Hakikat ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, sebagaimana disebutkan di dalam hadis dari Jibril.
Al-Jalal al-Mahalli berkata, “Hakikat ihsan adalah merasa senantiasa diawasi Allah Ta’ala di dalam semua peribadatan yang meliputi iman dan islam, sehingga semua peribadatan sang hamba itu sampai pada tingkat kesempurnaan dalam keikhlasan.”
Ilmu (kesadaran) hamba akan kenyataan bahwa Allah senantiasa melihatnya, itu lebih sempurna di dalam tanzih (penyucian) daripada penyaksiannya terhadap al-Haqq. Sebab, hamba hanya akan menyaksikan-Nya sesuai kadar akalnya, padahal Allah Mahasuci dari semua citraan akal. Lain halnya dengan kesadaran hamba bahwa Allah Ta’ala senantiasa melihatnya. Apabila hamba beribadah kepada Tuhannya seakan-akan dia melihat-Nya, tentu dia akan mendapati bahwa perbuatan itu milik Allah, hamba sama sekali tidak memiliki andil apa pun dalam perbuatan itu. Hamba dihukumi berbuat hanya karena dia menjadi tempat pemunculan perbuatan itu, tiada lain. Barangsiapa telah menyaksikan kesaksian ini, berarti dia telah memurnikan amalnya kepada Allah, tidak menyekutukan Dia dengan dirinya dalam perbuatan itu.
Ketahuilah bahwa orang yang menduduki maqam ihsan, pada diri mereka tidak akan terbersit kemaksiatan selagi mereka berada dalam keihsanan. Karena itu para nabi senantiasa ma’shum (terjaga dari perbuatan maksiat). Hal serupa terjadi pula pada diri para wali, karena kediaman mereka dalam ihsan. Bedanya, para nabi senantiasa ihsan di semua keadaannya, sedang para wali tidak di semua keadaannya, tetapi hanya di sebagian besar keadaannya.