Rindu adalah ketertarikan hati untuk menyaksikan sang kekasih. Ada yang menyebutkan bahwa rindu adalah api Allah yang dinyalakan-Nya dalam hati para wali-Nya, sehingga api itu menghanguskan semua hal yang selain Dia yang ada di dalamnya, entah berupa khawathir (bisikan-bisikan ghaib), kehendak, pendapat maupun kebutuhan. Rindu tumbuh dari cinta. Jika rindu telah muncul di hati hamba, maka si hamba akan merasa kematian datang demikian lambat, karena sangat rindu kepada Tuhannya. Lalu dia akan mulai ber-ekstasi (tawajud) dan melayang-layang ke hadirat Tuhannya.
Ada seorang bijak pernah ditanya, “Kenapa Allah tidak berkehendak melestarikan para wali-Nya di dunia?” Sang bijak menjawab, “Allah enggan menjadikan keabadian bagi para wali-Nya di dunia, tetapi Dia memilih banyak karamah yang ada di sisi-Nya bagi para wali dan kekasihNya. Tidakkah kalian tahu bahwa sang kekasih selalu merindu kekasihnya? Bahagialah orang yang ruh dan rehatnya dalam pertemuan dengan Allah.”
Ketika Sayyidah Nafisah menjelang maut, dia sedang berpuasa dan orang-orang menyuruhnya untuk berbuka. Namun dia berujar, “Betapa mengherankan! Aku telah tiga puluh tahun meminta kepada Allah agar aku menemui-Nya dalam keadaan berpuasa, lalu sekarang aku harus berbuka? Ini tidak mungkin.” Kemudian dia bersenandung,
Menjauhlah dariku, hai tabibku
Tinggalkan aku bersama kekasihku
Dia akan menambahkan rinduku pada-Nya
ratap dan cintaku yang membara
Lalu Sayyidah Nafisah mulai membaca Surah al-An’am. Ketika sampai pada firman-Nya, “Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya” [QS. al-An’am 6:127], keluarlah as-sirr al-ilahi (ruh) darinya.”
Al-Junaid berkata, “Aku masuk menemui Sari as-Saqathi ketika beliau sakit. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu?’ dan dia menjawab dengan senandungnya,
Bagaimana aku mengadukan penyakitku kepada dokterku
sementara derita yang menimpaku sungguh dari dokterku
Tiada rehat bagiku, tiada pula penawar deritaku
selain sampai kepada kekasihku
Ada cerita bahwa seorang penduduk Bashrah menangis karena kerinduannya yang memuncak kepada Allah hingga kedua matanya menjadi buta. Kemudian dia berkata, “Tuhanku, sampai kapan aku tidak bertemu dengan-Mu? Demi kemuliaan-Mu, kalau pun di antara aku dan Engkau ada api yang menyala-nyala, aku tidak akan surut dari-Mu, dengan pertolongan dan taufik-Mu, hingga aku sampai kepada-Mu, dan aku tidak rela jauh dari-Mu.”
Ibrahim ibn Adham berkata, “Suatu hari, aku memasuki Libanon. Ketika sampai, aku bertemu seorang pemuda yang sedang berdiri sambil berkata, ‘Wahai Dia yang pada-Nya hatiku mencinta, wahai Dia yang pada-Nya diriku menghamba, wahai Dia yang pada-Nya kerinduanku sangat membara, kapankah aku dapat bertemu dengan-Mu?’ lalu aku berkata kepadanya, ‘Mudah-mudahan Allah merahmatimu, apakah tanda cinta kepada Allah?’ sang pemuda menjawab, ‘Senang mengingat-Nya.’ Aku bertanya lagi, ‘Lalu apa tanda orang yang merindu kepada-Nya?” pemuda itu menjawab, “Tidak melupakan-Nya dalam kondisi apa pun.”
Ahmad ibn Hamid al-Aswad pernah datang kepada ‘Abdullah ibn al-Mubarak, lalu berkata, “Aku bermimpi bahwa engkau akan mati setahun yang akan datang. Sebaiknya engkau bersiap-siap untuk pergi ‘Abdullah ibn al-Mubärak berkata kepadanya, “Engkau sungguh telah memberi tempo yang amat panjang, aku harus hidup hingga satu tahun lagi. Padahal aku sungguh telah dibuat senang dengan sebait syair yang pernah aku dengar dari sang budayawan, Abu ‘Ali,
Wahai orang yang mengadu rindu karena lama berpisah
bersabarlah, barangkali besok engkau bisa berjumpa dengan dia yang kau cinta.”
Seorang sufi Persia berkata, “Hati orang-orang yang rindu diterangi cahaya Allah Ta’ala. Bila kerinduan mereka bergerak, cahayanya menerangi semua yang ada di antara langit dan bumi. Lalu Allah Ta’ala memperlihatkan mereka kepada para malaikat seraya berfirman, ‘Saksikanlah oleh kalian, wahai para malaikatku, mereka yang merindu kepada-Ku itu, Aku merindu mereka lebih dari rindu mereka kepada-Ku.”
Ada juga sufi yang berkata, “Barangsiapa rindu kepada Allah, segala sesuatu pasti akan merasa rindu kepadanya.”