Allah Ta’ala berfirman, “Ingatlah bahwa para wali Allah (awliya’ Allah) itu tiada ketakutan pada mereka, dan mereka pun tidak bersedih hati.” [QS. Yunus 10:62]
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada yang membuat para nabi dan orang-orang yang mati syahid (syuhada) iri hati.” Kemudian ditanyakan kepada beliau, “Siapakah mereka itu, ya Rasulullah? Biar kami bisa mencintai mereka.” Rasulullah saw. menjawab, “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena cahaya Allah, bukan karena harta dan bukan pula karena keturunan. Wajah mereka bercahaya. Mereka berada di atas mimbar-mimbar cahaya. Mereka tidak merasa takut di saat orang lain merasa takut. Mereka juga tidak bersedih hati di saat orang lain bersedih hati.” [Hadis ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i dan Ibn Hibban]. Kemudian Rasulullah saw. membacakan firman Allah Ta’ala, “Ingatlah bahwa para wali Allah (awliya’ Allah) itu tiada ketakutan pada mereka, dan mereka pun tidak bersedih hati.”
Berdasarkan hukum akal, kemunculan karamah pada diri para wali merupakan hal yang mungkin adanya. Dalil naqli juga membenarkan terjadinya karamah ini. Kenyataan karamah sebagai hal yang mungkin adanya menurut akal karena karamah bukan hal mustahil bagi Allah Ta’ala yang MahaKuasa. Bahkan karamah termasuk hal-hal yang mungkin terjadi (al-mumkinat), seperti mukjizat para nabi. Ada dan terjadi karamah bukan hal mustahil. Karamah itu sudah tegas adanya bagi para waliyullah, baik di saat mereka masih hidup maupun setelah wafat, sebagaimana pendapat jumhur ulama Ahlus-Sunnah.
Di dalam empat mazhab populer, tidak ada yang menafikan kelangsungan karamah para wali setelah para wali tersebut wafat. Bahkan, penampakan karamah setelah mereka wafat lebih utama, sebab saat itu nafsu berada dalam kondisi bersih dari berbagai kotoran. Karena itulah ada ulama yang mengatakan, “Barangsiapa karamahnya tidak nampak setelah dia wafat sebagaimana dulu ketika masih hidup, maka dia itu bukan orang yang beriman sejati (shadiq).”
Sebagian syaikh sufi berkata, “Sesungguhnya Allah menugaskan malaikat di kuburan wali untuk memenuhi berbagai hajat. Namun terkadang si wali itu keluar dari kuburnya untuk memenuhi sendiri hajat tersebut.”
Karamah ialah sesuatu yang luar biasa yang tidak disertai pengakuan kenabian dan bukan pula bagian dari kenabian. Karamah muncul pada hamba yang salih, teguh dalam mengikuti Nabi dan menjalankan syariatnya disertai dengan keyakinan yang benar dan amal salih.
Perlu diketahui bahwa wali tidaklah terpelihara dari dosa (ma’shum) karena keterpeliharaan dari dosa itu hanya bagi para nabi, bukan wali. Tetapi wali itu mahfuzh, yakni tidak melakukan perbuatan dosa. Kalau pun melakukannya, dia akan segera menyesal, lalu bertobat dengan tobat yang sempurna dan mengenal ketergelinciran dirinya. Adapun orang yang selalu melakukan perbuatan dosa atau perbuatan dosanya lebih dominan, tentu dia bukan dari komunitas wali, bukan pula pengikutnya, bahkan dia tidak akan mencium sedikit pun keharuman mereka.
Adanya karamah bagi para wali dibenarkan dalil naqli. Di antaranya kisah yang ditutur Alqur’an tentang Maryam dan kelahiran putranya, ‘Isa a.s. Juga tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri Maryam selama berada dalam asuhan Nabi Zakariyya. Allah Ta’ala berfirman, “Ketika Zakariyya masuk ke mihrab menemuinya (Maryam), ia dapatkan di sisinya ada rizki (makanan). Dia berkata, ‘Wahai Maryam, dari manakah makananmu ini?’ ia menjawab, ‘Makanan ini dari Allah.” [QS. Ali-’Imran 3:37]
Begitu juga kisah Asif sang menteri sekretaris Nabi Sulaiman dalam pemindahan singgasana Ratu Balqis. Kisahnya, ketika para utusan Ratu Balqis kembali dari Nabi Sulaiman, Balqis berkata, “Aku benar-benar tahu. Demi Allah, dia bukan hanya seorang raja. Kita tidak memiliki kekuatan untuk mengalahkannya.” Lalu Ratu Balqis mengutus kembali beberapa utusan kepada Nabi Sulaiman. Para utusan itu ditugaskan untuk menyampaikan pesan bahwa Ratu Balqis akan datang kepadanya dan bersedia menjadikan Nabi Sulaiman sebagai raja bagi kaumnya jika Ratu Balqis melihat sendiri bagaimana hebatnya kerajaan Nabi Sulaiman dan agama yang didakwahkannya.
Pada waktu yang dijanjikan tiba, sebelum meninggalkan istananya Ratu Balqis meminta agar singgasananya ditempatkan di ruangan dengan pintu tujuh lapis dalam ruang istana, sedangkan istananya berada di dalam tujuh istana. Lalu pintu-pintunya dikunci, dan setiap pintu dijaga beberapa orang penjaga. Ratu Balqis berkata kepada orang yang ditugaskan untuk menjaga istananya, “Jagalah apa yang aku percayakan kepadamu, yakni singgasana kerajaanku. Jangan biarkan seorang pun memasukinya sebelum aku datang.” Kemudian Ratu Balqis menyuruh juru panggil untuk memanggil keluarga kerajaan yang akan ikut bersamanya. Dia mempersiapkan perjalanan yang disertai dua belas ribu hamba sahaya Yaman. Dan setiap hamba sahaya dibantu banyak teman karibnya.
Nabi Sulaiman adalah seorang yang amat berwibawa. Sebelum dia memulai bicara, tidak ada seorang pun yang berani bicara di hadapannya. Pada suatu hari, dia duduk di singgasana kerajaannya. Saat itu dia melihat kepulan debu tebal mendekat ke arahnya. Lalu dia bertanya, “Apa itu?” Salah seorang pengawalnya menjawab, “Ratu Balqis dan rombongannya. Dia mungkin telah mendekati kita, sekitar satu farsakh.” Saat itulah Nabi Sulaiman memanggil para pembesar kerajaan, lalu berkata, “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orangyang berserah diri (islam).” [QS. an-Naml 27:38]. Tujuan pemindahan singgasana Ratu Balqis seperti yang dikehendaki Nabi Sulaiman itu untuk memperlihatkan beberapa keajaiban yang dikhususkan Allah kepadanya guna membuktikan bahwa ia adalah seorang nabi.
Menanggapi pertanyaan Nabi Sulaiman, Ifrit yang cerdik dari longan jin berkata, “Aku akan datang kepadamu membawa singgasana itu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu, sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.” [QS. an-Naml 27:39]. Ifrit mengaku kuat untuk membawa singgasana itu dalam keadaan utuh dan dapat dipercaya untuk menjaga intan berlian yang ada padanya. Tetapi Nabi Sulaiman berkata, “Aku ingin yang lebih cepat dari itu.”
Kemudian berkatalah orang yang mempunyai ilmu dari Alkitab, yakni Ashif bin Barkhiya [*], “Aku akan membawa singgasana itu sebelum matamu berkedip.” [QS. an-Naml 27:40]. Lalu dia berkata kepada Sulaiman, “Bukalah kedua mata tuan sampai berkedip.” Nabi Sulaiman membuka lebar kedua matanya memandang ke arah Yaman. Kemudian Ashif berdoa hingga Allah Ta’ala mengutus para malaikat untuk membawa singgasana Balqis dari bawah tanah sampai tanahnya terbelah. Dengan kuasa Allah, dalam sekejap Asif menghadirkan singgasana Balqis di hadapan Sulaiman. Padahal jarak dari kerajaan Balqis sampai ke tempat Nabi Sulaiman berada sejarak dua bulan perjalanan.
[*] Asif adalah sekrtaris Nabi Sulaiman, terkenal jujur dan terpercaya. Dia menguasai al-ism al-a’zham yang apabila berdoa dan meminta dengan nama itu pasti dikabulkan.
Ketika Sulaiman melihat singgasana itu tiba-tiba sudah berada di hadapannya, dia berkata sebagai ungkapan syukur kepada Tuhannya Yang telah memberi dia sesuatu yang luar biasa, “Ini termasuk karunia Tuhanku.” [QS. an-Naml 27:40].
Ada pula kisah Ashhabul-Kahfi. Mereka adalah sekelompok orang beriman yang takut imannya rusak karena ancaman raja mereka. Mereka keluar melarikan diri dan bersembunyi di dalam gua. Lalu mereka tertidur di dalam gua itu selama tiga ratus sembilan tahun, tanpa makan dan minum, tetapi badan mereka tetap utuh dan tidak berubah.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun. Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya. “Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka.” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya.” Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: “(Jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.” Katakanlah: “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit.” Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka. Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya-Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” [QS. al-Kahfi 18:17-25]
Karamah sungguh nyata adanya dan terjadi pula di kalangan para sahabat dan tabi’in, bahkan sampai saat kita sekarang ini. Di antaranya adalah karamah yang terjadi pada ‘Umar r.a.
Suatu hari saat sedang khutbah Jumat ‘Umar berkata, “Wahai Sariyah, awas ada musuh, awas ada musuh!” Suaranya sampai ke telinga Sariyah pada saat itu juga. Sehingga dia segera menyelamatkan diri dari musuh yang bersembunyi di salah satu bagian gunung itu. Dalam hal ini ada dua karamah bagi ‘Umar. Pertama, terbukanya hijab tentang keadaan Sariyah beserta para sahabatnya yang muslim dan keadaan musuh mereka. Yang kedua, sampainya suara beliau kepada Sariyah yang berada di tempat yang jauh.
Contoh lain adalah karamah yang terjadi pada Ibn ‘Umar. Suatu hari, Ibn ‘Umar berkata kepada Singa yang menghalangi jalan orang-orang, “Hai singa, menyingkirlah!” Singa itu mengibaskan ekornya lalu pergi, sehingga orang-orang pun bisa segera melintas. Kemudian Ibn ‘Umar berkata, “Sungguh benar sabda Rasulullah saw. Barangsiapa takut kepada Allah, maka Allah akan menjadikan segala sesuatu takut kepadanya.” (HR. Abu asy-Syaikh, al-Hakim dan ar-Rafi’i)
Di dalam riwayat lain, Bukhari menyebutkan kisah Hubaib ketika ditawan dan dikerangkeng dengan besi. Orang-orang yang menawannya mendapati buah anggur di samping Hubaib, padahal ketika itu di tanah Mekkah tidak ada anggur.
Di dalam al-Hilyah, Abu Na’im menuturkan bahwa ‘Aun bin Abdullah bin ‘Utbah selalu dinaungi awan saat tidur di bawah terik matahari.
Contoh lain tentang karamah yang terjadi pada para sahabat dan tabi’in, seperti yang diceritakan Abu Na’im, adalah tasbih mangkuk yang sedang digunakan oleh Salman al-Farisi dan Abu ad-Darda’.
Karamah para wali sungguh tak terhitung jumlahnya. Siapa yang berminat mengetahui lebih banyak, silakan menelaah sejarah hidup mereka. Tidak ada yang mengingkari kenyataan karamah selain orang yang tertahan dan terusir dari pintu keutamaan dan pintu kebaikan. Al-Laqani berkata di dalam syairnya,
Yakinlah adanya karamah bagi para wali
Siapa menafikan karamah, buanglah ucapannya
Maksudnya, buanglah ucapan orang-orang Mu’tazilah yang menafikan adanya karamah, juga para pengikut mereka.
Apabila Anda bertanya, “Apa perbedaan karamah dengan sihir dan mukjizat?” Maka kami jawab, “Karamah berbeda dengan sihir. Sihir muncul di tangan orang fasik, zindik dan orang kafir yang tidak mengikuti syari’at. Sedangkan karamah hanya muncul pada orang yang sungguh-sungguh mengikuti syari’at. Karamah juga berbeda dengan mukjizat. Karamah muncul pada orang yang bukan nabi, sedangkan mukjizat muncul pada diri nabi. Selain itu, para rasul dituntut untuk menampakkan mukjizat demi memperkuat dakwahnya apabila iman kaumnya tergantung pada penampakan mukjizat itu. Lain halnya dengan wali, baginya tidak wajib menampakkan karamah. Bahkan wali dituntut untuk menyembunyikan karamahnya, karena pada umumnya penampakan karamah itu tidak diperlukan. Sebab posisi wali hanyalah pengikut. Dia mengajak orang-orang kepada Allah cukup dengan hikayat dakwah rasul yang telah tegas kerasulannya. Dia mengajak orang-orang dengan lisan rasul, bukan dengan lisan nafsunya. Sungguh, hukum syara’ telah ditetapkan oleh ulama, dan wali tidak perlu menampakkan tanda-tanda atau keterangan untuk membuktikan kebenarannya. Lain halnya dengan rasul. Seorang rasul perlu menampakkan bukti, karena dia bertugas menggelar hukum syara’ dan me-nasakh hukum-hukum yang telah diturunkan kepada rasul-rasul sebelumnya. Dia perlu menampakkan bukti yang menunjukkan kebenaran bahwa apa yang dikabarkannya itu berasal dari Allah Ta’ala.”
Ketahuilah bahwa di mata para pembesar sufı, karamah dipandang sebagai bagian dari residu jiwa, kecuali apabila dipergunakan untuk menolong agama Allah atau membuat kemaslahatan. Sebab bagi mereka, Dialah pelaku sejati, bukan mereka. Dan diam tanpa protes dalam berlakunya takdir Allah itu lebih beradab.
Ketahuilah pula bahwa para wali adalah orang-orang yang bermakrifat kepada Allah. Mereka berusaha sungguh-sungguh melaksanakan ketaatan, menjauhi kemaksiatan dan berpaling dari ketundukan pada hasrat nafsu.
Para wali terdiri dari beberapa kategori. Ada di antara mereka yang tidak termasuk dalam kategori jumlah terbatas, seperti diisyaratkan dalam hadis Nabi saw., “Al-Mufradun telah mendahului.” Ketika ditanya tentang siapa yang dimaksud al-mufradun, Rasulullah saw. menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang asyik dengan zikir kepada Allah (al-mustahtarun). Zikir telah menanggalkan beban-beban berat mereka, sehingga di Hari Kiamat mereka datang menemui Allah dengan beban yang sangat ringan.” [HR. Muslim dan at-Tirmidzi]
Ada pula wali yang masuk dalam kategori jumlah terbatas. ‘Abdullah ibn Mas’ud meriwayatkan bawa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mempunyai manusia pilihan. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai tiga ratus orang yang hatinya seperti hati Adam a.s. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai tujuh orang yang hatinya seperti hati Ibrahim a.s. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai empat puluh orang yang hatinya seperti hati Musa a.s. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai lima orang yang hatinya seperti hati Jibril a.s. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai tiga orang yang hatinya seperti hati Mika’il. Di antara makhluk-Nya, Allah mempunyai satu orang yang hatinya seperti hati Israfil. Apabila yang satu itu mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang tiga. Apabila dari yang tiga itu ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang lima. Apabila dari yang lima ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang tujuh. Apabila dari yang tujuh ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang empat puluh. Apabila dari yang empat puluh ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari yang tiga ratus. Apabila dari yang tiga ratus itu ada yang mati, Allah akan menggantikan posisinya dari orang kebanyakan. Sebab merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman dan menolak bencana dari umatini.” ‘Abdullah ibn Mas’ud ditanya, “Bagaimana maksudnya sebab merekalah Allah menghidupkan dan mematikan?” Ibn Mas’ud menjawab, “Karena, merekalah yang memohon kepada Allah agar umat diperbanyak, hingga umat ini menjadi banyak. Merekalah yang memohon agar para durjana dibinasakan, dan para durjana itu dibinasakan. Merekalah yang meminta hujan, hingga hujan diturunkan. Mereka memohon tanaman ditumbuhkan hingga tanaman menjadi tumbuh. Mereka memohon, dan dengan permohonan mereka Allah melenyapkan berbagai bencana.” (HR. Abu Na’im Ibn ‘Asakir dan para imam hadis lainnya)
Abu Na’im meriwayatkan, “Umatku yang pilihan pada tiap kurun sebanyak lima ratus orang.” Jumlah mereka tidak berkurang sampai datang keputusan Allah seperti diisyaratkan di dalam hadis, “Di kalangan umatku akan senantiasa ada sekelompok orang yang menyelamatkan kebenaran, mereka tidak dibahayakan oleh orang-orang yang menentang mereka, hingga datang keputusan Allah.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]. Keputusan Allah itu seperti angin lembut yang padanya ruh setiap orang mukmin laki-laki dan perempuan dicabut, dan pada saat itu kiamat sudah sangat dekat, hampir tak berjarak.
Ketahuilah bahwa penghuni alam kubur itu hidup dengan kehidupan sesudah mati. Mereka berpikir, mendengar, melihat dan mengetahui orang yang berziarah serta menjawab orang yang mengucapkan salam. Mereka saling berkunjung sesama penghuni kubur. Mereka juga merasakan rasa sakit orang-orang yang masih hidup di dunia. Dari mereka muncul sesuatu yang hebat dengan kuasa Allah. Mereka merasakan nikmat kubur atau siksa kubur. Amal baik orang yang masih hidup diperlihatkan kepada mereka. Jika yang mereka lihat adalah amal kebaikan, mereka memuji Allah, merasa gembira dan mendoakan pelakunya agar bertambah-tambah kebaikan dan senantiasa berada dalam kebaikan. Apabila yang mereka lihat dari penghuni dunia itu adalah amal buruk, mereka berdoa untuk pelakunya, “Ya Allah, kembalikanlah mereka kepada ketaatan dan tunjukilah mereka sebagaimana Engkau telah menunjuki kami. Sungguh, mereka beramal bukan dengan amal baik.” Para penghuni kubur itu juga mengetahui keadaan mereka yang masih di dunia bukan sekadar amal-amalnya saja. Sungguh, mati hanyalah perpindahan dari satu tempat ke tampat lain. Apa yang kami uraikan ini berdasarkan sunnah dan kesepakatan umat.
Tentang ketegasan bahwa orang-orang yang telah mati itu hidup di alam lain, telah kami jelaskan dalam pasal ziarah. Kehidupan mereka tak ubahnya kehidupan orang yang hidup di dunia, mereka bisa mendengar. Al-Bukhari meriwayatkan hadis marfu’, “Sesungguhnya mayit apabila telah dikubur dan orang-orang yang mengantarnya beranjak pulang, ia mendengar suara sandal mereka saat mereka beranjak pergi.”
Di dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa usai Perang Badar, Rasulullah saw. melemparkan orang-orang kafir yang mati saat peperangan itu ke dalam qalib (sumur yang tidak permanen). Beberapa hari setelah kematian mereka, Rasulullah mendatangi sumur itu, lalu memanggil mereka dengan menyebut masing-masing berikut nama bapaknya, “Hai fulan ibn fulan…(sampai selesai semuanya disebut), apakah kebenaran yang telah dijanjikan Tuhan kalian kepada kalian itu benar adanya? Karena sesungguhnya aku mendapati apa yang dijanjikan Tuhanku kepadaku itu sungguh benar adanya.” ‘Umar bertanya kepada beliau, “Ya Rasulullah, apa engkau mengajak bicara mereka yang sudah mati?” Rasulullah saw. bersabda, “Demi Dia Yang telah mengutusku membawa kebenaran, pendengaranmu tidak lebih tajam daripada mereka.”
Orang yang telah mati juga mengetahui orang-orang yang berkunjung menzirahinya, dan dia merasa senang dengan kedatangan mereka. ‘A’isyah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang hamba menziarahi kubur saudaranya dan duduk di sampingnya, melainkan saudaranya itu akan ramah dan menjawabnya, sampai dia beranjak pulang.” (HR. al-Khathib dan Ibnu ‘Asakir)
Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seorang melewati kuburan orang yang ia kenal, lalu mengucap salam, yang dikubur itu menjawabnya, dan dia juga mengenalinya. Kemudian kalau ia melewati kuburan orang yang tidak ia kenal dan mengucap salam kepadanya, yang dikubur juga akan menjawab salamnya.” (HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Abi ad-Dunya)
Para penghuni kubur hidup layaknya orang yang hidup di dunia, saling mengunjungi dan bertemu. Rasulullah saw. bersabda, “Perbaguslah kain kafan orang-orang yang mati di antara kalian, sebab mereka akan saling berbangga-bangga dan saling mengunjungi di dalam kubur mereka.” (HR. Al-Baihaqi)
Adapun tentang kenyataan bahwa mayit dapat merasakan kesakitan dari orang yang masih hidup di dunia, Rasulullah saw. telah bersabda, “Sesungguhnya si mayit dapat tersakiti di dalam kuburnya oleh kesakitan di rumahnya (saat masih di dunia).” (HR. Ad-Dailami)
Lebih dari itu, ada orang-orang yang sudah mati yang—dengan kuasa Allah Ta’ala—bisa berbuat dan punya akses kepada orang-orang Yang masih hidup di dunia. Rasulullah saw. bersabda setelah Ja’far wafat terbunuh, “Aku tahu, Ja’far sedang bercengkerama dengan para malaikat yang sedang menggembirakan penduduk Bisyah [*] dengan hujan.” (HR. Ibnu ‘Adi)
[*] Bisyah adalah nama suatu desa di negeri Yaman.
Nikmat dan siksa kubur sungguh nyata adanya. Berdasarkan banyak hadis Nabi saw. yang diriwayatkan secara mutawatir. Ahlus-sunnah wal-jama’ah sepakat, bahwa nikmat dan siksa kubur itu dialami ruh dan jasad. Karena laku maksiat dan tindak ketaatan dilakukan oleh ruh dan jasad. Mereka juga sepakat bahwa kenyataan ini merupakan bagian dari akidah yang harus diimani. Tentang nikmat yang dialami para nabi di dalam kubur telah kami jelaskan. Mereka hidup di kubur mereka dengan senang dan melakukan shalat. Di dalam hadis-hadis shahih juga disebutkan bahwa mereka juga berhaji. Allah telah memuliakan sebagian penghuni barzakh dengan kesenangan shalat dan berhaji, meskipun shalat dan hajinya itu tidak menghasilkan pahala bagi mereka karena keterputusan pahala amal dengan kematian. Namun Allah melestarikan amal itu bagi mereka agar mereka bersenang-senang dengan zikrullah dan menaatinya sebagaimana para malaikat dan ahli kebaikan bersenang-senang dengannya di dalam surga. Karena bagi mereka zikir dan amal ketaatan lebih nikmat dari semua kenikmatan duniawi bagi ahli dunia.
Adapun tentang hadis Nabi saw., “Jika anak Adam mati, maka terputuslah amalnya, kecuali…”, maksudnya adalah keterputusan pahala amal, bukan keterputusan amal. Ini jelas sebagaimana tampak bagi orang yang benar-benar mendalami hadis dan tidak dikuasai hawa nafsu. Semoga Allah melindungi kita dengan anugerah-Nya.
Tentang siksa kubur bagi sebagian penghuninya, Allah Ta’ala telah mengabarkan dalam di firman-Nya tentang keluarga Fir’aun, “Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” [QS. al-Mukmin 40:46]
Rasulullah saw. bersabda, “Jika kalian tidak saling bergegas pergi usai pemakaman, tentu aku akan memohon kepada Allah agar Dia memperdengarkan siksa kubur sebagaimana yang aku dengar.” (HR. Muslim)
Amal-amal orang yang masih hidup akan diperlihatkan kepada orang yang telah mati. Tentang hal ini Rasulullah saw. bersabda, “Amal-amal kalian akan diperlihatkan kepada orang yang telah mati. Jika mereka melihat amal kalian baik, mereka merasa senang. Jika mereka meihat amal kalian itu buruk, mereka berdoa, ‘Ya Allah, kembalikanlah mereka (kepada amal baik).” (HR. Ibnu al-Mubarak)
Selain melihat amal orang-orang yang masih hidup, mayit juga melihat keadaan-keadaan lain mereka di dunia. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya mayit mengetahui orang yang membawanya, yang memandikannya dan orang yang meletakkannnya ke dalam kubur.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad di dalam Musnad-nya.[]