Syaikh Abu Yazid al-Busthami mengatakan: “Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya. Mereka itu terkurung pada sisi-Nya di dalam hijab (dinding penutup) kegembiraan dan takkan dapat melihat kepada mereka seorang pun di dunia ini maupun di akhirat, yakni tiada dapat mengetahui rahasia mereka.
Tanda (alamat) bagi seorang wali itu ada tiga: yakni agar menjadikan kemauan kerasnya demi untuk Allah, pelariannya kepada Allah dan kemasygulannya dengan Allah. Pendapat lain menyatakan, bahwa tanda seorang wali adalah memandang diri dengan kerendahan dan merasa takut akan kejatuhan dirinya dari martabat yang ia berada di atasnya, sambil tidak percaya dengan sesuatu kekeramatan yang nyata bagi dirinya, tiada pula ia tertipu dengannya. Tiada ia memohonkan kekeramatan itu untuk dirinya dan tiada pula ia mengakui (kekeramatan itu).
Al-Khaffaz telah berkata: “Apabila Allah berkehendak untuk menjadikan hamba-Nya seorang wali, niscaya dibukakan baginya pintu dzikir. Apabila ia telah merasa lezat dengan dzikir itu, maka dibukakan pula atasnya pintu pendekatan. Kemudian ditinggikan martabat-Nya kepada majelis-majelis kegembiraan. Lalu ia didudukkan di atas kursi keimanan untuk disingkapkan (dibukakan) daripadanya hijab (tabir penutup) dan dimasukkannya ia ke pintu gerbang ke-Esa-an serta diungkapkan baginya garis-garis ke-Maha Agung-an Allah. Pada saat penglihatannya tertuju kepada ke-Maha Agung-an serta kebesaran-Nya, niscaya ia akan tinggal tanpa dirinya dan akan menjadi fana’ (lenyap) untuk tiba menuju pemeliharaan (penjagaan) Allah, agar terlepas dari segala pengakuan dirinya. Baru kemudian ia pun menjadi seorang wali.
Mungkin seorang wali menjadi batal kewaliannya dalam sebagian hal ihwal. Akan tetapi, yang umum atas diri wali di dalam perjalanannya dari kebatalan kepada ketetapannya adalah kesungguhan menunaikan hak-hak Allah SWT, berbelas kasih kepada para makhluk-Nya dalam segala hal ihwal dengan hati yang sabar, sambil memohon kepada Allah segala kebaikan untuk para makhluk. (Mahmud Abul Faidi al-Manufi al-Husain, dalam kitabnya Jamharotul Aulia’).
Al-Quthub Syaikh Abul Abbas al-Mursi, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Latha’iful Minan, karya Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari: “Waliyullah itu diliput ilmu dan makrifat-makrifat, sedangkan wilayah hakekat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan idzin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang di idzinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”
Dasar utama perkara wali itu, kata Syaikh Abul Abbas: “Adalah merasa cukup bersama Allah, menerima ilmu-Nya dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath Thalaq: 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (QS. az Zumar: 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al Alaq: 14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat : 53)
Wali-wali itu merupakan orang-orang yang akan meneruskan hidup suci dari Rasulullah Saw, orang-orang yang mujahadah, orang-orang yang menjaga waktu ibadah, yang rebut-merebut mengerjakan taat, yang tidak ingin lagi merasakan kelezatan lahir, kenikmatan panca indera, mengikuti jejak Rasulullah Saw, mencontoh perbuatan Muhajirin dan Anshar, lari ke gunung dan gua untuk beribadah, melatih hati dan matanya untuk melihat Tuhan, merekalah yang berhak dinamakan Atqiya’, Akhfiya’, Ghuraba’, Nujaba’, dan lain-lain nama-nama sanjungan yang indah yang dipersembahkan kepada mereka.
Rasulullah Saw berpesan, bahwa Tuhan mencintai Atqiya’ dan Akhfiya’, Tuhan mencintai Ghuraba’, yaitu mereka yang kesana-kemari menyelamatkan agamanya, yang nanti akan dibangkitkan pada hari kiamat bersama-sama Isa bin Maryam, Tuhan mencintai hamba-Nya yang membersihkan dirinya, yang melepaskan dirinya daripada kesibukan anak istri, cerita-cerita yang indah yang pernah disampaikan oleh Abu Waqqash, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Mas’ud, Abu Umamah dan lain-lain yang menjadi pembicaraan dalam kitab “Hilliyatul Auliya”, sebagai kitab besar yang menyimpan keindahan dan kemegahan wali-wali itu.
Diceritakan lebih lanjut dalam kitab-kitab sufi, bahwa wali-wali itu merupakan qutub-qutub atau khalifah-khalifah Rasulullah Saw yang tidak ada putus-putusnya terdapat di atas permukaan bumi ini. Mereka meningkat kepada kedudukannya yang mulia itu sesudah mengetahui hakekat syari’at, sesudah memahami rahasia kodrat Tuhan, sesudah tidak makan melainkan apa yang diusahakan dengan tenaganya sendiri, sesudah tumbuh dan jiwanya suci, tidak memerlukan lagi hidup duniawi, tetapi semata-mata menunjukkan perjalanannya menemui wajah Tuhan.
“Barang siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman sebagai penolongnya (awliya’), maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah pasti menang.” (QS. al Maidah: 56)
Bagi Allah, ada orang yang takkan dapat dikenal melainkan oleh para khusus. Bagi Allah, ada orang (kelompok) yang dapat dikenal oleh para khusus dan awam. Bagi Allah, ada orang yang takkan dapat dikenal oleh para khusus maupun para umum. Bagi Allah, ada yang telah diungkapkan pada “Bidayat” (permulaan) dan ditutup rapat pada “Nihayat” (kesudahan). Bagi Allah, ada orang yang ditutup rapat pada “Bidayat” (permulaan) dan diungkapkan pada “Nihayat”. Dan bagi Allah ada orang (kelompok) yang tidak dapat dikenal selain oleh Dia sendiri. Tiada yang dapat mengetahui apa yang terjadi antara mereka dan Allah SWT, kecuali para malaikat.
Seorang wali selalu mengerjakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Dia tidak tertarik mengejar keutamaan duniawi, apalagi menguasai seperti diinginkan banyak orang. Ketika mendapat sedikit nikmat dia tetap bersabar, jika banyak dia bersyukur. Celaan atau pujian, terkenal atau tidak, baginya sama saja. Dia tidak sombong dengan kewalian yang dianugerahkan Allah kepada dirinya. Semakin tinggi Allah menaikkan derajatnya, semakin bertambah kedudukannya. Dialah orang yang berakhlak baik, sangat ramah dan bijaksana. Seorang wali senantiasa menyibukkan dirinya dengan hal yang disenangi dan di sunnahkan Allah, sehingga ia dicintai Allah, menyatu dengan-Nya, doa-doanya selalu terkabul dan selalu mendapat perlindungan dari Allah SWT.
Di antara para wali terdapat wali-wali Allah yang pangkatnya sangat digandrungi oleh para Nabi dan para Syuhada’ pada hari kiamat, seperti hadits Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya ada di antara hamba Allah (manusia) yang mereka itu bukanlah para Nabi dan bukan pula para Syuhada’. Mereka dirindukan oleh para Nabi dan Syuhada’ pada hari kiamat karena kedudukan (pangkat) mereka di sisi Allah SWT.” Seorang dari sahabatnya berkata, “Siapa gerangan mereka itu wahai Rasulullah? Dan apa amal perbuatan mereka? Semoga kita dapat mencintai mereka.” Rasulullah Saw menjawab dengan sabdanya, “Mereka adalah suatu kaum yang saling berkasih sayang dengan anugerah Allah bukan karena ada hubungan kekeluargaan dan bukan karena harta benda yang dengannya mereka saling memberi. Demi Allah, wajah-wajah mereka memancarkan cahaya dan mereka berdiri di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Tiada mereka merasa takut seperti manusia merasakannya dan tiada mereka berduka cita apabila para manusia berduka cita.” (HR. an-Nasa’i dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya)
Kemudian Rasulullah Saw membacakan firman Allah SWT:
“Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah tiada ketakutan pada diri mereka dan tiada pula mereka berduka cita.” (QS. Yunus: 62).
Di antara sifat-sifat mereka adalah dapat mewariskan kepada para kawan semajelis mereka mengenai kesempurnaan dzikir. Mereka karena cintanya kepada Allah dan menyatu dengan-Nya, maka setiap orang yang menyebut Allah, mereka pun harus diingat pula. Dan setiap orang yang menyebut mereka, berarti Allah pun disebut. Karena nama Allah tidak bisa dipisahkan dengan nama mereka, dan nama mereka pun tidak bisa dipisahkan dengan nama Allah.
Sesungguhnya para wali diantara para hamba-Ku dan para kekasih-Ku di antara makhluk adalah mereka yang selalu disebut dengan nama-Ku. Begitu juga Aku disebut dengan sebutan (nama) mereka.
Pernah Rasulullah Saw ditanya tentang siapa para wali Allah itu? Beliau menjawab: “Mereka itulah pribadi-pribadi yang apabila dilihat orang, niscaya Allah SWT disebut bersama (nama)-Nya.” Mereka terbebas (terselamatkan) dari fitnah dan cobaan dan terhindar dari malapetaka.
Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya bagi Allah ada orang-orang yang baik (yang tidak pernah menonjolkan diri di antara para hamba-Nya yang dipelihara dalam kasih sayang dan dihidupkan di dalam afiat (sehat yang sempurna). Apabila mereka diwafatkan, niscaya dimasukkan kedalam surganya. Mereka terkena fitnah atau ujian, sehingga mereka seperti berjalan di sebagian malam yang gelap, sedang mereka selamat daripadanya.
Wahab bin Munabbih meriwayatkan, bahwa para hawariyun telah bertanya kepada Nabi Isa as tentang siapa para wali Allah yang tiada merasa takut dan berduka cita? Nabi Isa as menjawab: “Mereka adalah para hamba yang selalu memandang kepada batin dunia ini, padahal para manusia yang lain memandang dari sisi lahirnya. Mereka mempersiapkan ajal (habisnya umur) dunia ini, ketika para manusia melihat pada kehidupan yang kini saja. Mereka menjauhkan diri dari sesuatu yang akan menodai kehambaan mereka. Pengingkaran mereka terhadap dunia ini merupakan suatu kemerdekaan dan kegembiraan mereka terhadap apa yang mereka capai daripadanya (dunia ini) merupakan duka cita.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi berikut ini:
Wahai para auliya-Ku, pemberian-Ku kepadamu adalah sebaik-baiknya pahala. Derma-Ku demi untukmu adalah semulia-mulianya pendermaan. Anugerah-Ku terhadapmu adalah sebanyak-banyaknya anugerah. Pergaulan-Ku kepadamu adalah setepat-tepatnya pergaulan. Tuntutan-Ku atasmu adalah sekeras-kerasnya tuntutan. Akulah pemilik setiap hati sanubari. Akulah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib. Akulah pemandang segala gerak-gerik. Akulah pengawas segala lirikan mata. Akulah yang melihat atas lintasan-lintasan hati. Akulah yang mengetahui gerakan pikiran.
Dengan demikian hendaklah kamu menjadi para pemanggil demi untuk-Ku. Janganlah kamu merasa takut kepada raja dan penguasa selain-Ku. Barang siapa yang berani memusuhi kamu, niscaya Akulah yang menjadi lawannya. Barang siapa yang menyakiti hati kamu, niscaya Akulah yang akan membinasakannya. Barang siapa yang berbuat baik kepadamu, niscaya Akulah yang memberinya pahala dan barang siapa yang meninggalkan kamu, niscaya Akulah yang membencinya.
Dalam riwayat yang lain, yaitu dari Dzun Nun al-Mishri yang juga berkenaan dengan sifat mereka adalah bersegera kepada amal kebaikan, berpaling daripada senda gurau dan terbebas dari keraguan serta kekejian. Mereka seperti orang-orang yang bisu dan buta, padahal mereka fasih dan melihat, malah mereka memiliki pandangan yang tajam. Tentang kaum ini, tiada seorang pun yang berkemampuan untuk menguraikan seluruh dari hal ihwal mereka. Bersama mereka, dapat tercegah balas dendam dan atas mereka diturunkan berbagai keberkahan di muka bumi. Merekalah manusia yang paling indah dalam bertutur kata, manusia-manusia yang sangat memenuhi janji setia, cahaya bagi para hamba yang memberi sinar terang kepada Negara, pelita di malam gelap gulita, pancaran hikmat kebijaksanaan, tiang yang kokoh bagi umat dan masyarakat. Tulang rusuk mereka amat renggang dari tempat tidur, memiliki sifat pemaaf dan gemar memberi keringanan. Tangan mereka terbuka serta dermawan. Mereka memandang pahala Allah dengan jiwa-jiwa yang penuh kerinduan. Dengan lirikan mata yang tepat. Amal perbuatan mereka yang rapi penuh dengan kesesuaian.
Mereka itulah yang telah mendapatkan cahaya Ilahiyah dengan nur ar-Rahman, sehingga dapat memandang keindahan maut dan memandang akhirat dengan mata keridlaan. Membeli yang kekal dengan yang fana. Alangkah nikmatnya apa yang mereka jual-belikan dengan menghimpun dua kebaikan dan menyempurnakan dua kelebihan. Rasulullah Saw bersabda:
“Hamba yang paling cinta kepada Allah adalah yang tersembunyi. Apabila mereka ghaib (tidak hadir), sekali-kali tiada orang yang dapat mengenalnya. Mereka itu adalah para imam hidayah dan lampu-lampu ilmu pengetahuan.”
Sabda Rasulullah Saw yang lain:
“Orang yang terbaik di antara umatku adalah suatu kaum yang tersenyum karena luasnya rahmat dan kasih sayang Allah. Di samping itu, mereka manangis tersedu-sedu sambil mencucurkan air mata karena takut akan kerasnya adzab (siksa) Allah. Mereka senantiasa berdzikir dan berdoa sambil menaruh penuh harapan dan rasa takut. Mereka merindukan Rabb-Nya dengan hati yang tulus. Beban mereka atas manusia sangat ringan tapi atas diri mereka sendiri berat sekali. Penyaksian atas mereka dari Allah SWT dengan penglihatan yang memelihara dan aneka nikmat yang nyata. Mereka melihat tanda-tanda seorang hamba dan memikirkan negerinya. Jasad mereka berada di permukaan bumi, sedang hati sanubari mereka menjulang tinggi di langit.”
Kemudian Rasulullah Saw bersabda:
“Yang demikian itu adalah bagi orang yang takut akan menghadap kehadirat-Ku dan takut akan ancaman-Ku.” (QS. Ibrahim: 14)
Al Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga saat ini, Khatamul Auliya’ (tanda-tanda kewalian), yang diantaranya berisi 156 pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan mendapatkan tanda-tanda kewalian itu.