Banyak orang yg jika mendengar kata “kemenyan” persepsinya langsung ke urusan mistis, horor, supranatural. Padahal jika Anda adalah orang yg tumbuh besar di kalangan tradisi Jawa apalagi yg “ndeso”, pasti akan menyaksikan kebiasaan orang tua dulu yg dikit² bakar menyan, nggak melulu urusan doa berdoa, tapi asal bau dikit, bakar menyan, ngusir nyamuk, bakar menyan, mau tidur, bakar menyan, merokok aja tuh tembakau dicampuri menyan, biar asapnya wangi katanya, itupun merokoknya kadang sambil buang air besar, lalu letak nilai mistisnya dimana coba?
Dan sejak orang sekarang mulai mengenal ilmu aroma terapi, ternyata diketahui bahwa, aroma kemenyan mempunyai efek menenangkan tapi sekaligus meningkatkan konsentrasi.
Unik ya, biasanya penenang itu bikin fly, tapi ini malah memicu meningkatnya konsentrasi. Pantas aja dulu sering digunakan untuk mendampingi orang saat berdoa atau ibadah, atau untuk wewangian jenazah, selain aroma tajam yg bisa menyamarkan kemungkinan bau dari jenazah, juga bisa menenangkan kerabat yg sedih tapi dengan tanpa merusak konsentrasinya, cara yg cerdas.
Namun yg terjadi sekarang banyak orang menjauhi kemenyan dengan alasan aqidah, tanpa memperhatikan bahwa “al-Lubban” yg sering digunakan Rasulullah Saw. untuk wewangian di rumah Beliau itu, ya kemenyan itu. al-Lubban itu bahasa Arab, dari jenis pohon gaharu yg bisa tumbuh di iklim Arab, bahasa Jawanya kemenyan dari jenis pohon gaharu yg bisa tumbuh di iklim Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Lubban atau kemenyan yg dari negeri kita ini memiliki karakteristik aroma lebih kuat dengan tekstur resin lebih keras dibanding dengan yg tumbuh di Arab Selatan, Yaman, India, China dan Afrika. Karena keras itu juga dalam sejarahnya Ibnu Sina pernah merekomendasikan kemenyan dari jawa ini untuk bahan penambal gigi. Makanya di Arab dikasih nama pembeda, “Lubban jawi”. Jawi itu bukan hanya merujuk tanah Jawa saja sebenarnya, tapi Bani Jawi, sebutan kuno bagi bangsa Nusantara.
Perdagangan kemenyan dari Nusantara ternyata sudah sangat lama, Lubban jawi teridentifikasi sampai ke Mesir sejak kurang lebih 5000 tahun yg lalu, tercatat dalam sebuah mural yg menggambarkan karung kemenyan di perdagangkan dari Tanah Punt menghiasi dinding kuil Mesir kuno Ratu Hatshepsut, yg meninggal sekitar tahun 1458 SM.
The Cambridge History of Africa juga menyatakan, bahwa para Firaun Mesir kuno mengimpor jenis kemenyan dari Indonesia bersama rempah². Kemenyan yg di impor terutama dari Jawa ini berasal dari getah Styrax (nama latin pohon kemenyan, gaharu).
Kemudian mengimpor juga kemenyan dari Arab yg jika dicampur dengan kemenyan Jawa akan menjadi bahan baku balsam untuk mengawetkan jenazah Firaun.
Sedangkan Herodotus, sejarawan Yunani, yg mencatat jenis² kemenyan termasuk jenis Lubban jawi, hidupnya di abad ke 5 SM. Namun dari catatan Herodotus, eksportir perdagangan kemenyan ke Eropa disebutkan oleh bangsa Arab bagian selatan. Tapi karena dari namanya menurut bahasa Arab yg merujuk ke istilah “Jawi”, maka kemungkinan para pedagang Arab membeli dari Nusantara, lalu dijual lagi sampai Yunani.
Kita ternyata bangsa yg “tua” juga ya, meskipun jika dari catatan sejarah Baros Sumatra sendiri, perdagangan kemenyan baru teridentifikasi dimulai abad 5 M.
Seperti kebiasaan, ketika terjadi interaksi perbedaan budaya, nama pun sering bergeser, al-Lubban dalam bahasa Arab ketika di Yunani disebut Olibanum. Sedangkan Lubban Jawi, bergeser jadi banja-i, kemudian gum benjamin dan sekarang orang Eropa biasa menyebutnya benzoin. Dalam ilmu kimia, untuk membedakan dengan benzoin, nama kimia senyawa hidroksi keton, kemenyan diberi nama Resin Benzoin atau Styrax Benzoin.
Jadi jika Anda menggunakan wewangian, parfum, atau aroma terapi, atau obat²an yg mengandung bahan berasal dari Resin Benzoin, maka ketahuilah itu adalah kemenyan.
Seperti yg terjadi di Milan Italia, Daniela Roche Andrier meramu Benzoin styrax oil (minyak kemenyan) menjadi parfum kelas dunia, dengan nama No.11 Cuir Styrax yg diluncurkan melalui House of Prada, harganya mahal banget, padahal itu hanya dari kemenyan, tradisi “Parfumnya Eyang”.