05. Bab I – Ketuhanan (Ilahiyyat)

Bab ini berisi uraian tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Ketuhanan. Setiap mukallaf wajib berma’rifah terhadap sifat-sifat yang wajib dan yang mustahil bagi Allah Ta’ala, juga sifat untuk tidak atau mengadakan sesuatu bagi-Nya. Mukallaf adalah semua yang mempunyai nalar, berakal dan sehat inderanya, walaupun hanya pendengaran atau penglihatannya saja, yang sudah menerima dakwah, laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak, dari golongan manusia maupun jin. Hanya saja jin sudah dihukumi mukallaf sejak awal penciptaan, seperti Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa’. Ma’rifah berarti keyakinan yang mantap yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil. Maka kita semua, orang-orang yang sudah bernalar dan berakal sehat, berkewajiban mengetahui sifat-sifat yang wajib, sifat-sifat yang mustahil dan sifat yang ja’iz bagi Allah Ta’ala, baik secara global maupun terperinci.

Mengetahui secara global adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan yang luput dari segala kekurangan, dan wenang bagi-Nya untuk melakukan dan mengadakan semua yang mungkin atau tidak. Sedangkan mengetahui secara rinci adalah mengetahui sifat-sifat tersebut beserta dalilnya.

Sifat yang wajib ada pada Allah Ta’ala ada dua puluh. Maksudnya adalah sifat-sifat yang berdasarkan akal sehat, bahwa Allah Ta’ala pasti disifati dengan sifat-sifat tersebut, karena ketiadaannya merupakan kemustahilan dan kebatilan. Sifat-sifat yang musthail adanya pada Allah Ta’ala juga ada dua puluh, yang merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang wajib adanya bagi Dia.

Sifat-sifat yang wajib adanya pada Allah Ta’ala adalah al-Wujud (Ada), al-Qidam (Terdahulu), al-Baqa’ (Kekal), Mukhalafatul-lil-hawadisi (berbeda dengan makhluk), qiyamu binafsihi (berdiri sendiri atau tidak bergantung kepada yang lain), al-Wahdaniyyah (Esa), al-Qudrah (Kuasa), al-Iradah (Berkehendak), al-Ilmu (Mengetahui), al-Hayat (Hidup), al-Sama’ (Mendengar), al-Bashar (Melihat), al-Kalam (Berfirman), Kaunuhu Qadiran (kenyataan-Nya yang Mahakuasa), Kaunuhu Muridan (kenyataan-Nya Maha Berkehendak), Kaunuhu ‘Aliman (kenyataan-Nya Maha Mengetahui), Kaunuhu Hayyan (kenyataan-Nya Mahahidup), Kaunuhu Sami’an (kenyataan-Nya Maha Mendengar), Kaunuhu Bashiran (kenyataan-Nya Maha Melihat) dan Kaunuhu Mutakalliman (kenyataan-Nya Berfirman).

Adapun kebalikan-kebalikannya yang dua puluh yakni, yang mustahil ada pada Allah Ta’ala adalah: al-Adam (tiada), al-Huduts (baru), al-Fana’ (rusak), al-Mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan makhluk), Ihtiyajila mahalllin wa mukhashashin (membutuhkan tempat dan pencipta), al-Ta’ddud (berbilang), al-‘Ajzu’an mumkinin (lemah dan tidak berdaya dari yang mumkin), al-Karahah (terpaksa), al-Jahl (tidak mengetahui), al-Maut (mati), ash-Shamam (tidak dapat mendengar), al-’Ama (tidak melihat), al-Bukm (bisu), Kaunuhu ‘ajizan (kenyataan-Nya lemah), Kaunuhu Karihan (kenyataan-Nya tidak berkehendak atau terpaksa), Kaunuhu Jahilan (kenyataan-Nya tidak mengetahui), Kaunuhu Mayyitan (kenyatann-Nya mati), Kaunuhu Ashamm (kenyataan-Nya tidak mendengar), Kaunuhu A’ma (kenyataan-Nya tidak melihat) dan Kaunuhu Abkam (kenyataan-Nya tidak berfirman). Mahasuci Allah dari semua sifat itu, sifat-sifat yang mustahil adanya pada Dia.

Sifat pertama yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah wujud. Makna wujud adalah ada secara nyata sekira dapat diindera. Wujud merupakan sifat yang wajib adanya pada Allah Ta’ala karena Dzat-Nya, secara azali dan selama-lamanya. Kebalikannya adalah al-Adam (tiada). Dalil yang menunjukkan wajibnya Allah Ta’ala wujud dan mustahil Allah tiada berdasarkan akal adalah adanya semua makhluk di alam semesta ini. Semua makhluk, jika Anda perhatikan dengan seksama, niscaya akan Anda dapati bahwa semua itu mengalami perubahan dari tiada menjadi ada dan dari ada menjadi tiada, dari bergerak menjadi diam dan dari diam menjadi bergerak. Bermacam-macam rupa dan berbeda-beda bentuk. Ada yang putih, hitam, merah dan sebagainya. Sebagian ada di satu sudut dan tiada di sudut lain. Sebagian ada di satu tempat dan tiada di tempat lain. Sebagian ada di satu masa dan tiada di masa yang lain. Ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang terang dan ada yang gelap. Ada yang lembut dan ada yang kasar, dan lain sebagainya. Itu semua menunjukkan bahwa alam semesta ini adalah hadits (adanya didahului ketiadaan, atau menjadi ada dari tiada), dan al-hadits ini tentu merupakan sesuatu yang mumkin, karena semuanya membutuhkan Sang Pencipta Yang Menentukan, Yang wajib ada-Nya, Yang menentukan ada dari tiada, menentukan gerak dari diam, menentukan ukuran atau arah tertentu, waktu dan tempat tertentu atau sifat yang tertentu pula. Seandainya Allah tidak wajib ada-Nya, niscaya tidak sesuatu pun dari alam ini akan mengada. Sebab tidak tergambar dalam akal pikiran adanya sesuatu yang baru tanpa adanya pencipta yang azali. Kalaulah bukan karena adanya Sang Pencipta Yang menentukan beradaan dan karakter tertentu pada sesuatu yang dikehendaki-Nya, tentu sesuatu itu akan tetap berada dalam ketiadaannya, tidak mungkin menjadi ada, selamanya. Sesuatu menjadi ada karena Sang Pencipta menentukan keberadaannya, dengan karakter tertentu, zaman tertentu, tempat tertentu, arah tertentu, ukuran dan sifat tertentu.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan wajibnya Allah Ta’ala wujud adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi” (QS. Al-A’raf 7:54) dan firman Allah Ta’ala, “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)” (QS. Ath-Thur 52:35).

Sifat kedua yang wajib ada pada Allah Ta’ala adalah al-Qidam (Terdahulu). Makna qidam adalah tidak ada permulaan bagi wujud-Nya, yakni adanya Dzat Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya itu tidak berpermulaan. Kebalikannya adalah al-huduts, yakni ada permulaan wujud. Dalil aqli yang menunjukkan adanya wajibnya sifat qidam bagi Dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala serta mustahil Dia huduts adalah, bila Allah Ta’ala tidak terdahulu, Dia mesti baru dan tentu membutuhkan pencipta yang membuatnya mengada untuk baru. Perkara ini akan tasalsul tak berujung, dan itu batil. Atau dengan kata lain, jika sudah tegas bahwa alam semesta ini huduts dan membutuhkan pencipta yang meng-ada-kannya secara baru, lalu penciptanya itu ternyata tidak ada, tentu jelas-jelas mustahil. Karena alam semesta ini bukan ada dengan sendirinya, tidak pula bias menciptakan wujud lain sehingga ia menjadi yang mesti ada. Inilah makna Qidam. Lalu seandainya sifat-sifat Allah Ta’ala tidak qidam, pasti sifat-sifatn-Nya itu huduts, dan ini batil. Sebab, bila sifat-sifat-Nya huduts, tentu akan menuntut kebaharuan Dzat Allah Ta’ala. Karena, segala sesuatu yang dzatnya tidak menjadi nyata tanpa yang baru berarti ia baru. Sedangkan keterdahuluan Allah Ta’ala sudah terdahulu.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala bersifat wajib Qidam adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir,”(QS. Al-Hadid 57:3) dan firman Allah Ta’ala, “(Yang memiliki sifat-sfat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu.”(QS. Al-An’am 6:102)

Sifat ketiga yang wajib ada pada Allah Ta’ala adalah al-Baqa’ (kekal abadi), yaitu tiada penghabisan wujud. Artinya, keberadaan Dzat dan sifat-sifat Allah Ta’ala tidak berakhir dan tidak berhenti. Kebalikannya adalah al-Fana’ (rusak, berakhir). Allah Ta’ala mesti bersifat baqa’ dalam Dzat dan sifat-sifat, dan Dia mustahil fana’. Dalil akalnya adalah, seandainya Dzat Allah Ta’ala bisa rusak dan berakhir, tentu Dia adalah yang baru. Sebab, sejatinya yang qadim itu mesti adanya serta tidak akan rusak dan berakhir. Demikian pula sifat-sifat-Nya. Jika sifat-sifat-Nya itu bisa rusak dan berakhir, tentu sifat-sifat-Nya itu adalah baru, dan kebaruan sifat ini menuntut kebaruan dzat, karena kelaziman bagi yang baru adalah kebaharuan. Sementara Allah sudah jelas qadim (terdahulu).

Adapun dalil naqlli yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala mesti bersifat baqa’ adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir..”(QS. Al-Hadid 57:3) dan firman Allah Ta’ala, “Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah..”(QS. Al-Qashash 28:88)

Sifat keempat  yang mesti ada pada Allah ta’ala adalah mukhalafah lil-hawaditsi (berbeda dari semua yang selain Dia). Artinya, Allah tidak serupa dengan sesuatu pun yang selain Dia, tidak dalam Dzat-Nya, tidak dalam sifat-sifat-Nya, dan tidak pula dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Dzat Allah bukan jisim, tidak pula menempati atau bersandar pada jisim. Allah tidak di atas atau di bawah sesuatu, tidak di belakang atau samping kiri dan kanan sesuatu. Tidak disifati dengan gerak atau diam dan bagian-bagian yang dimiliki oleh makhluk. Allah tidak mempunyai tangan, mata, telinga atau ciri-ciri makhluk yang lainnya. Adapun keterangan yang ada di dalam al-Qur’an atau hadis yang mengungkapkan seolah-olah Allah serupa dengan makhluk, seperti yadullah fauqa aydihim (tangan Allah di atas tangan mereka), harus ditakwil dari makna lahiriahnya yang bersifat umum.

Ilmu Allah tidak seperti ilmu kita. Pengetahuan Allah tidak diambil dari dalil, tidak pula muncul karena darurat. Allah tidak lupa atau lalai, tidak pula bodoh. Kuasa Allah tidak membutuhkan alat atau sarana. Allah berkehendak tidak karena maksud tertentu. Hidup Allah tidak dengan ruh (nyawa) seperti hidup kita. Pendengaran dan penglihatan Allah tidak dengan indera. Kalam Allah tidak dengan suara atau huruf sebagai lambang suara, dan Allah tidak diam. Perbuatan Allah Ta’ala tidak dengan anggota tubuh, tidak pula sekedar gurauan. Sungguh, Mahasuci Allah dari semua itu. Adapun kebalikan dari sifat mukhalafah lil-hawaditsi adalah mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan yang selain Dia).

Dalil aqli yang menunjukkan kemestian Allah bersifat tidak serupa dengan segala yang selain Dia adalah, bila Allah serupa dengan sesuatu dari yang selain Dia, entah Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya ataupun perbuatan-perbuatan-Nya, tentu Allah juga baru seperti sesuatu yang selain Dia itu. Dan ini sungguh batil.

Sedangkan dalil naqlinya adalah firman Allah Ta’ala, “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura 42:11)

Sifat kelima yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah Qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri). Artinya, Allah Ta’ala tidak membutuhkan tempat atau dzat untuk mengada, tidak pula membutuhkan sesuatu pun untuk menegaskan keberadaan-Nya. Kebalikannya adalah Ihliyajuhu ila dzatin aw murajjahin (butuh terhadap dzat atau sesuatu yang mewujudkan). Dalil aqli yang menunjukkan kenyataan bahwa Allah Ta’ala mandiri adalah, seandainya Allah butuh tempat, berarti Allah adalah sifat. Sementara sifat tidak bisa disifati dengan sifat-sifat. Dan Allah sudah jelas disifati dengan sifat Qudrah (Kuasa), Iradah (Berkehendak) dan lainnya. Kemudian bila Allah butuh pada sesuatu yang membuatnya mengada, berarti Allah baru, dan ini sungguh keliru, karena Allah Ta’ala bersifat Qidam.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat Mandiri adalah firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(QS. Al-Ankabut 29:6). Allah Ta’ala juga berfirman, “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji).”(QS. Fathir 35:15)

Sebagaimana Allah tidak butuh terhadap tempat, Dia juga tidak membutuhkan segala bentuk kemanfaatan, tidak pula tujuan di dalam semua perbuatan dan ketetapan-Nya. Benar bahwa perbuatan dan ketetapan Allah mengadung berbagai hikmah dan kemaslahatan, tetapi manfaat semua hikmah dan kemaslahatan itu bagi makhluk, sebagai kemurahan dan kebaikan Allah kepada makhluk-Nya. Bukan berarti bahwa hikmah dan kemaslahatan itu bermanfaat bagi Allah Ta’ala. Ketaatan kita sama sekali tidak bermanfaat bagi Allah. Demikian juga maksiat kita tidak membahayakan Allah. Perintah dan larangan yang Allah gariskan kepada kita, manfaat dan bahayanya akan kembali kepada kita juga.

Allah sama sekali tidak membutuhkan manfaat dari semua perintah dan larangan-Nya terhadap kita. Betapa tidak, Allah sungguh tidak membutuhkan sesuatu pun dari makhluk. Ada banyak sekali kesaksian yang menunjukkan hal ini di dalam Alqur’an dan sunnah. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang salih maka pahalanya untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka dosanya atas dirinya sendiri.”(QS. Fushshilat 41:46). Allah Ta’ala berfirman, “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri..”(QS. Al-Isra’ 17:7), Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sungguh Allah benar-benar Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(QS. Al-‘Ankabut 29:6).

Allah sungguh Mahakaya dan tidak membutuhkan apa pun selain Dia. Dilihat dari sudut pandang akal, jika Allah membutuhkan manfaat dari ketaatan hamba-Nya, niscaya Allah hanya akan menciptakan ketaatan dan tidak menciptakan kemaksiatan. Jika tidak, berarti Allah tidak mampu menangkal sesuatu yang membahayakan-Nya, dan ini mustahil.

Kesimpulannya, Allah sungguh tidak membutuhkan seluruh bentuk kemanfaatan dari semua yang selain Diri-Nya. Dan Dialah yang menunjukkan makhluk yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Sifat keenam yang mesti ada pada Allah Ta’ala adlah al-Wahdaniyyah, yaitu tiada berbilang. Sifat wahdaniyyah atau ketidakberbilangan Allah ini terpilah dalam tiga bagian. Pertama, tidak berbilang dalam Dzat-Nya. Maksudnya, Dzat Allah tidak tersusun dari bagian-bagian dan tidak ada bandingan bagi Dzat-Nya. Kedua, tidak berbilang di dalam sifat-sifat-Nya. Maksudnya, Allah tidak bersifat dengan dua sifat sejenis atau lebih. Misalnya, Allah bersifat dengan dua sifat Qudrah, dua sifat Iradah atau dua sifat ‘Ilmu. Dan tidak ada makhluk yang memiliki sifat yang sama seperti sifat Allah. Ketiga, tidak berbilang di dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Artinya, Allah-lah Yang menciptakan secara bebas segala sesuatu yang mungkin mengada, entah dzat, sifat maupun perbuatan. Allah Ta’ala berfirman, “..Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”(QS. Ash-Shaffat 37:96). Tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya di dalam semua itu. Matahati, bulan, bintang, air, debu, udara, api dan lainnya, semuanya tidak ada yang berpengaruh terhadap lainnya. Demikian juga makanan tidak akan membuat kenyang dan pisau tidak bisa memotong tanpa kehendak Allah.

Suatu tindakan bebas seorang hamba, adalah ciptaan Allah, bukan milik hamba. Allah menciptakan perbuatan itu dengan qudrah-Nya berbarengan dengan kemampuan hamba untuk melakukannya, bukan karena kemampuan hamba. Hamba sama sekali tidak memiliki kuasa, yang ada padanya hanya usaha (al-kasb). Al-kasb adalah keselarasan al-qudrah al-haditsah (kuasa yang baru muncul) terhadap al-maqdur (objek) ketika al-maqdur itu menjadi tujuan. Saat itu Allah memunculkan tidakan, dengan mewujudkan musabbab (akibat) ketika ada sebab. Meskipun yang tampak secara lahiriah sepertinya si hambalah yang menjadi pelaku, seperti api yang secara lahiriah tampak membakar. Dari sini dipahami bahwa sesungguhnya pahala merupakan kemurahan Allah Ta’ala, dan siksa murni merupakan keadilan-Nya. Allah tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas pebuatan-perbuatan-Nya, kitalah yang akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan kita. Sebab, Allah Ta’ala berbuat sesuatu dengan perbuatan hamba-Nya.

Apabila Anda memahami hal ini, Anda akan tahu bahwa perbuatan yang diupayakan hamba (ikhtiyariyyah) hanya merupakan tanda-tanda syara’ atas pahala atau siksa yang diciptakan Allah Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya, untuk menunjukkan apa yang Allah kehendaki bagi mereka di akhirat. Semua hamba dimudahkan oleh perbuatan Allah untuk mencapai tujuan mereka.

Jika ditanyakan, “Apabila Allah yang menciptakan perbuatan hamba, berarti Dialah yang berdiri, duduk, makan, minum dan lain sebagainya?” Jawabannya, “Pendapat ini sungguh bodoh dan tolol. Karena, yang disifati dengan sesuatu adalah ia yang dengan sesuatu itu menjadi, bukan yang menciptakan sesuatu itu. Apakah tidak Anda lihat, Allah-lah Yang menciptakan putih, hitam dan lain sebagainya, tetapi bukan berarti Allah disifati dengan putih atau hitam.

Kebalikan dari sifat wahdaniyyah adalah ta’addud (berbilang), dalam dzat, sifat maupun perbuatan. Dalil yang menunjukkan ketunggalan Allah dalam Dzat-Nya diambil dari dalil tentang kemestian Allah bersifat mukhalafah lil-hawaditsi. Sebab jika Dzat Allah itu tersusun, berarti ia serupa dengan hawadits dan membutuhkan sesuatu yang menyusunnya. Dengan demikian berarti Dia baru, dan itu mustahil.

Dalil yang menunjukkan ketidakberbilangan Allah di dalam sifat-sifat-Nya adalah kenyataan bahwa Allah tidak bersifat dengan dua sifat yang sejenis. Sebab jika sifat-Nya itu berbilang, tentu sifat-Nya itu baru, padahal sudah ditegaskan bahwa sifat-Nya itu terdahulu.

Dalil yang menunjukkan ketidakberbilangan Allah di dalam Dzat dan sifat-Nya adalah kenyataan bahwa Allah tidak berbanding di dalam Dzat-Nya dan tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bersifat dengan sifat-sifat-Nya. Adapun dalil yang menunjukkan ketidakberbilangan Allah di dalam perbuatan-Nya, yakni kenyataan tidak adanya sesuatu pun selain Dia yang bisa menciptakan perbuatan, itu karena keberbilangan di dalam perbuatan berarti persekutuan. Dan persekutuan merupakan aib serta kekurangan, karena menunjukkan kelemahan. Sedangkan ketunggalan dan ketidakberbilangan adalah sifat kesempurnaan. Semakin besar kuasa seorang raja, akan semakin besar pula kebenciannya terhadap sekutu yang menyainginya. Lalu bagaimana pendapat Anda berkenaan dengan kerajaan dan kekuasaan Allah Yang ketuhanan-Nya menuntut penguasaan mutlak? Bayangkan seandainya di dunia ini ada dua Tuhan dan salah satunya ingin mengalahkan yang lain. Apabila yang satu ini sanggup mengalahkan saingannya, berarti yang kalah itu lemah dan fakir, dan tentu dia bukan Tuhan. Lalu apabila yang satu itu tidak dapat mengalahkannya, berarti dia yang lemah, dan itu berarti dia bukan Tuhan, tetapi yang kedualah yang tuhan.

Selain dalil aqli, ada banyak dalil naqli yang disebutkan di dalam Alqur’an tentang ketidakberbilangan Allah Ta’ala. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahaesa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Baqarah 2:163)

Allah Ta’ala berfirman, “Sekiranya ada di langit dan bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak dan binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan.”(QS. Al-Anbiya’ 21:22)

Allah Ta’ala berfirman, “Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) berserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu.”(QS. Al-Mu’minun 23:91)

Semua rasul Allah dan kitab-kitab-Nya telah menyatakan kemestian Allah bersifat tidak berbilang. Seperti diungkapkan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, “Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu: “Adakah Kami menentukan tuhan-tuhan untuk disembah selain Allah Yang Maha Pemurah?””(QS. Az-Zukhruf 43:45). Allah Ta’ala juga berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhak (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.”(QS. Al-Anbiya’ 21:25)

Sifat-sifat yang wajib adanya pada Allah Ta’ala sudah enam sifat yang kami uraikan. Sifat yang pertama, yakni wujud, merupakan sifat nafsiyyah. Sedangkan lima sifat yang dibahas setelahnya merupakan sifat-sifat salabiyyah, karena sifat-sifat ini menunjukkan penafian perkara-perkara yang tidak layak adanya pada Allah Ta’ala. Sifat qidam (terdahulu) meniadakan sifat huduts (kebermulaan). Sifat Baqa’ (kekal tak berakhir) meniadakan sifat fana’ (rusak dan berakhir). Sifat al-mukhalafahh lil-hawaditsi (berbeda dengan yang selain Dia) meniadakan sifat al-mumatsalah lil-hawaditsi (serupa dengan yang selain Dia). Sifat qiyamuhu binafsihi (berdiri sendiri) meniadakan iftiqar ilal-mahalli wal-fa’ili (membutuhkan tempat dan pencipta). Dan sifat wahdaniyyah (tunggal) meniadakan sifat ta’addud (berbilang), baik dalam dzat, sifat-sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya.

Sifat ketujuh yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah qudrah, yaitu sifat kuasa yang ada tanpa mula dan lekat pada dzat Allah Ta’ala. yang dengannya Allah mewujudkan atau meniadakan segala sesuatu yang mumkin sesuai dengan kehendak-Nya, entah hal yang mumkin itu umum maupun rinci, berupa jisim (materi) maupun sifat. Yang mumkin itu meliputi sesuatu yang bersebab. Misalnya, tingkah kita yang diupayakan, seperti gerak atau diam kita ketika adanya sabab (Sabab adalah hubungan antara al-qudrah al-haditsah (kemampuan makhluk) dan al-maqdir (objek kemampuan) menurut hukum keterkaitan). Atau peristiwa terbakar ketika api menyentuh sesuatu, atau kenyang setelah makan dan sejuk setelah minum. Selain meliputi sesuatu yang ber-sabab, hal mumkin juga meliputi sesuatu yang tidak ber-sabab, seperti adanya langit dan bumi. Sungguh, tidak ada sesuatu pun selain Allah Ta’ala yang memiliki pengaruh terhadap sesuatu, sebagaimana telah kami terangkan di muka.

Kami menggunakan kata dengan sifat itu…, bukan dengan kata karena sifat itu…, untuk menunjukkan bahwa pengaruh itu milik Dzat Allah, bukan milik qudrah. Barangsiapa menyandarkan pengaruh itu kepada qudrah secara hakiki, berarti dia kufur.

Ada sebagian orang awam yang berkata, “Al-Qudrah (kuasa) itu menentukan, maka lihatlah apa yang diperbuat qudrah.” Apabila pendapat itu muncul dari keyakinan dan kesengajaan, maka dia kafir karena keyakinan ini mengandung kemusyrikan, sebagaimana kafirnya orang yang berkeyakinan api ialah yang membakar, atau rotilah yang membikin kenyang dan pisaulah yang menimbulkan potongan. Namun bila tidak berkeyakinan seperti itu, dia tidak kafir.

Yang wajib bagi kita adalah meyakini bahwa Allah Ta’ala bersifat qudrah yang qudrah-nya itu berkaitan dengan semua yang mumkin. Kebalikan dari sifat qudrah (kuasa) adalah ‘ajzu (lemah), yakni tidak kuasa atas segala yang mumkin.

Akal telah menunjukkan kemestian adanya sifat qudrah pada Allah Ta’ala, dan bahwa sifat qudrah-Nya itu berkaitan dengan semua maujud. Semua maujud selain Dia adalah hadits, yang didahului ketiadaan, sebagaimana telah kami kemukakan. Setiap yang baru sudah pasti harus ada yang menciptakan. Yang menciptakan sudah pasti harus mempunyai kuasa yang dengannya dia mewujudkan atau meniadakan. Sebab tidak mungkin ada pengaruh tanpa ada kuasa. Jika Dia tidak kuasa, tentu Dia lemah. Dan jika Dia lemah, tentu tidak ada sesuatu pun dari alam ini. Karena itu, Allah Ta’ala niscaya bersifat qudrah. Apabila qudrah Allah Ta’ala itu hanya berkaitan dengan sebagian yang mumkin dan tidak berkaitan dengan sebagian lainnya, berarti qudrah Allah itu hadits, karena membutuhkan mukhashshish (yang mengkhususkan). Hali itu tidak mungkin, sebab qudrah Allah Ta’ala itu terdahulu dengan ke-terdahulu-an Dzat-Nya.

Selain dalil akal, ada banyak dalil naqli yang menunjukkan kemestian adanya sifat qudrah pada Allah Ta’ala. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu [QS. Al-Baqarah 2:20].”

Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa [QS. Fathir 35:44].” Allah Ta’ala berfirman, “Adakah pencipta selain Allah?[QS. Fathir 35:3].” Dan Allah pun berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (bi-qadarin) [QS. Al-Qamar 54:49].” Para nabi a.s. pun tidak mengingkari hal ini.

Kesimpulannya, segala sesuatu pada mulanya bergantung kepada Allah Ta’ala tanpa perantara berdasarkan pilihan, baik menurut akal, dalil Al-Qur’an dan hadis, maupun menurut ijma’.

Sifat kedelapan yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah iradah (berkehendak). Iradah merupakan sifat wujud terdahulu yang ada secara nyata pada Dzat Allah Ta’ala. Dengan sifat-Nya in Allah Ta’ala memberi karakter khusus pada sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya, karakter yang berbeda dari karakter yang Dia khususkan pada sesuatu lainnya yang saling berlawanan. Maka, segala sesuatu yang diketahui ada dan tiadanya merupakan kehendak Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada sesuatu pun yang nyata di kerejaan Allah Ta’ala selain yang dikehendaki-Nya.

Kami menggunakan kata merupakan sifat yang dengannya…, bukan kata merupakan sifat yang karena…, itu untuk menunjukkan bahwa kuasa memberikan karakter khusus itu milik Dzat, bukan sifat.

Di alam ini, hal yang saling berlawanan itu ada enam. Yaitu, ada-tiada, ukuran, sifat, zaman, tempat dan arah. Segala sesuatu yang mumkin (semesta alam), memiliki kemungkinan untuk menerima secara sama masing-masing kategori berlawanan itu. Masing-masing pihak dari dua hal berlawanan itu tidak lebih utama untuk diterima daripada yang lainnya. Allah Ta’ala mengkhususkan sesuatu dengan ada sebagai ganti dari kebalikannya, yakni tiada, atau Dia mengkhususkannya dengan tiada sebagai ganti dari kebalikkannya, yakni ada. Hal mumkin memiliki potensi untuk menerima kekhususan tersebut secara sama, antara menerima ada dan tiada.

Allah juga mengkhususkan al-mumkin dengan ukuran tertentu seperti, panjang-pendek dan besar-kecilnya. Lalu mengkhususkannya dengan sifat tertentu sebagai ganti dari sifat kebalikannya, seperti hitam sebagai ganti dari putih atau merah, gerak sebagai ganti dari diam, atau mengetahui sebagai ganti dari tidak mengetahui. Allah juga mengkhususkannya dengan keberadaannya pada masa tertentu sebagai ganti dari keberadaannya pada masa sebelumnya atau sesudahnya. Misalnya, sesuatu itu ada pada jam sekian pada hari tertentu di bulan anu pada tahun tertentu, sebagai ganti dari keberadaannya pada masa sebelum atau sesudahnya. Selain itu, Allah juga mengkhususkan sesuatu itu dengan keberadaannya di tempat tertentu dan tidak di tempat lain, misalnya berada di Bolaq, tidak di Irak. Kemudian Allah juga mengkhususkannya dengan keberadaannya di arah tertentu, seperti di timur atau di barat.

Karena itu, kita wajib meyakini benar bahwa Allah Ta’ala berkehendak yang kehendak-Nya itu berkaitan dengan seluruh al-mumkinat (semesta selain Dia). Kebalikan dari sifat iradah adalah karahah (terpaksa).

Akal telah menunjukkan kemestian Allah Ta’ala memiliki sifat berkehendak dan mustahil terpaksa, dan bahwa kehendak-Nya itu berkaitan umum dengan seluruh makhluk. Seandainya Allah Ta’ala tidak berkehendak, tentu Dia terpaksa. Dalam hak Allah Ta’ala, terpaksa merupakan kekurangan (ketidaksempurnaan), sedangkan berkehendak merupakan kesempurnaan. Dan kekurangan merupakan sifat yang mustahil ada pada Allah. Selain itu, jika Allah Ta’ala tidak berkehendak dan tidak merdeka menentukan pilihan, berarti Dia terpaksa dan terjajah. Dan itu berarti Allah tidak kuasa. Padahal telah jelas dan tegas argumen kemestian Allah Ta’ala bersifat kuasa, dan bahwa kuasa-Nya itu meliputi seluruh mumkinat.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian adanya sifat iradah pada Allah Ta’ala adalah firman-Nya, “Dan jika Tuhanmu mengehendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?[QS. Yunus 10:99].”

Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: “Kun (jadilah)”, maka jadilah ia [QS. An-Nahl 16:40].” Tidak ada perbedaan antara al-masyi’ah dan al-iradah.

Ketahuilah bawah qudrah dan iradah tidak berkaitan dengan hal yang wajib adanya atau yang musthil adanya. Qudrah dan iradah hanya berkaitan dengan segala sesuatu yang mumkin. Kami tidak akan menjelaskannya di sini karena terlalu bertele-tele.

Kesimpulannya, kita wajib meyakini dan menegaskan bahwa segala sesuatu yang digelar di kerajaan Allah dari ketiadaan menjadi ada adalah makhluk yang ditentukan oleh Allah sesuai dengan kehendak-Nya di zaman azali. Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, pasti tidak akan terjadi. Sungguh, Dia Sang Penguasa taufiq.

Sifat kesembilan yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah al-’ilmu (mengetahui). Sifat mengetahui merupakan sifat terdahulu yang ada bersamaan keberadaan Dzat-Nya. Pengetahuan Allah Ta’ala terhadap sesuatu apa adanya bersifat meliputi dan tidak terdahului oleh kesamaran. Yang dimaksud sesuatu di sini mencakup semua yang wajib adanya, yang mustahil adanya dan yang mungkin adanya, keseluruhannya dan bagiannya, secara umum maupun terperinci. Dengan ilmu-Nya yang terdahulu, Allah Ta’ala mengetahui Dzat-Nya dan sifat-sifat-Nya, mengetahui ketidakadaan hal yang mustahil bagi-Nya, seperti kemustahilan Dia bersifat baru, lemah dan mempunyai sekutu. Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu apa adanya di zaman azali serta kemenjadiannya di masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.

Kebalikan dari al-’ilmu adalah al-jahl (tidak mengetahui) dan yang semakna dengannya, seperti zhann (menyangka), syakk (meragu), wahm (menduga), ghaflah (lalai), nisyan (lupa) dan sahwu (keliru).

Dalil yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat mengetahui dan mustahil Dia bersifat tidak mengetahui adalah kenyataan bahwa tidak mengetahui merupakan sifat ketidaksempurnaan bagi Allah Ta’ala. Sifat ketidaksempurnaan merupakan hal yang mustahil ada pada Dzat Allah Ta’ala, Allah mesti suci darinya. Allah Ta’ala mesti disifati dengan sifat-sifat kesempurnaan, yang di antaranya adalah sifat mengetahui. Selain itu, kita juga sungguh menyaksikan alam raya yang demikian agung dan indah, tertata dengan sistem-sistem hukumnya yang rumit, berikut aktivitas dan bentuk-bentuk yang sempurna dan indah. Di dalamnya banyak sekali kreasi yang amat menakjubkan, hukum-hukum, kemanfaatan-kemanfaatan dan berbagai keindahan yang bahkan tidak bisa ditelusuri akal secara menyeluruh. Itu semua pasti diciptakan oleh Sang Kreator Yang Mahatahu dan Mahabijaksana.

Ketika kita melihat tulisan yang bagus atau mendengar kata-kata yang indah, yang muncul dari makna-makna yang mendalam, kita tentu tahu bahwa yang membuatnya pasti orang yang pintar. Demikian pula ketika manusia memandang langit atau memandang dirinya sendiri, merenungi hubungan antara alam atas dan alam bawah, mengamati dunia binatang yang amat beragam, mengamati bagaimana perilaku mereka, bagaimana mereka membangun sarang, berburu makan di gunung-gunung dengan perangkat tubuh yang sesuai dengan kebutuhannya, tentu ia tidak akan ragu bahwa Dia Yang Menciptakan semua itu sungguh Mahatahu dan Mahabijaksana.

Allah mesti bersifat mengetahui, dan pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu secara seluruh, tidak sekadar meliputi sebagian tanpa sebagian lainnya. Sebab, jika pengetahuan-Nya tidak meliputi keseluruhan dan hanya sebagian, tentu Dia jahl (tidak mengetahui), dan ini sungguh batil.

Ada banyak sekali dalil  dari Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat mengetahui. Di anatranya adalah firman Allah Ta’ala “…Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu [QS. Al-Anfal 8:75].”

Allah Ta’ala berfirman, “Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan DIa Maha Halus lagi Maha Mengetahui? [QS. Al-Mulk 67:14]”

Allah Ta’ala berfirman, “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan, Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati [QS. At-Taghabun 64:4].”

Demikian pula para rasul telah bersepakat akan kemestian Allah Ta’ala bersifat mengetahui. Seperti ditegaskan di dalam Al-Qur’an, “(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan para rasul, lalu Allah bertanya (kepada mereka): “Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)-mu?” Para rasul menjawab: “Tidak ada pengetahuan kami (tentang itu); sesungguhnya Engkaulah yang mengetahui perkara yang gaib [QS. Al-Ma’idah 5:109].” Maksudnya adalah, pada Hari Kiamat Allah Ta’ala berfirman kepada para rasul, “Apa jawaban umat kalian terhadap kalian? Bagaimana penerimaan mereka terhadap kalian saat kalian mengajak mereka untuk mengesakan Aku dan menaati-Ku?” Lalu para rasul berkata, “Pengetahuan kami tentang mereka tidak seperti pengetahuan-Mu tentang mereka, Engkau sungguh Maha Mengetahui alam-alam gaib. Engkau sungguh mengetahui apa pun yang mereka sembunyikan dan apa pun yang mereka tampakkan, sedangkan kami hanya mengetahui apa yang mereka tampakkan. Pengetahuan-Mu tentang mereka lebih meliputi dan lebih sempurna daripada pengetahuan kami.”

Sifat kesepuluh yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah al-hayat (hidup). Al-hayat yang mesti adanya pada Allah Ta’ala merupakan sifat wujudi terdahulu yang ada dengan keberadaan Dzat-Nya, yang merupakan syarat mutlak bagi adanya sifat al-qudrah, al-iradah, al-’ilm, as-sama’, al-bashar dan al-kalam. Sifat hayat Allah Ta’ala tidak berkaitan dengan apa pun. Kebalikannya adalah al-maut (mati).

Dalil akal yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat hidup dan mustahil mati adalah kenyataan bahwa hidup merupakan sifat kesempurnaan, sedangkan maut merupakan sifat kekurangan. Allah Ta’ala mesti suci dari semua sifat kekurangan dan mesti bersifat sempurna. Karena itu Allah Ta’ala mesti bersifat hidup. Lalu, seandainya Allah tidak bersifat hidup, niscaya tidak sah Dia bersifat kuasa dan memiliki sifat-sifat sempurna lainnya.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat hidup, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan selain Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadah kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam [QS. Al-Mu’min 40:65].”

Allah Ta’ala berfirman, “Dan bertawakallah kepada Allah Yang Maha Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa ham-hamba-Nya [QS. Al-Furqan 25:58].” Demikian pula para rasul dan seluruh orang berakal menyatakan kemestian Allah Ta’ala bersifat hidup.

Sifat kesebelas yang mesti adanya pada Allah Ta’ala adalah as-sama’ (mendengar), as-sama’ merupakan sifat terdahulu yang ada dengan adanya Dzat Allah dan berkaitan dengan semua maujud secara utuh apa adanya, yang keterkaitannya dengan semua itu lain dari keterkaitan ilmu dan bashar-Nya. Kaitan sifat sama’ Allah dengan maujud bukan merupakan kaitan sifat ilmu-Nya dengan maujud, sebagaimana maklum kita saksikan sifat itu pada makhluk.

Kita wajib meyakini bahwa ilmu Allah mustahil tercemari kesamaran, pada semua segi. Dan keberlainan antara kaitan pendengaran-Nya dan kaitan pengetahuan-Nya dengan semua maujud, itu bukan seperti yang kita bayangkan, bahwa kejelasan yang dihasilkan dari penglihatan itu lebih banyak daripada kejelasan dengan ilmu, karena semua sifat Allah Ta’ala sungguh sempurna, mustahil tercemar oleh kesamaran, kekurangan dan tambahan. Apabila sifat Allah tidak sempurna demikian, tentu sifat-sifat-Nya itu serupa dengan sifat-sifat hawadits dan menuntut kebaharuan Dzat-Nya. Padahal sebagaimana telah kami jelaskan bahwa Allah Ta’ala bersifat qadim dan mustahil bersifat huduts.

Maksud ungkapan kami, “…berkaitan dengan semua maujud”, adalah bahwa pendengaran Allah berkaitan dengan semua maujud secara utuh dan menyeluruh, entah maujud itu terdahulu maupun baru, dzat maupun sifat. Dan pendengaran-Nya itu tidak hanya menangkap suara. Berbeda dengan pendengaran kita yang umumnya hanya menangkap suara, meskipun terjadinya perbedaan pendengaran di antara kita juga merupakan hal yang lazim terjadi. Seperti yang terjadi pada Rasulullah saw. yang mendengar kalam Allah Ta’ala yang qadim. Tidak diragukan bahwa kalam Allah Ta’ala yang didengar Rasulullah saw. itu bukan suara.

Allah Ta’ala mesti bersifat sama’, dan mustahil Dia bersifat kebalikannya, yakni al-shamam (tuli). Dalilnya menurut akal, setiap yang hidup pasti punya salah satu dari dua sifat berlawanan tersebut, mendengar atau tuli. Dan jika Allah disifati dengan sifat tuli, itu sungguh merupakan kekurangan dalam hak-Nya. Karena itu Allah Ta’ala mesti bersifat mendengar, karena mendengar merupakan sifat kesempurnaan dalam hak Allah Ta’ala.

Ada banyak dalil naqli yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat mendengar dan mustahil tuli. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat [QS. Asy-Syura 42:11].”

Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat [QS. Thaha 20:46].”

Di dalam kitab ash-Shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Rendahkanlah suara kalian. Sungguh kalian tidak sedang berdoa kepada si tuli yang tiada. Kalian sedang berdoa kepada Dia Yang Maha Mendengar nan Maha Melihat.” Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari. Dan para ahli Filosuf pun telah sepakat bahwa Allah Ta’ala mesti bersifat sama’.

Sifat kedua belas yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah al-bashar (melihat). Al-bashar merupakan sifat terdahulu yang ada dengan adanya Dzat Allah dan berkaitan dengan semua maujud secara utuh apa adanya, yang berkaitannya dengan semua itu lain dari keberkaitan ‘ilmu dan sama’-Nya. Allah Ta’ala melihat semua maujud secara utuh dan menyeluruh, entah yang qadim maupun yang hadits, yang berupa dzat maupun sifat. Kebalikannya adalah al-’umyu (buta). Dalil yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat melihat dan mustahil buta, dalil aqli maupun naqli, telah kami ungkapkan di dalam penjelasan tentang sifat sama’-Nya. Kami tidak perlu mengulangnya di sini.

Sifat ketiga belas yang mesti ada pada Allah Ta’ala adalah al-kalam (berfirman). Al-kalam merupakan sifat terdahulu yang ada dengan adanya Dzat Allah Ta’ala, berkaitan dengan semua yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin. Keberkaitannya dengan semua itu adalah ta’alluq dilalah (penunjukkan).

Kami sudah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala berbeda dengan makhluk, dalam dzat, sifat-sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Dan sifat kalam Allah tentu berbeda dengan sifat kalam makhluk. Sifat kalam Allah tidak dengan huruf, tidak pula dengan suara. Kalam Allah tidak bermula dan tidak berakhir. Kalam Allah tidak mengenal diam, tidak pula rusak seperti bicara anak kecil atau orang yang gagu atau seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk. Sebab, jika kalam Allah Ta’ala tidak sempurna, tentu sifat kalam-Nya baru seperti sifat-sifat kita. Padahal sebagaimana telah ditegaskan bahwa Allah Ta’ala mesti bersifat qidam (terdahulu), Dzat-Nya maupun sifat-sifat-Nya.

Ketahuilah bahwa kalam Allah Ta’ala bersifat satu, seperti sifat-sifat Dia yang lainnya, sebagaimana telah kami terangkan pada penjelasan sifat wahdaniyyat-Nya. Hanya saja, sifat kalam Allah berargam dengan keragaman relasinya. Apabila berkaitan dengan tuntutan mengerjakan shalat atau menunaikan zakat misalnya, maka sifat kalam-Nya itu amar (perintah), seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat.. [QS. Al-Baqarah 2:43].” Apabila berkaitan dengan tuntutan untuk meninggalkan zina, membunuh tanpa hak dan menggunjing misalnya, maka sifat kalam-Nya memberi kefahaman nahyi (larangan). Seperti di dalam firman Allah Ta’ala, “Dan jangalah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk [QS. Al-Isra 17:32].” Atau di dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar… [QS. Al-Isra 17:33].” dan di dalam firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, susungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain…[QS. Al-Hujurat 49:2].”

Apabila berkaitan semisal Nabi Musa mengerjakan sesuatu, maka sifat kalam Allah memberi kefahaman khabar (berita). Seperti firman Allah Ta’ala, “Maka Musa melemparkan tongkatnya, yang tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata [QS. Asy-Syu’ara’ 26:32].”

Apabila berkaitan dengan ketentuan bahwa orang yang taat akan beroleh surga, maka sifat kalam-Nya memberi kefahaman al wa’d (janji). Seperti firman Allah Ta’ala, “…dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa [QS. Ali ‘Imran 3:133].”

Apabila berkaitan dengan ketentuan bahwa orang yang bermaksiat akan masuk ke neraka, maka sifat kalam-Nya memberi kefahaman al-wa’id (ancaman). Seperti firman Allah Ta’ala, “Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir [QS. Ali ‘Imran 3:131].”

Selain ragam sifat kalam tersebut, masih ada ragam sifat kalam lainnya sesuai dengan keragaman relasinya.

Kebalikan dari sifat kalam adalah al-bukmu (bisu). Dalil akal yang menunjukkan kemestian Allah Ta’ala bersifat kalam dan mustahil bisu adalah kenyataan bahwa bisu merupakan sifat kekurangan yang tidak mungkin ada pada Allah Ta’ala. Allah mesti bersifat kalam yang merupakan sifat kesempurnaan. Dalil naqli-nya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung [QS. An-Nisa’ 4:164].” Dalil naqli ini sudah mayshur di kalangan para nabi dan para rasul. Demikian pula ulama sepakat bahwa Allah Ta’ala mutakallim (berfirman).

CATATAN

  1. Sifat yang tujuh dari dua puluh sifat yang mesti ada pada Allah Ta’ala, yakni al-qudrah (kuasa), al-iradah (berkehendak), al-’ilmu (mengetahui), al-hayat (hidup), as-sama’ (mendengar), al-bashar (melihat) dan al-kalam (berfirman) disebut sifat ma’ani, karena sifat-sifat itu nyata adanya, yang sekiranya penghalang antara kita dan Allah disingkapkan atau dihilangkan, niscaya kita dapat melihatnya. Telah jelas di muka bahwa sifat ma’ani adalah semua sifat yang nyata adanya.
  2. Dari penjelasan yang telah kami uraikan, Anda paham bawah sifat-sifat memiliki ta’alluq (kaitan dengan maujud) yang tidak sama. Sifat qudrah berkaitan dengan semua yang mumkin dari segi ta’tsir (pengaruh), sedangkan iradah berkaitan dengan semua yang mumkin dari segi takhshish (pengkhususan). Sifat ‘ilmu berkaitan dengan yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin dalam bentuk al-ihathah (meliputi) dan al-inkisyaf (ketersingkapan). Sedangkan sifat kalam berkaitan dengan yang wajib, yang mustahil dan yang mungkin dalam bentuk dilalah (penunjukkan). Sifat sama’ (mendengar) dan bashar (melihat) berkaitan dengan semua yang maujud yang wajib dan mungkin dalam bentuk inkisyaf (ketersingkapan). Sedangkan sifat hayat (hidup) tidak berkaitan dengan segala sesuatu. Karena hayat tidak menuntut sesuatu yang lebih daripada Dzat-Nya.
  3. Adapun sifat kaunuhu qadiran (kenyataan Allah Mahakuasa), kaunuhu muridan (kenyataan Allah Berkehendak), kaunuhu ‘aliman (kenyataan Allah Mengetahui), kaunuhu hayyan (kenyataan Allah Hidup), kaunuhu sami’an (kenyataan Allah Mendengar), kaunuhu bashiran (kenyataan Allah Melihat) dan kaunuhu mutakalliman (kenyataan Allah berfirman), itu semua merupakan sifat-sifat ma’nawiyyah, yakni sifat-sifat yang dinisbatkan pada sifat ma’ani. Karena berdasarkan akal, penyifatan dengan sifat-sifat tersebut merupakan cabang dari penyifatan dengan sifat-sifat ma’ani. Penyifatan Dzat Allah dengan kaunuhu ‘aliman (kenyataan Dia Mengetahui) hanya akan sah bila Dia memiliki sifat ‘ilmu (mengetahui). Demikian pula sifat-sifat ma’nawiyah lainnya. Kami telah menjelaskan bahwa sifat-sifat ma’nawiyyah adalah semua sifat yang tetap dan menjadi kelaziman bagi sifat-sifat ma’ani.
  4. Kebalikan dari sifat-sifat ma’nawiyah tersebut (yang mesti adanya pada Allah Ta’ala) berikut dalilnya, diambil dari sifat-sifat ma’ani yang mustahil adanya pada Allah Ta’ala. Kebalikan dari sifat kaunuhu qadiran adalah kaunuhu jahilan (kenyataan Allah tidak mengetahui). Kaunuhu jahilan merupakan sifat ma’nawiyah dari al-jahl yang merupakan sifat ma’ani. Demikian pula sifat-sifat ma’nawiyah lainnya, yang mustahil adanya pada Allah Ta’ala. Kami tidak perlu mengulang dalilnya di sini.


Selain yang wajib dan yang mustahil, ada pula yang mungkin adanya pada Allah Ta’ala. Yang Ja’iz adanya pada Allah Ta’ala adalah fi’lu kulli mumkinin aw tarkuhu (melakukan semua yang mumkin atau tidak melakukan). Misalnya: menciptakan dzat, menciptakan sifat, menciptakan tindakan refleks atau tindakan bebas, menciptakan rezeki, menghidupkan, mematikan, memberi petunjuk, menyesatkan, menimpakan siksa, memberikan pahala dan lain sebagainya. Siksa semata-mata merupakan keadilan-Nya, dan pahala semata-mata merupakan kemurahan-Nya. Penerimaan pahala atas keimanan dan ketaatan serta penetapan siksa atas kekufuran dan kemaksiatan semata-mata merupakan pilihan bebas Allah Ta’ala. Kalaupun Allah memilih penetapan yang sebaliknya, pilihan-Nya itu tetap benar dan baik. Karena Allah Ta’ala tidak berkewajiban menciptakan sesuatu pun hal yang mumkin, tidak pula sesuatu pun hal yang mumkin itu mustahil bagi-Nya.

Dalil akal menunjukkan kenyataan tersebut. Apabila Allah Ta’ala berkewajiban menciptakan segala sesuatu yang mumkin, maka sesuatu yang mumkin itu menjadi yang wajib. Apabila sesuatu yang mumkin itu mustahil bagi Allah Ta’ala, tentu yang mumkin itu menjadi mustahil bagi-Nya. Ini sungguh batil, jelas-jelas batil.

Adapun dalil naqli yang menunjukkan kenyataan tersebut di antaranya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia) [QS. Al-Qashash 28:68].”

Sampai di sini tema hukum yang menjadi target uraian kami pada bab ini telah selesai. Dari uraian tersebut Anda sudah mendapat kejelasan bahwa Allah Ta’ala wajib ada-Nya sejak azali dan selama-lamanya. Telah jelas pula bahwa Allah Ta’ala tidak membutuhkan apa pun yang selain Dia, dan bahwa segala sesuatu yang selain Dia itu sungguh membutuhkan-Nya. Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Allahlah yang memiliki pengaruh terhadap sesuatu. Sementara manusia, jin, malaikat atau makhluk-makhluk lainnya sama sekali tidak memiliki pengaruh tanpa pengaruh-Nya. Allah Mahasuci dari semua yang dirasa sebagai kekurangan, Allah suci dari sakit, lupa, ngantuk, terputus atau membutuhkan penolong, atau teman, anak, istana, kursi, pena, buku, pasukan, sekretaris, atau penjaga dan lain sebagainya. Sebaliknya, semua makhluk berada dalam kuasa paksa keagungan dan kuasa Allah Ta’ala. Allah Yang mengatur segala sesuatu, dan Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak sesuatu pun yang membuat Dia telah mengatur makhluk-Nya. Dia telah Ada saat sesuatu tidak ada bersama-Nya, dan Dia akan senantiasa ada apa Ada-Nya. Dia tidak berpindah, tidak berganti, tidak berubah oleh keadaan apa pun. “Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. Maka Mahasuci (Allah) yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan [QS. Yasin 36:82-83].”

Maka, wahai saudaraku, engkau mesti mengetahui semua yang telah kami paparkan, agar engkau menjadi bagian dari orang-orang yang selamat, bahagia, menang dan memperoleh kebahagiaan yang abadi. Janganlah engkau sampai menyalahi sesuatu pun dari akidah tersebut. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi bagian dari mereka yang merugi, sesat dan menyesatkan.

Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia menunjukkan kita ke jalan petunjuk dan menolong kita agar senantiasa berada pada jalan yang diridhai-Nya, sehingga kita menjadi bagian orang-orang yang bahagia di Hari panggilan Allah. Dan semoga Allah Ta’ala memasukkan kita ke surga bersama golongan hamba-hamba-Nya yang didekatkan, yang “doa mereka di dalamnya ialah, Subhanakallahuma, dan salam penghormatan mereka ialah ‘Salam’. Dan penutup doa mereka ialah, Alhamdulillah rabbil-’alamin [QS. Yunus 10:10].” Shalawat dan salam senantiasa melimpahi paduka kami yang mulia, Muhammad saw., serta keluarga dan para sahabatnya.[]

Tanwirul Qulub

Mulai Perjalanan

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Buku Lain

Rekomendasi

Di sejumlah pesantren salafiyah, buku ini (Tanwir al-Qulub) biasanya dipelajari bersamaan dengan kitab-kitab fikih. Yang sedikit membedakan, kitab ini ditulis oleh seorang pelaku tarekat sekaligus mursyid dari tarekat Naqsyabandiyah.

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load

Tingkatan Alam Menurut Para Sufi

“Tingkatan Alam Menurut Para Sufi” فَإِذَا سَوَّيْتُهُۥ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُّوحِى فَقَعُوا لَهُۥ سٰجِدِينَ “Maka…

Islam, Iman dan Ihsan

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى…

Hidup Ini Terlalu Singkat

Postingan yg indah dari Bunda Amanah: Bismillahirrahmanirrahim. “Hidup ini Terlalu Singkat” Oleh: Siti Amanah Hidup…
All articles loaded
No more articles to load

Mengenal Yang Mulia Ayahanda Guru

Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin al-Khalidi qs.

Silsilah Kemursyidan

Dokumentasi

Download Capita Selecta

Isra' Mi'raj (Rajab)

26 Jan - 05 Feb

Ramadhan

30 Mar - 09 Apr

Hari Guru & Idul Adha

20 Jun - 30 Jun

Muharam

27 Jul - 06 Ags

Maulid Nabi

28 Sep - 08 Okt

Rutin

30 Nov - 10 Des

All articles loaded
No more articles to load
All articles loaded
No more articles to load
All articles loaded
No more articles to load

Kontak Person

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Abangda Teguh

Sidoarjo, Jawa Timur

WhatsApp
Facebook
Telegram
Twitter
Email
Print

Daftar Isi