Salah satu hal yang wajib kita yakini adalah kenyataan bahwa Allah Ta’ala mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai rahmat bagi seluruh alam. Buktinya antara lain: penangguhan siksa bagi kaum kafir di alam dunia; peniadaan siksa bagi orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat; peniadaan hukum-hukum syari’at yang berat yang pernah diberlakukan bagi umat-umat sebelum beliau, semisal ketentuan hukum Qishash dalam pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja, atau kemestian memotong anggota tubuh yang bersalah, memotong pakaian yang terkena najis dan bertobat dengan cara bunuh diri.
Suatu hari di masa lampau, seorang lelaki Bani Isra’il melakukan perbuatan dosa. Lalu di pagi hari setelah dia berbuat dosa itu, di pintu rumahnya terdapat tulisan: Untuk menebus dosa tersebut, engkau harus mencongkel kedua matamu. Kemudian si lelaki itu mencongkel kedua matanya.
Berkat diutusnya Nabi Muhammad saw., hukum-hukum yang berat seperti itu dihapuskan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. al-Anbiya’ 21:107].
Allah Ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alqur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” [QS. al-A’raf 7:157]
Allah Ta’ala berfirman, “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. al-Hajj 22:78] Semoga Allah memberi balasan terbaik bagi beliau.
Kita wajib meyakini bahwa Nabi Muhammad saw. adalah makhluk yang paling utama di antara seluruh makhluk, entah jin, manusia maupun malaikat. Ini adalah kesepakatan kaum muslimin. Dalilnya, umat Muhammad adalah umat yang paling ulama (kami akan menguraikan pembahasannya nanti). Tidak diragukan lagi bahwa keunggulan suatu umat dihitung berdasarkan tingkat kesempurnaannya dalam agama, dan ini tentu mengikuti tingkat kesempurnaan nabi yang diikutinya. Pemuliaan terhadap suatu umat juga merupakan pemuliaan terhadap nabi umat tersebut.
Dalil lainnya adalah sabda Rasulullah saw., “Dalam pandangan Allah, aku adalah orang yang paling mulia di antara semua, yang awal maupun akhir, bukan bangga.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-lmam at-Tirmidzi.
Dalil yang lain adalah kenyataan bahwa beliau adalah sang empunya syafa’ah al-‘uzhma di akhirat, yang pada saat itu tidak seorang pun memiliki syafa’at selain Allah Ta’ala. Selain itu, kenabian Rasulullah Muhammad saw. juga lebih dahulu daripada semua nabi, sebagaimana masyhur di kalangan umum. Bahkan para nabi telah disumpah untuk mengikuti beliau bila mereka sempat berjumpa dengannya.
Allah Ta’ala telah memberlakukan semua kemaslahatan agama dan akhirat untuk hamba-hamba-Nya di tangan Rasulullah saw. Dialah manusia yang merupakan ‘ainul-wujud (inti wujud) dan as-sabab fi kulli maujud (yang menjadi sebab semua maujud). Semua nabi dan rasul selain beliau adalah wakil dan khalifahnya, seperti diungkapkan oleh al-Nabilsi di dalam syairnya,
Semua nabi dan rasul yang mulia datang
sebagai wakil darinya dalam menyampaikan dakwah
Dialah sang rasul yang diutus bagi semua makhluk
di sepanjang zaman, dan darinya tumbuh mulut-mulut
Sang Penyair yang terkenal dengan julukan Ibn al-Khathib berkata,
kalau bukan karena dirimu, tidak seorang pun akan diciptakan
Tidak, bahkan semesta ini tidak akan diciptakan kalau bukan karena engkau
dari cahayamu bulan berjubah purnama
dan matahari bersinar dengan cahaya keindahanmu
engkau saat diangkat ke langit
langit berhias karena gembira menyambut kedatanganmu
disambut oleh Tuhanmu, ‘Selamat Datang’
Dia sungguh memanggilmu untuk dekat pada-Nya. Dia mencintaimu
Engkaulah yang mintakan syafa’at
tidak ada makhuk lain yang patut selain darimu. Tuhan memanggilmu
ketika Adam bertawassul melalui engkau dalam tobatnya
Adam berhasil mendapat ampunan, padahal dia bapakmu
Dengan wasilah dirimu al-Khalil berdoa hingga api menjadi dingin
api itu padam oleh cahaya keagunganmu
Ayyub menyerumu karena sakit yang dideritanya
hingga sakitnya dilenyapkan saat dia memanggil-manggilmu
Dan karena engkau pula al-Masih datang sebagai pembawa berita gembira
dia mengabarkan sifat-sifat baikmu sambil terus memuji keluhuranmu
Begitu pula Musa terus bertawassul denganmu
di hari kiamat dia beruntung karena panggilanmu
Para nabi dan makhluk di alam dunia
Para rasul dan malaikat, semua berada di bawah panjimu
Engkau mempunyai mukjizat yang melemahkan semua
dan bagimu keutamaan-keutamaan agung tak berbanding
Cahayamu, wahai Thaha, menerangi semua nabi
Mahasuci Dia Yang telah menyempurnakanmu
Demi Allah, wahai Yasin, di semesta ini tidak ada yang sepertimu
benar adanya orang bemunajat kepadamu
Para penyair, wahai yang berselimut, tak mampu menyifatimu
mereka terlalu lelah untuk bisa menyebut-nyebut keluhuranmu
Injil ‘Isa telah datang mengabarkan dirimu
Dan al-Kitab telah datang kepada kami membawa sanjungan akan kemuliaanmu
Apa yang dikatakan para penyanjung dan goresan pena para penulis tak sampai
menghimpun maknamu
Demi Allah. kalau pun lautan jadi tinta mereka
dan pepohonan sebagai penanya
Niscaya manusia dan jin tidak akan mampu menghimpun secuil pun, selamanya
mereka tak kan mampu menemukan maknamu
Hatiku rindu kepadamu, wahai tuanku
mabuk kepayang ingin bertemu denganmu
saat aku diam, sungguh seluruh diamku padamu
dan bila aku bicara, aku penyanjung keagunganmu
Saat aku mendengar, yang kudengar puja-puji tentang dirimu
Dan saat aku mengarahkan pandangan, tidak ada yang kulihat selain engkau
Wahai makhluk paling mulia, wahai simpanan semesta
dermalah kepadaku dengan kedermawananmu dan ridhailah aku dengan ridhamu
Aku sungguh tamak akan derma darimu
bagi Ibn al-Khathib, tidak ada manusia yang lebih dermawan daripada engkau
Semoga engkau memberinya syafaat saat dia dihisab
Dia sungguh telah bersegera berpegang pada pertolonganmu
engkaulah pemilik syafaat yang paling mulia
siapa mengiba perlindunganmu, dia akan beroleh pemenuhan darimu
Maka jadikanlah sebutanku padamu sebagai syafa’at untukku kelak hingga di mahsyar aku tampak di bawah panjimu
Allah bersalawat kepadamu, wahai makhluk paling agung
betapa rindu si pencinta rumahmu
Dalam urutan keutamaan, setelah Rasulullah Muhammad saw. secara berurut ditempati oleh Nabi Ibrahim, kemudian Nabi Musa, Nabi ‘Isa dan Nabi Nuh. Urutan selanjutnya adalah para rasul selain mereka, lalu para nabi, kemudian para penghulu malaikat (yakni Jibril, Mikail, Israfil dan Malaikat maut [‘Izrail]). Kemudian urutan selanjutnya adalah Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat, lalu para malaikat selain yang lima, baru manusia biasa lainnya.
Khalifah yang paling utama adalah Abu Bakr r.a. Beliau menjabat kekhalifahan selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari. Kemudian ‘Umar ibn al-Khaththab r.a. Beliau menjabat kekhalifahan selama sepuluh tahun enam bulan delapan hari. Kemudian ‘Utsman ibn ‘Affan r.a. yang menjabat kekhalifahan selama sebelas tahun sebelas bulan sembilan hari. Lalu Imam ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. yang menjabat kekhalifahan selama empat tahun sembilan bulan tujuh hari.
Keutamaan para khalifah ini diikuti secara gradual dan berurut oleh enam sahabat dari sepuluh sahabat yang digembirakan dengan kabar kepastian mereka masuk surga (yang empat adalah khulafa ar-rasyidin). Yakni: Thalhah ibn ‘Ubaidillah, az-Zubair ibn al-Awwam, Abdurrahman ibn Auf, Sa’ad ibn Abi Waqqas, Sa’id ibn Zaid dan Abu ‘Ubaidah ‘Amir ibn al-Jarrah. Kemudian disusul oleh para syuhada yang gugur pada Perang Badar, mereka berjumlah 313 orang. Ada ulama yang berpendapat bahwa jumlah syahid di Perang Badar sebanyak 370 orang.
Setelah para syuhada Perang Badar, urutan selanjutnya ditempati para syuhada yang gugur pada Perang Uhud. Mereka berjumlah kurang lebih seribu orang. Kemudian para sahabat yang mengikuti Bai’ah ar-Ridhwan, berjumlah 1400 orang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jumlah mereka 1500 orang. Peristiwa tersebut dinamakan peristiwa bai’ah ar-ridhwan karena firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” [QS. al-Fath 48:1]
Urutan selanjutnya baru ditempati semua sahabat yang tidak masuk dalam kategori di atas. Mereka semua adalah orang-orang yang adil. Kita mesti menangguhkan penilaian (jangan menilai buruk) setiap pertentangan yang terjadi di antara para sahabat, atau kita harus menakwilnya dengan takwil yang baik. Sebab pertentangan yang terjadi di antara mereka merupakan hasil ijtihad. Seperti yang terjadi antara Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. dan Mu’awiyah r.a. Ketika itu para sahabat terpecah menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama berijtihad dan tampak bagi mereka bahwa yang benar adalah Imam ‘Ali, lalu mereka berperang bersamanya. Kelompok yang kedua berijtihad dan nampak bagi mereka bahwa yang benar adalah Mu’awiyyah, maka mereka bergabung bersamanya. Sedangkan kelompok yang ketiga berijtihad mengambil sikap diam, tidak memihak. Karena itu, siapa pun di antara tiga golongan ini tetap mendapat pahala. Yang ijtihadnya tepat mendapat dua pahala, sedangkan yang ijtihadnya tidak tepat hanya mendapat satu pahala.
Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Allah, Allah, tentang sahabat-sahabatku, kalian jangan sampai menjadikan mereka sebagai sasaran sepeninggal aku.” Hadis ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Kalian jangan mencaci-maki sahabat-sahabatku. Barangsiapa yang mencaci-maki sahabat-sahabatku, maka laknat Allah, laknat para malaikat dan semua manusia. Dan Allah tidak akan menerima amal ibadahnya, tidak yang sunnah dan tidak pula yang fardhu.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan yang lainnya.
Wanita paling utama adalah Siti Maryam binti ‘Imran—sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ar-Ramli—kemudian Siti Fathimah, Siti Khadijah, ‘A’isyah, dan Asiyah istri Fir’aun. Allah Ta’ala berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” [QS. Ali ‘Imran 3:42]
Ath-Thabrani meriwayatkan, “Wanita terbaik di alam semesta ini adalah Maryam binti ‘Imran, kemudian Khadijah binti Khuwailid, lalu Fathimah binti Muhammad saw., lalu Asiyah istri Fir’aun.”
Di dalam riwayat tersebut, ath-Thabrani menempatkan penyebutan Khadijah sebelum Fathimah, berbeda dengan ar-Ramli. Tetapi ini tidak berarti bahwa riwayat ini bertentangan. Karena, pengutamaan Khadijah atas Fathimah dalam penyebutan di dalam riwayat tersebut lebih dikarenakan ke-ibu-an Khadijah, bukan dari sisi ke-penghulu-an.
Pendapat lain mengatakan bahwa urutan tersebut tidak perlu dipermasalahkan. Dan pendapat ini yang lebih aman.
Hal lain yang merupakan bagian dari hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang mukallaf adalah kenyataan bahwa kurun waktu yang paling utama adalah kurun waktu mereka yang sempat berkumpul bersama Nabi Muhammad saw. dalam keadaan iman. Kemudian kurun waktu mereka yang setelahnya, lalu kurun waktu selanjutnya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, “Generasi terbaik adalah generasiku, kemudian mereka yang setelahnya, lalu mereka yang sesudahnya.”
‘Imran ibn Hashin berkata, “Aku lupa apakah Rasulullah saw. mengucapkan setelah generasi beliau itu dua kali atau tiga kali.”
Yang jelas bahwa yang dimaksud dengan kurun (al-qarn) di sini adalah generasi. Kurun pertama adalah generasi para sahabat sampai mereka semua tiada. Kurun kedua adalah generasi para tabi’in sampai mereka semua tiada. Dan kurun ketiga adalah generasi tabi’it-tabi’in sampai mereka semua tiada.
Pendapat yang paling absah tentang interval waktu satu kurun adalah seratus tahun (satu abad). Pendapat ini berdasar pada sabda Rasulullah saw. ketika beliau mengusap kepala anak yatim, “Hiduplah engkau satu qarn.” Dan anak itu ternyata hidup selama seratus tahun.
Setiap kurun itu lebih baik dari kurun sesudahnya, sebagaimana ditegaskan oleh beliau, “Tidak ada tahun, atau tidak ada hati, melainkan yang sesudahnya itu lebih buruk darinya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan at-Tirmidzi.
Kita juga wajib mengikuti para ulama salaf yang shalih di dalam perkataan dan perbuatan mereka, mengikuti ta’wil dan istinbath hukum mereka, serta mengikuti jejak-jejak mereka lahir batin. Barangsiapa mengikuti mereka hanya pada lahiriahnya saja, tidak beserta batinnya, berarti dia seorang penentang, bukan orang yang taat.
Al-‘Allamah al-Laqani berkata,
Jadilah engkau sebagaimana makhluk pilihan,
adil dan bijak mengikuti kebenaran
Setiap kebaikan ada dalam mengikuti salaf
dan setiap keburukan ada dalam bid’ah khalaf
Asy-Syaikh ‘Abdussalam menjelaskan bait tersebut, “Jangan sampai engkau mengikuti akhlak yang buruk dan perbuatan yang tidak diridhai seperti dilakukan orang khalf yang buruk. Sebab setiap keburukan muncul dari bid’ah jelek yang diada-adakan orang khalf yang mengabaikan shalat dan mengikuti syahwat.” Kata al-khalfu dalam kata-kata beliau dibaca dengan lam yang sukun (bukan khalaf tetapi khalf).
Hal lain yang wajib diimani setiap mukmin adalah adanya para wali Allah. Barangsiapa mengingkari keberadaan wali Allah, dia telah kafir, karena dia menolak keterangan yang ada dalam Alqur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [QS. Yunus 10:62]
Begitu juga kita wajib mengimani keberadaan karamah para wali Allah, dan karamah mereka itu ada di saat mereka masih hidup maupun setelah mereka wafat. Karamah adalah perkara luar biasa (menyalahi adat) yang muncul pada diri hamba Allah yang shalih dan tidak disertai dengan pengakuan kenabian. Hal ini diterangkan di dalam Alqur’an dan hadis. Umat juga telah sepakat atas keberadaan karamah mereka sebelum munculnya orang-orang yang melakukan penentangan.
Kita juga harus meyakini bahwa para imam dalam agama (a’immatuddin) adalah orang-orang yang adil. Siapa yang mengikuti salah seorang di antara mereka, maka ia akan selamat.
Para imam itu dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, imam yang menekuni dan mendalami bidang fikih, menggali dan menetapkan hukum-hukum dari Alqur’an dan hadis dalam masalah fikih. Di antara mereka yang paling masyhur adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i dan Imam Hanbali r.a. Mereka semua adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah. Mengikuti salah satu di antara imam yang empat tersebut hukumnya fardhu, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl 16:43]. Selain itu, juga karena sabda Rasulullah Muhammad saw., “Ingatlah, bertanyalah kalian apabila kalian tidak tahu.”
Setelah ijma’ diputuskan, mengikuti selain dari madzhab yang empat itu tidak boleh. Karena mazhab-mazhab selain yang empat tidak tersusun secara sistematis, berbeda dengan mazhab yang empat.
Barangsiapa tidak mengikuti salah satu dari madzhab yang empat dan ia berkata, “Aku beramal menurut Alqur’an dan sunnah”, seraya mengaku diri faham hukum-hukum dari Alqur’an dan sunnah, dia tidak diterima. Karena dia telah keliru, sesat dan menyesatkan. Terutama di zaman ini, zaman yang penuh dengan kefasikan dan banyak pengakuan yang keliru. Dia keliru dan sesat karena telah tampil mengungguli para imam, padahal dia lebih rendah dari para imam, baik dalam derajat keilmuannya, amalnya, keadilannya maupun dalam ketelitiannya. Sebab belum terdengar ada dari selain para imam itu yang punya ilmu dan keadilan yang lebih unggul atau setingkat dengan mereka. Begitu juga dalam penguasaaan ilmu-ilmu bahasa Arab, penguasaan aqwal (ungkapan dan pendapat) para sahabat, ushuluddin, tafsir, hadis dan hal-hal lain yang menjadi syarat-syarat ijtihad.
Imam Abu Hanifah dari kalangan tabi’in, demikian pula Imam Malik. Sedangkan Imam asy-Syafi’i dan Imam Hanbali dari kalangan tabi’it tabi’in. Masa mereka hidup adalah masa orang-orang yang baik. Sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih, “Generasi terbaik adalah generasiku, kemudian mereka yang setelahnya, lalu mereka yang sesudahnya.”
Adanya perbedaan di dalam masalah furu’iyyah (syariat fikih) tidak menjadi soal, bahkan merupakan rahmat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw., “Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat.” (HR. al-Baihaqi)
Menurut para imam, sebaiknya kita menjaga dan tidak mempertentangkan perbedaan, lalu berusaha mengambil pendapat yang lebih berhati-hati.
Kategori kedua adalah imam yang menekuni dan menjelaskan masalah-masalah ushuluddin (ketauhidan). Di antara mereka adalah al-Asy’ari dan al-Maturidi. Mereka menetapkan dalil aqli dan dalil naqli untuk menjelaskan masalah-masalah tersebut, dan mereka telah berhasil menolak ketidakjelasan yang muncul dari orang-orang yang berkeyakinan sesaat.
Kategori ketiga adalah imam di bidang tasawuf, yang menekuni pembersihan hati dan jiwa dari kotoran-kotoran batin dan penyakit-penyakit hati seperti sombong dan hasad. Mereka mewajibkan mukallaf agar menjaga kebersihan hati dan anggota badan dari semua hal yang tidak disukai, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak memberikan manfaat, kecuali orang-orang yang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih.” [QS. as-Syu’ara’ 26:88-89]. Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” [QS. al-Isra’ 17:69].
Mereka yang menjadi imam di bidang tasawuf ini di antaranya adalah Abu Yazid al-Busthami, asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghujdawani, as-Sayyid Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi, asy-Syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, al-Junaidi al-Baghdadi, Hujatul-lslam Abu Hamid al-Ghazali, asy-Syaikh as-Suhrawardi, Ma’ruf al-Karkhi, asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jailani dan lainnya. Mereka itu adalah para sufi, demikian pula orang-orang yang mengikuti mereka menjalankan kewajiban bertakwa kepada Allah di dalam kesendirian maupun di keramaian. Para imam sufi itu berada dalam petunjuk Allah Ta’ala sebagaimana halnya imam-imam fikih. Mereka mendasari ajaran mereka dengan akidah Alhus-Sunnah wal-Jama’ah dan fikih para Imam Mujtahid. Karena itu semua imam sufi itu juga ahli fikih. Dan yang menjadi langkah awal perjalanan mereka adalah melarikan diri kepada Allah Ta’ala dari segala sesuatu. Allah Ta’ala berfirman, “Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” [QS. adz-Dzariyat 51:50].
Target urusan mereka adalah bergantung hanya kepada Allah semata, sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan Penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia “. Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besamya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui (nya)?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Alqur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” [QS. al-An’am 6:91]
Menaati imam merupakan hal yang wajib, selama tidak dalam kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Dengan dalil firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alqur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [QS. an-Nisa 4:39]
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ulil-amri adalah ulama yang mengamalkan ilmunya serta memerintahkan berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa ulil-amri adalah para pemimpin yang hak, yang mengamalkan perintah Allah dan perintah Rasulullah.
Namun demikian, tidak dibenarkan menaati mereka di dalam kemaksiatan. Karena sabda Rasulullah saw., ‘Tidak ada ketaatan bagi makhluk di dalam maksiat kepada Allah. ” (HR. al-lmam Ahmad dan al-Hakim)
Tentang tema ini, di dalam satu riwayat disebutkan bahwa Sayyidina ‘Umar ibn al-Khaththab pernah berkata, “Siapa saja di antara kalian yang melihat ada penyimpangan pada diriku—yakni melenceng dari kebenaran—maka ingatkanlah aku.” Lalu Bilal atau Salman maju dan berkata kepada ‘Umar, “Seandainya kami melihat ada penyimpangan pada dirimu, niscaya kami akan meluruskanmu dengan pedang kami. Kemudian ‘Umar memuji, “Alhamdulilah, segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan di antara umat ini orang yang mau meluruskan aku dengan pedangnya bila melihat ada penyimpangan pada diriku.”
Hal lain tentang kerasulan Muhammad saw. yang wajib diyakini adalah bahwa Allah Ta’ala mengutus Muhammad sebagai rasul bagi semua manusia dan jin, sesuai dengan sabda Rasulullah saw. di dalam hadis riwayat al-Bukhari dan yang lainnya, “Aku diutus untuk seluruh umat manusia.” Kenyataan ini juga ditegaskan dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”. [QS. Saba’ 34:28]
Barangsiapa menafikan keumuman risalah Nabi Muhammad saw. dengan menganggap bahwa risalahnya hanya berlaku bagi sebagian orang, berarti dia telah kafir sebagaimana orang yang telah menafikan Islam. Bahkan pendapat lain yang lebih absah mengatakan bahwa selain diutus kepada seluruh manusia dan jin, Rasulullah Muhammad saw. juga diutus kepada para malaikat.
Selain mengimani keumuman kerasulan Muhammad saw., kita juga wajib mengimani kenyataan bahwa Allah Ta’ala telah menutup kenabian dan kerasulan dengan Nabi Muhammad saw. Allah Ta’ala berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. al-Ahzab 33:40]
Tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Semua hukum yang telah disyariatkannya, melalui Alqur’an maupun hadis, tidak bisa diganti atau dihapus oleh syari’at manapun, sebagiannya maupun keseluruhannya. Bahkan Nabi Muhammad-lah yang datang untuk menasakh syari’at yang turun sebelumnya. Adapun penggantian sebagian syari’at beliau dengan sebagian syari’at beliau yang lainnya, itu merupakan hal yang wenang. Misalnya tentang ‘iddah (masa tenggat) perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Pada syari’at yang awal, ‘iddah-nya adalah satu tahun, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan istri, hendaklah bewasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. al-Baqarah 2:240]] Kemudian ayat hukum ini di-nasakh dengan firman Allah Ta’ala, “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber-’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” [QS. al-Baqarah 2:234]
Hal lain yang wajib kita imani adalah kenyataan bahwa Allah Ta’ala telah memperjalankan Nabi Muhammad saw. pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesunggulınya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” [QS. al-Isra’ 17:1]
Kita wajib mempercayai bahwa peristiwa isra’ tersebut dialami Rasulullah saw. dengan jasad dan ruhnya. Ketika Rasulullah saw. sedang berada di rumahnya, dalam keadaan antara tidur dan terjaga di antara dua orang lelaki, yakni pamannya yang bernama Hamzah dan anak pamannya yang bernama Ja’far, tiba-tiba malaikat datang membangunkannya. Lalu Jibril membelah dadanya, mengeluarkan jantungnya, membasuhnya dengan air zam-zam, lalu mengembalikannya ke tempatnya semula setelah mengisinya dengan iman dan hikmah. Kemudian Rasulullah naik Buraq yang dihias dan diberi tali kendali, lalu berangkat sampai tiba di Masjidil Aqsha. Beliau menyaksikan banyak keajaiban selama dalam perjalanan. Di Masjidil Aqsha, para nabi dihadirkan, lalu Rasulullah saw. shalat mengimami mereka dan para malaikat.
Selesai shalat di Masjidil Aqsha, mi’raj (tangga) pun dipasang untuknya. Rasulullah saw. naik sampai tiba di langit dunia. Di sana beliau bertemu dengan Nabi Adam dan mengucap salam kepadanya. Lalu Rasulullah saw. naik ke langit kedua. Di sana beliau bertemu dengan Nabi Yahya dan Nabi ‘Isa, dan beliau mengucap salam pada keduanya.
Setelah itu Rasulullah saw. naik ke langit ketiga. Di sana beliau bertemu Nabi Yusuf dan mengucapkan salam kepadanya. Dari langit ketiga, Rasulullah saw. naik lagi ke langit keempat. Di sana beliau bertemu Nabi Idris dan mengucapkan salam kepadanya. Dari sana Rasulullah saw .naik ke langit kelima, di sana beliau bertemu Nabi Harun dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian Rasulullah saw. naik ke langit keenam. Di sana beliau bertemu Nabi Musa dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu Rasulullah saw. naik ke langit ketujuh. Di sana beliau bertemu Nabi Ibrahim al-Khalil dan mengucap salam kepadanya.
Setelah itu Rasulullah saw. melihat al-Bait al-Ma’mur, Beliau menyaksikan al-Bait al-Ma’mur dimasuki tujuh puluh ribu malaikat tiap harinya, dan setelah masuk ke sana para malaikat itu tidak keluar lagi hingga Hari Kiamat. Posisi al-Bait al-Ma’mur itu tegak lurus dengan Ka’bah di bumi.
Lalu beliau ke Sidrah al-Muntaha. Semua yang naik dari bumi berhenti dan tertahan di sana, demikian pula semua yang turun dari atasnya. Sidrah al-Muntaha berupa pohon, di akarnya terdapat empat sungai. Dua sungai batin dan dua sungai lahir. Dua sungai yang batin itu ada dalam surga, sedangkan yang lahir adalah Sungai Nil dan Sungai Furat (Eufrat). Di Sidrah al-Muntaha Rasulullah saw. menyaksikan berbagai keajaiban yang luar biasa.
Dari Sidrah al-Muntaha, Rasulullah saw. terus ke Mustawa. Di sana beliau mendengar geritan pena, lalu diliputi awan berwarna warni. Sampai di situ, Jibril—yang sejak awal menemani beliau—berhenti, tidak ikut menyertai Rasulullah yang terus naik. Setelah awan itu lenyap, Rasulullah Muhammad saw. melihat Allah Ta’ala, tidak di arah tertentu dan tanpa batas, suci dari sifat-sifat makhluk. Rasulullah saw. menyaksikan tidak hanya dengan hati, melainkan juga dengan mata kepalanya. “Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak pula melampauinya.” [QS. al-Najm 53:17]
Kemudian Rasulullah bersujud dan Allah mengajak-Nya berdialog dikehendaki-Nya. Allah mewajibkan shalat kepada nabi dan umatnya sebanyak lima puluh kali tiap sehari semalam. Setelah menerima perintah shalat lima puluh waktu, beliau turun dan bertemu Nabi Musa. Musa bertanya, “Apa yang telah difardhukan Tuhanmu kepada umatmu?” Rasulullah saw. menjawab, “Lima puluh shalat.” Musa berkata’ “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah keringanan. Umatmu tidak akan kuat melaksanakannya.” Rasulullah saw. kembali menghadap Allah Ta’ala, lalu berkata, “Ya Rabbi, berilah keringanan untuk umatku.” Allah menguranginya lima. Rasulullah saw. terus bolak-balik menghadap Allah untuk meminta keringanan setelah disarankan oleh Musa. Dan setiap kali menghadap, Allah menguranginya lima hingga akhirnya tinggal lima dan Allah berfirman, “Ya Muhammad, itu adalah shalat lima waktu sehari semalam. Setiap satu shalat setara dengan sepuluh shalat. Jadi lima shalat itu setara dengan lima puluh shalat. Putusan-Ku ini tidak bisa diubah.”
Perjalanan Rasulullah saw. dari Mekkah ke Baitul Muqaddas dinamakan isra’. Barangsiapa tidak percaya (mengingkari) setelah mengetahui, berarti dia telah kafir. Dan naiknya beliau dari Baitul Muqaddas menuju tempat beliau bicara langsung dengan Allah Ta’ala dinamakan mi’raj. Barangsiapa mengingkarinya setelah tahu, berarti dia fasiq. [Siapa pun yang berminat mengetahui kisah Isra Mi’raj Rasulullah saw. dan hal yang berkaitan dengannya, silakan baca kitab Dhaw’ al-Siraj fi al-lsra’ wa al-Mi’raj, karya penulis kitab ini (asy-Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi).]
Hal lain yang wajib diimani oleh setiap mukmin adalah kenyataan bahwa Allah Ta’ala berbicara kepada Nabi Musa di gunung (Thursina), berdasarkan firman Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan di dalam Al-qur’an, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”. [QS. an-Nisa 4:164]
Allah Ta’ala berfirman, “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfiman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” [QS. al-A’raf 7:143]
Maksudnya, saat itu Allah menyingkapkan hijab antara Dia dan Nabi Musa, lalu Allah memperdengarkan firman-Nya yang qadim kepada Musa. Setelah itu hijab ditutup kembali. Bukan berarti bahwa Allah mulai berfirman lalu setelah berfirman itu Dia diam. Sebab Allah senantiasa bersifat kalam (berfirman), dan kalam-Nya qadim (tidak bermula dan tidak berakhir). Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa sekembalinya dari munajat itu, Musa menutup telinganya agar tidak sampai dia mendengar suara makhluk.
Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adallah keterlarangan mencuri dengar tentang kebangkitan Rasulullah Muhammad saw. Allah Ta’ala berfirman, “… Tetapi sekarang barang siapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” [al-Jinn 72:9]
Kita juga mesti meyakini bahwa jasad Nabi Muhammad yang mulia itu tidak rusak. Demikian pula jasad para nabi dan rasul Allah lainnya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya. Selain itu, kita mesti yakin pula bahwa Rasulullah Muhammad saw. itu hidup di dalam kuburnya. Demikian pula halnya para nabi dan rasul selain beliau. Karena itu istri-istri Nabi saw. tidak mempunyai masa ‘iddah setelah menjanda dan tidak boleh dinikahi orang lain.
Kenyataan Rasulullah saw. hidup di kuburnya terbukti dengan adanya peristiwa dialog sejumlah orang ‘arif dengan beliau. Seperti riwayat mutawatir tentang al-Quthb ar-Rifa’i r.a. saat ia berziarah ke makam Nabi Muhammad saw. , sebagaimana terungkap di dalam syairnya,
Dari jauh ruhku aku kirimkan
menciumi bumi itu mewakiliku
Dan ini, negeri impian telah hadir
Ulurkanlah tangan kananmu agar bisa kukecup
Kemudian Rasulullah saw. mengulurkan tangannya yang mulia kepada ar-Rifa’i, dan ar-Rifa’i pun menciuminya. Peristiwa tersebut disaksikan oleh para ‘arif yang hadir saat itu.
Kenyataan bahwa Rasulullah saw. serta para nabi dan rasul lainnya hidup di kubur mereka diperkuat dengan hadis yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani yang menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang pun hamba bershalawat kepadaku melainkan shalawatnya itu sampai kepadaku.” Lalu para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, walaupun setelah engkau wafat?” Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun setelah aku wafat. Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bumi menghancurkan jasad para nabi.”
Al-‘arif billah al-Wafa’i berkata, “Aku mimpi bertemu Rasulullah saw., dan saat itu beliau bersabda kepadaku tentang dirinya yang mulia, ‘Aku bukan mayat. Karena sesungguhnya kematianku itu hanya merupakan ketertabiran aku dari orang yang tidak mengenal Allah. Adapun bagi orang yang mengenal Allah, inilah aku, aku melihat dia dan dia bisa melihat aku.”
Salah satu hal yang perlu diketahui tentang Rasulullah saw. adalah kelahirannya. Rasulullah saw. dilahirkan di Mekkah, di tempat yang dikenal sebagai Pasar Malam. Beliau lahir menjelang fajar pada hari Senin tanggal dua belas Rabi’ul-Awwal. Malam kelahiran beliau ini lebih utama daripada Lailatul-Qadar. Karena itu, doa yang dipanjatkan pada setiap malam saat beliau dilahirkan (menjelang fajar) akan dikabulkan.
Rasulullah saw. dibangkitkan di Mekkah, lalu hijrah ke Madinah al-Munawwarah pada hari Senin tanggal dua belas Rabi’ul-Awwal. Beliau wafat di Madinah pada usia enam puluh tiga tahun, dan di sana pula beliau dikuburkan.
Kita juga mesti mengetahui nasab Rasulullah saw. dari pihak ibu dan ayahnya. Dari pihak ayahnya, Sayyidina Muhammad adalah putra Abdullah ibn ‘Abdul-Muththallib ibn Hasyim ibn ‘Abdu Manaf ibn Qushay ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’ab ibn Luay ibn Ghalib ibn Fihr ibn Malik ibn an-Nadhr ibn Kinanah ibn Khuzaimah ibn Mudrikah ibn Ilyas ibn Mudhar ibn Nizaar ibn Ma’add ibn ‘Adnan. Setelah ‘Adnan sampai kepada nabi Adam tidak ada riwayat yang shahih. Hanya saja kita wajib mengetahui bahwa nasab ‘Adnan sampai ke Nabi Isma’il adz-Dzabih ibn Ibrahim Khalilullah.
Adapun nasab Rasulullah saw. dari pihak ibu adalah Muhammad ibn Aminah bint Wahab ibn ‘Abdu Manaf ibn Zuhrah ibn Kilab. Nasab beliau dari pihak ibu bertemu dengan nasab beliau dari pihak ayahnya pada Kilab ibn Murrah.
Selain mengetahui nasab Rasulullah saw., kita juga harus mengetahui putra-putri beliau yang mulia. Putri-putri Rasulullah ada empat. Yang pertama bernama Zainab, yang kedua bernama Ruqayyah, yang ketiga bernama Ummu Kultsum dan yang keempat bernama Fathimah az-Zahra. Sedangkan putra-putranya ada empat, yakni al-Qasim, ‘Abdullah yang dijuluki ath-Thayyib, lalu ath-Thahir dan Ibrahim. Semua putra-putri Rasulullah saw. selain Ibrahim lahir dari rahim Siti Khadijah, Ibrahim lahir dari Mariyah al-Qibthiyyah.
Paman Rasulullah saw. dari pihak ibunya ada tiga, sedangkan bibinya ada dua. Nama-namanya sebagaimana disebutkan dalam syair,
Paman nabi dari ibu adalah Aswad, ‘Umair dan Abdu Yaghuts
tentang Paman-paman Nabi itu tidak ada perselisihan
Bibi nabi dari ibu adalah Furaidah dan Fakhitah
Semuanya meninggal dunia sebelum beliau diutus menjadi nabi
Para ibu kaum mukmin, yakni istri-istri Rasulullah saw., ada sebelas. Mereka adalah Khadijah binti Khuwailid, ‘Aisyah bint Abu Bakr, Hafshah binti ‘Umar, Ummu Salamah bint Abu Umayyah, Ummu Habibah bint Abu Sufyan, Saudah bint Zam’ah, Zainad bint Jahsy, Zainab bint Khuzaimah, Maimunah bint al-Harits, Juwairiyyah bint al-Harits dan Shafiyyah bint Huyay. Khadijah dan Zainab binti Khuzaimah wafat semasa Rasulullah saw. masih hidup.
Paman Nabi saw. dari pihak ayah (Bani ‘Abdul Muththallib) ada dua belas. Mereka adalah al-Harits, Abu Thalib, az-Zubair, Hamzah, Abu Lahab, al-Ghaidaq, al-Muqawwim, Dhirar, al-‘Abbas, Qutsam, ‘Abdul Ka’bah dan Hajl.
Bibi Nabi saw. dari pihak ayah ada enam. Mereka adalah ‘Atikah, Umayyah, al-Baidha, Burrah, Shafiyyah dan Arwa.
Hal lain yang wajib diyakini oleh setiap mukallaf adalah bahwa Allah Ta’ala memuliakan dan mengunggulkan umat Nabi Muhammad saw. lebih dari umat-umat lain di dunia, sebagaimana firman Allah Ta’-ala, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Ali ‘Imran 3:110]
Di dalam kitab al-Hilyah, Abu Na’im meriwayatkan dari Anas r.a .bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah mewahyukan kepada Musa Sang Nabi Bani Isra’il, “Siapa saja yang menjumpai Aku dalam keadaan mengingkari Ahmad, akan Aku masukkan ke dalam neraka.” Musa bertanya, “Ya “Tuhanku, Siapakah Ahmad?” Allah berfirman, “Tidak Aku ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada dia. Aku tuliskan namanya beserta nama-Ku di ‘Arsy sebelum Aku menciptakan langit dan bumi. Dan sesungguhnya surga telah Aku haramkan bagi siapa pun sebelum dia dan umatnya masuk.” Musa bertanya lagi, “Ya Tuhanku, siapakah umatnya?” Allah berfirman, “Mereka adalah orang-orang yang senantiasa memanjatkan puja dan puji kepada-Ku, saat mereka sendirian maupun dalam keramaian. Di dalam setiap keadaan mereka selalu mengingat-Ku. Mereka berpuasa di siang hari dan bermunajat di malam hari. Aku menerima (amal) yang sederhana dari mereka, dan Aku masukkan mereka ke dalam surga dengan hanya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, jadikanlah aku nabi umat itu.” Allah berfirman, “Nabi mereka berasal dari mereka.” Musa memohon, “Ya Tuhanku, jadikan aku bagian dari umat dari nabi itu.” Allah berfirman, “Engkau telah diutus lebih dahulu, sedangkan dia terakhir. Tetapi Aku akan menghimpunkan kamu dengannya di surga yang kekal.”
Selain hadis tersebut, ada banyak hadis masyhur lainnya yang meriwayatkan keutamaan umat Muhammad. Sungguh, Allah Ta’ala telah menjadikan umat Muhammad saw. sebagai ummatan wasathan (umat pilihan) [wasath asy-syai’ berarti bagian paling istimewa dari sesuatu] dan saksi bagi manusia di hari kiamat. Dalam hal ini Allah menempatkan mereka pada kedudukan para rasul yang menjadi saksi atas umat yang lain.
Di dalam hadis-hadis shahih dijelaskan bahwa di Hari Kiamat kelak para rasul dimintai pertanggungjawaban tentang apakah mereka telah menyampaikan kebenaran kepada umat mereka. Para rasul itu mengaku telah menyampaikan semua apa yang diwahyukan Allah. Lalu orang-orang yang kafir dari umat mereka membantah dengan berkata, “Tidak. Mereka tidak menyampaikan apa-apa kepada kami.” Kemudian umat Muhammad saw. bertindak menjadi pembela bagi para rasul dengan keterangan yang ada di dalam Alqur’an, mereka memberi kesaksian bahwa para rasul telah menyampaikan wahyu kepada umat mereka. Kebenaran kesaksian umat Muhammad saw. ini kemudian dikuatkan oleh kesaksian Muhammad saw. atas kebenaran mereka. Itulah firman Allah Ta’ala, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” [QS. al-Baqarah 2:143]
Allah menyebut umat Muhammad dengan sebutan hamba-hamba-Ku yang shalih. Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah Ta’ala, “Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauhmahfuz, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.” [QS. al-Anbiya 21:105]. Yakni semua wilayah yang ditundukkan oleh kaum Muslimin, seperti Hijaz, Irak, Syam dan Mesir. Ada juga ulama yang menafsirkan bahwa al-ardh (bumi) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah surga.
Allah Ta’ala berfirman, “…padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh?” [QS. al-Ma’idah 5:84].
Allah Ta’ala menyifati umat Muhammad sebagai al-falah (yang beruntung), seperti di dalam firman-Nya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.” [QS. al-Mu’minun 23:1]
Ketika Nabi Musa membaca al-alwah [papan-papan bertulisan perintah Allah Ta’ala yang diterima Musa.], dia mendapati keterangan tentang keunggulan umat Muhammad saw. Lalu dia bertanya kepada Allah, “Ya Tuhanku, siapa umat terkasih yang aku dapati di papan papan ini?” Allah menjawab, “Umat Muhammad saw. Mereka ridha menerima yang sedikit dari-Ku dan Aku memberi mereka banyak. Aku ridha dengan amal yang sedikit dari mereka. Bahkan ada di antara mereka yang Aku masukkan ke dalam surga hanya karena dia bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” Musa berkata Iagi, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku membaca ada umat yang kelak di Hari Kiamat akan dibangkitkan dengan wajah laksana bulan di malam purnama. Jadikanlah mereka itu sebagai umatku.” Allah Ta’ala berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad. Aku bangkitkan mereka di Hari Kiamat dengan dahi bertanda putih bersinar”. Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang membawa perbekalan di punggung dan pedang di bahu mereka. Mereka amat bersemangat untuk berjihad di setiap penjuru hingga mereka membunuh Dajjal. Jadikanlah mereka umatku.” Allah Ta’ala berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati penduduk bumi yang mempunyai masjid dan kesucian, bahkan harta rampasan perang pun dihalalkan bagi mereka. Jadikanlah mereka itu umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad. ” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang menunaikan haji ke Baitul Haram bukan untuk memenuhi kebutuhan duniawi. Mereka menangis menjerit dan meneriakkan talbiyyah. Jadikanlah mereka itu umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa bertanya, “Apa yang Engkau limpahkan kepada mereka atas semua itu?” Allah berfirman, “Aku memberi ampunan dan memberikan hak syafaat kepada mereka atas orang-orang yang ada di belakang mereka.” Musa berkata’ “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati kaum yang kurus kering memberi makan binatang-binatang ternak sambil memohon ampunan dari dosa. Salah seorang dari mereka mengangkat suapan mulutnya dengan senantiasa memohon ampunan. la memulainya dengan menyebut nama-Mu dan mengakhirinya dengan memuji-Mu. Jadikanlah mereka sebagai umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang di akhirat mereka lebih dahulu (masuk surga), padahal penciptaan mereka (diturunkan ke bumi) paling akhir. Jadikanlah mereka umatku.” Allah berfirman, “Itu adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang apabila mereka berniat melakukan kebaikan dan dia tidak melakukannya, baginya satu pahala. Dan apabila setelah niat itu mereka melakukannya, maka baginya pahala sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Jadikanlah mereka umatku.” Allah befirman, “Mereka adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang apabila berniat melakukan suatu keburukan namun tidak jadi melakukannya, baginya tidak dituliskan satu keburukan. Tetapi bila setelah niat itu ia melakukannya, baginya hanya dicatatkan satu keburukan. Jadikanlah mereka umatku.” Allah berfirman, “Mereka adalah umat Ahmad. ” Musa berkata Iagi, “Ya Tuhanku, di papan-papan itu aku mendapati umat yang merupakan umat terbaik, mereka mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Jadikanlah mereka itu umatku.” Allah berfirman, “Itu adalah umat Ahmad.” Musa berkata, “Ya Tuhanku, Engkau telah membentangkan semua ini untuk Ahmad dan umatnya, maka jadikanlah aku sebagai bagian dari umatnya.” Maka Allah berfirman, “Hai Musa sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dari manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” [QS. al-A’raf 7:144]. Musa berkata, “Aku ridha, Wahai Tuhanku.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh banyak ahli hadis dengan redaksi yang beragam.