Allah Ta’ala berfirman, “Serulah manusia kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..” [QS. an-Nahl 16:125]
Allah Ta’ala berfirman, “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” ‘[QS. al-Fushshilat 41:33]
Allah Ta’ala berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali ‘Imran 3:104]
Ayat-ayat di atas merupakan dalil tentang kewajiban melaksanakan al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar (menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Kewajiban ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Kewajiban ini merupakan salah satu kewajiban syar’i terbesar, salah satu pokok syariat paling agung dan tiang yang paling kokoh. Dengan al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar tatanan syari’at menjadi kokoh dan mulia. Menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran merupakan dua kebaikan sempurna. Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Rasulullah saw. bersabda: “Siapa saja orang yang mengajak (umat) ke jalan petunjuk, baginya pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa sedikit pun mengurangi pahala mereka. Dan siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, baginya dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya tanpa sedikit pun mengurangi beban dosa mereka.ā Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibn Majah.
Kemudian mengajak umat untuk kembali kepada Allah, berdakwah ke jalan-Nya dan menyerukan agama serta ketaatan kepada-Nya merupakan sifat para nabi dan rasul. Itulah tugas yang diperintahkan dan diwasiatkan Allah kepada mereka. Hal ini pula yang diikuti oleh para pewaris mereka, yakni para ulama yang sungguh mengamalkan ilmunya dan para wali yang salih. Mereka senantiasa mengajak manusia ke jalan Allah dan menyerukan ketaatan kepada-Nya, dengan ucapan dan perbuatan yang penuh kesungguhan dan semangat demi mengharap ridha Allah Ta’ala. Mereka terus melakukannya karena rasa sayang mereka terhadap hamba-hamba-Nya, karena pahala yang dijanjikan-Nya dan demi meneladani rasul-Nya.
Dalam menjalankan tugas tersebut, para nabi dan rasul serta orang-orang yang mengikuti mereka, yakni para imam pemberi petunjuk telah mengalami banyak rintangan yang amat berat dari orang-orang bodoh dan para pembangkang, yang selalu menimpakan hal-hal menyakitkan kepada mereka. Namun mereka tetap sabar dan tabah, tidak patah semangat. Bahkan rintangan dan cobaan menyakitkan yang mereka hadapi itu justru membuat mereka semakin bersemangat untuk terus memberikan bimbingan dan petunjuk kejalan Allah Ta’ala serta memberikan nasihat tentang agama Allah. Mereka adalah ‘alim yang mengenal agama Allah, yang selalu mengingatkan hari-hari Allah serta menyerukan jalan-Nya. Melihat orang-orang bodoh yang lalai akan hari akhir dan hanya mengutamakan dunia, dia tidak memiliki pilihan selain memberikan penjelasan kepada mereka tentang hak-hak Allah yang wajib mereka penuhi, sebagai bentuk peneladanan terhadap Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS. al-Ahzab 33:21]
Oleh karena itu, para da’i dan ulama yang melakukan tugas mengajak orang-orang ke jalan Allah Ta’ala mesti memiliki kesabaran dan ketabahan yang tinggi, berlapang dada, rendah hati dan lemah lembut.
Orang-orang di zaman ini telah didominasi dan diporakporandakan oleh kebodohan, sehingga kebanyakan dari mereka bahkan tidak tahu dan tidak paham kebenaran, tidak mengerti apa itu din. Mereka menganggap enteng masalah agama. Mereka terlalu sibuk dengan urusan-urusan duniawi, sibuk mengumpulkan dunia dan bersenang-senang dengan segala kenikmatannya. Mereka inilah yang digambarkan oleh Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Mereka mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” [QS. ar-Rum 30:7]
Kenyataan itu telah menjadi bencana besar. Bahayanya meliputi semua orang, yang bodoh maupun ulama, masyarakat kebanyakan maupun kalangan khusus. Si bodoh mendapat bahayanya karena dia menjadi abai terhadap hal-hal fardhu yang telah diwajibkan Allah terhadap dirinya, terutama di dalam mengetahui agamanya dan mempelajari hukum-hukumnya. Dan sikap tidak peduli ini jelas merupakan bencana keagamaan yang akan menyebabkan bencana dunia dan akhiratnya. Ulama mendapat bahaya dari kenyataan itu karena kekurangannya di dalam berdakwah, karena ketidaksungguhannya mengajak umat kejalan Allah, karena ketidakseriusannya dalam mengajari orang-orang tentang hukum-hukum agama yang tidak mereka ketahui. Sementara si ulama menyaksikan bagaimana mereka melakukan berbagai hal yang dilarang Allah serta meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah diperintahkan-Nya, tanpa seorang pun berusaha mengingatkan dan mencegah mereka, tanpa seorang pun mengembalikan mereka kepada kebenaran dan mengajari mereka mana hal yang merupakan bagian dari agama dan mana yang bukan. Padahal semestinya ulama memiliki sifat sebagaimana para nabi yakni, melaksanakan kewajiban al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar. Apalagi Rasulullah saw. telah bersabda di dalam salah satu hadisnya, “Orang ‘alim (berilmu) mendapat bahaya dari si bodoh karena si ‘alim itu tidak mengajarinya.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Seandainya mengajari orang yang bodoh itu bukan kewajiban si ‘alim, tentu si ‘alim tidak akan mendapat celaka hanya karena dia diam dan tidak mengajari si bodoh itu. Sungguh, Allah Ta’ala tidak akan menyiksa seseorang hanya karena meninggalkan yang sunnah, tetapi karena meninggalkan yang wajib. Dan hal ini bukan hanya bagi orang-orang ‘alim yang ilmunya mendalam sebagaimana dipahami orang banyak, tetapi ini berlaku bagi siapa saja yang mengetahui permasalahan agama, meski yang diketahuinya itu hanya satu masalah. Allah Ta’ala berfirman, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Isra’il dengan lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” [QS. al-Maāidah 5:78-79]. Mereka mendapat laknat itu karena tidak melaksanakan kewajiban mencegah perbuatan mungkar. Allah Ta’ala juga berfirman, “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang dari pada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” [QS. Hud 11:116]. Allah menjelaskan bahwa Dia telah membinasakan mereka semua selain beberapa gelintir orang dari mereka yang terbukti berusaha mencegah tindak pengerusakan.
Allah Ta’ala berfirman, “Maka tatkala mereka melupakan doa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.ā [QS. al-Aāraf 7:165]
Di dalam satu hadis marfuā dan mauquf diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, berarti dia adalah Khalifah Allah di bumi-Nya, khalifah rasul-Nya dan khalifah kitab-Nya.” Rasulullah saw. juga bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Apabila tidak mampu mengubahnya dengan tangan, hendaklah dia mengubahnya dengan lisan. Apabila dengan lisan pun tidak mampu, maka hendaklah dia mengubahnya dengan hati, dan ini merupakan iman yang paling lemah.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan an-Nasa’i.
Mengubah kemungkaran dengan tangan merupakan tugas penguasa, aparat penegak hukum dan yang sebangsanya. Mengubah kemungkaran dengan lisan merupakan tugas para ulama. Sedangkan mengubah kemungkaran dengan hati merupakan tindakan orang-orang awam atau orang kebanyakan yang lemah.
Rasulullah saw. bersabda: “Suatu kesalahan, apabila ia tersembunyi, hanya akan membahayakan pelakunya. Tetapi apabila nampak dan tidak ada yang berusaha mengubahnya, maka ia akan membahayakan orang banyak.ā Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab al-Ausath. Mereka semua terancam bahaya karena mereka meninggalkan kewajiban yang mestinya mereka lakukan, yakni mencegah dan tidak membenarkan orang yang melakukan kemungkaran tersebut.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Hendaklah kalian menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran, atau Allah akan menguasakan kalian kepada seseorang yang paling kejam di antara kalian, lalu kalaupun orang-orang terbaik yang ada di antara kalian berdoa, mereka tidak akan dikabulkan.ā Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dan at-Thabrani. Mereka dikuasakan kepada orang paling sadis dan doa mereka tidak diterima karena mereka meninggalkan kewajiban al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar. Di dalam hadis ini juga ada peringatan dan ancaman berat bagi orang yang tidak melaksanakan kewajiban mencegah kemungkaran, yakni siksanya tidak akan ditangguhkan dan doanya tidak akan dikabulkan.
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya suatu kaum, apabila mereka diam saat melihat kemungkaran, tidak berusaha mengubahnya, Allah akan menimpakan siksa kepada mereka secara keseluruhan.ā Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tarmidzi, Ibnu Majah dan an-Nasa’i. Redaksinya adalah redaksi dari an-Nasa’i.
Di dalam satu hadis yang diterima dari Ibnu ‘Abbas diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya, “Ya Rasulullah, apakah suatu kaum akan dibinasakan sementara di antara mereka ada orang-orang salih?ā Rasulullah saw. menjawab, “Ya.ā Dikatakan kepada beliau, “Mengapa?ā Rasulullah saw. menjawab, “Sebab mereka menganggap enteng dan diam saja melihat berbagai pembangkangan terhadap Allah.ā
Ketahuilah, manusia memiliki kewajiban mencegah orang lain dari kemungkaran. Demikian pula dia wajib mencegah dirinya sendiri dari kemungkaran, bahkan kewajiban ini lebih utama. Jangan sampai seperti seseorang yang melihat di balik bajunya ada ular dan kalajengking yang akan mengigitnya, tetapi sibuk mengambil kipas untuk mengusir lalat dari wajah orang lain. Tindakan mencegah orang lain dari kemungkaran akan efektif jika dirinya sendiri tidak melakukan kemungkaran itu. Allah Ta’ala befirman kepada ‘Isa ibn Maryam a.s., “Nasihatilah dirimu sendiri. Jika engkau telah melakukannya, nasihatilah orang-orang. Apabila tidak demikian, malulah kepada-Ku.ā
Di dalam satu riwayat disebutkan, “Apabila seseorang duduk menasihati orang-orang, maka malaikat akan berseru kepadanya, ‘Nasihatilah dirimu dengan apa yang engkau nasihatkan kepada saudaramu! Apabila tidak, malulah engkau kepada Tuhanmu. Sungguh Dia memperhatikanmu.ā
Maka, wahai saudaraku, nasihatilah orang-orang dengan hati yang tulus dan qalbu yang penuh takwa. Jangan menasihati mereka dengan mempercantik penampilanmu sementara hatimu busuk. Sebab, bila hati terang, nasihat akan meresap. Apabila ungkapan itu keluar dari hati, maka hati pula yang akan menerimanya, sehingga nasihat itu dapat memberikan pengaruh, entah berupa rasa takut yang mencekam atau kerinduan yang menggelora. Sedangkan ungkapan yang hanya sebatas lisan, tidak bersumber dari hati, maka ia hanya akan sampai di telinga.
Ketahuilah bahwa melaksanakan al-amru bil-ma’ruf wan-nahyu ‘anil-munkar itu, juga diperuntukkan bagi orang yang melakukan tindakan yang terlarang itu. Sehingga para ulama berkata, “…Tugas itu wajib, bahkan bagi si peminum arak. Si peminum arak itu wajib untuk tidak membenarkan orang-orang yang menjadi teman minumnya.ā[]