Bab ini berisi uraian tentang permasalahan-permasalah yang berkaitan dengan para nabi, yang merupakan bagian kedua dari dua bagian iman. Iman tersusun dari dua bagian. Pertama, iman kepada Allah Ta’ala, yakni haditsun-nafsi yang mengikuti pengenalan sifat yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin bagi Allah Ta’ala. Uraian tentang bagian iman yang pertama ini sudah kami jelaskan pada Bab I. Adapun bagian iman yang kedua adalah iman kepada para rasul, yakni haditsun-nafsi yang mengikuti pengenalan sifat yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin bagi para rasul Allah. Yang dimaksud dengan haditsun-nafsi adalah penerimaan dan keyakinan hati akan apa yang diketahuinya walaupun kesombongan tidak bisa menghalangi dia untuk membenarkannya.
Ketahuilah bahwa rasul adalah manusia laki-laki yang merdeka (bukan budak) yang diutus oleh Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya, untuk menyampaikan hukum-hukum-Nya yang bersifat taklifi dan wadh’i kepada mereka. Yang dimaksud dengan hukum taklifi dan wadh’i ialah kewajiban syariat yang pasti, kenyataan sesuatu menjadi syarat, atau menjadi sebab, atau penghalang, atau sah, atau rusak, serta hal-hal lain yang menjadi ikutannya, seperti janji dan ancaman-Nya. Adapun nabi adalah manusia laki-laki merdeka yang diberi wahyu oleh Allah Ta’ala berupa syari’at yang harus diamalkannya, entah kemudian dia diperintah untuk menyampaikan syari’at yang diterimanya itu kepada yang lain maupun tidak.
Kerasulan para rasul merupakan kelembutan dan rahmat dari Allah Ta’ala yang dengannya Dia mengistimewakan hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Dan kenabian tidak bisa diupayakan, entah dengan riyadhah (latihan spiritual), dengan mujahadah (memerangi nafsu) maupun dengan upaya-upaya lainnya. Kenabian semata-mata merupakan anugerah dari Allah Ta’ala, yang mengandung hikmah dan kemaslahatan.
Adapun jalan untuk menegaskan kerasulan, dilakukan dengan mukjizat. Mukjizat ialah perkara luar biasa yang menyalahi kebiasaan, dimunculkan untuk membenarkan dan memperkuat pengakuan kenabian para nabi. Seperti peristiwa keluarnya air dari jari-jari (Nabi Muhammad) dan peristiwa tidak terbakarnya Nabi Ibrahim saat dilempar ke dalam kobaran api. Mukjizat-mukjizat itu merupakan penegas yang amat jelas dari Allah Ta’ala akan kebenaran pengakuan kenabian para nabi.
Iman kita tidak akan sempurna sebelum kita mengenal para rasul Allah, dan iman kepada para rasul itu tidak akan didapat selain dengan mengetahui sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang ja’iz bagi mereka. Karena itu di sini kami akan menguraikan sifat-sifat yang wajib, yang mustahil dan yang ja’iz adanya pada diri para rasul.
Ada empat sifat yang mesti ada dalam diri para rasul Allah, dan empat sifat pula yang mustahil adanya pada diri mereka. Pertama, ash-shidqu (benar dan jujur) di dalam semua hal yang mereka sampaikan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala. Para rasul mustahil bersifat al-kidzbu (tidak benar, bohong) di dalam semua itu. Karena al-kidzbu merupakan kebalikan dari ash-shidiq.
Ash-shidq adalah kesesuaian berita yang disampaikan dengan kenyataan dan hakikat berita itu. Misalnya berita yang disampaikan mereka, “Sesungguhnya Allah Mahaesa, tidak ada selain Dia.” Mereka telah berkata benar dan jujur, karena apa yang mereka sampaikan itu sesuai dengan kenyataan. Sedangkan al-kidzbu adalah ketidaksesuaian berita dengan kenyataan dan hakikat berita itu.
Dalil akal yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat jujur dan mustahil bersifat bohong adalah, apabila para rasul itu berbohong di dalam berita menyampaikan kepada orang lain, berarti berita dari Allah yang berupa mukjizat itu juga bohong. Karena, Allah menegaskan kebenaran seorang rasul dengan mukjizat yang Dia munculkan di tangannya. Penegasan kebenaran dengan pemunculan mukjizat ini menempati posisi penegasan kebenaran dengan firman yang tegas. Pemunculan mukjizat ini menempati posisi firman Allah Ta’ala, “hamba-Ku ini benar dan jujur di dalam setiap kabar yang disampaikannya dari-Ku.”
Apabila para rasul itu berbohong, berarti Allah Tabaraka wa Ta’ala juga berbohong dalam penegasan-Nya akan kebenaran diri mereka. Dan bohong, sungguh hal yang mustahil adanya pada Allah Ta’ala. Sebab, berita dari Allah itu sesuai dengan ilmu-Nya, dan ilmu-Nya tidak megandung sesuatu yang berlawanan dengan kenyataan, demikian pula firman-Nya. Maka nyatalah bahwa para rasul itu mustahil bersifat bohong. Karena itu mereka mesti bersifat benar dan jujur.
Selain dalil akal, ada banyak dalil naqli yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat jujur dan mustahil bersifat bohong. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita”. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” [QS. Al.Ahzåb 33: 22] Allah Ta’ala berfirman, “Mereka berkata: ‘Aduh celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah Rasul-rasul-Nya.” [QS. Yasin 36: 52]
Sifat kedua yang mesti adanya di dalam diri para rasul Allah adalah al-amanah (terpercaya), mustahil mereka bersifat al-khiyanah (khianat). Amanah ialah menjaga diri lahir batin dari hal-hal yang terlarang, yang haram maupun yang makruh, seringan apa pun keterlarangan itu. Sedangkan khiyanah adalah kebalikannya.
Secara argumentatif akal menunjukkan kemestian para rasul bersifat amanah dan mustahil bersifat khiyanah. Kita tahu bahwa para rasul merupakan makhluk yang paling mulia dalam pandangan Allah Ta’ala, paling bertakwa kepada-Nya, paling mengenal-Nya dan paling takut kepada-Nya. Allah telah memilih dan mengistimewakan mereka lebih dari manusia lainnya. Allah menjadikan mereka sebagai duta untuk menyampaikan hukum-hukum syariat-Nya kepada umat manusia, disertai dengan penegasan kebenaran dari-Nya akan kebenaran hukum yang mereka sampaikan itu. Karena itu mereka mesti menjadi panutan bagi umat. Sungguh, Allah telah menegaskan kemestian mereka untuk diikuti tanpa komentar, dan kita diperintah untuk mengikuti semua perkataan, perbuatan dan perilaku mereka. Jika ternyata para rasul Allah itu berkhianat dengan melakukan perbuatan haram atau makruh, tentu perbuatan tersebut akan menjadi perbuatan yang diperintahkan sekaligus dilarang. Menjadi diperintahkan karena perbuatan tersebut dilakukan rasul yang menjadi panutan dan mesti kita ikuti, sekaligus dilarang karena rasul telah menyampaikan keterlarangannya. Dan ini sungguh batil, karena mengandung kontradiksi. Karena itu para rasul mestilah bersifat amanah, mustahil mereka bersifat khiyanah.
Dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya aku adalah utusan (Allah) yang dipercaya kepadamu.” [QS. ad-Dukhan 44:18]
Allah Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” [QS. al-Anfal 8:58]. Sebagaimana Anda ketahui, para rasul adalah orang-orang yang dicintai Allah Ta’ala, dan tentunya mereka bukan pengkhianat.
Para ulama telah sepakat tentang keterpercayaan para nabi dan rasul Allah. Mereka juga sepakat bahwa para nabi dan rasul disucikan dari segala kekurangan dan dosa. Karena itu kita wajib membenarkan keterpercayaan mereka.
Sifat ketiga yang wajib adanya dalam diri pada rasul adalah at-tabligh (menyampaikan semua yang diperintahkan Allah kepada mereka untuk mereka sampaikan kepada manusia). Mereka tidak menyembunyikan sesuatu pun dari semua yang telah Dia perintahkan kepada mereka untuk mereka sampaikan—sesuai perintah-Nya—kepada umat, entah dengan sengaja atau karena lupa, kepada sebagian umat ataupun kepada semua.
Dalil akal yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat tabligh dan mustahil menyembunyikan sesuatu dari yang telah diperintahkanNya untuk mereka sampaikan, sudah sangat jelas dari argumen kemestian mereka bersifat amanah. Sungguh, apabila mereka menyembunyikan sesuatu yang telah diperintahkan untuk disampaikan, berarti mereka telah berkhianat. Dan ini mustahil, sebab para rasul Allah sungguh terjaga dan terpelihara (ma’shum) dari sifat khianat.
Dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan.” [Qs. al-Ahzab 33:39]
Alqur’an suci telah menjelaskan kesempurnaan tabligh yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Qs. al-Ma’idah 5:3]
Sifat keempat yang mesti adanya dalam diri para rasul adalah al-fathanah (cerdas dan tidak lupa). Mustahil para rasul bersifat ghaflah (lupa) dan baladah (idiot). Rasul diutus untuk menegakkan hujjah (argumen), untuk mengatasi musuh dan membatalkan pengakuan mereka yang batil. Seandainya para rasul tidak mempunyai sifat fathanah, tentu mereka tidak akan mampu menegakkan hujjah untuk mengatasi musuh. Dan hal ini adalah keliru.
Dalil naqli yang menunjukkan kemestian para rasul bersifat fathanah adalah firman Allah Ta’ala, “Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” [QS. al-An’am 6:83]
Allah Ta’ala juga berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [QS. an-Nahl 16:125]. Membantah dengan cara yang terbaik hanya bisa dilakukan oleh orang yang cerdas, si tolol tentu tidak akan bisa melakukannya.
Kesimpulannya, sifat-sifat yang wajib ada dalam diri para rasul berjumlah empat sifat, yakni al-shidq, al-amanah, at-tabligh dan al-fathanah. Dan mereka mustahil tersifati dengan sifat-sifat kebalikannya, yakni al-kidzbu, al-khiyanah, al-kitman dan al-baladah.
Adapun sifat yang wenang ada dalam diri para rasul adalah al-a’radh al-basyariyyah, yakni sifat-sifat manusiawi yang tidak sampai menafikan keluhuran derajat mereka. Di antaranya adalah mengalami sakit, lapar, fakir, makan, minum dan tidur. Hanya saja, meski mata para rasul itu kadang tidur, hati mereka tetap terjaga. Dalilnya sebagaimana disaksikan akal, sifat-sifat manusiawi itu nyata terjadi pada diri semua rasul Allah. Sedangkan dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” [QS. al-Furqan 25:20]. Yakni, “Engkau, wahai Muhammad, memiliki sifat manusiawi seperti mereka.”
Apa faedah kenyataan para rasul terkena sifat-sifat manusiawi layaknya manusia lain? Faedahnya adalah untuk menambah kemuliaan mereka, menambah keluhuran derajat mereka dan menambah kebesaran pahala mereka. Hal ini didukung oleh kesaksian sabda Rasulullah saw., “Yang paling berat cobaannya adalah para nabi, kemudian para wali, kemudian mereka yang berderajat di bawahnya, lalu yang di bawahnya lagi.” Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menimpakan ujian berat kepadanya, untuk mendengar tadharru’-nya.” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam Sya’b aliman, dan oleh ad-Dailamî di dalam Musnad al-Firdaus.
Faedah lainnya dari kenyataan para rasul terkena sifat-sifat manusiawi adalah penghiburan hati dan pelipur lara bagi kita saat kita ditimpa derita yang serupa menimpa para rasul. Selain itu juga untuk memperingatkan kita akan ke-hina-an dunia dan kerendahan nilai duniawi.
Apabila seorang berakal sehat merenungi keadaan yang dialami para rasul: bagaimana rasa sakit yang mereka derita, bagaimana kemiskinan yang mereka alami dan tindakan menyakitkan yang mereka terima dari para penentangnya, tentu dia akan tahu betapa semua derita itu tidak berarti di hadapan Allah Ta’ala. Lalu dia akan berpaling dengan hatinya dari dunia ini serta menggatungkan qalbunya kepada Allah Ta’ala.
Kenyataan para rasul terkena sifat-sifat manusiawi juga merupakan petunjuk dari Allah Ta’ala bahwa mereka adalah hamba-hamba-Nya. Sehingga orang-orang yang lemah tidak merasa lemah hati melihat mukjizat-mukjizat agung yang muncul di tangan para rasul.
Kami mengatakan bahwa yang mungkin adanya dalam diri para rasul itu adalah sifat-sifat manusiawi yang tidak menafikan keluhuran derajat mereka, untuk mengecualikan sifat-sifat yang dapat menghilangkan keluhuran derajat mereka, seperti buta, lepra, gila dan sifat lain yang membuat orang lari dari mereka. Atau seperti makan di tengah jalan dan perbuatan-perbuatan lain yang dinilai rendah. Atau mimpi (ihtilam) yang muncul dari setan.