Iman adalah membenarkan dengan hati. Yaitu tunduk patuh dan menerima perkara yang niscaya dari agama Sayyidina Muhammad saw. Yakni yang tampak dan masyhur yang diketahui oleh umum, seperti keesaan Sang Pencipta Yang Mahasuci, kenabian Muhammad saw., adanya kebangkitan manusia dari kubur, adanya balasan amal, wajibnya shalat, zakat dan haji, haramnya khamar, zina, riba dan lainnya.
Beriman secara utuh tentang hal-hal yang diterangkan secara menyeluruh dianggap cukup sebagai iman. Seperti mempercayai adanya para malaikat yang umum diketahui, mempercayai kitab-kitabnya dan para rasul-Nya. Namun untuk hal-hal yang diriwayatkan secara rinci, disyaratkan untuk beriman pula. Seperti mempercayai Jibril, Mika’il, Musa, ‘Isa, Taurat, Zabur, Injil dan yang lainnya. Sehingga orang yang tidak membenarkan salah satunya saja setelah dia mengetahui bahwa keterangannya ada di dalam Alqur’an dan hadis, maka dia kafir.
Beriman kepada Allah dan rasul-Nya adalah tunduk patuh dan menerima semua yang dikabarkan Allah Ta’ala melalui lidah rasul-Nya dan tunduk patuh serta menerima semua yang disampaikan sang rasul dari-Nya.
Iman adalah amalan hati yang tidak berkaitan dengan lisan dan anggota badan. Hanya saja, karena iman merupakan amal batin yang tidak dapat dilihat mata sehingga tidak bisa dikenai hukum-hukum syara, maka sang pemangku syariat membuat penanda bagi hal yang ada di hati seseorang, yaitu al-iqrar bil-lisan (pernyataan lisan). Pernyataan lisan ini menjadi penanda bagi keyakinan hati sekaligus menjadi syarat (landasan) untuk memberlakukan hukum-hukum dunia kepadanya. Seperti, shalat di belakangnya (boleh bermakmum kepadanya), boleh dishalati saat mati, dikubur di pekuburan muslim, darah dan harta bendanya dilindungi, boleh menikahi wanita muslimah dan lainnya.
Rasulullah saw. bersabda, “Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan La ilaha illallah. Apabila mereka telah mengucapkannya, maka terpeliharalah darah dan harta benda mereka dariku, kecuali pelaksanaan kalimah itu, perhitungannya urusan Allah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Yang dimaksud mengucapkan la ilaha ilallah di dalam hadis itu bukan sekadar mengucapkan la ilaha ilallah, melainkan disambung dengan muhammad rasulullah. Sebab kesaksian la ilaha ilallah menjadi batal bila tidak disertai kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah.
Simpulannya, iman adalah membenarkan dengan hati saja, dan baginya berlaku hukum-hukum akhirat. Sedangkan pernyataan lisan adalah syarat untuk memberlakukan hukum-hukum dunia. Barangsiapa mengungkapkan pernyataan dengan lisannya tetapi tidak membenarkan dengan hatinya (beriman dengan lisan tetapi tidak dengan hati), maka dia adalah mukmin menurut kita dan kafir menurut Allah Ta’ala, dan dia menjadi ahli neraka. Barangsiapa membenarkan dengan hati tetapi tidak mengungkapkan pernyataan dengan lisannya karena udzur, maka dia kafir menurut kita dan mukmin menurut Allah Ta’ala’ dan dia menjadi ahli surga. Sedangkan orang yang tidak mengungkapkan pernyataan dengan lisan dan tidak pula membenarkan dengan hatinya, maka dia adalah kafir menurut kita dan menurut Allah Ta’ala.
Para ulama telah sepakat bahwa bila pernyataan lisan itu dituntut, maka seseorang akan dihitung beriman hanya bila dia mengungkapkan pernyataan lisan. Apabila dia tidak mau mengungkapkan pernyataan lisannya karena sombong, dia sungguh kafir yang melawan. Inilah makna qaul ulama bahwa meninggalkan perlawanan merupakan syarat kebenaran iman.
Kesimpulannya, di dalam kebenaran dan ketegasan iman, pembenaran hati meliputi banyak hal yang bila dilanggar berarti melanggar iman. Di antaranya, bersujud kepada patung, membunuh nabi, menganggap remeh nabi, mushhaf atau Ka’bah. Apabila ada satu saja dari hal-hal itu di dalam diri seseorang, maka iman orang itu rusak, dalam pandangan kita dan Allah Ta’ala.
CATATAN
Ulama berbeda pendapat tentang kenyataan bahwa iman bisa bertambah dan berkurang. Mazhab Jumhur Ahlus-Sunnah berpendapat bahwa iman bertambah dengan bertambahnya ketaatan dan berkurang dengan berkurangnya ketaatan. Pendapat ini ditunjukkan oleh Alqur’An dan hadis-hadis yang shahih. Makna bertambah dan berkurangnya iman adalah menguatnya sebagian unsur iman hingga lebih kuat dari unsur iman lainnya di dalam tingkat keyakinan. Seperti, kenyataan bahwa satu sebagai setengah dari dua, lebih meyakinkan daripada kenyataan bahwa alam ini adalah sesuatu yang baru.
Allah Ta’ala berfrman, “Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” [QS. al-Fath 48:4]
Allah Ta’ala berfirman, “…supaya orang yang beriman bertambah imannya…” [QS. al-Muddatsir 74:31]
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Nabi Ibrahim, “Tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” [QS. al-Baqarah 2:260]. Maksudnya agar ketenangan hatinya bertambah. Sebab ketenangan itu sudah ada pada hati Ibrahim. Ayat ini juga menampakkan bahwa iman siapa pun tidak ada yang sesempurna iman Rasulullah Muhammad saw.
Iman Abu Bakr lebih kuat daripada iman umat Islam yang lain. Hal ini ditegaskan di dalam sebuah hadis mauquf, “Abu Bakr mengungguli kalian bukan karena shalat atau puasanya. Dia mengungguli kalian dengan apa (iman) yang tertanam kuat di dadanya.”
Ibnu ‘Umar r.a. ditanya, “Apakah iman bisa bertambah dan berkurang?” dan dia menjawab, “Ya. Iman bertambah sampai orang yang memilikinya masuk surga. Iman juga bisa berkurang sampai pemiliknya masuk neraka.”
Para ulama berbeda pendapat apakah seorang mukmin boleh atau tidak untuk berkata, “Saya seorang yang beriman, jika Allah menghendaki.” Yang jelas, jika yang dimaksud dengan iman adalah murni iman sebagai keyakinan, maka tidak boleh ta’liq (mengaitkannya dengan jika Allah menghendaki), sebab dalam ke-kini-annya iman itu sudah ada. Namun jika yang dimaksud iman di sini adalah penentu keselamatan dan pahala, maka ta’liq diperbolehkan. Sebab, saat itu belum diketahui kepastian hasilnya. Tentang hal ini terdapat dua kelompok pendapat sebagaimana diriwayatkankan oleh al-‘Allamah at-Taftazani.
Iman terdiri dari empat tingkatan. Pertama, iman orang-orang munafik, yakni iman yang hanya di lisan mereka, tetapi tidak dengan hati. Iman mereka hanya bermanfaat bagi mereka di dunia, untuk memelihara darah dan harta benda mereka. Sedangkan di akhirat, mereka seperti difirmankan Allah Ta’ala, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka” [QS. an-Nisa 4:145]
Kedua, iman kebanyakan orang mukmin. Mereka beriman dengan hati dan lisan, tetapi mereka berperilaku tidak sesuai dengan tuntutan-tuntutan iman. Pada diri mereka tidak nampak buah keyakinan. Mereka tidak sepenuhnya pasrah pada pengaturan dari Allah. Mereka merasa takut dan berharap kepada yang selain Dia, mereka berani menyalahi perintah dan larangan-Nya.
Ketiga, iman orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-Muqarrabn). Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berusaha menghadirkan simpul-simpul keimanan, dan batin mereka tercetak demikian. Mata hati mereka menjadi seakan-akan melihat segala sesuatu muncul dari sumber kuasa azali. Buah iman pun tampak pada diri mereka. Mereka tidak melihat sesuatu pun lebih tinggi daripada Allah. Mereka tidak takut dan tidak berharap selain kepada-Nya. Sebab mereka mengetahui bahwa makhluk tidak memiliki kemanfaatan dan kemadharatan, tidak memiliki mati, hidup ataupun kebangkitan. Mereka tidak cinta kepada selain Allah. Sebab, bagi mereka tidak ada yang berbuat baik selain Allah. Karena itu asy-Syaikh Abu al-Hasan r.a. berdoa, “Anugerahilah kami iman sejati, hingga kami tidak lagi takut selain kepada-Mu, tidak berharap selain kepada-Mu, tidak mencintai selain diri-Mu dan tidak menghamba selain kepada-Mu.”
Mereka tidak sedikit pun menolak perbuatan-perbuatan-Nya, tidak pula hukum-hukum-Nya. Sungguh, mereka yakin Dia adalah al-Hakim (Yang Mahabijak). Mereka melihat bahwa akhirat adalah tempat menetap abadi, maka mereka pun menempuh hidup dunia ini sebagai jalan menuju akhirat.
Keempat, iman orang-orang yang sudah fana di dalam tauhid dan tenggelam di dalam musyahadah (penyaksian Allah). Seperti yang tampak di dalam ungkapan Sayyidi ‘Abdussalam, “Allah telah menenggelamkan aku di samudera kesatuan, hingga aku tidak melihat, tidak mendengar, tidak mendapati dan tidak merasakan selain yang satu,” Sayyidi ‘Abdussalam juga berkata, “Kumpulkanlah antara aku dan Engkau, dan pisahkanlah antara aku dan selain Engkau.” Maqam ini kadang didapat dan kadang terputus.
Iman model yang keempat ini juga tampak dalam ungkapan salah seorang ‘arif, “Aku melihat Tuhanku dengan mata hatiku. Maka aku berkata: tidak ragu Iagi Engkau adalah Engkau.” Atau seperti yang tampak dari ungkapan asy-Syaikh Abu al-Hasan, “Sesungguhnya aku melihat Allah dengan mata keyakinan dan keimanan.”
Keterangan di atas sudah cukup bagi kami, sehingga tidak perlu lagi dalil dan bukti untuk menjelaskan kepada orang-orang. Apakah di dalam wujud ada sesuatu selain Allah Yang Haqq? Kita tidak melihatnya. Sekalipun ada, kita melihatnya laksana debu di udara yang saat Anda perhatikan dengan seksama, akan Anda dapati semua itu bukan apa-apa. Tentang kenyataan ini ada seorang ‘ãrif yang berkata, “Pemandangan itu tampak besar di hadapanku hingga seakan-akan dia sungguh nyata, padahal ia sekadar angan-angan.”
Seorang ‘arif lainnya berkata,
Sejak aku mengenal Tuhan, aku tidak melihat selain Dia
demikian pula yang selain Dia, bagiku terlarang
Sejak aku berkumpul, aku tidak khawatir berpisah
sungguh, sekarang aku telah sampai dan berkumpul
Ketahuilah bahwa iman merupakan anugerah nikmat yang paling utama di atas segalanya. Engkau mengerti bahwa Allah Ta’ala telah memuliakan Anda dengan nikmat iman hingga iman jadi menyenangkan bagimu, dan engkau tidak menyukai kekufuran, kefasikan dan maksiat. Engkau juga paham bahwa nikmat ini murni merupakan anugerah dan nikmat dari-Nya, yang tidak seorang pun berhak mendapatkannya. Engkau mengerti bahwa dengan iman itu, Allah telah melebihkanmu dari kebanyakan orang sepertimu. Karena itu, nilailah nikmat iman sesuai dengan nilainya. Lalu laksanakan kewajiban mensyukurinya.
Sungguh, iman adalah modal dasar keselamatan dan kemuliaan. Iman sebagai modal keselamatan, sebab dengan iman akan diperoleh pertolongan Allah dari dahsyatnya siksa kubur, Hari Kiamat, timbangan amal, jembatan, neraka, pengusiran, pengasingan dan murka. Iman juga merupakan modal kemuliaan, karena dengan iman engkau akan memperoleh nikmat kubur, berupa perluasan ruang kubur, keramahan kubur dan pembukaan pintu ke surga untuk jalan ruhmu memasukinya dan menikmati berbagai kesenangannya. Dengan iman engkau bisa menikmati kesenangan surga: bidadari-bidadari, istana-istana, bermacam-macam pakaian, makanan dan minuman. Dengan iman pula engkau akan memperoleh kenikmatan puncak, yakni memandang Wajah Mulia Sang Kekasih.
Di dalam satu riwayat disebutkan, “Tidak ada kalimat yang lebih disukai oleh Allah dan tidak ada ungkapan syukur yang lebih besar dalam pandangan-Nya daripada ucapan seorang hamba, “Segala puji bagi Allah Yang telah melimpahkan nikmat dan membimbing kami kepada Islam.”
Sayyidina Yusuf a.s. berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian takbir mimpi. (Ya Tuhan), Pencipta langit dan bumi. Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” [QS. Yusuf 12:101]
Kalaupun dalam iman hanya ada keselamatan dari huru-hara Hari Kiamat, tentu hal itu sudah cukup dipandang sebagai nikmat terbesar. Sungguh, kedahsyatan pada Hari Kiamat telah membuat para nabi dan rasul selain Muhammad saw. berucap, “diriku… diriku… pada hari ini aku hanya bisa memohon untuk diriku kepada-Mu”, dan kalau pun seseorang memiliki amal sebanyak amal tujuh puluh nabi, dia akan mengira dirinya tidak akan selamat.