Al-Wajd (ekstase) ialah warid[*] yang merasuki hati dari ketersingkapan rahasia-rahasia Dzat dan cahaya-cahaya-Nya hingga membuat ruh merasa dahsyat, kemudian meluap pada anggota tubuh hingga akal tampak linglung dan badan pun bertindak aneh.
[*] Warid adalah cahaya Ilahi yang dipancarkan oleh Allah ke dalam hati orang yang Dia cintai dari hamba-hamba-Nya. Menurut Ibn ‘Atha’illah, warid terbagi menjadi tiga kategori: awal, tengah dan akhir. Bagian awal, warid al-‘intibah (inspirasi kewaspadaan), yakni cahaya yang mengeluarkan hamba dari gelap kelalaian menuju kesadaran yang terang. Warid jenis ini diberikan kepada kelompok awal para pesuluk. Jika dia bangun dari tidurnya dan sadar dari kelalainnya, maka dia mantap di atas kakinya untuk mencari Tuhannya sehingga ia menghadap kepada-Nya dengan hati dan badannya, kemudian dia mendekat kepada-Nya secara total. Bagian tengah, warid al-iqbal (inspirasi penerimaan), yaitu cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati hamba-Nya. Cahaya itu menggerakkannya untuk mengingat Tuhannya dan melenyapkan yang selain-Nya. Dia senantiasa sibuk dengan zikir kepada-Nya. Lenyap dari yang selain-Nya, sehingga hatinya dipenuhi cahaya, dan lenyap dari segala sesuatu selain yang dizikirkan. Dia hanya melihat cahaya. Dia keluar dari penjara selain Tuhan dan bebas dari perbudakan makhluk. Bagian akhir, warid al-wishal (inspirasi pertemuan), yaitu cahaya yang menguasai hati seorang hamba, zahir dan batinnya. Cahaya itu mengeluarkannya dari penjara nafsu dan melenyapkannya dari penyaksian akan penampakannya.
Kebenaran al-wajd diisyaratkan di dalam Alquran dan sunnah. Allah Ta’ala mengisyaratkan dalam firman-Nya, āBelumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.ā [QS. al-Hadid 57:16]. Di dalam ayat lain Allah Ta’ala mengisyaratkan, āSesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka.ā [QS. al-Anfal 8:2]. Sungguh, orang yang khusyuk hati dan bergetar saat mengingat Allah Ta’ala, kadang akalnya lenyap dari pemuliaan manusia dan anggapan ahli majelis. Karena itu, dia kemudian berdiri misalnya, atau duduk, berputar-putar, sangat bergembira, atau kadang jatuh di atas lantai, sesuai kadar kesiapannya memikul inspirasi-insprirasi ilahiah yang merasukinya. Bagi setiap orang muslim dan orang yang beriman, tidak diragukan lagi bahwa orang yang mengalami kondisi tersebut berada dalam ketaatan dan ibadah. Jangan berprasangka buruk kepadanya. “Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.ā [QS. az-Zumar 39:22]. Di dalam atsar disebutkan, āSatu keterpikatan spiritual (jadzbah) dari keterpikatan-keterpikatan oleh Yang Maha Pengasih, setara dengan amal semua manusia dan jin.ā
Di dalam Musnad al-Imam Ahmad disebutkan, dari ‘Ali ibn Abi Thalib k.w., dia berkata, āAku datang kepada Nabi saw. bersama Ja’far dan Zaid. Lalu Nabi saw. berkata kepada Zaid, ‘Engkau adalah maula-ku, maka berjenggetlah (berjalan dengan satu kaki).’ Lalu beliau berkata kepada Ja’far, ‘Engkau telah menyerupai perangai dan akhlakku, maka berjenggetlah.’ Lalu beliau berkata kepadaku, ‘Engkau dariku, maka engkau juga berjengget.”‘ Berjengget adalah mengangkat satu kaki dan berjalan dengan satu kaki lainnya. Ini merupakan salah satu luapan ekstase. Kondisi ekstase benar-benar pernah dialami sebagian sahabat. Karena itu kita tidak diperkenankan berburuk sangka kepada ahli ekstase, karena berburuk sangka kepada sesama muslim sungguh dilarang. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.ā [QS. al-Hujurat 49:12]
Menghadapi perkataan dan perbuatan orang yang dalam kondisi ekstase harus dengan takwil. Dalam kondisi jadzbah, seorang murid terkadang berteriak, bertingkah tak karuan, menjatuhkan diri dan menangis. Etika bagi orang yang berada dalam kondisi tersebut adalah menyerahkan diri secara total kepada warid yang merasukinya dan bertindak mengikutinya. Jangan sampai dia tercegah dari jeritan atau tangisan misalnya, agar tidak tertimpa bahaya.
Murid yang beriman sejati hendaklah berusaha ekstase untuk mencari hakikat dengan belajar menangis. Ada hadis yang disandarkan secara mauquf kepada Abu Bakr, Abu Musa dan ‘Abdullah ibn ‘Umar, “Menangislah kalian. Bila kalian belum bisa menangis, maka berpura-puralah menangis.” [Diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam az-Zuhd.]
Salah seorang ‘arif berkata, “Sesungguhnya kedua mata tidak dapat menangis sampai datang malaikat dari Allah. Lalu malaikat itu mengusap hati dengan sayapnya sehingga kedua mata hati dapat menangis, kemudian tangis itu meluap di kedua bola mata.ā
Apabila kondisi ekstase telah kokoh, ia akan membuatmu tecengang. Bila telah membuatmu tercengang, ia akan membuatmu linglung. Di sini, engkau adalah murid (yang menghendaki). Bila kelinglunganmu itu berlanjut dan tak putus, ia akan merenggut dan merampasmu dari dirimu, hingga engkau berada dalam kondisi terampas (maslub), lalu terpikat (majdzub).
Asy-Syaikh Abu Madyan r.a. mengisyaratkan beberapa kondisi ektase di dalam bait-bait syairnya:
Katakan kepada orang yang melarang ekstase bagi ahlinya
bila engkau belum mengecap arti minuman cinta, tinggalkan kami
jika ruh-ruh bergetar bergerak karena rindu perjumpaan
berbagai bayangan menari-nari, wahai orang tak tahu arti
tidakkah kau lihat burung yang dikurung, hai anak muda
bila ingat alamnya ia rindu dan bernyanyi
yang ada di hatinya membuat ia bersiul-siul
lalu tubuhpun bergoyang dalam rasa dan makna
ia bergetar dalam kurung karena rindu perjumpaan
dan menyenangkan orang-orang berakal bila bernyanyi
Begitu juga ruh para pecinta, wahai anak muda
ia digerakkan limpahan kerinduan pada alam yang terindah
apa kita harus menahannya dalam sabar padahal mereka sedang merindu
dan apakah orang yang menyaksikan makna mampu bersabar
Wahai yang ‘asyiq dalam rindu, berdirilah kau sendiri
dendangkanlah nama kekasih pada kami dan ruh kami
bentengi sirr kami dari para pendengki di dalam kemabukan kami
Bila kedua matamu mengingkari sesuatu, hapuskanlah kami
sebab kami, bila telah nyaman dan hati merasa betah
arak cinta membuat kami mabuk terkoyak
Maka janganlah engkau mencerca si mabuk saat dia mabuk
sebab saat kami mabuk, tanggung jawab syara terangkat dari kami
serahkan saja pada kami apa yang telah kami nyatakan
sebab bila kami tengah dimabuk rindu, mungkin kami menyingkap
kami minum, kami bergembira, lalu tiba-tiba kami cemas karena rindu
maka demi Allah, hai orang-orang yang hampa isi, jangan kejam pada kami
Ada seorang ‘arif berkata, “Penyebab manusia merasakan getaran jiwa saat mendengar suara yang indah adalah keterkenangan ruh pada kelezatan pesan yang diterimanya di masa perjanjian primordial, saat diseru: Bukankah Aku ini Tuhanmu. Yakni ketika ruh keluar dari tulang rusuk Adam dan menerima khitab itu. Bila ruh teringat akan hal itu, ia merindu.”
Al-Imam Syaikhul-lslam al-‘Izz ibn ‘Abdussalam berkata,
dalam kondisi ekstase, bila benar, sungguh tiada dosa
tiada pula kecenderungan akan membahayakan, bila sungguh murni
bunyi itu sungguh bening, namun cahaya beningnya
tertutup nan terhijab bagi orang yang berhati keras
ia adalah cahaya bagi orang yang berhati lapang oleh cahaya
namun ia api bagi yang berdada sesak oleh waswas
ia menerbangkan ruh-ruh dari sangkar
dengan tajam ia mengingatkanmu pada janji terdahulu
walau janji telah lama, si perindu tak seperti si pelupa
bukan cela bila baginya didendangkan nyanyian
ia merintih sedih, bukan karena takut pada manusia
Sayyidi ‘Abdul Ghani an-Nabilsi r.a. Berkata,
Gelas tauhid bagi orang yang meminumnya
mengalirkan ilmu dan pengetahuan
Jadilah orang bemata hati
jangan mencela si pemabuk yang teler minuman takwa
sebab engkau akan menjadi tercela
Dia minum al-gharb bergelas matahari, lalu bangun malam [*]
dia mabuk, kemudian memuntahkan banyak bintang
[*] Al-gharb, vitalitas atau kesigapan.
Al-Junaid berkata, “Saat kondisi penyimakan, bagi murid diperkenankan melepaskan atau menahan kondisi mabuk rindunya. Itu pun bila dia menghendaki.”
Salah satu tanda kemabukan yang benar adalah tambahan kekuataan yang muncul saat sama’ (penyimakan), sehingga kekuatannya menjadi lebih besar daripada saat dia dalam kondisi sadar. Misalnya, menjadi mampu memikul batu besar atau mencabut pohon besar dari akarnya, atau sejenisnya. Dulu, asy-Syaikh ‘Abdul Hama’il r.a. dapat memikul drum penampung air berisi penuh di usianya yang sudah renta, sekitar seratus tahun. Saat sama’, dia mampu memutar drum itu ke atas dengan sebelah tangannya, padahal bila dalam kondisi sadar, mengangkat kendi air tempatnya berwudhu pun dia tak mampu.[]