanya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada para penghuni bumi. Hubungan antara Tuhan dan alam sering digambarkan olehnya dengan hubungan cahaya dan kegelapan. Karena wujud hanya milik Tuhan, maka ‘adam (ketiadaan) adalah milik alam. Karena itu, Ibn ‘Arabī mengatakan bahwa wuud adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan.
Kembali lagi pada istilah al-Ḥaqq dan al-Khalq untuk menahami hubungan wujud Tuhan dan alam. Menurut Ibn ‘Arabī wujud dalam pengertian hakiki hanya milik al-Ḥaqq; segala sesuatu selain al-Ḥaqq tidak memiliki wujud. Oleh karena itu wujud hanya satu, yaitu al-Ḥaqq. Adapun mengenai kedudukan al-Khalq terhadap al-Ḥaqq, Ibn ‘Arabī mengatakan bahwa alam adalah penampakkan diri (tajalli) al-Ḥaqq dan dengan demikian segala sesuatu dan segala peristiwa di alam ini adalah entifikasi (ta‘ayyum) al-Ḥaqq.
Ibn ‘Arabī menggunakan simbol matahari dan cahayanya untuk menjelaskan hubungan ontologis antara al-Ḥaqq dan al-Khalq. Ia mengatakan;
Maka setiap mawjūd adalah cahaya dari cahaya matahari kekuasaan. Cahaya matahari serta matahari tidak mempunyai ‘tingkat kesertaan’ (rutbat al- ma’īyah), tetapi ‘tingkat kelilinan’ (rutbat al-syamsīyah). Maka ketahuilah realitas demikian itu, niscaya engkau akan memahami bahwa setiap sesuatu pada waktu yang bersamaan hancur. Kehancuran segala sesuatu dalam keadaan wujudnya diumpamakan seperti kehancuran nyala api lilin ketika ia membakarnya. Perumapaan ini hanyalah untuk mendekatkan pemahaman yang sebenarnya bagi pemula karena pemahaman itu masih menjauhkan kehancuran sesuatu dalam keadaan wujudnya. Adapun kehancuran segala sesuatu dalam pandangan orang yang tenggelam dalam mencari realitas, maka baginya arti kehancuran itu sangat halus yang tidak apat dilihat. Ahlinya mengenalnya dengan simbol, isyarat dan rasa.
Perumpamaan di atas melukiskan bahwa cahaya matahari seperti nyala api lilin yang seolah-olah tetap ada ketika menyala. Maka kita melihat api yang tetap ada. Tetapi sebenarnya mata kita tertipu. Sebenarnya nyala api muncul dan lenyap. Setiap kali ada nyala baru, yang kemudian hilang, disusul oleh nyala api yang lain, yang kemudian juga hilang dan kemudian disusul oleh nyala api yang lain pula, dan seterusnya.
Demikian pula halnya alam, yang kita lihat mempunyai wujud. Wujudnya datang dan hilang, menjadi dan hancur, secara terus menerus. Pelukisan ini sesuai dengan teori ‘penciptaan baru’ (khalq jadīd), yaitu Tuhan menciptakan alam secara terus menerus setiap saat. Perumpamaan ini digunakan Ibn ‘Arabī untuk menyatakan satu-satunya pemilik hakiki wujud yang ‘dipancarkan’-Nya kepada alam, laksana matahari memancarkan cahayanya.
Selain menggunakan ilustrasi matahari dan cahayanya untuk mengggambar- kan hubungan wujud Tuhan dan alam, Ibn ‘Arabī juga menggunakan ilustrasi cermin. Al-Khalq adalah cermin bagi al-Ḥaqq dan al-Ḥaqq adalah cermin bagi al- khalq. Perumpamaan bahwa al-khalq adalah cermin bagi al-Ḥaqq mempunyai dua fungsi; pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam dan kedua, untuk menjelaskan bagaimana munculnya yang banyak dari Yang Esa dan hubungan ontologis antara keduanya.
Tentang fungsi pertama, yaitu menjelaskan sebab penciptaan alam, dapat dikatakan bahwa al-Ḥaqq (Tuhan) mempunyai sifat senang ‘melihat diri-Nya’ (al- tarā’i). Agar dapat ‘melihat diri-Nya’, maka al-Ḥaqq menciptakan al-khalq (alam); ‘cermin’ (mir’ah). Dalam konteks ini, pertanyaann; kenapa Tuhan menciptakan alam? dapat dijawab dengan; ‘Karena Tuhan ingin melihat diri-Nya’.
Tujuan Tuhan menciptakan alam bukan hanya untuk melihat diri-Nya, tetapi juga untuk memperlihatkan diri-Nya. Di samping ingin mengenal diri-Nya, Dia ingin memperkenalkan diri-Nya lewat alam. Dia adalah ‘harta simpanan tersembunyi’ (kanzun makhfi) yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Ide ini sesuai dengan hadis Nabi Saw. yang menyatakan bahwa Tuhan adalah harta simpanan tersembunyi yang tidak dikenal, karena itu Dia ingin dikenal. Maka Dia menciptakan makhluk dan memperkenalkan diri-Nya kepada mereka. Lalu mereka mengenal-Nya.
Tentang fungsi kedua, yaitu menjelaskan munculnya yang banyak dari Yang Esa dan hubungan antara keduanya, dapat dikatakan bahwa ‘Yang Melihat’, yaitu
al-Ḥaqq (Tuhan), adalah satu, tetapi bentuk atau gambar-Nya banyak sebanyak cermin tempat bentuk atau gambar itu terlihat. Kejelasan gambar pada cermin tergantung pada kualitas kebeningan cermin. Cermin yang lebih bening akan memantulkan gambar yang lebih jelas dan sempurna. Manusia adalah cermin yang paling sempurna bagi bagi al-Ḥaqq karena manusia memantulkan keseluruhan nama-nama dan sifat-sifat al-Ḥaqq pada dirinya, sedangkan makhluk-makhluk lain memantulkan hanya sebagiann nama-nama dan sifat-sifat itu. Di antara manusia yang paling sempurna kualitasnya adalah para nabi. Puncak kesempurnaan kualitas cermin itu terdapat pada ‘Cermin Muḥammad (al-mir’ah al-muḥammadīyah), yaitu disebut ‘manusia sempurna’ (al-insān al-kāmil), karena ia memantulkan keseluruhan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan secara sempurna.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Ibn ‘Arabī mengumpamakan alam sebagai cermin tempat Tuhan melihat diri-Nya. Cinta untuk melihat diri-Nya adalah sebab penciptaan alam. Al-Ḥaqq ingin melihat entitas nama-nama dan sifat-sifat- Nya, maka Dia menciptakan alam. Alam adalah cermin Tuhan untuk melihat-Nya. Dapat pula dikatakan bahwa alam adalah alamat atau tanda untuk mengetahui Tuhan. Alam dalam bahasa Arab adalah al-‘ālam dan alamat atau tanda adalah ‘alamah. Al-‘Ālam dan ‘alamah keduanya sama berasal dari akar yang sama; ‘l m, yang daripadanya pula berasal kata ‘ilm, yang berarti pengetahuan. Kata lain yang searti dengan ‘alamah adalah āyah, yang juga berarti tanda. Alam, yaitu cermin dan tanda Tuhan, tidak akan ada tanpa tajallī-Nya.
Tajalli terjadi secara terus menerus tanpa awal dan tanpa kahir, ‘yang selama- lamanya ada dan akan selalu ada’ (al-dā’im alladzī lam yazal wa-lā yazāl). Tajalli adalah proses penampakan diri al-Ḥaqq, yang tidak dikenal secara absolut, dalam bentuk-bentuk yang lebih konkret. Tajalli tidak bisa terjadi kecuali dalam bentuk- bentuk nyata yang telah ditentukan dan dikhususkan.53 Karena itu tajalli tidak lain daripada penampakan diri al-Ḥaqq dalam bentuk-bentuk yang telah ditentukan dan dikhususkan ini. Penampakan diri ini disebut ta‘ayyun (entifikasi).
Tuhan melakukan tajalli dalam bentuk-bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Bentuk-bentuk itu tidak ada yang sama dan tidak pernah dan tidak akan terulang secara persis sama. Semuanya terjadi dalam perubahan terus menerus tanpa berhenti. Ibn ‘Arabī mengatakan, apa yang terdapat dalam alam berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Alam ini temporar berubah setiap saat. Demikian pula alam nafas berubah pada setiap nafas dan alam tajalli berubah pada setiap tajalli. Hal ini menunjukkan bahwa setiap ciptaan Tuhan adalah baru setiap saat karena alam menjadi dan hancur, datang dan hilang, setiap saat secara terus-menerus selama-lamanya.
Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut Ibn ‘Arabī dan kelompok Ṣūfīyah terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara wujud Tuhan dan wujud alam. Wujud Tuhan (al-Ḥaqq) adalah absolut, sedangkan alam pada hakikatnya tidak memiliki wujud. Karena wujud alam tidak lain daripada wujud pinjaman dari wujud Tuhan. Wujud Tuhan (al-Ḥaqq) adalah terdahulu (qadīm), sedangkan alam adalah muḥdats, baru, diciptakan, dan berubah-ubah, dan bersifat temporar.
Wujud Menurut al-Rānīrī
Kata wujud digunakan oleh al-Rānīrī secara khusus untuk menyebut wujud Allah atau hakikat wujud Allah. Al-Rānīrī mengatakan di dalam Ḥujjat al-Ṣiddīq sebagai berikut:
Wujud adalah dzat, yaitu keadaan sesuatu (syay’). Artinya diri sendiri. Maka dzat itu ada kalanya kelihatan dengan mata kepala, tetapi menetapkan ada ‘aql dan syara’ atau kasyf dan dzawq. Ia itulah wujud hakiki Allah.
Perkataan al-Rānīrī di atas menyatakan bahwa menurutnya wujud terbagi menjadi dua, yaitu; wujud yang dapat dilihat dengan mata kepala dan wujud yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala, namun dapat ditetapkan keadaannya atau keberadaannya oleh akal manusia, tuntunan agama (syara‘) atau melalui kasyf (penyingkapan batin atau spiritual) dan dzawq (rasa).
Pada perkataan terakhir al-Rānīrī dalam kutipan di atas dinyatakan bahwa sebenar-benar wujud atau wujud yang hakikat adalah wujud yang selama ini atau sekarang tidak bisa kita lihat dengan mata kepala namun dapat ditetapkan keberadaan-Nya melalui instrumen lain (akal, syara’, kasyf, dan dzawq). Wujud hakiki ini tidak lain adalah wujud Allah. Oleh karena itu, alam semesta yang secara kasat mata memiliki wujud hakiki yang dapat dilihat mata kepala pada hakikatnya ia tidak memiliki wujud.
Perkataan di atas mengindikasikan bahwa menurutnya satu-satunya wujud adalah wujud Allah; tiada wujud selain wujud-Nya. Ini artinya selain wujud Allah, seperti alam, manusia dan makhluk lainnya (mā siwā Allāh), semuanya tidak mempunyai wujud. Secara logis dapat diambil kesimpulan, kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Allah.
Walaupun al-Rānīrī mengatakan bahwa wujud selain Allah pada hakikatnya tidak memiliki wujud, namun dalam beberapa kasus dalam Ḥujjat al-Ṣiddīq, ia mengatakan bahwa alam memiliki wujud tetapi ia bersifat baru (muḥdats). Sehingga dengan nada dan pengertian lain dapat dikatakan pula bahwa perkataan al-Rānīrī tentang wujud hakiki Allah sebagaimana disebut di atas, tidak lantas membuatnya mengatakan bahwa alam tidak berwujud.
Dilihat dari segi apapun, alam semesta ini memiliki wujud, karena ia dapat kita lihat dan rasakan. Bukti keberadaan kita di dunia ini dan tinggal di dalamnya merupakan bukti konkret bahwa alam ini memiliki wujud. Sehingga tidak mengherankan apabila sebenarnya al-Rānīrī memberikan nama wujud bukan hanya untuk Allah, tetapi juga untuk selain-Nya misalnya alam dan manusia.
Namun, ini yang perlu diperhatikan, bahwa menurut al-Rānīrī penggunaan kata ‘wujud’ yang dinisbatkan untuk selain Allah, digunakan dan diberikan dalam pengertian metaforis (majazī) dan tidak dalam pengertian sebenarnya (hakikī). Ini dilakukan al-Rānīrī untuk tetap mempertahankan argumen bahwa satu-satunya wujud hanya milik Allah, tidak untuk yang lain-Nya. Sedangkan wujud selain-Nya, pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wujud dalam konsep al-Rānīrī pada hakikatnya adalah satu, esa yaitu hanya wujud Allah dan alam tidak memiliki wujud mandiri.
Apabila diperhatikan, konsep wujud al-Rānīrī memiliki kesamaan dengan konsep wujud Ibn ‘Arabī. Akan tetapi apa yang dikatakan oleh al-Rānīrī bahwa wujud pada hakikatnya adalah esa, tidak dimaksudkan bahwa alam ini suatu sisi lahiriah dari hakikat-Nya yang batin, seperti yang dikatakan Ibn ‘Arabī.
Adapun yang dimaksud dengan perkataan al-Rānīrī adalah bahwa alam ini pada hakikatnya tidak ada; yang ada hanyalah wujud Allah yang esa. Kenyataan bahwa alam ini ada hanyalah sebagai sebutan persepsi (wahm) saja. Karena pada hakikatnya ia tidak ada, maka tidak dapat dikatakan ia berbeda atau bersatu dengan Allah. Oleh karena itu, walaupun al-Rānīrī mengatakan bahwa alam ini adalah tajalli Allah, namun berbeda konsep dan pemahaman dengan kelompok yang mengatakan mempunyai pemahaman panteisme bahwa wujud Tuhan dan alam itu menyatu menjadi satu.
Wujud Allah, kata al-Rānīrī, adalah wujud yang mutlak, bukan wujud muqayyad (terbatas), bebas dari segala ikatan sejak azalī sampai abadi. Wujud Allah adalah dzat-Nya yang berdiri sendiri, yang esa, yang tidak terdiri dari unsur-unsur, baik dalam kenyataan maupun dalam pikiran. Dzat Allah tidak terbilang, tidak terbatas, tidak semua dan tidak sebagian, tidak berhimpun dan bersuku, tidak khāṣ dan ‘ām, bukan substansi (jawhar), dan bukan aksiden (‘araḍ) dan tidak berjisim (memiliki anggota tubuh). Ia maha sempurna dari segala kekurangan, tidak berubah, tidak berkurang dan berlebih, baik sebelum alam ini dijadikan maupun sesudahnya. Dzat Allah tidak ada lawan dan perumpanaan, tidak berpindah-pindah dan bertukar-tukar, azali dan abadi.
Berikut adalah 3 tanggapan Syekh Nuruddin Ar-Raniri terhadap konsep wujud dari beberapa kelompok:
1. Tanggapan Terhadap Konsep Wujud Kelompok Mutakallim
Pembahasan di atas menyatakan bahwa menurut al-Rānīrī hakikat wujud hanya miliki Allah semata dan selain-Nya (mā siwā Allāh) tidak memiliki wujud. Kalaupun dapat dikatakan selain-Nya memiliki wujud, itu semua hanya sekadar kiasan (majazī), pinjaman, penampakan (maẓhar) atau bayang-bayang (ẓill) dari Allah.
Atas dasar pendapat itu pula, al-Rānīrī membagi kelompok wujud menjadi dua, yaitu kelompok Wujūdīyah Muwaḥḥid dan kelompok Wujūdīyah Mulḥid. Al- Rānīrī banyak memberikan tanggapan kepada kedua kelompok tersebut. Tanggapan al-Rānīrī terhadap kelompok Wujūdīyah Muwaḥḥid tercermin dalam tanggapannya terhadap kelompok Mutakallim dan kelompok Ṣūfīyah. Sedangkan tanggapannya terhadap kelompok Wujūdīyah Mulḥid tercermin dalam tanggapan-nya terhadap kelompok Falāsifah.
Berikut akan diuraikan beberapa tanggapan al-Rānīrī di dalam Ḥujjat al- Ṣiddīq kepada ketiga kelompok besar Islam, yaitu kelompok Mutakallim, kelompok Ṣūfīyah dan kelompok Falāsifah.
Mengenai tanggapan terhadap kelompok Mutakallim, al-Rānīrī menyebutkan dalam Ḥujjat al-Ṣiddīq sebagai berikut:
Kata Mutakallimin wujud itu dua perkara; pertama wujud Allah, kedua wujud alam. Maka wujud Allah itu wājib al-wujūd lagi qā’im sendiri-Nya dan wujud alam itu mumkin al-wujūd, yakni dijadikan Ḥaqq Ta’ala daripada ‘adam (tidak ada) kepada wujud khāriji (wujud empiris), lagi ia qā’im dengan Ḥaqq Ta’ala. Maka jadilah hakikat keduanya berlain-lain karena Ḥaqq Ta’ala itu qadīm lagi menjadikan, dan alam itu muḥdats (baharu) lagi dijadikan. Maka nyatalah pada istilah mereka itu bahwa wujud itu dua perkara; suatu wujud hakiki, kedua wujud majazi. Maka wujud majazi itu miliki bagi wujud hakiki. Maka jikalau tiada berlainan keduanya niscaya jadilah bersatu. Maka barang siapa mengi’tiqadkan bahwa Ḥaqq Ta’ala dengan alam itu esa, maka jadilah ia kafir, karena ketahuan daripada perkataan yang demikian itu bahwa wujud Allah dan alam jadi satu hakikat dan sewujud.
Pada ungkapan di atas, al-Rānīrī menyatakan bahwa para Mutakallim menganut paham dualitas tentang wujud ini; wujud Allah dan wujud alam yang sangat berbeda hakikatnya. Wujud Allah adalah hakiki, sedangkan wujud alam majazi yang dijadikan dari tiada. Karena itu, mengatakan bahwa kedua wujud ini identik, maka orang menjadi kafir. Pendapat ini kata al-Rānīrī, didasarkan pada argumentasi naql dan ‘aql.
Berdasarkan argumentasi ‘aql, alam ini adalah baru karena selalu berubah, sedangkan berdasarkan argumentasi naql dan kasyf (penyaksian mata hati) wujud Allah adalah qadīm. Atas dasar ini, Mutakallim menetapkan wujud Allah sebagai wājib al-wujūd (wujud yang mesti ada) dan wujud alam sebagai mumkin al-wujūd (wujud yang mungkin). Nisbah hubungan antara dua wujud ini adalah seperti hubungan Khālik dan makhluk. Karena itulah mereka mengatakan perbedaan dua macam wujud tersebut sangat mendasar supaya tidak timbul salah paham dalam kalangan orang awam bahwa wujud Allah dan alam adalah satu. Pendirian dan alasan para Mutakallim tersebut diakui kebenarannya oleh al-Rānīrī dan karena itu ia dapat menerimanya.
2. Tanggapan Terhadap Konsep Wujud Kelompok Sufiyah
Setelah al-Rānīrī menyetujui konsep wujud yang dikemukakan oleh kelompok Mutakallim, sebenarnya ia lebih cocok atau cenderung kepada pendapat ahli Ṣūfi yang berlawanan dengan itu. Al-Rānīrī mengatakan dalam Ḥujjat al- Ṣiddīq sebagai berikut:
Bahwa kami pun kabulkan akan i’tiqad dan perkataan Mutakallim itu. Adapun istilah kami bahwa wujud itu esa jua, yaitulah dzat Allah Ta’ala, dan alam itu tiada berwujud, dan tiada layak dinamai akan dia dengan nama wujud. Karena ia ‘adam al-maḥḍ (tiada mutlak). Maka apabila adalah alam itu ‘adam al-maḥḍ dan wujud Ḥaqq Ta’ala itu wujūd al-maḥḍ (wujud mutlak), maka manakah jadi sewujud ‘adam al-maḥḍ dengan wujūd al-maḥḍ. Maka wujud Ḥaqq Ta’ala dengan alam berlainan pun tiada dan bersuatu pun tiada, karena berlainannya dan bersuatu itu menghendaki dua wujud mustaqil (wujud tersendiri) sendirinya. Maka apabila adalah wujud Allah jua yang esa, dan alam itu tiada berwujud, maka tiadalah jadi berlain-lainan. Daripada karena inilah kamu kata wujud Allah dengan alam esa. Jikalau ada alam itu maujud kelihatan sekalipun tetapi tiada kebilangan wujudnya dari karena ia tiada berwujud hakiki.
Ungkapan di atas jelas menunjukkan bahwa al-Rānīrī memiliki dua pendapat yang saling berbeda dalam masalah wujud. Pendapat pertama menyetujuan pandangan Mutakallim yang menyatakan terdapat dualitas wujud, yaitu wujud Allah dan wujud alam, dan kedua pendapat yang para Sufi yang mengatakan bahwa hanya terdapat satu wujud hakiki yaitu Allah semata. Ini berarti bahwa apa yang sebelumnya dikatakan bahwa orang menjadi kafir jika beri’tiqad bahwa ‘Ḥaqq Ta’ala dan alam itu esa’, maka sekarang pernyataan itu tidak lagi dianggap kufur, malah ia sendiri dengan tegas mengatakan, ‘karena inilah kami kata wujud Allah dan alam esa’. Untuk menguatkan pendapat ini, al-Rānīrī mengajukan alasan di dalam Ḥujjat al-Ṣiddīq sebagai berikut:
Adapun pendapat Ahli Sufi itu pun dengan dalil akal dan naqal (wahyu) jua, lagi ditambah pula kasyf dan dzawq (pengalaman batin). Maka ditilik mereka itu dengan mata hatinya dan dirasanya dengan perasaannya bahwa wujud itu esa jua, yaitu lah wujud Allah yang tiada kelihatan dengan mata kepala dalam Dar al-Dunya ini; dan yang kelihatan dengan mata kepala itu yaitu alam yang tiada berwujud seperti wujud Allah. Maka wujud Allah itu wujud hakiki lagi mutlak, dan wujud alam itu wujud majazi lagi muqayyad (relatif)—ẓill—dan milik bagi wujud Allah. Maka akan ẓill (bayangan) itu tiada dapat dikata akan dia wujud, dan tiada dapat dikata akan dia ‘adam al-muṭlak; dari karena jika dikata akan dia wujud niscaya sekutulah ia dengan wujud Allah; dan jika dikata akan dia ‘adam al-muṭlak, maka ‘adam itu tiada ada sesuatu syay’ jua pun, dan alam itu ada kelihatan. Maka nyatalah alam itu maẓhar wujud Ḥaqq Ta’ala. Maka nisbah antara wujud Allah dan alam itu bersatu pun tiada dan berlainan pun tiada karena alam itu maẓhar dan milik bagi Ḥaqq Ta’ala.
Demikian pendapat Ahli Sufi yang diperkuat oleh al-Rānīrī dengan dalil wahyu dan kasyf tentang kebenaran paham monisme dalam masalah wujud, dalam arti bahwa wujud Allah adalah wujud yang esa lagi hakiki, sedangkan alam ini merupakan wujud bayangan atau maẓhar (tempat kenyataan) bagi Allah. Tampaknya al-Rānīrī berkeberatan untuk menerima pernyataan bahwa alam mempunyai wujud yang terletak di bawah martabat wujud Tuhan yaitu terdapat dua pembagian wujud; wājib al-wujūd dan mumkin al-wujūd, seperti yang dikatakan Mutakallim, karena pengertian wujud yang demikian itu dapat membawa kepada kepercayaan adanya dua jenis wujud yang akhirnya akan jatuh ke dalam syirik. Al- Rānīrī lebih cenderung menamakan alam dengan bayangan atau maẓhar dalam arti tidak memiliki wujud, sehingga keesaan Allah dalam wujud dapat dipelihara.
Di sini kelihatan dengan jelas upaya kompromi yang telah diusahakan oleh al-Rānīrī dengan mengalihkan makna syirik dari pengertian teologis, seperti yang umum dianut dalam kalangan Mutakallim, kepada pengertian ontologis seperti umum dianut dalam kalangan para sufi. Upaya mempertemukan dua konsep yang berlawanan sering tidak terlepas dari kesukaran dan kejanggalan.
Hal ini dapat kita lihat pada nama yang diberikan al-Rānīrī kepada alam ini yaitu ‘adam al-muḥḍ atau ‘adam al-muṭlak yang ternyata bertentangan dengan apa yang disebutnya alam ini sebagai maẓhar dan bukan ‘adam al-muṭlak. Tampaknya kontradiksi ini muncul dari suatu dorongan keinginan keagamaan al-Rānīrī untuk memperlihatkan suatu perbedaan esensial antara wujud Tuhan dan alam. Pendapat al-Rānīrī ini pula sekaligus sebagai bantahan terhadap konsep wujud Ḥamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumaṭrānī yang memiliki pandangan kesatuan wujud antara Tuhan dan alam.
Sebenarnya al-Rānīrī sendiri menyadari bahwa apa yang dianut oleh ahli sufi dalam masalah ketuhanan seperti yang tersebut di atas memang berbeda dengan pendapat yang dianut dalam kalangan Mutakallim. Akan tetapi ia memandang bahwa perbedaan itu hanya lahiriyah saja, tidak menyentuh hakikat atau substansi. Al-Rānīrī mengatakan dalam Ḥujjat al-Ṣiddīq sebagai berikut:
Maka ikhtilaf ikhtiar Mutakallim dan ahli sufi pada menyebabkan wujud Allah dengan wujud alam itu ikhtilaf lafzi jua, bukan maknawi, seperti kata orang lima belas dengan tengah dua puluh [maksudnya; tiga puluh, pen.]. Maka pada maknanya sama jua dan pada lafaznya berlain-lain.
Usaha al-Rānīrī memperkecil jurang perbedaan antara Mutakallim dan ahli Sufi dengan memberikan contoh yang sangat sederhana itu tidaklah dapat menghilangkan keyakinan orang bahwa perbedaan itu memang sangat mendasar. Para Mutakallim sangat menyadari bahwa alam ini adalah suatu realitas yang tidak dapat disangkal walaupun memang wujudnya tidak tersendiri dari Allah yang telah menciptakannya. Perbedaan Allah dengan alam ini lebih bersifat perbedaan antara khalik dan makhluk, perbedaan sebab dengan akibat, bukan perbedaan wujūd al- maḥḍ (wujud mutlak) dan ‘adam al-maḥḍ (tiada mutlak).
Tampaknya al-Rānīrī berpendapat bahwa pada hakikatnya tidak ada perbedaan pendapat antara Mutakallim dan Sufi tentang wujud ini, dan apa yang diajarkan oleh Mutakallim tentang dualisme dalam wujud hanya ditujukan untuk konsumsi orang awam, sedangkan untuk orang khusus yang ke dalamnya juga termasuk para Mutakallim dan para Sufi, maka akidah yang benar adalah monisme atau paham keesaan wujud. Untuk orang awam, paham ini tidak dibenarkan, bahkan dikafirkan. Hal ini menunjukkan bahwa kendatipun al-Rānīrī seorang sufi, ia tidak dapat membebaskan diri dari pengaruh ajaran Mutakallim dan malah ia berusaha memperlihatkan dirinya sebagai wakil dari dua golongan tersebut dengan menghilangkan atau memperkecil perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam kalangan mereka.
Namun demikian cukup disadari bahwa apa yang dikatakan oleh Mutakallim tentang hakikat alam ini sebagai suatu yang mungkin dari segi dzatnya (mumkin li- dzātihi) dapat dengan mudah mendorong sementara orang untuk berkesimpulan bahwa alam ini pada hakikatnya memang tidak ada. Selagi wujudnya bergantung pada yang lain, maka statusnya lebih merupakan bayang-bayang yang tidak memiliki apa-apa. Seandainya ada wujud, maka wujud itu tidak lebih dari wahm atau khayalan belaka.
Tampaknya kesimpulan ini diterima sebagai suatu kebenaran karena dapat dikukuhkan oleh pengalaman keruhanian atau kasyf dari sementara orang-orang sufi yang telah mencapai tingkat fana atau ekstase. Pada tingkat ini, mereka menyaksikan dengan mata ruhani akan keesaan wujud, yakni Allah Ta’ala, dan mereka jadikan pengalaman ini sebagai tauhid hakiki. Sedangkan syirik diartikan dengan kepercayaan kepada banyak wujud atau dualisme atau pluralisme. Pendapat di atas menjelaskan kepada kita bahwa al-Rānīrī menyetujui pandangan kelompok Mutakallim dan Ṣufīyah dalam masalah wujud.
3. Tanggapan Terhadap Konsep Wujud Kelompok Falasifah
Berbeda dengan tanggapan al-Rānīrī yang menerima konsep wujud kelompok Mutakallim dan Ṣūfīyah, tampaknya ia sangat keberatan dengan konsep wujud yang dikemukakan oleh kelompok Falāsifah. Bahkan ia menganggap kelompok Falāsifah sebagai kelompok yang telah keluar dari ajaran agama Islam atau zindik. Al-Rānīrī mengatakan di dalam Ḥujjat al-Ṣiddīq sebagai berikut:
Dan madzhab Falāsifah, kata Ṭā’ifah Ḥukamā Falāsifah, bahwa wujud Allah dan alam keduanya qadim, karena ia terbit daripada wujud Allah dengan ta’tsir-nya tiada dengan ikhtiar Ḥaqq Ta’ala, seperti keluar panas matahari daripada zat matahari. Maka tiadalah kuasa matahari menahan panas selama ada matahari adalah panasnya. Dan lagi selama zat Allah adalah alam tiada bercerai dan tiada tanggal daripada zat Allah daripada zal datang kepada abad, berhubung dan bertemu selama-lamanya. Dan lagi pula katanya bahwa Allah Ta’ala tiada kuasa sesuatu dan tiada kuasa menjadikan sesuatu yang lain daripada sudah keluar daripada-Nya dan tiada ia kuasa pada menghubungkan alam yang sudah ada ia. Dan lagi pula katanya bahwa tujuh petala langit dan tujuh petala bumi tiada dijadikan Allah Ta’ala akan keduanya daripada tiada kepada ada lagi baqa abadi. Dan lagi pula katanya bahwa minta tolong kepada Allah mempusakai nuqsan dan ‘abdun itu senantiasa dalam limpah tolong jua. Adapun faidah berbuat ibadah itu menjadikan diri serupa dengan Allah sekira-kira kuasa dan lagi pula katanya bahwa Allah Ta’ala jua asyik dan yang ma’syuk akan diri-Nya. Maka adalah segala perkataan dan i’tiqad mereka itu ḍalālah lagi kafir.
Kutipan dari pernyataan al-Rānīrī di atas menunjukkan bahwa ia menganggap sesat pendapat kelompok Falāsifah yang menurutnya menyamakan antara wujud Tuhan dan alam. Di mana menurut Falāsifah, antara wujud Tuhan dan alam keduanya sama-sama qadīm, yang berarti bahwa wujud alam ini sama dengan wujud Tuhan dilihat dari segi ekistensinya. Jelas pendapat ini, mengganggu pikiran al-Rānīrī yang sedari awal hanya mempercayai hanya ada wujud Tuhan saja yang hakiki.
Menurut pandangan al-Rānīrī, pandangan Falāsifah ini akan menjerumus pada pandangan panteisme. Yaitu Tuhan dan alam merupakan suatu hakikat yang tidak dapat dipisahkan, bukan saja dalam martabat ilāhīyah, tetapi dalam dunia empiris ini. Dengan perkataan lain, Tuhan berada dalam kandungan (immanent) alam ini.
Pernyataan Falāsifah di atas juga dapat terjerumus pada pandangan tasybīh, yaitu benar-benar menyamakan Tuhan dengan mahkluk-Nya baik dari segi dzat, sifat, atau perbuatan-Nya dan bahkan seolah-olah tidak ada perbedaan esensial di antara keduanya. Al-Rānīrī sangat menentang pandangan Falāsifah karena dapat berujung pada pandangan ḥulul dan ittiḥād. Di mana kedua pandangan ini sangat rentan terdapat tindak penyelewengan akidah dan syariat Islam yang berujung pada terjadinya tidak melakukan salat karena alasan sudah menyatu dengan Tuhan dan lain sebagainya. Tidak mengherankan apabila al-Rānīrī merasa memiliki kewajiban teologis untuk membenarkan setiap ajaran dan paham keagamaan yang menurutnya tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pembahasan Tentang Wujūdīyah Muwaḥḥid dan Wujūdīyah Mulḥid
Setelah al-Rānīrī membuat tentang konsep wujud yang sebenarnya, yaitu hanya wujud Allah semata, kemudian ia mengatakan bahwa dalam pembahasan masalah wujud, terdapat dua macam kelompok. Pertama kelompok yang dinamainya sebagai kelompok Wujūdīyah Muwaḥḥid dan kedua kelompok Wujūdīyah Mulḥid. Kelompok pertama adalah kelompok yang memiliki pemahaman masalah wujud yang tidak berimplikasi pada menyekutukan Allah dan tidak menyamakan Tuhan dan makhluk-Nya. Dengan kata lain kelompok pertama ini sebagai kelompok yang mempunyai pemahaman tauhid, sehingga disebut dengan Muwaḥḥid.
Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang memiliki pemahaman masalah wujud yang berimplikasi akan menyekutukan Allah dan akan menyamakan Tuhan dan makhluk-Nya karena menganggap bahwa wujud Allah dan makhluk- Nya tersebut adalah identik, sama dan serupa. Oleh karena itu kelompok kedua ini disebut dengan kelompok yang ingkar terhadap keesaan Allah, sehingga disebut dengan Mulḥid.
Pandangan kelompok Wujūdīyah Mulḥid digambarkan oleh al-Rānīrī dalam Ḥujjat al-Ṣiddīq sebagai berikut:
Kata Wujūdīyah yang Mulḥid bahwa wujud itu esa; iaitulah wujud Allah. Maka wujud Allah yang Esa itu tiada ada ia mawjud mustaqil sendirinya yang dapat dibedakan melainkan dalam kandungan sekalian makhluk jua. Maka adalah makhluk itu wujud Allah dan wujud Allah itu wujud makhluk. Maka alam itu Allah dan Allah itu alam. Bahwasanya adalah mereka itu menyabitkan wujud Allah yang Esa itu dalam wujud segala makhluk; serta katanya tiada mawjud hanya Allah. Dan lagi dii’tiqadkannya pada ma’na kalimat lā ilāha illā Allāh ‘tiada ada wujudku hanya wujud Allah’. Maka dikehendakinya ma’nanya ‘tiada ada wujudku melainkan wujud Allah wujudku ini’. Dan lagi pula katanya; ‘Kami dengan Allah sebangsa dan sewujud’. Dan lagi pula katanya bahwa Allah Ta’ala ketahuan dzat-Nya dan nyata kayfiyat-Nya dan kammiyat-Nya daripada pihak ada ia mawjud pada khāriji pada zaman dan makan.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan ungkapan kelompok Wujūdīyah Mulḥid oleh al-Rānīrī adalah kelompok yang menganggap bahwa antara wujud Tuhan dan makhluk-Nya itu satu, sama atau identik. Ungkapan kelompok Wujūdīyah Mulḥid dianggap salah karena menurut mereka tidak ada wujud kecuali sesuatu yang dilihat manusia. Maka mereka menganggap bahwa alam adalah Allah dan Allah adalah alam. Oleh karena pendapat ini dalam pandangan al-Rānīrī tidak dapat diterima baik melalui argumentasi naql atau aql, maka ia mengatakan bahwa pendapat seperti ini dianggap sebagai pendapat yang sesat (ḍalālah) dan kafir.
Bahkan al-Rānīrī menganggap pendapat kelompok Wujūdīyah Mulḥid sama dengan pendapat ekstrimis Syi’ah yang menganggap bahwa Allah telah menjelma ke dalam tubuh ‘Alī bin Abī Ṭālib Ra, atau seperti pendapat kaum Yahudi bahwa Nabi Allah ‘Uzayr sebagai anak Allah seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Taubah [9] ayat 30:
Pendapat kelompok Wujūdīyah Mulḥid juga sama dengan pendapat kaum Nasrani yang menganggap bahwa Nabi Allah ‘Īsā bin Maryam adalah anak Allah seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Taubah [9] ayat 30:
atau pendapat yang mempercayai trinitas dalam diri Tuhan yaitu Allah, roh qudus, dan anak Allah sebagaimana dalam surat al-Mā’idah [5] ayat 73:
Al-Rānīrī memberikan perumpamaan yang baik terhadap orang yang menyamakan wujud Tuhan dan makhluk-Nya dengan mengutip pendapat dari syeikh ‘Alī bin al-Mahāimi;
Barang siapa yang mengi’tiqadkan akal dan nafs atau segala tabiat atau barang sebagaimana daripada segala bintang dan segala anasir dan hewan dan tumbuhan dan batu-batuan itu Ḥaqq Ta’ala dengan iktibar maẓhar-Nya, maka bahwasanya salahlah ia, seperti salah yang mengatakan tangan Zaid itulah Zaid. Dan jikalau ada tangannya itu daripada jumlah segala maẓhar-Nya sekalipun, apabila adalah salah i’tiqadnya pada mengatakan yang lain daripada Ḥaqq Ta’ala itulah Ḥaqq Ta’ala, maka jadilah ia kafir dan zindik.
Al-Rānīrī juga pernah mengkritik pendapat kelompok ini yang mengatakan bahwa nyawa manusia akan kembali bersatu dengan Tuhan seperti halnya ombak yang berasal dari laut akan kembali bersatu dengan laut. Ahmad Daudy mengutip pendapat al-Rānīrī sebagai berikut:
Dengar pula olehmu kata kaum Wujūdīyah Mulḥid pada menyatakan firman Allah; ‘yā ayyuha al-nafsu al-muṭma’innah, irji‘ī ilā robbuki rāḍiyatan marḍīyah’ yakni datang nafs mutmainnah itupun daripada Allah jua dan kembalinya pun kepadanya pula … seperti ombak daripada laut.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, kelompok Wujūdīyah yang Mulḥid adalah kelompok yang mengatakan bahwa wujud Tuhan adalah alam dan wujud alam adalah Tuhan. Al-Rānīrī menyalahkan pendapat demikian dan menyamakan pendapat demikian dengan kaum Yahudi dan Nasrani.
Adapun kelompok Wujūdīyah Muwaḥḥid dinyatakan al-Rānīrī dalam Ḥujjat al-Ṣiddīq sebagai berikut:
Kata Wujūdīyah yang Muwaḥḥid bahwa wujud Allah itu esa jua tiada berbilang dan tiada berhad dan tiada bersetengah dan tiada berhimpun dan tiada bersuku-suku dan tiada khas dan tiada ‘am dan tiada jawhar dan tiada jism serta demikian itu dijadikan segala perkara yang tersebut itu. Sahdan, bahwa wujud Allah itu sekali-kali tiada berubah dan tiada jadi segala perkara itu karena Dia al-ana kama kana, yakni adalah Dia sekarang seperti ada-Nya dahulu jua, yakni tatkala belum lagi dijadikan Ḥaqq Ta’ala segala perkara itu. Demikian lagi tatkala sudah dijadikan itu segala perkara itu, yakni bahwasanya wujud Allah itu tertentu pada zat-Nya jua sekali-kali tiada dijadikan ia wujud makhluk dan lagi makhluk itu sekali-kali tiada ia menjadi wujud Allah.
Al-Rānīrī mengatakan bahwa kelompok Wujūdīyah Muwaḥḥid adalah mereka yang mengi’tiqadkan bahwa kalimat lā ilāha illā Allāh berarti tiada wujud kecuali Allah, yakni yang diartikan sebagai lā wujūda li-syay’in ḥaqīqatun illā Allāh, artinya tiada wujud bagi suatu syai’ pada hakikatnya melainkan bagi Ḥaqq Ta’ala.
Perkataan di atas memiliki pengertian bahwa menurut al-Rānīrī bahwa sesungguhnya tidak terdapat wujud pada hakikatnya kecuali Allah; yaitu menafikan segala macam bentuk wujud selain-Nya dan hanya menetapkan wujud hakiki hanya bagi-Nya. Dalam pandangan kelompok Wujūdīyah Muwaḥḥid wujud semua makhluk adalah ẓill atau bayang-bayang lagi bersifat majazi, bukan wujud sebenarnya (hakiki). Adapun wujud majazi jika dibandingkan dengan wujud hakiki pada hakikatnya ia tidak ada (‘adam), lenyap, dan baru (muḥdats).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok Wujūdīyah Muwaḥḥid adalah kelompok yang secara tegas membedakan antara wujud Allah dan makhluk-Nya atau bahkan menganggap alam atau makhluk-Nya pada hakikat- nya tidak memiliki wujud sama sekali.
Sumber
Skripsi Bpk Moh. Kazin
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FALSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H./2018 M.
Pembimbing: Abuya Dr. Arrazy Hasyim, Ma.
Download PDF Skripsi: Download