Hukum akal, yaitu menetapkan atau meniadakan sesuatu pada sesuatu tanpa perlu dipertimbangkan lagi kebenarannya karena tak terbantahkan menurut akal, terbagi menjadi tiga bagian, yaitu wajib, mustahil dan ja’iz atau mumkin. Yang dimaksud dengan perkara wajib di sini adalah sesuatu yang menurut akal tidak benar tiadanya (mesti adanya). Seperti Adanya Allah Ta’ala dan bahwa Allah Ta’ala itu Terdahulu serta Baqa’ (tidak fana). Sedangkan yang dimaksud dengan mustahil adalah sesuatu yang menurut akal tidak benar adanya. Misalnya, keberadaan sekutu bagi Allah Ta’ala adalah mustahil. Adapun yang ja’iz atau mumkin adalah sesuatu yang menurut akal bisa ada atau tiada, seperti keberadaan langit dan bumi, diutusnya para rasul dan diturunkannya Kitab-kitab. Begitu juga memberi pahala kepada orang yang berdosa dan menyiksa orang yang taat.
Adapun sifat (ash-shifah) yakni sesuatu yang tetap melekat pada yang disifati (maushuf), terbagi pada tujuh macam. Pertama, sifat nafsiyyah, yaitu sifat yang tanpanya sesuatu tidak masuk akal ada, seperti sifat wujud (Allah Ada, tidak mungkin tiada). Yang kedua adalah sifat salabiyyah, yaitu sifat yang meniadakan sesuatu yang tidak layak bagi yang disifati, seperti sifat qidam (Allah Maha Terdahulu, tidak mungkin baru). Yang ketiga adalah sifat ma’ani, yaitu sifat yang secara nalar mesti ada pada yang disifati, seperti sifat qudrat (Allah Mahakuasa, tidak mungkin lemah). Yang keempat adalah sifat ma’nawiyyah, yakni sifat yang tetap yang merupakan kelaziman sifat ma’ani, seperti kaunuhu qadiran (kenyataan bahwa Allah Mahakuasa). Yang kelima adalah sifat filiyyah, yaitu sifat yang berkaitan erat dengan Qudrah dan Iradah (Kuasa dan Kehendak), seperti mencipta dan memberi rezeki. Yang keenam adalah sifat jami’ah, yakni sifat yang menghimpun sifat-sifat lainnya, seperti sifat al-Jalal, al- ‘Uzhmah dan al-Kibriya’. Sedangkan yang ketujuh adalah sam’iyyah, yaitu ibarat makna yang disebutkan sama’, yakni Alqur’an dan Sunnah yang mutawatir.
Dilihat dari sudut pandang yang lain, sifat terbagi menjadi dua bagian, yakni muta ‘allaq dan ghair muta’allaq. Yang muta’allaq adalah sifat yang menuntut adanya hal yang mengikut atas keberadaannya, seperti sifat qudrat (Mahakuasa) dan Iradah (Maha Berkehendak). Sifat qudrah (Mahakuasa) menuntut adanya al-maqdur ‘alaih (sesuatu yang dikuasai), sedangkan sifat iradah (berkehendak) menuntut adanya murad (sesuatu yang dikehendaki). Sedangkan sifat ghair muta ‘allaq tidak menuntut adanya hal yang mengikut atas keberadaannya. Seperti sifat al-Hayat (Allah Mahahidup). Setelah anda memahami semua itu, kami akan melanjutkan pembahasan pada bab ketuhanan.[]