Para murid tarekat semestinya mengenal garis keturunan (nasab) guru mereka dan semua pemangku mata rantai kemursyidan dari sang guru sampai ke Rasulullah saw. Sebab apabila sang murid hendak mencari bantuan dari spirit mereka, dan dan hubungan si murid dengan mereka itu benar, dia akan mendapatkan bantuan yang dicarinya itu dari spirit mereka. Sedangkan orang yang silsilahnya tidak sampai ke hadirat nabawi, pancaran emanasinya akan terputus dan tidak bisa menjadi pewaris dari Rasulullah saw. Dan karenanya dia tidak sah mengambil bai’at dan memberi ijazah.
Saya pribadi—al-faqir yang selalu mengharap curahan rahmat Allah Yang Mahakuasa—Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili, telah mendapat kehormatan dengan mengambil janji setia dan menerima ijazah dengan tawajjuh—kemudian melakukan pembimbingan dan penuntunan zikir setelah bertahun-tahun menempuh suluk di dalam Thariqah Naqsyabandiyah—dari [mata rantai ijazah ditutur berurut dari penulis sampai ke Rasulullah saw.]:
- Al-quthb al-arsyad wal-ghauts al-amjad syaikhuna asy-Syaikh ‘Umar q.s.
- Sirajul-millah wad-din asy-Syaikh ‘Utsman r.a. [Ayahanda asy-Syaikh ‘Umar q.s.]
- Dhiya’uddin Maulana asy-Syaikh Khalid al-Utsmani q.s [Beliau masih anak turunan amirul-mu’minin Sayyidina ‘Utsman ibn ‘Affan r.a]
- Al-‘arif billah asy-Syaikh ‘Abdullah ad-Dahlawi al-‘Alawi r.a [Beliau masih anak turunan amirul-mu’minin Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a]
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Syamsuddin Habibullah Jan Janan Muzhhar al-‘Alawi q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh asy-Syarif Nur Muhammad al-Badwani q.s
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad Saifuddin q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad Ma’shum q.s. [Ayahanda asy-Syaikh Muhammad Saifuddin q.s.]
- Al-imam ar-rabbani asy-syaikh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi q.s. [Ayahanda asy-Syaikh Mulrammad Ma’shum q.s. Beliau masih anak turunan amirulmu ‘minin khalifatur-rasul Sayyidina ‘Umar al-Faruq r.a.]
- Al-‘arif billah asy-syaikh muayyiduddin Muhammad al-Baqi Billah q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad al-Khawajiki al-Amakani as-Samarqandi q.s. [Ayahanda asy-Syaikh Muhammad al-Khawajiki q.s.]
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Darwis Muhammad as-Samarqandi q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad az-Zahid q.s. [Beliau adalah paman asy-Syaikh Darwis Muhammad as-Samarqandi q.s]
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Nashiruddin ‘Ubaidillah al-Ahrar as-Samarqandi ibn Mahmud ibn Syihabuddin q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Ya’qub aj-Jarkhi q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad ‘Ala’uddin al-‘Aththar al-Bukhari al-Khawarizmi q.s.
- Al-‘arif billah imamuth-thariqah wa ghautsul-khaliqah as-Sayyid Baha’uddin Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad asy-Syarif al-Husaini al-Hasni al-Uwaisi al-Bukhari q.s. [Beliau dikenal sebagai Syah Naqsabandi, Guru Besar Sang Pemuka Tarekat Naqsabandi]
- Al-‘arif billah asy-Syaikh as-Sayyid Amir Kalal ibn as-Sayyid Hamzah q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Muhammad Baba as-Simasi q.s.
- Al- ‘arif billah asy-Syaikh ‘Ali ar-Ramitani q.s. (terkenal dengan sebutan al—’Uzaizan)
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Mahmud al-Anjir Faghnawi q.s
- Al-‘arif billah asy-Syaikh ‘arif ar-Rayukari q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghajdawani ibn al-Imam ‘Abdul Jamil q.s. [Beliau masih anak turunan Imam-Daril-Hijrah Malik ibn Annas r.a.]
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Abu Ya’qub Yusuf al-Hamdani ibn Ayyub ibn Yusuf ibn al-Husain q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Abu ‘Ali al-Fadhl ibn Muhammad ath-Thusi al-Faramidi q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Abu al-Hasan ‘Ali ibn Abu Ja’far al-Khirqani q.s.
- Al-‘arif billah asy-Syaikh Abu Yazid Thaifur ibn ‘Isa ibn adam ibn Sarwasyan al-Bisthami q.s.
- Al-‘arif billah al-Imam Ja’far ash-Shadiq r.a., cucu al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr ash-Shiddiq r.a.
- Al-‘arif billah Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakr ash-Shiddiq r.a
- Sahabat yang agung, Salman al-Farisi r.a.
- Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq al-Akbar r.a.
- Rasulullah Muhammad saw
Faedah
Ayahku yang agung [Asy-syaikh Fathullah Jadah, ayahanda asy-Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi] telah menuliskan sejumlah hal yang baik tentang para syaikh pemangku silsilah ini, tentang perjalanan dan sejarah hidup mereka, serta beberapa ucapan hikmah mereka yang sungguh indah di dalam kitab yang dia namai al-Mawahib as-Sarmadiyyah fi Manaqibi as-Sadah an-Naqsabaniyyah. Ketika aku mengkaji kitab ini, aku berpikir untuk menerbitkannya kembali. Lalu aku menelaah kitab-kitab lain yang memuat berbagai uraian tambahan dan aku menyertakannya pada kitab ayahku. Pada beberapa bagian kitab ayahku, aku juga melihat beberapa hal yang dirasa tidak perlu karena sudah ada uraiannya pada kitab-kitab lain, karena itu aku menghapusnya. Kemudian aku sertakan pula biografi ayahku yang ditulis oleh Maulana asy-Syaikh Salamah al-Azami r.a. yang wafat pada tanggal 12 Muharam tahun 1376 H. Aku menamai kitab tersebut Khulashah al-Mawahib (Ringkasan Kitab al-Mawahib). Kami persilahkan Anda menelaahnya.
Thariqah Naqsyabandiyah
Ketahuilah bahwa Thariqah Naqsyabandiyah merupakan thariqah yang paling dekat dan paling mudah bagi murid untuk mencapai derajat tauhid, meskipun kemampuan penerimaan si murid kurang baik dan tidak memiliki kesiapan yang sempurna untuk meraih derajat tinggi itu. Syaikh yang menjadi guru di dalam thariqah ini akan berupaya melakukan pengaturan pada sang murid dengan menambahkan rasa cinta kepadanya. Karena thariqah ini berpondasi pada pengubahan perilaku (tasharruf) dan pemberian keterpikatan ruhani (jadzbah) yang lebih didahulukan daripada penempuhan jalan ruhani (suluk) dari seorang mursyid yang sudah masuk dalam kategori pewaris Nabi saw. dalam kondisi-kondisi ruhaninya yang khusus (al-ahwal al-khashshah). Dari ahwal yang khusus itu syaikh mursyid mampu memancarkan cahaya-cahaya ketuhanan ke hati para pencari Tuhan Yang Mahabenar (al-Haqq). Bagian terbesar para pengikut sempurna thariqah ini adalah pewarisan kondisi ruhani sang pembenar agung, Abu Bakr r.a. yang menjadi perantara ikatan silsilah ini. Di dalam thariqah ini, pemberian keterpikatan ruhani (jadzbah) lebih didahulukan daripada pemberian suluk, mengikuti sunnah dan menjauhi bid’ah—yakni bid’ah yang buruk yang tidak diridhai Allah Rasul-Nya—dengan pemantapan hati, menjauhi rukhshah, dan mengosongkan diri dari sifat-sifat buruk (takhalla) dan memenuhi diri dengan akhlak-akhlak yang baik dan terpuji (tahalla).
Yang dimaksud rukhshah di sini adalah sesuatu yang semestinya dijauhi oleh pencari Tuhan Yang Mahabenar, seperti terlalu berlebihan menikmati kesenangan-kesenangan yang diperbolehkan, tertawa lepas, senda gurau, tenggelam dalam kelalaian dan terus menerus dalam kondisi kenyang. Bukan hukum-hukum yang disebutkan oleh para ahli fiqih sebagai kemudahan syariat bagi manusia, seperti mengusap sepatu dan tayammum pada saat sakit, serta shalat qasar dan berbuka puasa pada saat berada dalam perjalanan. Sebab, Allah senang engkau mengambil keringanan yang telah diberikan-Nya untukmu sebagaimana dia senang engkau mengambil kemantapan yang telah ditetapkannya untukmu, sebagaimana telah ditegaskan di dalam sabda Rasulullah saw. Perhatikanlah perbedaan tersebut, agar engkau tidak terjerumus dalam kekeliruan.
Di dalam thariqah ini keterpikatan lebih didahulukan daripada penempuhan jalan ruhani. Dan orang yang terpikat lalu menempuh jalan ruhani (al-majdzub as-salik) lebih tinggi derajatnya daripada penempuh jalan ruhani yang kemudian mengalami keterpikatan (as-salik al-majdzub) Keduanya sama-sama mengalami pelintasan jenjang-jenjang spiritual. Namun al-majdzub as-salik memiliki kelebihan, karena dia menyaksikan segala sesuatu dengan Allah. Dan ini tentu lebih tinggi daripada orang yang penyaksian segala sesuau karena Allah (as-salik al-majdzub). Selain itu, as-salik al-majdzub hanya akan berujung pada fana’ (lenyap dalam Allah), sedangkan al-majdzub as-salik akan berujung pada baqa (lestari bersama Allah) dan sadar setelah fana’ (ash-shahwu ba’dal fana’). Dari sini diketahui bahwa titik mula al-majdzub as-salik merupakan ujung perjalanan as-salik al-majdzub. Orang yang mengenakan kondisi ruhani ini (majdzub) tentu akan lebih cepat sampai kepada Allah daripada orang yang mengenakan suluk.
Thariqah ini berbeda dengan thariqah-thariqah lain. Karena di dalam thariqah lain, untuk tahap permulaan si murid akan memasuki pengkhidmatan dan pelatihan-pelatihan yang berat untuk mengendalikan hawa nafsu dan memperoleh penyucian jiwa (tazkiyah). Karena bagi mereka, tazkiyah lebih didahulukan daripada tashfiyah (pembeningan).
Para tokoh terkemuka Thariqah Naqsyabandiyah berkata, “Setelah seorang murid diarahkan pada tashfiyah dan menghadapkan diri kepada al-Haqq dengan penuh kesungguhan, maka dengan bantuan tarikan spiritual dari tarikan-tarikan Allah Yang Mahakasih, dalam waktu yang singkat dia akan memperoleh tazkiyah yang bahkan tidak bisa dicapai orang lain melalui latihan-latihan spiritual selama bertahun-tahun. Karena bagi mereka, keterpikatan ruhani lebih didahulukan daripada suluk, dan suluk mereka seperti lingkaran, tidak memanjang.”
Abu Manshur al-Maturidi r.a. menegaskan, “Panjang pendeknya thariqah ini tidak seperti jarak perjalanan yang harus ditempuh jiwa hingga bisa dilintasi dengan penempuhan langkah kaki sesuai kadar kekuatan jiwa. Thariqah ini merupakan jalan ruhani yang ditempuh oleh hati, maka pelintasannya adalah dengan pikiran-pikiran sesuai kadar keyakinan dan kemampuan mata hatinya. Sumbernya adalah cahaya samawi dan pandangan ilahi yang jatuh di hati hamba, lalu dengan cahaya itu dia melihat hakikat dunia dan akhirat. Seorang hamba mungkin mencarinya selama seratus tahun sambil berteriak-teriak minta tolong dan menangis, namun dia tidak menemukannya, tidak juga mendapatkan jejaknya. Ada pula yang berhasil mendapatkannya dalam waktu enam puluh tahun. Sebagian lagi ada yang mendapatkannya dalam waktu dua puluh tahun, ada yang dalam waktu sepuluh tahun, ada yang dalam waktu satu tahun, ada yang dalam waktu satu bulan, ada yang dalam waktu satu minggu, ada yang dalam waktu satu jam, dan ada pula yang mendapatkannya dalam tempo sekejap, sesuai kadar keyakinan.”
Langkah pertama yang diterapkan oleh para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah adalah adz-dzikr al-qalbi (zikir hati) yang pada thariqah Iain merupakan tingkatan zikir kedua. Sebagian ulama yang sungguh ahli di dalam ilmu lahir dan batin, yang mengomentari al-Hikam Ibn ‘Atha’illah, berkata tentang kata-kata beliau: Janganlah engkau meninggalkan dzikir hanya karena ketidakhadiran bersama Allah Ta’ala di dalam dzikirmu itu, “Hakikat zikir adalah mengusir kelalaian, dan zikir itu memiliki beberapa tingkatan. Tingkat pertama adalah zikir lisan. Zikir lisan ini ada dalilnya dalam Alqur’an dan sunnah. Karena itu, wahai saudaraku, tekunilah zikir lisan hingga engkau bisa sampai dan mendapat kemuliaan zikir dengan hati. Zikir hati di dalam thariqah lain merupakan dzikir tingkatan kedua. Sedangkan bagi para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah, zikir hati merupakan langkah awal. Langkah pertama yang diterapkan para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah adalah zikir hati, namun hal ini hanya dikenal dari mereka. Karena itu, seorang salik tidak akan dapat teguh berada dalam maqam ini selain melalui mereka.”
Asy-Syaikh al-Akbar as-Sayyid Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi berkata, “Permulaan di dalam thariqah kami merupakan penghujung di thariqah-thariqah lain.”
Thariqah Naqsyabandiyah adalah thariqah para sahabat yang tetap kokoh berada pada pangkalnya tanpa ditambah dan dikurangi. Thanqah ini adalah formulasi ibadah lahir batin yang terus menerus. Semua orang bisa mengikutinya dan semua orang bisa mengambil manfaatnya, orang tua maupun anak-anak, yang masih hidup maupun yang sudah mati. Karena itu, tujulah mereka serta ciumlah keharuman mereka. Mudah-mudahan engkau beruntung mendapati salah seorang di antara mereka, mendapatkan mutiara yang suci ini, dan bisa mencium wewangi thariqah yang belum pernah terbersit di hatimu, sehingga kekacau-balauan lenyap dari dirimu. Mereka adalah orang-orang yang bersih dari segala kotoran. Khalwat mereka berada dalam jalwat (keramaian), dan jalwat mereka berada dalam khalwat. Bagi mereka, semua perkumpulan menjadi zawiyah (ordo Sufi). Mereka hadir di majelis-majelis, sementara hati mereka hadir bersama Allah dan kosong dari selain Dia. Mereka sesuai dengan firman Allah Ta’ala, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah.” [QS. an-Nur 24:37]
Sayyidah Rabi’ah al-Adawiyah bersenandung tentang makna ini:
Kujadikan Engkau berada dalam hati denganku berbincang
Sementara jasadku kuizinkan bagi siapa saja yang ingin duduk bersamaku
Jasadku jadi penghibur bagi orang yang duduk bersamaku
Sedangkan Kekasih hatiku dalam qalbu penghiburku
Abu Sa’id al-Kharraz r.a. berkata, “Orang yang sempurna bukanlah orang yang darinya lahir banyak jenis keramat. Akan tetapi, orang yang sempurna adalah orang yang duduk bersama orang-orang, jual-beli, menikah dan bergaul bersama mereka namun tidak sesaat pun dia lalai dari Allah.”
Dengan hatimu, jadilah engkau tenggelam dalam cinta Sang Kekasih
dan dengan tubuhmu yang tampak tampillah, dalam pakaian asing
Inilah jalan ruhani yang langka, sehingga ahlinya amat mulia
sebab mereka memperoleh tempat minum paling tawar
Bangunan Thariqah Naqsyabandiyah yang luhur ini didirikan di atas pengamalan sebelas kata bahasa Persia. Delapan kata didapat secara turun temurun dari Hadrat asy-Syaikh ‘Abdul Khaliq al-Ghajdawani. Yaitu: husy dardam, nazhar barqadam, safar dar wathan, khalwat dar anajuman, yad karad, baz kasyat, nakah dasyat, yad dasyat. Tiga berikutnya terambil secara turun temurun dari asy-Syaikh al-Akbar as-Sayyid Muhammad Baha’uddin an-Naqsyabandi. Yaitu: wuquf zamani, wuquf ‘adadi, dan wuquf qalbi. Di sini kami akan mengemukakan terjemahan dan penjelasannya agar saudara sekalian dapat mengamalkannya, insya’ Allah.
Husy dardam adalah menjaga nafas dari kelalaian, saat nafas keluar, saat masuk, dan saat di antara keluar dan masuk. Agar hatinya senantiasa hadir bersama Allah di dalam setiap nafas. Sebab setiap nafas yang masuk dan keluar disertai kehadiran Allah, dia hidup dan sampai kepada Allah. Sedangkan setiap nafas yang keluar dan masuk tanpa disertai kehadiran Allah (lalai), dia mati dan terputus dari Allah.
Nazhar barqadam, artinya seorang salik harus melihat ke arah kakinya saat berjalan. Begitu juga saat duduk, dia hanya diperbolehkan melihat apa yang ada di kedua tangannya. Sebab melihat berbagai macam benda dan warna dapat merusak kondisi ruhaninya dan mencegatnya dari tujuan yang sedang ditempuhnya. Karena pezikir tingkat pemula, bila pandangannya berhubungan dengan banyak perkara yang dilihatnya, hatinya akan sibuk dengan keterpecahan yang dihasilkan dari penglihatannya terhadap berbagai pemandangan itu, karena belum memiliki kemampuan untuk menjaga hati.
Safar dar wathan, artinya perpindahan dari sifat-sifat manusiawi yang jelek kepada sifat-sifat malakuti yang mulia. Seorang pesuluk harus menelisik dirinya: apakah di dalam hatinya masih tersisa kecintaan pada makhluk? Bila dia mengetahui masih ada tersisa sedikit saja kecintaan kepada makhluk, dia harus segera berjuang melenyapkannya.
Khalwat dar anajuman, artinya pengosongan hati dari makhluk (khalwat) di keramaian makhluk (jalwat). Yang dimaksud adalah hati si pesuluk harus selalu hadir bersama Allah al-Haqq di dalam segala keadaan. Dia gaib dari makhluk sementara dirinya berada di tengah-tengah mereka. Khalwat ada dua. Pertama, khalwat lahir, yaitu penyepian diri si pesuluk di sebuah rumah yang sunyi dari manusia. Kedua, khalwat batin, yaitu batin senantiasa berada dalam penyaksikan asrar Allah meskipun lahiriahnya berinteraksi dengan makhluk.
Yad karad adalah mengulang-ulang zikir secara terus menerus, baik zikir dengan asma Dzat (lafazh Allah) maupun dengan kalimah tahlil (la ilaha illallah), sampai dia memperoleh kehadiran Dia Yang dizikirkannya.
Baz kasyat adalah kembali kepada munajat di dalam penafian dan penegasan—dengan kalimat mulia berikut: ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi [artinya: Ya Tuhanku, Engkaulah tujuanku dan ridha-Mu buruanku.]—setelah pembebasan jiwanya. Munajat ini bisa menguatkan penafian dan penegasan, dan akan meresapkan inti tauhid hakiki ke dalam hati si pezikir hingga wujud seluruh makhluk sirna dari pandangannya.
Nakah dasyat adalah menjaga hati agar tidak sesaat pun dimasuki bisikan-bisikan haib. Karena hal ini merupakan masalah besar menurut para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah. Asy-Syaikh Abu Bakr al-Kattani r.a. berkata, “Aku telah menjaga pintu hatiku selama empat puluh tahun. Aku tidak membukanya selain untuk Allah Ta’ala, sampai hatiku tidak mengenal selain Allah Ta’ala.” Sebagian pemuka lainnya berkata, “Aku menjaga hatiku selama sepuluh malam, dan hatiku menjaga diriku selama dua puluh tahun.”
Yad dasyat adalah penghadapan murni—yang kosong dari berbagai lafazh zikir—kepada penyaksian cahaya-cahaya Dzat Ahadiyat. Namun sejatinya hal ini hanya bisa dilakukan secara istiqamah setelah mencapai fana’ yang sempurna dan baqa’ yang penuh.
Wuquf zamani adalah menilik kondisi diri setiap dua atau tiga jam sekali, untuk melihat apakah dalam dua atau tiga jam terakhir itu dirinya hadir bersama Allah atau tidak. Bila pesuluk mendapati kondisi dirinya hadir bersama Allah Ta’ala, maka bersyukurlah kepada-Nya atas taufik ini. Namun kalaupun demikian, dia harus tetap menganggap dirinya masih sangat kurang di dalam kehadirannya bersama Allah, lalu memulai kembali kehadiran yang lebih sempurna. Apabila ternyata dirinya lalai, segeralah beristighfar atas kelalaiannya, dan kembali pada kehadiran yang sempurna.
Wuquf ‘adadi adalah memelihara hitungan ganjil dalam zikir nafyi dan itsbat (la ilaha illallah). Misalnya hitungan tiga atau lima, sampai hitungan dua puluh satu.
Wuquf qalbi, sebagaimana dikatakan oleh asy-Syaikh ‘Ubaidillah Ahrar q.s., “…adalah istilah bagi kehadiran hati bersama al-Haqq Ta’ala hingga tak tersisa sesuatu pun untuk tujuan hati selain al-Haqq, dan hati tidak lalai dari makna lafazh zikir, sebab hal ini merupakan syarat zikir yang harus dipenuhi.” Asy-Syaikh ‘Ubaidillah juga berkata dalam menafsirkan wuquf qalbi, “…yaitu kenyataan si pezikir hadir hatinya saat berzikir, yaitu dia menghadap pada hatinya dan membuatnya sibuk dengan lafazh zikir dan maknanya serta tidak sampai meninggalkannya karena lupa zikir atau lalai dari maknanya.” Penulis ar-Rasyahat yang merupakan salah seorang murid asy-Syaikh ‘Ubaidillah Ahrar berkata, “Khawajah Baha’uddin tidak menjadikan menahan nafas dan memelihara bilangan sebagai suatu keharusan dalam berzikir. Namun beliau menjadikan wuquf qalbi sebagai hal penting dan menganggapnya sebagai suatu keharusan, karena intisari zikir yang menjadi tujuan dzikir adalah wuquf qalbi.”
Zikir Qalbi
Zikir dibagi menjadi dua, zikir qalbi dan zikir lisan. Masing-masing memiliki dalil dalam Alqur’an dan sunnah. Zikir lisan adalah zikir dengan lafazh yang tersusun dari suara dan huruf. Zikir lisan tidak mudah dilakukan setiap saat oleh si pezikir, karena jual beli dan kegiatan lain bisa menghalanginya dari zikir ini. Berbeda halnya dengan zikir qalbi. Zikir qalbi dilakukan dengan cara pengawasan hati terhadap Dia yang dinamai dengan lafazh zikir, Dia Yang sepi huruf dan suara. Karena itu, tidak ada hal yang bisa menghalangi si pezikir dari zikir qalbi.
Zikirlah kepada Allah dengan hati tersembunyi dari makhluk
tanpa huruf dan bunyi suara
Sungguh, zikir ini merupakan zikir paling utama dari semua zikir
begitulah pendapat para tokoh suci
Karena alasan tersebut para pemuka kami di Thariqah Naqsyabandiyah memilih zikir hati. Selain itu, juga karena hati merupakan tempat memandang Allah Yang Maha Pengampun, tempat iman bersarang, kotak penyimpanan rahasia, tempat memancar segala cahaya. Bila hati baik, seluruh jasad bisa baik. Bila hati rusak, seluruh jasad bisa berperilaku busuk, sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw. Bahkan seseorang hanya akan menjadi mukmin jika hatinya yakin dan percaya pada Dia yang wajib diimaninya, demikian pula ibadah hanya akan sah bila dengan niat dalam hati.
Para ulama bersepakat bahwa perbuatan anggota badan tidak akan diterima tanpa disertai perbuatan hati. Sedangkan perbuatan hati bisa diterima meski tanpa tindakan anggota badan, walaupun perbuatan hati juga tidak akan diterima sebelum ada iman. Dan iman adalah pembenaran dengan hati. Allah Ta’ala berfirman, “Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka.“ [QS. al-Mujadilah 58:22]
Allah Ta’ala berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa.” [QS. al-Hujurat 49:3]
Allah Ta’ala berfirman, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam dirimu,” [QS. al-A’raf 7:205] yakni, di dalam hatimu, dengan dalil firman Allah Ta’ala, “Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri: “Mengapa Allah tiada menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan itu?” [QS. al-Mujadilah 58:8]
Allah Ta’ala juga berfirman, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” [QS. al-A’raf 7:55]
‘A’isyah mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda. “Zikir yang ini (yakni, zikir yang tersembunyi) melebihi zikir yang itu (yakni, zikir yang terbuka) sebanyak tujuh puluh kali lipat. Nanti pada hari kiamat Allah menggiring seluruh makhluk ke tempat penghitungan amal, dan para malaikat pencatat memberikan apa yang mereka jaga dan mereka catat, Allah Ta’ala berfirman, ‘Lihatlah oleh kalian, apakah masih ada yang belum tercatat?’ lalu para malaikat itu menjawab, ‘Tidak ada yang tertinggal sedikit pun dari yang kami ketahui dan kami jaga. Seluruhnya benar-benar telah kami hitung dan kami catat.’ Kemudian Allah Ta’ala berfirman kepada hamba-Nya, ‘Sesungguhnya engkau masih menyimpan satu kebaikan pada-Ku, dan Aku akan memberimu balasannya, yaitu zikir tersembunyi.” (HR. al-Baihaqi)
Di dalam kitab Shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Aku seperti sangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya saat dia berzikir kepada-Ku. Jika dia berdzikir kepada-Ku dalam dirinya, Akupun mengingatnya dalam diri-Ku. Bila dia berzikir kepada-Ku di dalam perkumpulan, maka Aku akan menyebut-nyebutnya di dalam perkumpulan yang lebih baik dari perkumpulannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah saw. bersabda, “Zikir yang paling baik adalah yang tersembunyi. Sedangkan rezeki yang paling baik adalah yang mencukupi.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu ‘Awunah dan Ibn Hibban di dalam kitab shahih mereka, diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi.
Rasulullah saw. bersabda, “Zikir yang tidak didengar oleh malaikat Hafazhah nilainya lebih dari tujuh puluh kali lipat.” [HR. al-Baihaqi]
Selain keterangan di atas, masih banyak hadis yang menjelaskan keutamaan zikir qalbi atas zikir lisan.
Salah seorang ‘arif berkata, “Zikir hati adalah pedang para murid. Dengannya mereka memenggal musuh dan dengannya pula mereka menolak berbagai wabah yang akan menuju mereka. Sesungguhnya bila bencana akan masuk kepada seorang hamba, sementara sang hamba meminta tolong dengan hatinya kepada Allah Ta’ala, maka seketika itu pula Dia akan menghalangi segala sesuatu yang tidak dia sukai darinya.”
Para ‘arif sufi juga berkata, “Barangsiapa dikehendaki baik oleh Allah, Dia akan membukakan penutup hatinya dan menumbuhkan keyakinan di dalam hatinya.”
Asy-Syaikh Abu Sa’id al-Kharraz berkata, “Apabila Allah menghendaki salah seorang hamba-Nya menjadi wali, maka untuknya Dia akan membukakan pintu zikirnya. Apabila sang hamba sudah menikmati zikir, maka Allah akan membukakan baginya pintu kedekatan. Lalu Dia akan menaikannya ke majelis keramahan, kemudian mendudukannya di kursi tauhid. Berikutnya Dia akan mengangkat hijab darinya, memasukkannya ke taman fardaniyah, menyingkapkan tirai keagungan (jalal) dan kebesaran (‘azhamah). Apabila pandangannya telah terantuk ada keagungan dan kebesaran-Nya, dia akan abadi tanpa dirinya. Pada saat itulah si hamba akan memasuki masa kesirnaan (fana’). Maka tibalah dia pada penjagaan-Nya dan terbebas dari pengakuan-pengakuan egonya.”
Khalid ibn Ma’dan berkata, “Setiap hamba memiliki dua mata kasar yang melihat masalah dunia. Dia juga memiliki dua mata hati yang melihat urusan akhirat. Apabila Allah menghendaki seorang hamba baik, Dia akan membukakan mata hatinya. Dengannya dia akan melihat apa yang Allah janjikan secara gaib. Apabila Allah menghendakinya tidak demikian, maka Dia akan membiarkannya sebagaimana adanya.”
Ahmad ibn Hadhrawaih berkata, “Hati itu adalah wadah. Bila ia penuh dengan kebenaran, maka luapan cahaya kebenaran akan muncul pada anggota badan. Bila ia penuh dengan kebatilan, luapan gulita kebatilannya pun akan muncul pada anggota badan.”
Dzun-Nun al-Mishri berkata, “Kelurusan hati sesaat lebih utama daripada ibadah semua manusia dan jin. Apabila malaikat tidak mau memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar atau patung, maka bagaimana fakta-fakta kebenaran akan memasuki hati yang di dalamnya ada sifat-sifat selain Allah Ta’ala.”
Al-‘arifal-kabir Abu al-Hasan asy-Syadzili berkata, “Secuil perbuatan hati setimbang dengan segunung perbuatan anggota badan.”
Tata Cara Berzikir Menurut Para Pemuka Naqsyabandiyah
Ketahuilah bahwa zikir qalbi terbagi dua. Pertama, dengan nama zat. Kedua, dengan penafian yang selain Allah dan penegasan Dzat Allah (an-nafyi wa al-itsbat). Nama Dzat adalah lafazh Allah. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah.” [QS. Thaha 20:14]. Allah Ta’ala juga berfirman, “Katakanlah: “Allah”, kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al-qur’an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” [QS. al-An’am 6:91]. Dan Rasulullah saw. bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi selama di muka bumi ini masih ada orang yang berucap Allah, Allah.” (HR. Muslim)
Katakanlah Allah! lalu tinggalkanlah wujud dan apa yang dimilikinya
Bila dulu engkau terbalik hingga puncaknya
pada hakikatnya, segala sesuatu selain Allah itu tiada
rinci maupun umum
Ketahuilah bahwa engkau dan seluruh alam
bila bukan karena-Nya, tentu lenyap terhapus
siapa pun yang tiada wujud dengan sendirinya
tentu wujudnya berasal dari Dzat-Nya
bila bukan karena-Nya, adanya sungguh mustahil
Orang-orang ‘arif sirna pada-Nya
hingga mereka tak melihat sesuatu pun selain Dia
Yang Mahabesar nan Mahatinggi
Mereka melihat segala selain Dia sungguh sirna binasa
Sekarang, dahulu kala dan juga di masa yang akan datang
Menurut para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah, adab berzikir ada 11, yaitu:
- Berzikir dalam keadaan suci dari hadats, dengan cara berwudhu setiap kali batal. Dengan alasan sabda Rasulullah saw., “Wudhu itu menutupi dosa-dosa.” [Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya. Diriwayatkan pula oleh selain beliau.]
- Mengawalinya dengan shalat dua raka’at.
- Menghadap kiblat di tempat yang sunyi, dengan alasan sabda Nabi saw., “Majelis yang paling baik adalah yang menghadap kiblat.” [HR. ath-Thabrani]. Selain itu juga Rasulullah saw. bersabda, “Ada tujuh golongan yang akan Allah naungi di bawah naungan-Nya pada hari tiada naungan selain naungan-Nya, yaitu … dan seseorang yang berzikir kepada Allah dalam sunyi hingga air matanya mengalir.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
- Duduk tawarruk dalam posisi balik tawarruk shalat. Dengan alasan riwayat yang menyebutkan bahwa dahulu bila para sahabat duduk di hadapan Rasulullah saw., mereka duduk dengan cara seperti itu. Cara duduk seperti itu lebih dekat pada sikap tawadhu’ dan lebih efektif untuk menghimpun seluruh indera.
- Memohon ampunan dari seluruh maksiat yang telah dilakukannya, dengan cara membayangkan seluruh kejelekan berada di hadapannya, disertai kesadaran bahwa Allah Ta’ala senantiasa melihat dan mengawasinya. Kemudian setelah mengosongkan diri dari semua pikiran duniawi, dia menghadirkan keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, kedahsyatan pukulan dan kuasa paksa-Nya. Pada saat itulah dia akan memperoleh rasa malu di hadapan Allah, lalu akan memohon ampun kepada-Nya dengan kesadaran bahwa Allah Maha Pemurah lagi Maha Pengampun. Memohon ampun dilakukan oleh lisan dengan berucap astaghfirullah lalu hati menyadari maknanya. Istighfar diucapkan sebanyak lima kali, atau lima belas kali, atau dua puluh lima kali. Jumlah yang terakhir ini yang paling sempurna, dengan alasan sabda Nabi saw., “Barangsiapa senantiasa istighfar, Allah akan memberinya jalan keluar dari segala kesempitan, akan memberinya solusi dari semua kebingungan, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak dia perhitungkan.” [HR. Ahmad dan al-Hakim]. Di dalam beberapa riwayat lain ada perkataan yang secara tegas menyebutkan jumlah bilangan istighfàr sebanyak dua puluh lima kali.
- Membaca Surah al-Fatihah satu kali dan Surah al-lkhlash sebanyak tiga kali untuk dihadiahkan kepada Rasulullah saw. dan kepada arwah semua Syaikh Thariqah Naqsyabandiyah.
- Memejamkan kedua mata, merapatkan bibir atas dan bibir bawah, serta merapatkan lidah ke atap tenggorokan. Tujuannya agar dia memperoleh kekhusyukan yang sempurna dan memutus bisikan-bisikan jiwa yang pasti muncul dari pandangan mata.
- Berhubungan dengan kubur (rabithah al-qabri), yaitu pengawasan hati terhadap kematian. Caranya antara lain dengan membayangkan diri seolah-olah telah mati, dimandikan, dikafani, dishalati, dibawa ke kuburan, diletakkan dalam kubur dan ditinggalkan seluruh keluarga dan teman, seorang diri di dalam kubur. Pada saat itu engkau akan tahu bahwa tiada yang akan bermanfaat bagimu selain amal shalih. Cara ini dilakukan dengan alasan sabda Rasulullah saw., “Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah orang asing atau orang yang sedang dalam perjalanan. Anggaplah dirimu sebagai bagian dari penghuni kubur.” (HR. at-Tirmidzi)
- Pertalian dengan syaikh mursyid, yaitu penghadapan hati murid kepada hati syaikhnya. Lalu si murid memelihara citra sang mursyid di dalam imajinasinya walaupun sang mursyid tidak berada di hadapannya. Selain itu, dia harus menyadari bahwa hati syaikh bagaikan saluran air yang memancarkan pancaran ilahi dari samuderanya yang terhubung ke hati murid yang berasosiasi. Si murid juga hendaknya meminta berkah darinya karena dia adalah media untuk bisa sampai kepada Allah. Tentang hal ini ada banyak keterangan yang jelas dari Alqur’an dan hadis Nabi saw. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya…” [QS. al-Ma’idah 5:35] Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” [QS. at-Taubah 9:119]. Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang akan bersama-sama dengan orang yang dicintainya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Salah seorang ‘arif berkata, “Jadilah engkau bersama Allah. Jika tak mampu, hendaklah engkau bersama dia yang bersama Allah.” Kaum ‘arif juga berkata, “Fana’ di dalam syaikh merupakan pendahuluan bagi fana’ di dalam Allah.”
Jika pada saat penghadiran bayangan malah terjatuh pada kondisi mabuk atau hilang kesadaran, tinggalkanlah pelirikan bayangan, lalu menghadaplah pada kondisi tersebut.
- Menghimpun seluruh indera badan dan memutuskan segala kesibukan dan bisikan jiwa darinya, lalu menghadapkan diri kepada Allah Ta’ala dengan seluruh idrak-nya (daya pemahaman), kemudian berucap tiga kali, “Ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi.” Setelah itu mulai menzikirkan nama Dzat dengan hati, dengan cara mengalirkan lafzhul-jalalah (Allah) di hatinya, disertai konsentrasi terhadap maknanya (yakni, Dzat tanpa misal), serta menyadari bahwa Allah Ta’ala Mahahadir, melihat dan meliputinya. Hal ini dilakukan berdasarkan sabda Nabi saw. dalam penjelasannya tentang ihsan, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, Dia sungguh melihatmu.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]. Di dalam hadis yang lain disebutkan, “Iman yang paling utama adalah engkau menyadari bahwa sesungguhnya Allah menyaksikanmu di manapun engkau berada.” [HR. ath-Thabrani]
- Sejenak menanti warid zikir manakala usai zikir, sebelum membuka kedua kelopak mata. Apabila tampak sesuatu yang gaib atau jadzbah (tarikan spiritual), maka berhati-hatilah agar tidak sampai memutuskannya.
Catatan
Jika di saat berzikir itu si pelaku mendapat penampakan atau bisikan-bisikan gaib yang memecah kesatuan hatinya, hendaklah dia membuka kedua matanya. Dengan demikian penampakan itu akan lenyap. Bila dengan cara seperti itu tidak lenyap, ucapkanlah sebanyak tiga kali: Allahu nazhiri Allahu hadhiri. Jika penampakan itu masih juga belum lenyap, tinggalkanlah berzikir lalu fokuskan perhatian pada rupa guru mursyid. Bila masih tetap tidak hilang juga, ambillah wudhu, atau mandi, kemudian shalat dua raka’at, lalu beristighfar dan berdoa, “Ya kasyifa kulli karbin wa ya mujiba kulli da’watin wa ya jabara kulli kasirin wa ya muyassira kulli ‘asirin wa ya shahiba kulli gharibin wa ya muannisa kulli wahidin wa ya jami’a kulli syamlin wa ya muqalliba kulli qalbin wa ya muhawwila kulli hal la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh-zhalimin asa’aluka an taj’ala li farjan wa makhrajan wa an taqdzifa hubbaka fi qalbi hatta la yakunu li hammun wa la fi qalbi ‘ammun wa an tahfazhani wa tarhamani bi rahmatika ya arhamar-rahimin.”[*]. Dengan demikian semua penampakan dan bisikan gaib iłu akan menyingkir darinya, insya Allah Ta’ala.
[*]Wahai Penyingkap segala kesusahan, wahai Pengabul segala permohonan, wahai Perekat semua yang terpecah, wahai Pemberi kemudahan dari segala yang sulit, wahai Sahabat setiap yang terasing, wahai Pelipur semua yang sendiri, wahai Penghimpun segala yang tercerai-berai, wahai Yang membolak-balik setiap hati, wahai Pengubah segala keadaan, tiada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, aku sungguh termasuk orang yang zhalim. Aku memohon kepada-Mu agar Engkau menjadikan kegembiraan dan jalan keluar bagiku, agar Engkau melekatkan cinta-Mu di hatiku, sehingga tak ada lagi kebingungan dalam diriku, tidak pula kebutaan di hatiku. Dan kumohon Engkau menjagaku dan mengasihaniku dengan rahmat-Mu, wahai Yang Paling Pengasih di antara semua yang pengasih.
Mengenal dan Mengolah Lathifah
Para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah telah memperkenalkan lathifah-lathifah manusia guna mempermudah penempuhan jalan ruhani bagi para pesuluk. Dengan lathifah-lathifah itu mereka menzikirkan lafzhul-jalalah (Allah) agar diperoleh tarikan spiritual tertentu yang bersifat dzati.
Lathifah yang pertama adalah al-qalb. Ia terletak sekitar dua jari di bawah payudara sebelah kiri dengan posisi condong ke sisi luar berbentuk sanubari. Ia berada di bawah telapak kaki[*] Adam a.s. Cahayanya berwarna kuning. Apabila cahaya lathifah ini telah keluar dari depan pundak dan melaju ke atas, atau padanya diperoleh getaran atau gerakan kuat, maka hendaknya ia menuntun lathifah ar-ruh.
[*] Yang dimaksud dengan al-qadam (telapak kaki) di sini adalah sunnah dan thariqah. Telapak kaki Adam berarti sunnah dan thariqah Adam.
Lathifah ruh terletak sekitar dua jari di bawah payudara sebelah kanan dengan posisi miring ke dada. Ia berada di bawah telapak kaki Nuh a.s. dan Ibrahim a.s. Cahayanya berwarna merah. Zikir berada dalam ruh, sedang wuquf berada dalam hati. Apabila padanya terjadi gerakan dan menyala, hendaklah ia menuntun lathifah as-sirr.
Lathifah as-sirr terletak sekitar dua jari di atas payudara sebelah kiri dengan posisi miring ke arah dada. Ia berada di bawah telapak kaki Musa a.s. Cahayanya berwarna putih. Zikir berada padanya, sedang wuquf berada dalam hati. Bila ia telah menyala, hendaklah ia menuntun lathifah al-khafi.
Lathifah al-khafi terletak sekitar dua jari di atas payudara sebelah kanan dengan posisi miring ke dada. Ia berada di bawah telapak kaki ‘Isa a.s. Cahayanya berwarna hitam. Bila menyala, hendaklah ia menuntun lathifah al-akhfa.
Lathifah al-akhfa terletak di tengah-tengah dada. Ia berada di bawah telapak kaki Nabi Muhammad saw. Cahayanya berwarna hijau. Karena itu, sibukkanlah dirimu untuk mengolahnya dengan zikir sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Barangsiapa berhasil mendaki sampai ke salah satu lathifah tersebut, dan nampak kepadanya formulasi serta kondisi ruhani sebagaimana di atas, berarti dia berada pada tempat minum Nabi yang di bawah telapak karena lathifah itu berada di bawah telapak kakinya.
Kemudian hendaklah ia menuntunkan an-nafyu wa al-itsbat, yakni kalimah: “la ilaha illallah.” Tata caranya sebagai berikut:
Si pezikir menempelkan lidahnya pada langit-langit tenggorokan. Lalu setelah mengambil nafas, tahanlah nafas itu di rongga mulut dan mulai mengambil kalimat ”la” dengan imajinasi la itu dia ambil dari bawah pusar dan membentangkannya di tengah-tengah lathifah al-akhfa sampai berhenti pada lathifah an-nafs an-nathiqah yang terletak di bagian dalam otak pertama yang dikenal sebagai selaput otak.
Setelah itu, mulailah mengambil hamzah kalimat ilaha dari otak sambil membayangkannya turun hingga berhenti di bahu sebelah kanan, lalu mengalirkannya ke dalam lathifah ar-ruh. Tahap berikutnya adalah mulai mengambil hamzah kalimat illallah dari bahu dan membentangkannya secara menurun ke ambang tengah-tengah dada sampai berhenti di lathifah qalb. Lalu imajinasikanlah memukul bagian hitam di tengah-tengah hati dengan lafdzul-jalalah melalui kekuatan nafas yang tertahan sehingga pengaruh dan panasnya muncul di seluruh tubuh, sehingga panasnya menghanguskan seluruh bagian-bagian badan yang jelek dan menerangi bagian-bagian baik yang ada di dalamnya dengan cahaya keagungan Allah.
Selain itu, si pezikir juga harus selalu memperhatikan makna la ilaha illallah, yakni tiada yang disembah, tiada yang dituju dan tiada wujud selain Allah. Yang terdiri dari tiga makna. Makna yang pertama, yakni tiada yang disembah selain Allah, diperuntukan bagi pemula. Makna yang kedua, yakni tiada yang dituju selain Allah, adalah untuk kelas menengah. Sedangkan makna yang ketiga, yakni tiada maujud selain Allah, diperuntukan bagi kelompok akhir.
Ketika mengucapkan kalimat penafian, yakni la ilaha, si pezikir harus menafikan seluruh wujud makhluk dari pandangan mata dan nalar, serta memandangnya sebagai sesuatu yang tiada. Lalu ketika mengucapkan nutur kalimat penegasan, yakni illallah, dia harus menetapkan di dalam hati dan pikirannya akan wujud Dzat Yang Mahabenar, serta memandang-Nya sebagai Yang Abadi dan Nyata Ada.
Di akhir kalimat tauhid, yakni la ilaha illallah, saat berhenti pada bilangan ganjil, imajinasikanlah Muhammadur-Rasulullah mulai dari lathifah qalb sampai ke bagian di bawah payudara sebelah kanan, dengan kehendak untuk mengikuti Nabi saw. dan mencintainya. Kemudian lepaskanlah nafas ketika diperlukan, pada hitungan ganjil (tiga, lima, tujuh, sebelas, atau dua puluh satu). Menurut para tokoh Thariqah Naqsyabandiyah, itulah yang disebut dengan wuquf ‘adadi. Ketika melepaskan nafas, ucapkanlah dengan lisan secara perlahan, atau dengan hati: ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi.
Apabila dengan pelepasan nafas yang ditahan itu si pezikir mengambil istirah (bukan nafas akhir hitungan zikirnya), hendaklah dia segera mengambil nafas berikutnya, menahannya dan melakukan apa yang dilakukannya pada nafas pertama. Dan dalam tiap masa pergantian nafas tersebut dia harus benar-benar menjaga imajinasinya agar tidak pudar. Jika dia sudah sampai pada hitungan kedua puluh satu, akan nampak padanya hasil zikir qalbi-nya. Hasil zikir itu berupa ketenggelaman dari wujud kemanusiaan dan bisikan-bisikan alam ciptaan, serta peleburan diri dalam tarikan ilahiah yang bersifat dzat. Lalu di dalam hatinya akan muncul pengaruh formulasi tarikan ilahiah tersebut, yaitu penghadapan hati kepada al-Haqq Yang Mahakudus dengan mahabbah dzatiyah.
Pengaruh tarikan ilahiah tersebut beragam tingkat sesuai potensi masing-masing murid. Potensi ini merupakan pemberian Allah Ta’ala yang Dia berikan kepada ruh sebelum ruh melekat di badan. Karena itu, sebagian dari mereka ada yang pencapaian pertamanya berupa ketak-hadiran kesadaran, yakni ketenggelaman dari segala sesuatu selain Allah Ta’ala. Sebagian lagi ada yang pencapaian pertamanya berupa kemabukan, yakni kelinglungan sekaligus ketak-hadiran kesadaran. Lalu setelah itu dia memperoleh wujud ketiadaan, yaitu kesirnaan wujud kemanusiaan. Kemudian, pada tingkat berikutnya dia mendapat kehormatan berupa kondisi fana’, yakni ketenggelaman di dalam tarikan ilahiah.
Apabila hasil yang telah dipaparkan di atas tidak diperoleh si murid dari zikir qalbinya, itu lebih disebabkan oleh kekurangannya di dalam memenuhi persyaratan. Persyaratan yang dimaksud adalah shidqul-iradah (kehendak yang benar dan sungguh-sungguh), jalinan keterikatan pada syaikh, ketaatan mengikuti perintahnya, kepasrahan diri dalam segala urusannya kepada syaikh, meleburkan pilihannya ke dalam pilihan syaikh dan selalu mencari ridhanya dalam segala keadaan. Dengan memelihara syarat-syarat tersebut, pancaran atau iluminasi ketuhanan akan datang beruntun dari batin syaikh ke dalam batin murid, karena baginya syaikh merupakan jalan pancaran ketuhanan. Karena itulah pemeliharaan persyaratan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Wa billah at-taufiq.
Jalan Menuju Allah Ta’ala
Para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah—mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepada mereka dan memberi kita manfaat dari mereka—adalah para dokter agung yang membuka penutup-penutup hati. Mereka juga orang-orang bijak yang mulia karena keahliannya menerima ilmu-ilmu dan rahasia dari Dzat Yang Mahatahu hal-hal gaib. Mereka diciptakan Allah dengan watak welas asih kepada hamba-hamba-Nya. Allah juga mencurahkan kemuliaan bisikan-bisikan hati mereka kepada penempuh jalan petunjuk-Nya. Jika engkau merenungi perhatian dan interaksi mereka dalam memberi petunjuk dan melakukan pembimbingan, dan engkau memiliki pandangan dan perhatian, tentu engkau akan mendapati kreasi mereka yang amat langka serta kesan-kesan yang paling indah.
Berikut ini kami akan memaparkan setetes dari samudera kebaikan mereka. Kami juga akan menyuguhkan secuil rahasia dari keberlimpahan rahasia mereka yang tersembunyi. Mudah-mudahan hal ini bisa menyucikan hatimu dari pikiran-pikiran kotor sehingga engkau tidak binasa bersama orang-orang fasik yang hanyut dalam dosa.
Para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah—semoga Allah merahmati mereka dan memberi kita manfaat melalui mereka—telah memilah dan menimbang dengan keluhuran pandangan dan kemuliaan perhatian mereka, lalu mereka memilih cara zikir khafi dengan alasan yang telah dikemukakan di atas.
Mereka menyadari bahwa tujuan yang paling mulia dari wasilah zikir adalah sampai ke hadirat al-Haqq Tabaraka wa Ta’ala. Dan sudah maklum bahwa wasilah tidak ada artinya jika tidak berakibat pada pencapaian tujuan. Mereka juga menyadari bahwa hati kebanyakan manusia telah dipenuhi al-aghyar (yang selain Allah), dipenuhi kecintaan terhadap dunia, perhiasannya, kemewahannya, harta kekayaannya dan bangunan-bangunannya. Hati kebanyakan manusia telah larut dalam hasrat duniawi, suka memerintahkan pengerusakan, berpaling dari jalan kebenaran, lari dan membelakangi akhirat. Sementara anggota badan seharusnya hanya merupakan pasukan dan pelayan hati terus bertindak sesuai kecenderungan buruk hati.
Sesuai hukum ilahi, hati hanya cukup lapang untuk satu tujuan. Dalam kondisi dipenuhi cinta dunia, hati tidak bisa menjadi wadah bagi kecintaan kepada Allah.
Karena kondisi hati hamba kebanyakan seperti ini, ia tidak bisa menerima zikir khafi yang merupakan wasilah untuk sampai kepada-Nya, para pemuka Thariqah Naqsyabandiyah memilih satu lagi wasilah. Wasilah ini dimaksudkan untuk menyucikan hati dari berbagai kotoran dan membersihkannya dari segala kedekilan yang merintangi pencapaian kedekatan, rahmat dan tajalli dari hadirat Yang Mahaagung, tanpa harus mengalami penderitaan, perjuangan ruhani melawan hawa nafsu, derita berjaga malam dan lapar di siang hari, serta latihan-latihan spiritual lainnya.
Mereka memasuki rumah melalui pintunya, lalu memberikan sesuatu yang menjadi wasilah bagi pengosongan hati dari berbagai kotoran. Sehingga hati menjadi bersih dan terpisah darinya, kemudian menjadi tempat bagi kehadiran segala rahasia. Lalu ia dihadapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Wasilah yang menjadi pilihan mereka ini adalah mengingat kematian. Sungguh, tidak ada seorang pun yang bisa melarikan diri dari maut. Mereka menjadikan wasilah ini sebagai pendahuluan zikir, dan mereka menyebutnya rabithah al-qabri (pertalian kubur).
Umumnya hamba tidak bisa mencapai maqam agung ini dengan dirinya sendiri. Ia memerlukan seorang pembimbing yang sempurna yang telah sampai pada maqam musyahadah dan telah menyandang hakikat sifat-sifat dzatiyah. Oleh karena itu seorang murid harus mencari bantuan dari spirit gurunya yang sempurna dan telah fana’ di dalam Allah. Selain itu, dia juga harus banyak menjaga (mengingat) rupa gurunya. Selain karena alasan etika, hal itu juga dimaksudkan agar dia tetap bisa mendapat pancaran dari gurunya saat sang guru tidak ada di hadapannya. Kehadiran kesadaran dan cahaya akan sempurna baginya dengan menjaga bayangan syaikh dalam imajinasinya sambil menghadap ke hati sanubari hingga sampai pada kegaiban dan fana’ dari diri. Fana’ di dalam syaikh merupakan pendahuluan fana di dalam Allah Ta’ala, karena hati menjadi tempat segala rahasia, maka melalui pewarisan dari guru ke guru inilah mereka sampai ke Rasulullah saw. Inilah yang mereka sebut dengan rabithah al-mursyid.
Pada prinsipnya, perhatian murid terhadap syaikh mursyid bukan karena pribadi sang mursyid semata, bukan pula untuk mencari sesuatu darinya secara otonom, melainkan karena anugerah Allah Ta’ala yang mengalir pada dirinya. Itupun harus disertai keyakinan bahwa yang berbuat dan yang memberi efek pada hakikatnya adalah Allah. Seperti si fakir yang berdiri di depan pintu orang kaya dan meminta sesuatu darinya. Dia meyakini bahwa yang memberi dan yang berderma adalah Allah Ta’ala. Dialah yang pada genggaman tangan-Nya gudang-gudang langit dan bumi, tidak ada pelaku selain Dia. Murid berdiam di pintu syaikh karena tahu bahwa sang syaikh adalah salah satu pintu nikmat Allah Ta’ala. Allah berwenang untuk memberinya melalui dia.
Kenyataan tersebut merupakan hal yang tak terbayangkan penyangkalannya, kecuali di benak mereka yang telah ditetapkan Allah menjadi orang-orang yang merugi. Mereka itulah orang-orang yang amal-amalnya sangat rugi, orang-orang yang tersesat dalam kehidupan dunia. Mereka menduga bahwa amal mereka itu baik. Padahal amal-amal mereka terhapus di dunia dan akhirat. Dan mereka sama sekali tidak memiliki penolong. Kalaulah dia orang yang percaya kepada para wali, sungguh para wali telah menjelaskan kebaikan dan manfaat besar rabithah al-mursyid. Mereka bersepakat dan mengatakan bahwa rabithah al-mursyid memiliki pengaruh yang lebih dahsyat dari zikir dalam pencapaian jadzbah ilahiyah (tarikan ilahiah) dan pendakian salik di tangga-tangga kesempurnaan.
Dari sejumlah pemuka Thariqah Naqsyabandiyah ada yang hanya memberlakukan rabithah al-mursyid bagi murid dalam suluk dan taslik. Ada pula yang memantapkannya sebagai keharusan bagi setiap murid, dengan alasan firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” [QS. at-Taubah 9:119]
Asy-Syaikh al-Akbar Maulana ‘Ubaidillah, yang terkenal dengan sebutan Khawajah Ahrar, berkata, “Sesungguhnya kebersamaan dengan orang-orang yang benar yang diperintahkan dalam firman Allah tersebut terbagi dua. Pertama, kebersamaan dalam bentuk rupa, yakni dengan cara duduk bersama mereka hingga sifat-sifat mereka tercetak dalam dirinya. Kedua, kebersamaan maknawi.” Kemudian beliau menafsir kebersamaan maknawi ini sebagai rabithah.
Jika orang tidak percaya kepada para wali, hendaklah dia percaya kepada pendapat para imam syara’ serta pemangku hukum ushul dan furu’. Beberapa imam dari masing-masing mazhab yang empat telah menegaskan kebenaran rabithah al-mursyid. Bahkan tentang firman Allah, “Andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya,” [QS. Yusuf 12:24], mayoritas mufassir mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan adanya pengaturan dan pemberian bantuan ruhaniah. Di antaranya adalah penyusun Tafsir al-Kasysyaf. Padahal dia dianggap menyimpang dari pendapat umum karena penyanggahan dan kemu’tazilahannya.
Al-Imam al-‘Allamah Ahmad ibn Muhammad asy-Syarif al-Hamawi menukil di dalam kitabnya, Nafahat al-Qurb wa al-lttishal, mengenai kenyataan adanya pengaturan dan karamah bagi para wali setelah mereka berpindah alam (wafat). Inti pendapatnya adalah, “Sesungguhnya para wali bisa nampak dalam banyak rupa karena penguasaan ruhaniah mereka terhadap jasad.” Begitu juga al-Imam al-‘Allamah asy-Syarif al-Jurjani q.s., di akhir Syarh al-Mawaqif sebelum membagi ragam keislaman, dia membenarkan kebenaran adanya penampakkan sosok para wali kepada murid mereka serta pengambilan pancaran ruhaninya, bahkan setelah para wali itu wafat. Demikian pula dia memberikan komentarnya dalam catatan pinggir Syarh al-Mathali’.
Ketika menjelaskan ragam jalan menuju Allah Ta’ala, al-‘arif billah asy-Syaikh Tajuddin al-Hanafi berkata di dalam risalahnya yang terkenal dengan nama an-Najiyah, “Jalan yang ketiga untuk sampai kepada Allah Ta’ala adalah pertalian dengan syaikh yang telah mencapai maqam musyahadah dan telah menyandang hakikat sifat-sifat dzatiyah, karena syaikh yang seperti ini termasuk kalangan mereka yang bila melihatnya menjadi ingat Allah. Dengan demikian, melihatnya bisa memberi manfaat sebagaimana manfaat zikir. Sedangkan menyertainya bisa mengantarkan si murid kepada persahabatan dengan Allah. Karena mereka (para wali) adalah julasa’ Allah Ta’ala (teman duduk Allah).”
Kemudian al-’arif asy-Syaikh Tajuddin meneruskan ungkapannya, “Karena itu, seorang murid hendaklah menjaga sosok syaikh di dalam imajinasinya…” demikian pula ditegaskan oleh asy-Syaikh al-‘arif ‘Abdul Ghani an-Nabilsi sang pemangku para ahli hakikat yang juga bermadzhab Hanafi, di dalam kitabnya, Syarh an-Najiyah.
Al-Imam al-‘arif asy-Sya’rani mengungkapkan di dalam kitab an-Nafahat al-Qudsiyyah, ketika memaparkan adab berzikir, “Yang ketujuh, seorang murid hendaknya membayangkan syaikhnya berada di hadapannya. Karena menurut ulama sufi, hal ini merupakan merupakan adab yang paling kuat.”
Hal serupa dikemukakan pula oleh pemuka ulama Syafi’iyah, al-Imam al-Ghazali, di dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, ketika berbicara mengenai keharusan menghadirkan hati dalam setiap rakaat shalat, “Hadirkanlah di dalam hatimu Nabi saw. dan pribadinya yang mulia. Lalu katakanlah: as-salamu ‘alaika ayyuhan-nabiyy…”
Syaikh asy-Syihab al-Khafaji menukil dari al-‘Allamah asy-Syihab ibn Hajar al-Makki di dalam kitabnya, Syarh al-Ibab, ketika menjelaskan makna-makna kalimat tasyahhud, “(Di dalam bacaan tasyahhud) Rasulullah saw. dijadikan mukhathab (orang kedua yang diajak bicara secara langsung) ini, seakan-akan ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala menyingkapkan beliau bagi umatnya yang sedang shalat, sehingga beliau seakan hadir bersama mereka untuk mempersaksikan amal-amal mereka yang paling utama, dan agar ingatan akan kehadiran beliau menjadi sebab bertambahnya kekhusyukan.” Hal senada diungkapkan pula oleh Sang Guru para syaikh, al-‘arif Suhrawardi asy-Syafi’i, di dalam kitabnya al-Awarif, pada bab Shalat Ahlul-Qarb.
Bila engkau bertanya, “Bisa saja setan menampakkan diri dalam rupa dan sosok seorang wali.” Aku katakan, “Tidak. Salah seorang pemuka ulama Syafi’iyyah, yakni Al-‘Allamah as-Safiri al-Halabi, berkata di dalam Syarh al-Bukhari ketika mengomentari hadis: ...kemudian beliau (Rasulullah saw.) sangat senang berkhalwat…, “Sesungguhnya setan tidak bisa menyamar dalam rupa seorang wali yang sempurna sebagaimana ia tidak bisa menyamar dalam rupa Rasulullah saw.”
Kesimpulannya, teks-teks yang memberikan penjelasan ihwal rabithah al-mursyid ini amat banyak dan terkenal. Tidak perlu berpanjang lebar menyebutkannya di sini. Yang kami kutip di atas sudah cukup untuk menjadi dalil yang kuat akan kebenaran bahwa para wali memiliki izin dan kesanggupan untuk melakukan pengaturan ruhaniah, bahkan setelah mereka wafat. Para ulama ahli hakikat sudah menyusun banyak kitab mengenai hal tersebut. Karena itu, sudah selayaknya para murid berakhlak taslim (memiliki kepasrahan), sebagai bentuk peniruan terhadap akhlak para pembesar ulama.
Doa Khatam Para Syaikh[*]
[*] Penulis menggunakan kata Khojikan untuk menyebut para syaikh. Khojikan bentuk majemuk dari kata Khojah, bahasa Persia, maknanya adalah syaikh.
Alasan penamaan doa dan zikir berikut dengan nama Doa Khatam Para Syaikh adalah karena doa dan zikir tersebut biasa dibaca saat syaikh hendak beranjak dari majlis usai pertemuan dengan murid-muridnya.
Al-Imam ‘Abdul Khaliq al-Ghazdawani dan orang-orang setelahnya, hingga Syah Naqsyabandi, sepakat bahwa orang yang membaca doa khatam ini segala kebutuhannya akan terkabul, keinginannya akan tercapai, malapetakanya akan tertolak, derajatnya akan naik, dan dia akan melihat berbagai penampakkan gaib. Setelah membaca doa khatam, hendaklah dia mengangkat tanganmu dan meminta kebutuhannya. Karena permohonan itu pasti akan dipenuhi, dengan izin Allah Ta’ala. Sudah banyak orang yang telah membuktikannya.
Doa khatam ini merupakan pilar terbesar dan wirid paling utama setelah zikir Allah dan kalimat la ilaha illallah, khususnya di dalam Thariqah Naqsyabandiyah. Karena dengan berkat wirid ini, arwah para syaikh akan membantu murid yang meminta bantuan mereka. Untuk membaca doa khatam ini harus memenuhi delapan etika, yaitu:
- Suci dari hadats dan najis.
- Menempati ruang yang sunyi dari manusia.
- Dilakukan dengan penuh kekhusyukan dan kehadiran hati, beribadahlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan bila engkau tidak melihat-Nya, Dia sungguh melihatmu.
- Orang-orang yang ikut hadir dalam majlis ini semuanya telah mendapat ijin dari syaikh Thariqah Naqsyabandiyah.
- Mengunci pintu. Dengan alasan hadis riwayat al-Hakim dari Ya’la ibn Syadad, “Suatu hari ketika kami bersama Rasulullah saw., beliau bertanya, ‘Apakah di antara kalian ada orang asing?’ Para sahabat menjawab, ‘Tidak ada, ya Rasulullah.’ Lalu beliau memerintahkan untuk mengunci pintu dan bersabda, ‘Angkatlah tangan kalian…”‘ Lebih jelas lagi disebutkan di dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, yang menceritakan bagaimana Rasulullah saw. masuk ke dalam Ka’bah. Ketika Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya telah masuk ke dalam Ka’bah, beliau menyuruh seseorang untuk mengunci pintu, sehingga tidak diganggu oleh orang-orang yang memusuhi kaum muslimin yang berkeliaran di sekitar Masjid al-Haram.[*]
- Memejamkan mata dari awal bacaan doa khatam sampai selesai.
- Berusaha semaksimal mungkin mengusir semua bisikan dari hati, agar hati tidak disibukkan oleh yang selain Allah.
- Duduk tawarruk dalam posisi balik tawarruk shalat.
[*] Redaksi yang diriwayatkan al-Bukhari di dalam Shahih-nya, bab ighlaq al-bait, menyebutkan, “…Kemudian beliau shalat di sisi-sisi dalam dinding Ka’bah yang dikehendakinya.” Al-Bukhari menegaskan penyandaran riwayat hadisnya kepada ‘Abdullah ibn ‘Umar r.a. Di dalam riwayat ini ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata, “Rasulullah saw, memasuki al-Bait (Ka’bah) bersama Usamah ibn Zaid, Bilal dan ‘Utsman ibn Abu Thalhah. Kemudian mereka mengunci pintunya. Saat mereka membuka pintu, aku orang pertama yang mendekat. Lalu aku menemui Bilal dan bertanya kepadanya, ‘Apakah Rasulullah saw. shalat di dalam Ka’bah?’ dan Bilal menjawab, ‘Ya. Beliau shalat di antara dua tiang Yamani.”’ Dua tiang Yamani yang dimaksud adalah dua tiang di dinding Ka’bah yang menghadap ke arah Yaman, yang sekarang dikenal dengan sebutan ar-rukn al-yamani. Al-Imam Nawawi berkata di dalam Syarh Muslim, “Rasulullah saw. mengunci pintu itu agar lebih terasa nyaman bagi hatinya, dan lebih menghimpun kekhusyukannya.”
Rukun doa khatam ada sepuluh, yaitu:
- Membaca istighfar sebanyak dua puluh lima kali, atau lima belas kali, yang didahului dengan membaca doa, “Allahumma ya muftihal-abwab wa ya musabbibal-asbabl wa ya muqallibal-qulub wal-abshar wa ya dalilal-mutahayyirin wa ya ghiyatsal-mustaghitsin aghitsni tawakkaltu ‘alaika ya rabbi wa fawwadhtu amri ilaika ya fattah ya wahhab ya basith wa shallallahu ‘ala khairi khalqihi sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.” [Ya Allah, wahai Dzat Yang membukakan segala pintu, wahai Dzat Penyebab segala sebab, wahai Pembolak-balik hati dan mata, Wahai Penunjuk orang-orang yang bingung, Wahai Penolong orang-orang yang menninta pertolongan, tolonglah aku. Ya Tuhanku, hamba bertawakal kepada-Mu, hamba serahkan segala urusan hanya kepada-Mu, wahai Sang Pembuka, wahai Sang Pemurah, wahai Mahaluas. Dan Allah bershalawat atas makhluk-Nya yang paling mulia, Sayyidina Muhammad saw., juga kepada keluarga dan para sahabatnya semua.]
- Berasosiasi kepada syaikh (rabithah asy-syaikh), seperti yang telah dijelaskan dalam adab berzikir.
- Membaca Surah al-Fatihah sebanyak tujuh kali.
- Membaca shalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali dengan redaksi apa pun. Misalnya: allahumma shalli ‘ala sayyidina muhammadin an-nabiiyil-ummiyyi wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
- Membaca Surah al-Insyirah dengan basmallah sebanyak tujuh puluh sembilan kali.
- Membaca Surah al-Ikhlash sebanyak seribu satu kali.
- Membaca Surah al-Fatihah sebanyak tujuh kali.
- Bershalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
- Membaca Doa Khatam Para Syaikh.
- Membaca Alqur’an yang dirasa mudah (surat-surat pendek).
Redaksi Doa Khatam Para Syaikh:
Alhamdulillahil-ladzi bi nuri jamalihi adha’a qulubal-‘arifin wa bi haibati jalalihi ahraqa fu’adal-‘asyiqin wa bi latha’ifi ‘inayatihi ‘ammara sirral-washilin, wash-shalatu was-salamu ‘ala khairi khalqihi sayyidina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Allahumma balligh wa awshil tsawaba ma qara’nahu wa nura wa talaunahu ba’al-qabul minna bil-fadhli wal-ihsan ila ruhi sayyidina wa thabibi qulubina wa qurrati a’yunina muhhammad al-mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ila arwahi jami’il-anbiya’i wal-mursalin shalawatullah wa salamuhu ‘alaihim ajma’in, wa ila jami’i arwahi masyayikhi salasilith-thuruqil-‘aliyah khushushan an-naqsyabandiyah wal-qadiriyah wal-kubrawiyah was-suhrawardiyah wal-jistiyah qaddasallahu asrarahum al-‘aliyah, khushushan ila ruh al-quthubil-kabir wal-‘alimisy-syahir dzil-faidhin-nurani wadhi’ hadzal-khatam maulana ‘abdul-khaliq al-ghajdawani, wa ila ruhi imamith-thariqah wa ghautsil-khaliqah dzil-faidhil-jari wan-nuris-sari as-sayyid asy-syarif muhammad al-ma’ruf bi syah naqsyabandi al-uwaisi al-bukhari qaddasallah sirrahul-‘ali, wa ila ruhi quthbil-awliya wa burhanil-ashfiya’ jami’i nau’ayil-kamal ash-shuwari wal-ma’nawi asy-syaikh ‘abdullah ad-dihlawi qaddasallahu sirrahul-‘ali, wa ila ruhis-sari fillah ar-raki’ as-sajid dzil-janahaini fi ilmizh-zhahir wal-bathin dhiya’ ad-din maulana asy-syaikh khalid qaddasallahu sirrahul-‘ali, wa ila ruhi sirajil-millah wad-din asy-syaikh ‘utsman qaddasallahu sirrahul-‘ali, wa ila ruhil-quthub-arsyad wal-ghautsil-amjad syaikhina wa ustadzina as-syaikh ‘umar qaddasallahu sirrahul-‘ali (Menurutku perlu ada tambahan berikut: wa ila ruhi dzurrati tajil-‘arifin syaikhina wa maulana wa mursyidina asy-syaikh muhammad amin qaddasallahu sirrahu, wa ila imamith-tha’ifin syaikhina wa mursyidina asy-syaikh salamah al-‘azami qaddasallahu sirrahu). Allahummaj’alna minal-mahsubina ‘alaihim wa minal mansubina ilaihim wa waffiqna lima tuhibbuhu wa tardhahu ya arhamar-rahimin, allahumma ajirna minal-khawatiin-nafsaniyyah wahfizhna minasy-syahwatisy-syaithaniyyah wa thahhirna minal-qadzuratil-basyariyyah washfina bi shifa’il-mahabbah ash-shiddiqiyyah, wa arinal-haqqa haqqan warzuqnat-tiba’ah wa arinal-bathila bathilan warzuqnajtinabah ya arhamar-rahimin, allahumma inna nas’aluka an tuhyiya qulubina wa arwahana wa ajsamana bi nuri ma’rifatika wa qashlika wa tajalliyatika da’iman baqiyan hadiyan ya allah.
(Segala puji bagi Allah Yang dengan cahaya keindahan-Nya menerangi hati para ‘arif, Yang dengan wibawa keperkasaan-Nya membakar hati para pecinta, Yang dengan kelembutan pertolongan-Nya memakmurkan hati para washil [Al-washil, sebutan bagi mereka yang telah mencapai tingkat tersambung kepada Allah.]. Shalawat dan salam senantiasa melimpahi makhluk paling mulia, junjungan kami Muhammad saw., juga kepada keluarga dan para sahabatnya semua. Ya Allah, sampaikanlah pahala dan cahaya bacaan yang telah kami baca setelah diterima dari kami dengan karunia dan kebaikan-Mu, kepada ruh junjungan kami, sang penawar hati dan pujaan kami, Muhammad sang makhluk pilihan saw., serta kepada segenap ruh para nabi dan rasul, shalawat dan salam Allah bagi mereka semua. Sampaikan pula kepada segenap ruh para syaikh dalam silsilah thariqah-thariqah yang tinggi, khususnya Naqsyabandiyah, Qadariyah, Kubrawiyah, Suhrawardiyah dan Jisytiyah q.s., khususnya kepada ruh Sang Kutub agung, ilmuwan terkenal pemilik pancaran cahaya, yang telah menyusun doa khatam ini, yakni Maulana Abdul Khalik Ghajdawani. Ya Allah, sampaikan pula pahala dan cahaya bacaan kami itu kepada ruh imam thariqah dan penolong makhluk, sang pemilik pancaran yang mengalir dan cahaya yang menjalar, as-Sayyid asy-Syarif Muhammad, yang masyhur sebagai Syah Naqsabandi al-Uwaisi al-Bukhari q.s. Sampaikan pula kepada ruh sang kutub para wali dan penerang orang-orang suci, penghimpun dua kesempurnaan bentuk dan makna, asy-Syaikh ‘Abdullah ad-Dahlawi q.s. Sampaikan pula kepada ruh sang pejalan dalam Allah, yang senantiasa rukuk dan sujud, sang pemilik dua sayap ilmu lahir dan ilmu batin, Maulana asy-Syaikh Khalid q.s. Sampaikan juga kepada sang pelita agama, asy-Syaikh ‘Utsman q.s., dan kepada ruh sang kutub yang paling bijak dan penolong yang paling luhur, Syaikhuna asy-Syaikh ‘Umar q.s. [Lalu kepada ruh sang permata dan mahkota kaum ‘arif, guru besar kami, pembimbing kami, asy-Syaikh Muhammad Amin q.s., dan kepada sang pemimpin dua kelompok, guru dan pembimbing kami, asy-Syaikh Salamah al-‘Azami q.s.]. Ya Allah, jadikanlah kami di antara orang-orang yang dihitung dan dinisbatkan kepada mereka, berilah kami petunjuk untuk mengikuti apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai, wahai Yang paling penyayang di antara semua yang penyayang. Ya Allah, jauhkanlah kami dari bisikan-bisikan hawa nafsu. Jagalah kami dari hasrat-hasrat setan. Sucikanlah kami dari kotoran-kotoran kemanusiaan. Beningkanlah hati kami dengan kebeningan cinta sejati. Perlihatkanlah kepada kami yang benar itu benar, dan berilah kami kemampuan untuk mengikutinya. Perlihatkanlah pula kepada kami yang batil itu batil, dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya, wahai Yang paling penyayang di antara semua yang penyayang. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu agar Engkau menghidupkan hati kami, ruh kami dan jasad kami dengan cahaya ma’rifat, kesambungan kepada-Mu, dan penampakan-penampakan-Mu, selalu, selamanya dan senantiasa mendapat petunjuk, ya Allah).
Doa khatam tersebut dinisbatkan kepada Hadhratusy-Syaikh ‘Abdul Khalik al-Ghazdawani. Jika murid yang hadir dalam majlis itu banyak, membacanya lebih utama. Sedangkan jika hanya sedikit, lebih baik membaca Doa Khatam asy-Syaikh al-Akbar as-Sayyid Muhammad Baha’uddin asy-Syah Naqsyabandi q.s. Redaksinya sebagai berikut:
- Beristighfar dua puluh lima kali, atau lima belas kali, atau sepuluh kali, atau lima kali.
- Berasosiasi kepada syaikh (rabithah asy-syaikh).
- Membaca shalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
- Membaca: ya khafiyyal-althaf adrikni bi luthfikal-khafi (lima ratus kali).
- Bershalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
- Membaca Alqur’an yang dirasa ringan (surah-surah pendek).
Atau bisa juga membaca doa khatam asy-Syaikh Ahmad al-Faruqi yang terkenal dengan sebutan al-Imam ar-Rabbani. Redaksinya sebagai berikut:
- Membaca istighfar dua puluh lima kali, atau lima belas kali, atau sepuluh kali, atau lima kali.
- Berasosiasi kepada mursyid.
- Membaca al-Fatihah tujuh kali.
- Bershalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
- Membaca hauqalah (la haula wa la quwwata illa billah) sebanyak lima ratus kali.
- Bershalawat kepada Nabi saw. sebanyak seratus kali.
- Membaca bagian akhir dari doa khatam Hadhratusy-Syaikh ‘Abdul Khalik al-Ghazdawani.
- Membaca Alqur’an yang dirasa ringan (surah-surah pendek).
Jika seorang syaikh hendak menghadapi murid-muridnya di dalam majelis, hendaklah dia membacakan al-Fatihah secara sembunyi untuk arwah para syaikh pemangku silsilah thariqahnya serta meminta bantuan dari mereka. Baru kemudian dia menghadapi murid-muridnya dengan cara yang mereka kenal. Apabila telah usai dan hendak beranjak dari hadapan mereka, sebaiknya dia mengucapkan wa shallallahu ‘ala sayyidina muhammad. Shalawat ini semacam permohonan ijin untuk meninggalkan majelis. Namun hendaknya dia membaca shalawat itu tidak semata-mata berniat memohon ijin, tetapi juga disertai niat bershalawat kepada Rasulullah saw.
Kami pernah mendapat khabar yang dapat dipercaya bahwa ayah kami—semoga Allah menyucikan jiwanya—suka membaca khatam al-Faruqi saat mengalami kondisi sulit. Namun pada bagian bacaan la haula wa la quwwata illa billah, beliau menggantinya dengan bacaan: ya muhawwilal-haul wal-ahwal hawwil halana ila ahsanil-ahwal [Wahai Dzat Yang mengubah-ubah daya dan keadaan, alihkanlah kondisi kami kepada kondisi yang paling baik.], dan beliau membacanya sebanyak lima ratus kali.
Begitu juga guru kami, asy-Syaikh Salamah al-‘Azami. Beliau suka mengamalkan doa khatam Syaikh al-Faruqi, terutama dalam masa-masa sulit. Namun beliau mengganti bacaan la haula wa la quwwata illa billah dengan bacaan la ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minazh-zhalimin, dan beliau membacanya sebanyak lima ratus kali.
Kualifikasi Syaikh Mursyid
Orang yang benar-benar menghendaki jalan untuk sampai kepada Allah, hendaklah dia menemui seorang syaikh (guru) di zamannya saat dia kembali dari bertaubat dan bangun dari lelap kelalaiannya.
Guru yang harus ditemuinya itu adalah syaikh yang sudah mendaki maqamat para tokoh spiritual yang sempurna secara syariat dan hakikat. Yakni seorang syaikh yang perilaku ruhaniahnya didasarkan pada Al-quran dan sunnah serta berpegang teguh meneladani para ulama; Perjalanan ruhaninya menuju Allah telah sempurna dengan bimbingan syaikh mursyid yang telah mencapai maqamat tersebut dan mata rantai silsilah jalan ruhaninya sampai kepada Rasulullah saw.; selain itu dia juga telah mendapatkan ijin dari syaikhnya untuk melakukan pembimbingan jalan menuju Allah; bukan dari kebodohan dan ambisi pribadinya.
Seorang syaikh yang telah mencapai derajat ma’rifat dan sampai kepada Allah (al-‘arifal-washil) adalah wasilah atau perantara bagi murid untuk sampai kepada Allah, menjadi pintu masuknya untuk menjumpai Allah. Barangsiapa tidak memiliki guru yang memberinya bimbingan ruhani, maka gurunya adalah setan. Dari sini engkau paham bahwa orang yang diperkenankan tampil untuk mengambil sumpah dan melakukan pembimbingan terhadap murid hanyalah orang yang telah mengikuti pendidikan dan mendapat izin dari syaikhnya. Sedangkan orang yang tidak mendapat izin, tidak diperkenankan melakukannya. Demikian pendapat para imam thariqah. Ini bukan rahasia. Orang yang melakukan pengambilan sumpah dan pembimbingan tanpa mendapat izin dari syaikhnya akan menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada kebaikan, karena dia bukan ahlinya. Dan jika seseorang terbukti demikian, maka dia harus menanggung dosa seperti dosa penyamun. Dia akan dijauhkan dari derajat para murid sejati, apalagi dari derajat para syaikh yang telah mencapai tingkat ma’rifat.
Karena itu, kami uraikan tentang siapa yang sah dan pantas dijadikan sebagai syaikh mursyid. Berikut ini beberapa syarat yang harus dipenuhinya:
- Mengetahui hukum fıkih dan akidah yang diperlukan oleh para murid sekedar untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh seorang murid kelas awal, sehingga dia tidak perlu bertanya kepada yang lain.
- Mengenal berbagai kesempurnaan hati, etika-etikanya, wabah dan berbagai penyakit jiwa, serta cara menjaga kesehatan dan kestabilannya.
- Bermurah hati dan berbelas kasih kepada kaun muslimin, khususnya kepada para murid. Misalnya,jika dia tahu bahwa mereka tidak mampu melakukan penolakan terhadap hasrat nafsu dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaanya, dia bersikap toleran dan tidak membuat mereka putus asa dari penempuhan jalan ruhani. Dia juga tidak menyebabkan mereka tercatat dalam urutan orang-orang yang celaka. Dia harus sabar dan bijak bergaul dengan mereka dalam keramahan sampai mereka mendapat petunjuk.
- Menutup aib para murid yang terlihat olehnya.
- Bersih hati terhadap hati para murid dan tidak tamak terhadap harta yang mereka miliki.
- Menyampaikan perintah Allah dan mencegah apa yang dilarang-Nya, sampai perintah ini berkesan di jiwa mereka.
- Tidak duduk bersama para murid, kecuali sekadar yang diperlukan. Selalu mengingatkan murid tentang beberapa segi menyangkut thariqah dan syariat, seperti mendiskusikan buku kami ini. Tujuannya agar para murid bersih dari kejelekan bisikan hawa nafsu dan bisa beribadah dengan cara yang benar.
- Perkataannya bersih dari campuran hawa nafsu, senda gurau dan sesuatu yang tidak bermakna.
- Sangat toleran terhadap hak-hak dirinya serta tidak berharap untuk dimuliakan atau dihormati. Dia juga tidak menuntut haknya dari para murid dengan sesuatu yang tidak mampu mereka lakukan. Tidak mempersiapkan amalan-amalan yang membuat mereka jemu. Tidak banyak beristirahat bersama mereka dan tidak membuat mereka merasa kesulitan karena dirinya.
- Jika dia melihat salah seorang muridnya kehilangan rasa hormat dan ta’zhim terhadap dirinya karena terlalu sering duduk bersama dalam keakraban, hendaklah dia menyuruhnya duduk berkhalwat di tempat yang tidak jauh dan tidak juga dekat, tetapi jarak pertengahan.
- Jika dia mengetahui bahwa penghormatan berlebihan terhadap dirinya muncul dari hati seorang murid, dia menolaknya dengan penuh kasih sayang, sebab hal tersebut merupakan musuh yang paling besar.
- Tidak lalai dalam membimbing para murid menuju sesuatu yang dapat memperbaiki kondisi ruhani mereka.
- Jika seorang murid melaporkan mimpi atau ketersingkapan (mukasyafah) atau penyaksian gaib (musyahadah) yang didapatinya, syaikh tidak perlu memberitahukan rahasia yang didapat muridnya itu, tetapi hendaklah dia memberinya tambahan amalan yang dapat mendorong dan menaikkannya pada tahapan ruhani yang lebih tinggi dan lebih mulia. Bila syaikh membicarakannya atau menjelaskannya, itu sungguh merupakan kesalahan seorang syaikh, karena si murid akan memandang dirinya tinggi sehingga tingkatan ruhaninya justru akan jatuh.
- Seorang syaikh harus mencegah murid-muridnya berbicara dengan orang lain selain sesama murid thariqah, kecuali untuk hal darurat. Selain itu, dia juga harus mencegah mereka bicara dengan sesama murid tentang karamah dan waridat yang mereka dapat. Jika dalam hal tersebut syaikh bersikap toleran, dia benar-benar melakukan kesalahan, sebab dia bisa membuat mereka arogan dan angkuh sehingga menyebabkan mereka terlambat.
- Seorang syaikh harus memiliki dua khalwat. Khalwat untuk menyendiri dan tidak mengijinkan seorang murid pun masuk menemuinya, kecuali orang yang khusus baginya. Dan khalwat untuk berkumpul bersama para sahabatnya.
- Tidak mengizinkan murid-muridnya mengintip setiap gerakannya, rahasianya, mencari tahu tentang cara tidurnya, cara makannya, cara minumnya dan lain-lain. Sebab jika dia membiarkan murid mengintipnya, lalu si murid mendapati sesuatu yang tampak sebagai kekurangan dari dirinya, bisa jadi rasa hormat si murid kepadanya akan berkurang. Karena ketidakmampuan si murid di dalam memahami kondisi ruhani orang-orang besar yang sempurna. Jika syaikh melihat seorang murid memata-matai dirinya guna mencari tahu tentang hal tersebut, dia harus melarangnya demi kemaslahatan si murid.
- Tidak memberikan toleransi kepada murid untuk banyak makan, sebab toleransinya dapat merusak semua hal yang sedang dia lakukan bagi sang murid. Sungguh, mayoritas manusia adalah hamba perut.
- Melarang murid bergaul dengan para sahabat syaikh, sebab bahayanya akan sangat cepat menyerang para murid. Kecuali jika syaikh melihat mereka sudah benar-benar mencintainya dan tidak dikhawatirkan mengalami goncangan.
- Menjaga diri dan tidak mondar-mandir kepada penguasa, agar tidak dicontoh oleh para murid. Sebab jika para muridnya itu mencontoh dia bolak-balik menemui penguasa, dia harus menanggung dosanya dan dosa mereka yang mencontohnya. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membiasakan satu kebiasaan buruk, maka dia harus menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikuti kebiasaannya.” [HR. Muslim dan at-Tirmidzi]. Alasannya karena orang yang mendekati penguasa, biasanya akan sulit menyampaikan penolakan terhadap perbuatan haram yang dilakukan si penguasa, seolah-olah mondar-mandirnya dia kepada penguasa menjadi bentuk persetujuannya terhadap kemungkaran.
- Berhati-hati saat berbicara kepada murid, penuh kasih dan tidak mencaci maki, agar jiwa mereka tidak lebih menjauh darinya.
- Jika diundang oleh salah seorang muridnya, dia memenuhinya dan melakukannya dengan cara terhormat serta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak santun.
- Jika duduk bersama muridnya, dia duduk dengan tenang dan berwibawa. Dia tidak banyak melirik mereka, tidak tiduran dan tidak membentangkan kaki di hadapan mereka, menahan pandangan dan merendahkan suaranya, tidak menjelek-jelekkan akhlaknya di hadapan mereka. Sebab pada kenyataannya mereka meyakini seluruh sifat-sifat terpuji ada dalam dirinya dan mereka akan menirunya.
- Jika seorang murid masuk menemuinya, dia tidak bermuka masam. Dan jika berpamitan pulang, dia mendoakannya tanpa diminta terlebih dahulu. Sebaliknya jika dia masuk menemui salah seorang dalam muridnya, dia hendaknya dalam keadaan paling sempurna dan kondisi jiwa paling baik.
- Jika salah seorang muridnya tidak hadir, dia bertanya tentangnya dan mencari alasan tentang ketidakhadirannya. Jika ternyata sakit, dia menengoknya. Jika berada dalam hajat, dia membantunya. Dan jika karena ada uzur, dia mendoakannya.
Itulah beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang syaikh. kesimpulannya, ungkapan yang paling menghimpun untuk menerangkan adab-adab syaikh adalah: ”Dia harus meneladani perilaku Rasulullah saw. terhadap para sahabatnya, semaksimal mungkin.”