Takhliyah adalah mengosongkan diri dari akhlak dan sifat-sifat yang buruk. Sedangkan tahliyah adalah menghiasi diri dengan perilaku yang terpuji.
Wahai para murid, setelah engkau bertobat engkau harus mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela. Sebab, sifat tercela adalah najis maknawi. Seorang hamba tidak akan bisa mendekat ke hadirat Allah Yang Mahasuci dengan jiwa yang masih dilekati sifat-sifat tercela, sebagaimana dia tidak akan bisa mendekati (melaksanakan) ritual ibadah kepada Allah dengan badan yang bernajis. Oleh karena itu, seorang penempuh jalan spiritual harus membersihkan dirinya secara total dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji.
Sifat-sifat tercela itu di antaranya adalah dengki, dendam, sombong, bangga diri, bakhil, riya, cinta pangkat dan jabatan, bermegah-megahan, marah, menggunjing, mengadu domba, dusta, banyak bicara dan lain-lain.
- Dengki (al-hasad)
Hasad atau dengki adalah perasaan tidak senang terhadap nikmat Allah Ta’ala yang didapat orang lain dan merasa senang jika nikmat itu lenyap darinya. Dengki merupakan salah satu sifat tercela yang paling buruk. Sifat ini hanya bisa diputus dari batin secara total dengan menempuh jalan tasawuf. Rasulullah saw. bersabda, “Hasad akan melalap kebaikan laksana api membakar kayu bakar.” (HR. Ibnu Majah)
Tidak ada kejahatan yang lebih berbahaya daripada dengki. Sebab kedengkian akan menjerumuskan pelakunya ke dalam lima siksaan sebelum kesengsaraan menimpa orang yang didengkinya. Pertama, dia akan mengalami kegelisahan yang tidak berkesudahan. Kedua, mengalami musibah (kesengsaraan) yang tidak berpahala. Ketiga, tercela karena dengki sama sekali tidak terpuji. Keempat, dibenci Allah. Kelima, pintu hidayah tertutup untuknya.
Al-Hasan al-Bashri r.a. berkata, “Wahai anak Adam, mengapa engkau mendengki saudaramu. Jika yang diberikan Allah Ta’ala kepadanya itu merupakan pemuliaan dari-Nya, mengapa engkau mendengki orang yang telah dimuliakan Allah Ta’ala. Dan kalaupun yang diberikankan Allah kepadanya itu bukan merupakan pemuliaan dari-Nya, mengapa pula engkau mesti mendengki orang yang natinya akan kembali ke neraka.ā
Salah seorang ‘arif berkata, “Ada tiga orang yang doanya tidak akan dikabulkan, yakni orang yang makan makanan haram, orang yang banyak menggunjing dan orang yang di dalam hatinya penuh dengan kedengkian terhadap saudaranya sesama muslim.ā
At-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wahai anakku, jika engkau mampu menjalani pagi dan hari tanpa sedikit pun ghisysy [pengkhianatan, penipuan atau pemalsuan] di dalam hatimu terhadap seorang pun, maka lakukan.” [at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hasan]. Hadis serupa diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang shahih, juga oleh al-Baihaqi dan perawi lainnya.
‘Abdullah ibn ‘Umar berkata, “Rasulullah saw. ditanya, ‘Ya RasuluIlah, siapa manusia yang paling utama?’ Rasulullah saw. menjawab, ‘Setiap orang yang hatinya makhmum dan lisannya jujur.” Para sahabat bertanya, “Kalau lisan yang jujur kami paham. Tetapi apa yang dimaksud makhmum al-qalb, ya Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Dia yang bertakwa dan bersih, tidak jahat, tidak zalim dan tidak dengki.”
Ketahuilah bahwa hasad yang tercela menurut syara ‘adalah berharap lenyapnya nikmat Allah Ta’ala dari orang lain. Selaras dengan firman Allah Ta’ala, “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?ā [QS. an-Nisa 4:54]
Adapun hasad yang hanya berupa keinginan untuk mendapatkan nikmat yang serupa didapat orang lain tanpa dibarengi dengan keinginan agar nikmat tersebut lenyap dari orang lain, itu tentu baik bila nikmat tersebut merupakan kebaikan ukhrawi. Allah Ta’ala berfirman, “…dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.ā [QS. an-Nisa 4:32]
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh hasad selain dalam dua hal. Iri terhadap lelaki yang telah dikaruniai Alqur’an oleh Allah lalu dia membacanya siang dan malam, dan iri terhadap lelaki yang dikaruniai harta yang banyak oleh Allah Ta’ala lalu dia menafkahkannya di dalam kebaikan sepanjang siang dan malam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ketahuilah bahwa mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela ini membutuhkan bimbingan seorang guru yang sempurna. Tanpa guru yang sempurna, seseorang tidak akan bisa mengosongkan diri dari sifat-sifat tersebut, meskipun telah demikian maksimal dalam beribadah. Kecuali bila Allah Ta’ala membimbingnya langsung dengan hembusan rahmat dari-Nya.
- Dendam (al-hiqd)
Al-hiqd atau dendam adalah menyimpan rasa permusuhan, kebencian, atau memutuskan hubungan persaudaraan. Ini sungguh merupakan sifat buruk yang tercela. Karena dendam akan memunculkan kedengkian, sikap menjauhi dan memusuhi serta mencari-cari aib orang lain.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari. Barangsiapa menjauhi saudaranya lebih dari tiga hari, dia akan mati lalu masuk neraka.” [HR. Abu Dawud]. Tentu selama orang yang dijauhinya itu bukan orang yang berbuat maksiat secara terang-terangan dan tidak mau berhenti setelah mencegahnya.
Ibnu ‘Umar r.a. berkata, “Rasulullah naik mimbar, lalu berucap dengan suara yang keras, “Wahai orang-orang yang berislam hanya dengan lisannya tanpa iman menancap di hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslim, jangan mengganggu mereka, jangan memata-matai aurat mereka. Sesungguhnya orang yang memata-matai aurat saudaranya yang muslim, Allah akan memata-matai auratnya. Kalau Allah memata-matai auratnya, maka orang yang auratnya dimata-matai Allah, tentu Allah akan mencemarkannya, meski dia berada di dalam rumahnya sendiri” (HR. at-Tirmidzi)
- Sombong (al-kibr)
Al-kibr atau sombong adalah rasa diri agung yang muncul karena memandang diri berada di atas orang lain. Allah Ta’ala berfirman, “Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat-(Ku), mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lalai daripadanya.ā [QS. al-Aāraf 7:146]. Yakni, Allah akan mencegah mereka dari kesanggupan untuk merenungi penciptaan langit dan bumi serta tanda-tanda dan pelajaran yang ada padanya.
Allah Ta’ala berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang menıperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.ā [QS. al-Muāmin 40:35]
Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan tidak akan masuk surga, meski kesombongannya itu hanya sebesar atom.ā (HR. Muslim)
Di dalam satu ungkapan disebutkan, “Tidak akan sombong selain orang yang hina. Dan tidak ada yang tawadhu’ selain orang yang mulia.ā Sungguh, sombong merupakan maksiat pertama yang dengannya Allah dimaksiati. Allah Ta’ala berfırman, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,ā maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia temasuk golongan orang-orang yang kafir.ā [QS. al-Baqarah 2:34]
Barangsiapa bersikap sombong, hampir bisa dipastikan dia akan bersama-sama Iblis dalam menerima hukuman pengusiran dari rahmat Allah dan mengalami siksa yang tidak berkesudahan. Orang yang sombong juga terancam mengalami akhir yang buruk dan mati mengenaskan (su’ al-khatimah).
- Bangga diri (al-‘ujb)
Al-‘ujb atau bangga diri adalah merasa diri agung yang muncul di dalam batin karena menghayal tentang kesempurnaan ilmu atau amal dirinya. Al-āujb ditafsir dengan makna pengagungan nikmat dan merasa nyaman dengannya sambil melupakan penyandaran nikmat itu pada Allah Ta’ala.
Rasulullah saw. bersabda, “Ada tiga hal yang amat merusak: kikir yang dipelihara, hawa nafsu yang diikuti dan bangga diri.” (HR. ath. Thabrani, al-Bazzar dan al-Baihaqi)
- Bakhil (al-bukhl)
Al-bukhl atau bakhil adalah enggan memberi kepada yang lain karena takut hartanya berkurang. Allah Ta’ala berfirman, “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di Hari Kiamat. Dan kepunyaan Allahlah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.ā [QS. Ali āImran 3:180]
Rasulullah saw. bersabda, “Berhati-hatilah kalian agar jangan sampai bakhil. Sungguh, kebakhilan telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, telah menyebabkan mereka mengalirkan darah (berperang/ membunuh) dan menghalalkan hal-hal yang haram.” (HR. Muslim)
Rasulullah saw. juga bersabda, “Orang yang dermawan dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia dan jauh dari neraka. Sedangkan orang yang bakhil jauh dari surga, jauh dari manusia, dekat dengan neraka. Orang bodoh yang dermawan lebih dicintai Allah daripada tukang ibadah yang bakhil.” (HR. Al-Baihaqi, ath-Thabrani dan yang lainnya)
Al-Ashfahani meriwayatkan hadis marfu’, “Ingatlah, sesungguhnya semua orang yang dermawan pasti masuk surga, kepastian dari Allah, aku jamin. Dan ingatlah, sesungguhnya setiap orang yang bakhil akan masuk neraka, kepastian dari Allah, aku jamin.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapa orang yang dermawan dan siapa orang yang bakhil?” Beliau menjawab, “Orang yang dermawan adalah orang yang dengan senang hati memenuhi hak-hak Allah di dalam harta bendanya. Orang yang bakhil adalah orang yang menahan hak-hak Allah dan bersikap kikir terhadap Allah. Orang yang dermawan itu bukan orang yang mengambil melalui cara yang haram dan menafkahkan harta secara berlebihan.”
Ath-Thabrani meriwayatkan sebuah hadis marfu’, “Sesungguhnya Allah telah memurnikan agama ini untuk diri-Nya, dan tidak ada yang cocok bagi agama kalian ini selain kedermawanan dan kebaikan budi pekerti. Ingatlah, hiasilah agamamu dengan kedermawanan dan kebaikan budi pekerti.”
Ath-Thabrani juga meriwayatkan hadis marfu’, “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala mengutus Jibril kepada Ibrahim a.s., “Wahai Ibrahim, sesungguhnya aku mengangkatmu sebagai khalil (kekasih) bukan karena engkau adalah hamba-Ku yang paling banyak beribadah. Tetapi Aku sudah meneliti hati orang-orang yang beriman, dan Aku tidak mendapati hati yang lebih dermawan dari hatimu.”
Asy-Syaikh Muhyiddin ibn al-‘Arabi ditanya tentang hakikat israf (berlebihan/boros), dia menjawab, “Israf adalah kemurahan yang luas melebihi batas dan ukuran. Namun karena biasanya pelaku israf ini tidak bisa konsisten dalam kemurahannya, bahkan dia sering menyesal atas harta yang telah dikeluarkannya ketika dia mengalami kondisi sulit, maka Allah Ta’ala menetapkan bahwa sikap israf merupakan perbuatan yang tercela. Sikap yang terpuji adalah sikap pertengahan, tidak pelit dan tidak boros. Barangsiapa ingin berakhlak dengan akhlak ini hendaklah dia menempuh suluk dengan sungguh-sungguh dan ikhlas dalam bimbingan seorang guru yang benar dan sempurna. Sang guru akan mendekatkannya ke hadirat Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan demikian keyakinannya kepada Allah akan bertambah kuat, dan dia akan menafkahkan setiap harta yang didapatnya. Berbeda halnya dengan orang yang jauh dari hadirat Allah. Karena lemahnya keyakinan kepada Allah, dia akan sanga sulit memberi sesuatu kepada orang lain. Allah Ta’ala memberikan petunjuk pada hamba yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.
- Pamer (ar-riyaā)
Ar-riya’ atau pamer adalah usaha meraih tempat di hati manusia dengan menampakkan perilaku yang baik. Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.ā [QS. al-Kahfi 18:110]. Maksudnya, jangan ingin dilihat orang dengan amalnya.
Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan akan menimpa diri kalian adalah syirik kecil, yakni riya. Di hari kiamat Allah berfirman kepada orang yang riya ketika Allah membalas amal manusia, ‘Pergilah kalian kepada orang-orang yang untuk mereka kalian pamerkan amal kalian ketika di dunia. Lihatlah, apakah kalian akan mendapati balasan kebaikan dari mereka.ā Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan isnad yang jayyid.
Orang yang ingin mengosongkan diri dari sifat riya yang amat tercela ini membutuhkan guru yang sempurna, untuk menuntunnya berjalan di jalan gaib lalu mengantarkannya ke hadirat Allah āAzza wa Jalla. Sebab, orang yang tidak menempuh jalan thariqah biasanya tidak akan bisa memasuki hadirat al-ihsan, yaitu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dia akan senantiasa bersama dirinya sendiri dan orang lain di dalam amal-amal ibadahnya.
Kalau saja seseorang telah memasuki hadirat al-ihsan, tentu dia akan menyaksikan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala, Dialah Sang Pelaku bagi semua amalnya. Dialah yang menciptakan dan mewujudkan amal-amal itu. Dengan demikian si hamba akan melihat bahwa dirinya hanyalah sekadar tempat sandaran amal-amal itu, dan dia diberi balasan karena mematuhi hukum dan kewajiban, bukan karena yang lain. Barangsiapa telah menyadari hal ini, dia tidak akan mendapati amal sebagai miliknya, dan dia akan terbebas dari riya dan bangga diri, bahkan tidak akan meminta pahala dari Allah Ta’ala untuk amalnya. Karena, dia menyaksikan ternyata anggota tubuhnya sekadar alat yang digerakkan, dan dia mendapati bahwa yang menggerakkannya itu adalah Allah Ta’ala, dengan memberinya potensi dan kekuatan. Bukan dirinya sendiri yang berbuat dan beramal. Oleh karena itu, jangan sampai engkau berbuat riya. Sebab riya akan merusak amal, membatalkan pahala, menghadirkan murka dan siksa.
Al-Imam Ahmad dan yang lainnya meriwayatkan sebuah hadis marfu’, “Sungguh, barangsiapa dari umat ini (umat Muhammad) yang beramal untuk kepentingan dunia, maka tidak ada baginya bagian di akhirat.”
Ath-Thabrani dan lainnya juga meriwayatkan sebuah hadis marfu’, “Barangsiapa berhias dengan amal akhirat padahal dia tidak menghendaki akhirat dan tidak pula mengusahakan akhirat, maka dia akan dilaknat di langit dan di bumi.”
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan hadis mursal, “Allah tidak akan menerima amal yang di dalamnya terdapat riya, walau hanya sebutir atom.”
Riya ada dua macam. Pertama, riya murni, yaitu beramal dengan amal akhirat hanya untuk mendapat manfaat duniawi. Kedua, riya campuran, yaitu beramal untuk mendapatkan manfaat dunia dan manfaat akhirat. Kedua-duanya merupakan riya dan dapat melebur pahala, na’udzu billahi min dzalik.
- Cinta Pangkat dan Jabatan
Yang dimaksud cinta pangkat dan jabatan adalah bernafsu untuk menjadi populer dengan reputasi baik. Sifat ini sungguh tercela dan memutuskan jalan kebenaran. Lain halnya dengan orang yang dipopulerkan oleh Allah Ta’ala untuk menyebarkan agama-Nya. Tidak ada orang yang selamat dari cinta pangkat dan jabatan selain orang-orang yang benar imannya (ash-shiddiqun).
Rasulullah saw. bersabda, “Cukuplah keburukan bagi anak Adam bila sampai dia dituding dengan jari dalam agama dan dunianya, kecuali orang yang dijaga dari dosa oleh Allah Ta’ala.” (HR. Ath-Thabrani)
Abu Yazid al-Busthami berkata, “Aku telah menanggung beban beribadah selama tiga puluh tahun. Lalu aku melihat seseorang berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Yazid, sungguh lemari Allah telah penuh dengan ibadah. Jika engkau ingin sampai kepada-Nya, engkau mesti menempuh adz-dzillah wa al-iftiqar.” [adz-dzillah, senantiasa merasa diri hina di hadapan Allah. Al-iftiqar, senantiasa merasa butuh kepada Allah.]
Al-Mutawalli r.a. berkata, “Kondisi si faqir di dunia ini laksana orang yang duduk di kamar kecil (wc). Jika pintunya ditutup, dia menunaikan hajatnya dan keluar dalam keadaan tertutup, sehingga tidak ada yang melihat auratnya. Apabila pintunya dibuka, tersebarlah auratnya dan rusaklah rahasianya, dan orang-orang yang melihatnya pun akan mengutukinya.
Dalam kondisi bagaimanapun, apabila hati si salik condong pada cinta pangkat dan jabatan, maka dia akan terputus dari jalan menuju Allah Ta’ala.
- Tafakhur
Tafakhur adalah berbangga diri dengan berbagai kemuliaan, entah kedudukan, nasab, ataupun yang lainnya. Ini adalah sifat tercela dan terlarang. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku agar kalian semua berendah diri, sehingga tidak ada seorang pun yang membanggakan diri di atas orang lain dan tidak seorang pun berbuat zalim terhadap siapa pun.” (HR. Muslim)
Berbangga diri ini bisa dengan banyaknya harta benda, atau dengan kehormatan orang tua, atau dengan amal ibadah.
- Marah (al-ghadhab)
Marah adalah didih darah hati untuk menuntut pelampiasan (pembalasan). Rasulullah saw. bersabda, “Marah berasal dari setan. Setan diciptakan dari api. Api dipadamkan dengan air. Maka apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah dia mandi.” (HR. Ibnu ‘Asakir)
Di dalam satu khabar disebutkan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam, ingatlah Aku jika engkau marah, maka aku akan mengingatmu saat Aku marah, sehingga Aku tidak akan membinasakanmu bersama orang-orang yang binasa.”
Amal yang paling utama adalah bermurah hati saat marah dan bersabar ketika sangat menginginkan sesuatu
Bemurah hati sejatinya bukan saat ridha
tetapi murah hati itu saat marah
Rasa takut kepada Allah Ta’ala bisa meredakan marah. Perhatikanlah orang-orang! Mereka marah hanya karena mereka terhijab dan tidak menyaksikan Allah Ta’ala sebagai pelaku bagi semua yang muncul di alam wujud. Karena keterhijaban itu mereka hanya bisa melihat perbuatan sebagai perbuatan dari sesama jenisnya. Padahal bila saja mereka menempuh jalan tarekat, tentu mereka akan mendapati bahwa perbuatan adalah milik Allah Ta’ala. Dengan demikian dia tidak akan mendapati siapa pun yang layak dijadikan sasaran kemarahannya. Bahkan dia akan mendapati bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam wujud ini adalah sumber hikmah.
Seorang āarif berkata,
Jika engkau melihat Allah sebagai pelaku dalam segala,
engkau akan melihat semua yang wujud ini adalah bagus
dan jika engkau tiada melihat selain fenomena ciptaan-Nya
engkau sungguh tertabir, dan yang bagus menjadi tampak buruk
Benar, orang yang sempurna adalah orang yang tidak marah selain karena Allah Ta’ala, yakni apabila kehormatan-Nya dirusak. Tetapi bukan atas dasar keyakinan bahwa maksiat itu adalah perbuatan Allah Ta’ala, melainkan perbuatan itu dinisbatkan kepada si hamba. Dari sini Anda tahu bahwa seseorang tidak akan bisa membebaskan dirinya secara sekaligus, selamanya.
Al-‘Arif asy-Sya’rani menuturkan bahwa al-Imam asy-Syafi’i r.a. terkenal sebagai orang yang berakhlak mulia. Orang-orang yang dengki mencoba memancing kemarahannya, namun tidak ada yang mampu membuatnya marah. Suatu hari, mereka menyogok tukang jahit yang membuatkan baju untuk Imam asy-Syafi’i. Mereka menyuruh penjahit itu menyempitkan lengan kanannya agar asy-Syafi’i kesulitan mengeluarkan tangannya, sedangkan lengan kirinya dijahit amat longgar. Ketika melihat bajunya selesai dijahit seperti itu, asy-Syafi’i berkata, “Mudah-mudahan Allah memberimu balasan yang baik karena engkau telah menyempitkan lengan kanan bajuku, sehingga aku tidak perlu kerepotan menyingsingkannya saat menulis. Dan engkau telah melonggarkan lengan kiri bajuku agar aku bisa leluasa membawa kitab.”
Ada pula riwayat yang menceritakan tentang orang-orang dengki yang berusaha memancing kemarahan al-Junaid. Suatu ketika di hari Jum’at, para pendengki itu menyiramkan air bekas cucian ikan kepada al-Junaid yang hendak berangkat shalat Jumat, sehingga air itu membasahi seluruh tubuh dan bajunya, mulai dari kepala sampai ujung bawah bajunya. Namun beliau malah tertawa, lalu berkata, “Orang yang berhak masuk neraka layak disiram air seperti ini, tidak perlu marah.” Lalu beliau kembali ke rumahnya dan meminjam pakaian istrinya, kemudian melakukan shalat.
Para salaf shalih berkata, “Tingkatan-tingkatan derajat manusia dihitung berdasarkan akhlak baiknya. Maka, orang yang akhlak baiknya lebih dari dirimu, berarti derajatnya lebih luhur darimu.”
Simpulannya, semua berdasarkan akhlak ilahiah. Bila Allah Ta’ala marah, maka marah-Nya demi yang selain Dia, bukan karena diri-Nya. Sebab, seandainya Allah Ta’ala menuntut balas untuk diri-Nya, niscaya Allah akan menghancurkan seluruh makhluk dalam sekejap. Pahamilah!
- Menggunjing (al-ghibah)
Al-ghibah atau menggunjing adalah engkau menceritakan saudaramu dengan sesuatu yang ada padanya, yang jika saudaramu itu mendengarnya tentu dia tidak akan menyukainya. Entah sesuatu itu tentang badannya, perkataannya, pekerjaannya, agamanya, masalah dunianya, bajunya, rumahnya atau kendaraannya. Apabila engkau menceritakan saudaramu dengan hal-hal itu dan sesuatu itu memang ada padanya, maka perbuatanmu itu disebut ghibah. Jika sesuatu yang engkau cerihkan itu ternyata tidak ada padanya, maka perbuatanmu disebut buhtan (tuduhan), dan ini lebih berat daripada ghibah. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.ā [QS. al-Hujurat 49:12]
Rasulullah saw. bersabda, “Berhati-hatilah jangan sampai kalian menggunjing. Sebab menggunjing itu lebih berat daripada zina. Seorang lelaki yang berzina lalu bertobat, tobatnya bisa langsung diterima Oleh Allah. Sementara orang yang menggunjing tidak akan diampuni oleh Allah sebelum orang yang dia gunjing memaafkannya.ā (HR. Ä°bnu Abi ad-Dunya)
Oleh karena itu berhati-hatilah agar jangan sampai engkau menganggap remeh perbuatan menggunjing, apalagi engkau sampai terjerumus pada buhtan. Engkau jangan berkata, walau di dalam hatimu, “Aku mempunyai amal salih yang dapat menghapus dosa menggunjing,ā Sebab, bisa jadi di Hari Kiamat kelak orang yang pernah engkau gunjing atau engkau tuduh secara dusta tidak akan ridha meski engkau menebusnya dengan seluruh amal kebaikanmu. Itupun kalau semua amalmu itu bersih dari segala hal yang bisa merusaknya dan membuatnya tertolak, seperti riya, sum’ah [ingin terdengar baik di telinga orang-orang hingga orang-orang memberikan penilaian yang baik terhadap dirinya.] dan yang lainnya. Sungguh, tidak sedikitpun dari amal baik yang tercemar oleh riya atau sum’ah akan sampai ke akhirat sebagai bekal bagi pelakunya.
Sudah selayaknya seorang yang berakal untuk tidak membuat keruh amal kebajikannya dengan ghibah. Bila ada orang yang menggunjingnya, dia juga tidak perlu merasa sengsara. Sebaliknya dia perlu merasa senang. Sungguh, di Hari Kiamat Allah Ta’ala akan memberi kuasa si tergunjing untuk mengambil pahala amal orang yang menggunjingnya sesuka dia.
- Mengadu Domba (an-namimah)
An-Namimah atau mengadu domba adalah memindahkan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan memecah belah antara keduanya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah.” [QS. al-Qalam 68:10-11]
Rasulullah saw. bersabda, “Seorang yang suka mengadu domba sungguh tidak akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Ahmad meriwayatkan hadis marfu’, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Maukah kalian kuberitahu siapa hamba Allah yang paling buruk?” lalu para sahabat menjawab, “Tentu, ya Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda. “Yaitu orang yang suka mengadu domba, memecah belah orang-orang yang saling mencinta, dan suka mencela orang-orang yang bersih.”
Di dalam satu riwayat dari Abu asy-Syaikh disebutkan, “Al-Hammazun, al-lammazun [al-hammazun adalah orang-orang yang suka mencela. Al-lammazun adalah orang-orang yang suka menjelek-jelekkan orang lain], orang-orang yang suka mengadu domba serta orang-orang yang suka menuduh buruk terhadap orang yang baik, kelak akan dibangkitkan oleh Allah dalam rupa anjing.”
Para ulama telah sepakat tentang keharaman mengadu domba. Mereka juga sepakat bahwa mengadu domba merupakan salah satu dosa terbesar dalam pandangan Allah āAzza wa Jalla. Karena itu sudah semestinya orang yang berakal menjauhi perilaku tercela ini dan berhati-hati terhadap semua orang yang senang mengadu domba, jangan sampai terpancing. Dia juga mesti tahu bahwa orang yang suka mengadu domba pasti akan diadu domba.
- Dusta (al-kidzb)
Dusta atau al-kidzb adalah memberitahukan sesuatu yang berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Dusta merupakan salah satu perbuatan dosa yang paling buruk. Allah Ta’ala berfirman, “…kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.ā [QS. Ali āImran 3:61]
Rasulullah saw. bersabda, “Jujurlah, karena kejujuran menunjukkan pada kebaikan dan kebaikan mengantarkan ke surga. Seorang laki-laki yang bersikap jujur dan membiasakan diri berlaku jujur akan dicatat oleh Allah sebagai orang yang jujur. Dan hindarilah dusta, karena dusta menunjukkan kezaliman dan kezaliman itu mengantarkan kepada neraka. Seorang lelaki yang berbuat dusta dan membiasakan diri berbuat berdusta akan dicatat oleh Allah sebagai pendusta.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam Malik meriwayatkan hadis marfu’ bahwa Rasulullah saw. ditanya oleh para sahabatnya, “Ya Rasulullah, apakah seorang mukmin bisa menjadi pendusta?” dan Rasulullah saw. menjawab, “Tidak.”
Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan al-Baihaqi meriwayatkan satu hadis marfuā, “Celakalah orang yang bercerita bohong untuk membuat orang-orang tertawa. Celakalah dia, sungguh celakalah dia.”
Ibnu Mas’ud r.a. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perkataan yang paling benar adalah Kalamullah. Perkataan yang paling mulia adalah zikrullah. Buta yang paling buta adalah buta hati. Barang yang sedikit tapi mencukupi itu lebih baik daripada yang banyak tetapi tidak mencukupi. Penyesalan yang paling buruk adalah penyesalan di Hari Kiamat. Kaya yang terbaik adalah kaya jiwa. Bekal yang paling baik adalah takwa. Khamr adalah penghimpun dosa. Perempuan adalah tali-tali setan. Gejolak muda adalah cabang kegilaan. Usaha yang paling buruk adalah usaha riba. Kesalahan yang paling besar adalah lisan yang suka berdusta.”
Rasulullah saw. bersabda, “Berdusta itu tidak diperbolehkan kecuali dalam tiga hal: yaitu [1] berdusta dalam perang, karena perang adalah tipu daya, [2] seseorang yang sedang mendamaikan dua orang yang berselisih, dan [3] berdusta untuk memperbaiki hubungan antara dia dan istrinya.” (HR. Muslim)
Ketahuilah bahwa sika pjujur merupakan hiasan para wali. Sedangkan dusta merupakan ciri orang-orang yang celaka.
Allah Ta’ala berfirman, “Ini saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya.ā [QS. al-Maāidah 5:119]
Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.ā [QS. at-Taubah 9:119]
Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik.” [QS. az-Zumar 39:33-34]
Allah Ta’ala telah mencela dan mengutuk para pendusta, sebagaimana tampak di dalam firman-Nya, “Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta.ā [QS. adz-Dzariyat 51:10]
Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada agama Islam? Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [QS. ash-Shaff 61:7]
- Banyak Bicara (katsratul-kalam)
Banyak bicara merupakan sifat tercela. Karena banyak bicara bisa melahirkan banyak hal haram atau makruh, seperti berbicara maksiat atau membicarakan keadaan orang lain.
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa banyak bicara, akan banyak pula ketergelincirannya. Barangsiapa banyak tergelincir, akan banyak pula dosanya. Barangsiapa banyak dosa, maka yang paling sesuai baginya adalah neraka.ā (HR. Ath-Thabrani)
At-Tirmidzi dan al-Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis marfu’, “Kalian jangan memperbanyak bicara tanpa berzikir kepada Allah. Sebab banyak bicara tanpa berzikir kepada Allah akan mengeraskan hati. Sungguh, hamba yang paling jauh dari Allah adalah hamba yang berhati keras.ā
At-Tırmidzi dan Ibnu Majah serta yang lainnya meriwayatkan hadis marfu’, “Semua bicara anak Adam akan menjadi beban bagi dirinya dan tidak akan memberinya manfaat, kecuali bicara dalam rangka menganjurkan kebaikan, menahan kemungkaran dan dzikrullah.ā
Abu asy-Syaikh meriwayatan hadis marfu’, “Manusia yang paling banyak dosanya adalah mereka yang paling banyak bicara tentang hal yang tidak bermanfaat.”
Oleh karena itu hendaklah engkau lebih sering tidak bicara, dalam keadaan apa pun, dan jangan bicara selain yang mengandung kebaikan bagi agama dan duniamu. Perhatikanlah firman Allah Ta’ala, “Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.ā [QS. al-Infithar 82:10-12]
Allah Ta’ala berfirman, “(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.ā [QS. al-Qaf 50:17-18]
Apakah engkau tidak malu bila saat lembaran catatan amalmu yang telah engkau penuhi sepanjang siang itu dibentangkan ternyata isinya lebih banyak hal yang tidak bermanfaat bagi agamamu dan tidak pula bermanfaat bagi duniamu?!
Oleh karena itu ar-Rabi’ ibn Khaitsam r.a. senantiasa menyiapkan pena dan kertas setiap kali memulai paginya. Lalu setiap ucapan yang dia ungkapkan dia catat dan dia jaga, sebagai bahan dirinya menghitung-hitung diri di waktu sore.
Anas ibn Malik r.a. berkata, “Ada seorang anak muda mati syahid dalam Perang Uhud, dan aku dapati di perutnya ada sebutir batu terikat untuk menahan lapar. Kemudian Ibunya (datang dan) mengelap debu dari wajahnya seraya berkata, ‘Surga akan merindukanmu, wahai anakku.’ Lalu Nabi saw. berkata, ‘Apa yang membuat engkau yakin tentang dia? Barangkali dia pernah bicara sesuatu yang tidak bermanfaat dan pernah menolak untuk berbicara padahal tidak membahayakannya.” (HR. Abu Ya’la dan Ibnu Abi ad-Dunya)
Ibrahim ibn Adham berkata, āSuatu hari ada beberapa orang tamu singgah di rumahku. Aku tahu mereka adalah para wali (abdal), akupun berkata, ‘Nasihatilah aku dengan nasihat yang bisa membuat aku merasa takut kepada Allah Ta’ala seperti rasa takut kalian kepada-Nya.’ Mereka berkata, ‘Kami nasihati engkau dengan tujuh perkara. Pertama, barangsiapa banyak bicara, jangan kau harap hatinya akan waspada. Kedua, barangsiapa banyak bicara, jangan kau harap hikmah akan sampai padanya. Ketiga, barangsiapa banyak bergaul dengan manusia, jangan kau harap dia memperoleh manisnya ibadah. Keempat, barangsiapa terlalu berlebihan dalam mencintai dunia, dikhawatirkan akan mengalami su’ al-khatimah (akhir hayat yang buruk). Kita berlindung kepada Allah Ta’ala darinya. Kelima, barangsiapa bodoh, jangan harap hatinya akan hidup. Keenam, barangsiapa memilih bergaul dengan orang yang zalim, jangan diharap bisa istiqamah dalam agama. Ketujuh, barangsiapa mencari ridha manusia, jarang sekali yang bisa memperoleh ridha Allah Ta’ala.ā’
Perbuatan Tercela
Ada banyak sekali perbuatan tercela. Di antaranya adalah akidah yang rusak, melakukan maksiat, meninggalkan tobat, tidak mengetahui hal-hal yang fardhu dan yang sunnah, menganggur dan tidak bekerja karena malas, berbuat makar, menipu, berkhianat, tamak, cenderung mengikuti hawa nafsu dalam setiap kesenangan yang haram, mendengarkan hal-hal yang melalaikan, menyaksikan hal-hal tabu, sumpah palsu, mengutuk, menuduh zina kepada isteri, memusuhi orang islam, mencela, bicara cabul, mengolok-olok, menghina, bersikap kasar, mendebat, tidak sabaran, gembira yang melampaui batas, melawak, berhias, menyenangi perbuatan keji dan munkar, menunda-nunda kebaikan, berangan-angan, tidak punya rasa malu, pengecut, tidak bersemangat, senang memalsu dan merekayasa kebenaran.
Sifat-sifat Terpuji
Sifat-sifat terpuji juga banyak. Di antaranya adalah akidah yang benar, bertobat, berpaling dari kemaksiatan dan merasa menyesal jika terlanjur melakukan perbuatan dosa, malu kepada Allah, taat, sabar, wara’ (waspada menjaga diri dari dosa), zuhud, qana’ah, ridha, bersyukur, memuji, bicara benar dan jujur, memenuhi janji, menunaikan amanah, tidak berkhianat, menjaga hak-hak tetangga, mendermakan makanan, menebar salam, memperbaiki perbuatan, cinta akhirat, benci dunia, merasa cemas terhadap perhitungan amal, rendah hati, menghindari perlakukan menyakiti orang lain, tabah menanggung beban derita, merasa senantiasa diawasi Allah, berpaling dari makhluk, tidak gelisah, menahan hawa nafsu dari berbagai kesenangannya, khauf, raja’, dermawan, toleran dan memaafkan, cinta, bersemangat, melipur lara, supel, lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada diri sendiri, memberi nasihat, menjaga diri dari dosa, berserah diri kepada Allah, tawakkal, berani, menjaga kehormatan, cinta kepada Allah, berharap sampai ke hadirat-Nya serta takut berpisah dengan-Nya, beradab, merenungkan ciptaan Allah, berhati-hati, mawas diri, berbaik sangka, bersungguh-sungguh, meninggalkan riya dan perdebatan, mengingat mati, tidak melamun, berusaha memahami Alqur’an, menafikan pikiran-pikiran buruk, meninggalkan yang selain Allah, senantiasa merasa butuh Allah dan berlindung kepada-Nya, serta ikhlas dalam kondisi apa pun.
Apabila seorang murid telah berakhlak dengan sifat-sifat terpuji, maka dengannya dia akan bisa mendekatkan diri kepada Allah Taāala dan rasul-Nya, dengan cara itu pula dia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela dan memenuhinya dengan sifat-sifat terpuji itu bukanlah melenyapkan sifat tercela dan memunculkan sifat terpuji secara baru. Tetapi si hamba menggunakan sifat-sifat terpuji dan meninggalkan sifat-sifat tercela. Karena watak manusia adalah watak tanah campuran. Manusia dicipta dari tanah campuran beragam substansi, beragam rasa, bau, mutu dan kadarnya. Apabila tanah campuran itu diaduk hingga larut dan menyatu, kemudian dibagi menjadi bagian-bagian kecil, maka di dalam masing-masing bagian itu terkandung semua unsur yang sama dimiliki bagian lainnya. Karena itu, di dalam tanah manusia terkandung sifat-sifat buruk yang tak terhingga, juga sifat-sifat baik yang tak terhingga. Di dalam diri orang-orang besar terkandung sifat-sifat buruk yang juga ada di dalam diri orang-orang kerdil, demikian pula sebaliknya. Hanya saja pada diri orang-orang besar sifat-sifat buruknya tertutup oleh sifat-sifat baik, sedangkan pada diri orang-orang kerdil sifat-sifat baiknya tertutup oleh sifat-sifat buruk.
Demikianlah watak semua manusia selain para nabi. Karena, Allah Ta’ala telah menyucikan tanah para nabi dengan pertolongan-Nya yang terdahulu, bukan karena amal mereka sendiri atau kebaikan yang mereka perbuat. Tanah yang menjadi bahan penciptaan para nabi baik secara keseluruhan, tidak mengandung unsur yang buruk, berbeda dengan tanah asal penciptaan selain mereka.
Oleh karena itu, orang yang bukan nabi tidak akan bisa melenyapkan sifat-sifat tercelanya selain dengan meniadakan dzat dirinya. Namun, selama pertolongan Allah menyertai hamba, sifat-sifat baiknya akan aktif dan sifat-sifat buruknya akan terlantar. Sedangkan bila pertolongan Allah tidak menyertainya, sifat-sifat buruknya akan bangkit dan sifat-sifat baiknya akan melemah, sehingga jadilah dia seperti setan.
Apabila jiwa hamba lebih condong kepada keburukan dan menghindar dari kebaikan, maka dia akan lebih dekat kepada kejahatan daripada kebaikan. Hamba yang seperti ini sungguh berada dalam bahaya besar dan mengidap banyak penyakit kronis. Karena itu, wahai saudaraku, engkau tahu bahwa dirimu memiliki watak kecenderungan pada keburukan, dan keenderunganmu kepada keburukan itu lebih dari kecenderunganmu pada kebaikan. Dan oleh karena itu, engkau sebenarnya sangat membutuhkan penanganan seorang dokter yang benar-benar mumpuni dan jujur, yang bisa melenyapkan derita keburukan dan kerusakan yang engkau alami, hingga kebaikan mendominasi dirimu.
Saudaraku, berhati-hatilah agar jangan sampai engkau melihat tabiat baik dan watak terpuji yang ada di dalam dirimu sambil mengandalkan ilmu dan ibadahmu. Sesungguhnya yang demikian ini merupakan tipu daya yang dihembuskan nafsu (an-nafsu al-ammarah bis-su’). Bila engkau tertipu, engkau bagai seorang lelaki yang selama hidupnya hanya makan buah labu yang pahit rasanya dan merasa yakin dirinya makan manisan yang lezat. Padahal seandainya dia mencicipi rasa madu, tentu dia akan menyadari pahitnya labu. Dan dia pun akan mengetahui bahwa selama ini tanpa sadar dirinya selalu menanggung derita. Maka, wahai orang yang berakal, berjuanglah dengan sungguh-sungguh. Mudah-mudahan engkau memperoleh kesehatan batin dan terhindar dari kondisi ruhani yang buruk.[]