Ada sebuah peristiwa yg sampai saat ini masih saja membekas dalam ingatan tentang Habib Luthfi bin Yahya. Malam itu, ketika aku duduk berdesak-desak dengan para tamu yg memenuhi ruangan itu, tiba² Beliau menunjukkan kepada semua yg hadir, sesuatu yg di luar dugaan. Manakala beberapa orang tamu dari berbagai daerah tengah menyampaikan keluh kesah mereka, tanpa malu² Beliau membuka amplop yg bertebaran di atas meja. Dikeluarkan isinya. Lalu ditumpuk di atas meja.
Mula², aku merasa tak nyaman dengan pemandangan itu. Sebab, isi amplop itu semuanya lembaran uang. Ada yg berwarna merah, ada pula yg berwarna biru. Semua uang itu tak lain berasal dari pemberian secara cuma² dari para tamu. Itulah yg membuatku agak risih. Rasanya kok seperti kurang etis jika hal itu dilakukan di hadapan para tamu yg ada di situ.
Semua isi amplop itu dikeluarkan. Tanpa satu pun tertinggal. Tak dihitung memang oleh Abah Habib Luthfi. Tetapi, kalau aku perkirakan, bisa jadi itu jumlahnya sudah mencapai angka jutaan.
Setelah semua isi amplop itu dikeluarkan, Beliau memasukkan tumpukan uang itu ke dalam satu amplop yg ukurannya cukup besar. Lalu, tiba² memanggil salah seorang perempuan, seorang ibu yg masih muda untuk mendekat. Ibu itu awalnya duduk di pojokan.
“Nduk, sini Nduk,” ucap Abah Habib Luthfi.
Perempuan itu pun agak malu² untuk maju ke depan, mendekati Beliau. Tampilannya sederhana. Sangat sederhana. Menunjukkan kalau perempuan ini dari kalangan masyarakat biasa. Mungkin dari keluarga yg kurang beruntung nasibnya.
“Sampean rene karo sapa? (Anda ke sini sama siapa?)” tanya Abah Habib Luthfi.
“Kaliyan lare, Bah (bersama anak saya Bah),” jawab perempuan itu agak malu dan penuh hormat.
Abah Habib Luthfi pun segera mengedarkan pandangan, mencari anak dari perempuan itu, “Ndi? Ndi anakmu? Gawa rene (Yg mana anakmu? Bawa ke sini),” pinta Abah Habib Luthfi.
Entah senang atau bagaimana, reaksi perempuan itu langsung bergegas ke belakang lagi. Ke tempat duduknya semula. Tetapi, sebelum perempuan ini beringsut, Beliau langsung bilang, “Sampean ora usah rono maneh. Ngger kene bae. Ben anake sampean sing mrene, ya? (Anda tak perlu ke sana lagi. Di sini saja. Biarkan anakmu yg ke sini),” ucap Abah Habib Luthfi sambil tersenyum.
Dari belakang terdengar beberapa orang menyampaikan pada Abah Habib Luthfi jika anak dari perempuan itu tertidur. “Wis ra kaiki. Ben. Nek wis turu ora usah digugah, melas. (Sudah tak apa. Biarkan. Kalau sudah tidur tak perlu dibangunkan, kasihan),” kata Abah Habib Luthfi.
Tak berselang lama, anak dari perempuan itu terbangun. Lalu segera diberi jalan oleh para tamu untuk mendekat Abah Habib Luthfi. Perempuan itu pun segera menyambut anak perempuannya. Segera pula ia memeluknya.
“Nah iki wis tangi dhewe. Sampun maem durung? (Nah kan, bangun sendiri. Sudah makan belum?),” tanya Beliau.
Gadis kecil itu mengangguk.
“Wis? Temenan wis? (Sudah? Beneran sudah?),” tanya Abah Habib Luthfi memastikan.
“Sampun wau, Bah (sudah tadi),” jawab si Ibu.
“Oh ya wis (oh ya sudah)…” ucap Abah Habib Luthfi. “Nggonmu iseh kena rob? (Rumahmu masih terkena air rob?)” tanya Beliau kemudian.
Si Ibu muda ini menjawab, “Takseh, Bah. Malah sakniki saya parah. (Masih, Bah. Malah sekarang makin parah),” jawab si Ibu itu.
“Lha sampeyan yen turu piye? Terus kerjaane piye? (Lha kalau tidur bagaimana? Kerjanya bagaimana?)” tanya Abah Habib Luthfi.
Perempuan itu menjawab, “Nggih, susah, Bah. Kerjaan ugi susah.”
Tampak tatapan Abah Habib Luthfi menaruh empati yg amat mendalam. Amplop yg ada pada genggaman Beliau, seketika itu diberikan kepada Ibu muda itu. “Iki nggo nempur beras karo nggo nyukupi kebutuhanmu ya, Nduk. (Ini untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya ya, Nduk). Nggonen sing bener lan sing pas karo kebutuhanmu,” kata Beliau kemudian.
Perempuan itu terkejut. Ia tak menyangka akan menerima pemberian yg demikian besar dan sangat berarti bagi dirinya dan keluarganya. Ia pun membungkukkan badan berkali-kali, sambil mengucapkan terima kasih kepada Abah Habib Luthfi.
“Iki dudu saka aku. Ning iki saka kabeh sing ning kene. Insya Allah, kabeh ikhlas. (Ini bukan dari saya. Melainkan dari semua yg ada di sini. Insya Allah semua ikhlas.) Wis ya… ditrima ya, Nduk?” kata Abah Habib Luthfi.
“Nggih, Bah. Maturnuwun…”
“Wis ya… iki wis bengi. Melaske anakmu. Saiki sampean luwih becik mulih omah. Ben anakmu sesuk ora kawanan tangine. Sampeyan rene mau diterke bojone Sampean? (Sudah… ini sudah larut. Kasihan anakmu. Sekarang lebih baik pulang ke rumah agar anakmu tidak kesiangan. Anda ke sini diantar suami?)” tanya Habib Luthfi.
“Nggih, Bah. Wau dianter garwa kula nitih becak (Ya, Bah. Tadi diantar suami dengan becaknya)” jawab si Ibu muda itu.
“Lha saiki ning ndi bojomu? (Sekarang di mana suamimu?)”
“Narik becak malih Bah. Sanjange wau wonten sing nyuwun dianter becak (Narik lagi, Bah. Katanya ada orang yg menumpang)” jawab si Ibu muda itu.
“Nek ngono ben diter nganggo mobil wae. Mengko ben sopir sing ngeter Sampean mulih. Karo iki, jajan iki digawa ya. (Kalau begitu biar diantar mobil saja. Nanti ada sopir yg mengantar pulang. Dan ini, jajan² ini dibawa pulang ya),” kata Abah Habib Luthfi.
Perempuan itu memperlihatkan roman wajah antara senang dan bingung. Senang, karena malam itu ia mendapatkan pemberian yg luar biasa banyaknya dari Beliau. Bingung, karena ia tidak tahu caranya membawa semua pemberian itu. Ada roti satu kaleng besar. Ada makanan lainnya yg berkaleng-kaleng. Ada yg kardusan pula. Semuanya diberikan Beliau untuk si ibu muda ini.
Abah Habib Luthfi pun segera memanggil sopir dan memintanya agar membantu membawakan semua barang yg dibawa pulang. Semuanya. Beliau juga berpesan agar sopir mengantarkan sampai depan rumah. Jangan hanya berhenti di tepi jalan.
Setelah peristiwa itu, semua tamu yg hadir malam itu sejenak melongo. Terbengong dengan ‘ulah’ Beliau. Tak berselang jeda yg lama, Beliau baru katakan sebuah pesan yg amat mendalam, “Pengorbanan ibu tadi sungguh luar biasa. Ia rela datang ke sini dengan membawa seabreg kebingungan atas nasibnya. Ibu itu korban rob. Hidupnya pas-pasan. Dan tidak hanya ia saja yg mengalami nasib begitu. Ada banyak. Merekalah yg sesungguhnya berhak untuk kita bantu. Ngenes kalau lihat nasib bangsa ini. Sebab, masih banyak orang² yg seperti ibu itu.”
Sejenak kemudian, Abah Habib Luthfi terdiam. Seketika itu pula, aku menyaksikan sebuah peristiwa yg membuatku keliru menafsirkan apa yg Beliau lakukan. Ya, semula aku berprasangka buruk terhadap tindakan Beliau yg mengeluarkan semua isi amplop itu dan meletakkannya di atas meja. Tetapi, prasangka buruk itu kemudian menjadi keliru ketika seluruh uang yg dikeluarkan dari lembar² amplop itu diberikan kepada seorang ibu muda yg dalam kesusahan. Betapa dangkalnya nalarku ini. Oh! Rasanya malu dan teramat malu semalu-malunya.
Betapa tidak, Beliau yg sudah memiliki nama besar pun tak segan untuk melayani orang² kecil. Bahkan bisa lebih mendahulukan mereka ketimbang tamu² lain yg tampak lebih berkelas. Beliau juga tak sungkan² untuk mengingatkan siapapun yg hadir di situ, ada kiai, santri, dan orang² yg paham agama sekalipun tanpa kata² yg berbusa. Langsung melalui tindakan yg boleh dibilang tindakan itu seperti sebuah tamparan keras buat semua tamu.
Ya, begitulah Beliau. Semoga Abah Habib Luthfi bin Yahya senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan lahir batin dan panjang umur. Aamiin.