Adab paling utama seorang murid terhadap dirinya sendiri adalah menyadari kenyataan bahwa Allah Ta’ala senantiasa melihat dan mengawasi dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu hendaklah dia selalu sibuk mengingat-Nya dengan hati, entah dia sedang duduk, berjalan maupun saat sibuk dengan pekerjakannya. Sebab semua aktifitas keseharian tidak menjadi halangan bagi seseorang untuk senantiasa berzikir dalam makna untuk mengalirkan lafazh Allah di hatinya. Selain itu ada sejumlah adab yang harus dipenuhi murid berkenaan dengan dirinya sendiri, di antaranya:
🔹 1. Meninggalkan para pelaku keburukan dan berkawan dengan orang-orang pilihan. Di dalam satu riwayat disebutkan bahwa Allah mewahyukan kepada Musa, “Janganlah engkau duduk bersama (bergaul) dengan orang-orang yang senang memperturutkan hawa nafsu, sebab mereka akan memunculkan sesuatu yang belum ada di hatimu.” Bergaul dengan orang-orang pilihan bisa mewariskan kebaikan, sedangkan bergaul dengan orang-orang jahat dapat mewariskan kejahatan. Seperti diungkapkan dalam syair:
Ruh laksana angin, bila melewati minyak wangi ia mewangi
Bila melewati bangkai, ia menjadi berbau busuk
Majelis orang-orang salih bagaikan eliksir bagi hati. Namun dampaknya tidak disyaratkan nampak seketika. Dampak persahabatan dengan mereka bisa jadi akan muncul setelah berselang waktu cukup lama. Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan teman yang salih seperti si pedagang minyak wangi. Entah dia memberimu atau engkau membeli darinya pasti engkau mendapatinya bau wangi.” (HR. al-Bukhari)
🔹 2. Apabila dia mempunyai anak istri, hendaklah dia menutup pintu saat hendak berzikir. Sebab tidak ada mudharat bagi murid yang lebih berbahaya daripada berteman dengan orang yang berlawanan, yakni orang yang tidak senang terhadap hal yang engkau senangi. Jika tempat zikir itu sempit dan gelap, itu justru lebih bisa menghimpun getaran hati daripada tempat yang luas dan mendapat terang cahaya matahari atau lampu. Contoh prilaku anak istri yang mengingkari jalan kaum sufi adalah sikap mereka yang memperolok dirimu saat engkau berzikir engkau sampai menyingkap tutup kepala, mondar-mandir dan bersuara gaduh hingga membuat engkau marah. Lalu karena itu tekad hatimu untuk berzikir menjadi lemah.
🔹 3. Tidak berlebihan dalam segala hal, tetapi alakadarnya. Seperti dalam hal makan, minum, pakaian, menikah dan lainnya. Al-Imam al-Ghazali berkata, “Allah menjadikan sikap berlebihan dalam makan dan minum di dunia sebagai sebab hati menjadi sekeras batu, anggota badan menjadi kendur tak mau melakukan ketaatan, dan tuli dari nasihat.”
🔹 4. Tidak cinta dunia dan selalu memandang akhirat. Sebab cinta kepada Allah tidak akan merasuk ke dalam hati yang cinta dunia. Rasulullah saw. bersabda, “Cukuplah keburukan bagi anak Adam bila sampai dia dituding dengan jari dalam agama dan dunianya, kecuali orang yang dijaga dari dosa oleh Allah Ta’ala.” [Hadis ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Baihaqi di dalam asy-Syu’ab.]
Ketika meriwayatkan hadis tersebut, al-Hasan ditegur oleh seseorang, “Apabila orang-orang melihat Anda, mereka menuding Anda dengan jemari mereka.” Lalu dia berkata, “Bukan ini maksudnya. Yang dimaksud adalah para pelaku bid’ah di dalam agama dan pelaku kefasikan di dalam urusan dunia.” Penjelasan hadits ini dengan derajat marfu’.
🔹 5. Tidak tidur dalam keadaan junub (berkewajiban mandi besar). Hendaklah dia senantiasa dalam keadaan suci dari hadats.
🔹 6. Tidak mengharap-harap harta benda milik orang lain serta selalu menutup pintu hasrat mendapatkan perhatian makhluk. Tidak berpaling kepada siapa pun makhluk, entah mereka menerima maupun menolak dirinya.
🔹 7. Apabila rezekinya sempit dan orang-orang tidak berbelas kasih kepadanya, hendaklah ia bersabar dan tidak gelisah. Sebab banyak murid yang saat mulai menapaki thariqah, dunia berpaling dari dirinya. Jangan sampai kondisi itu membuatnya berkata, “Aku tidak membutuhkan thariqah,” Karena ini berarti dia telah merusak janji setianya sehingga dia tidak akan bahagia untuk selamanya. Apabila mengalami kesempitan dalam urusan dunia, hendaknya dia menyadari bahwa Allah hendak menjadikan dia sebagai wali-Nya dan membukakan mata hatinya.
🔹 8. Senantiasa mawas diri. Mendorong diri untuk terus berjalan meniti thariqah setiap kali terantuk nafsu dan kesenangan-kesenangannya. Katakalah pada diri sendiri, “Bersabarlah! Masa rehat sudah dekat di depanmu. Aku membuatmu lelah demi kesenanganmu di akhirat.”
🔹 9. Menyedikitkan tidur, terutama di waktu sahur. Sungguh, waktu sahur merupakan waktu ijabah.
🔹 10. Menjaga diri untuk hanya makanan makanan yang halal.
🔹 11. Membiasakan diri makan hanya sedikit, yakni dengan berhenti makan sebelum kenyang dan cukup dengan makanan yang sedikit. Kondisi ini bisa menumbuhkan semangat untuk melakukan ketaatan dan menghilangkan kemalasan.
🔹 12. Menjaga lisan dari omongan yang tidak berguna dan menjaga hati dari semua khawathir. Sungguh, siapa yang lidahnya terjaga dan hatinya lurus, rahasia-rahasia ilahi akan tersingkap untuknya.
🔹 13. Berusaha maksimal mungkin menjaga mata agar tidak sampai melihat hal-hal yang diharamkan. Sebab melihat hal haram laksana racun mematikan, anak panah yang menusuk hati hingga mati. Apalagi jika memandangnya disertai syahwat. Al-Junaid berkata, “Salah satu perompak paling kejam yang memutus murid dari thariqah adalah bergaul dengan anak muda dan kaum perempuan.” Karena itu seyogyanya seorang murid tidak duduk bersama anak muda yang cantik, apalagi berduaan di tempat sepi.
🔹 14. Tidak bergurau, karena bergurau dapat mematikan hati dan menyelimutinya dengan gelap. Kalaulah seorang salik tahu seberapa besar kemerosotan diri akibat bergurau, tentu dia tidak akan mengulanginya. Orang yang hatinya bercahaya mengetahui hal itu. Tetapi orang yang hatinya berselimut gelap, bahkan tidak merasakan bahayanya sedikit pun. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu membenci saudaramu, jangan pula bersenda gurau dengannya.” [HR. At-Tirmidzi]. Utamanya adalah meninggalkan senda gurau, kecuali pada waktu-waktu tertentu, misalnya ketika mengalami kondisi amat sulit dan hati amat sempit.
🔹 15. Meninggalkan perdebatan dengan para pelajar. Sebab berdebat bisa mewariskan kelupaan dan membuat hati menjadi keruh. Apabila sampai terjebak dalam perdebatan, segeralah memohon ampun kepada Allah dan meminta maaf kepada lawan debatnya, bila dia di pihak yang benar.
🔹 16. Menghampiri saudaranya sesama murid ketika hati sedang susah. Duduklah bersama mereka sambil membahas adab-adab thariqah, sampai dadanya terasa lapang dan beban di hatinya lenyap.
🔹 17. Tidak tertawa terbahak-bahak, sebab tawa terbahak-bahak (lapat mematikan hati. Karena itu Rasulullah saw. tidak pernah tertawa terbahak-bahak, beliau cukup tersenyum.
🔹 18. Tidak membahas keadaan orang lain dan tidak pula berbantahan dengan mereka.
🔹 19. Tidak cinta pangkat dan jabatan, karena dapat memutus dari jalan kebenaran. Rasulullah saw. bersabda, “Dua serigala lapar nan rakus yang bermalam di kadang kambing, daya rusaknya terhadap kambing tidak lebih besar daripada daya rusak ketamakan seseorang akan kemuliaan dan harta terhadap agamanya.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi)
🔹 20. Rendah hati (tawadhu’), karena rendah hati akan menambah derajat seorang hamba.
🔹 21. Senantiasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berharap mendapat ampunan-Nya. Tidak memandang peribadatan dirinya bernilai. Dia harus sadar bahwa kalaulah bukan karena anugerah dari Allah Ta’ala, tentu dia layak mendapat siksa. [Keterbebasannya dari siksa bukan karena ibadahnya, tetapi murni karena anugerah Allah Ta’ala.]
🔹 22. Membiasakan diri menggantungkan semua ucapan dan perbuatannya pada kehendak Allah. Yakni dengan berkata, misalnya, “Aku akan melakukan anu, insya’ Allah.”
🔹 23. Merahasiakan asrar yang dilihatnya dalam tidur ataupun terjaga. Tidak mengungkapkannya kepada siapa pun selain gurunya. Menceritakan asrar kepada orang lain dapat membuatnya terusir dari hadirat Allah Ta’ala dan tertutup dari pintu ke-murid-an. Seperti orang yang mengaku diri telah mencapai maqam tertentu padahal nyatanya belum, dia akan tercegah dari maqam tersebut, sebagai hukuman baginya. Jika terpaksa harus menceritakan asrar tersebut agar menjadi pelajaran dan adab, hendaklah dia menisbatkannya pada orang lain. Misalnya dengan berkata, “Aku mendengar salah seorang ‘arif berkata…bla bla bla,” sekira orang yang mendengarkannya tidak paham asrar yang diceritakannya itu merupakan pengalaman pribadinya.
🔹 24. Menyempatkan waktu khusus untuk menyendiri dan berzikir dengan zikir yang diajarkan oleh gurunya, tanpa menguranginya dan tidak pula menambahnya.
🔹 25. Tidak kendur melaksanakan ibadah karena menunggu-nunggu futuh. Beribadahlah kepada Allah dengan ikhlash karena-Nya, entah kemudian mata hatinya mendapat futuh dan hijab terangkat darinya maupun tidak.
Faedah
Apabila seorang murid hendak berziarah ke kuburan para wali dan meminta bantuan dari ruhaniah mereka, seyogyanya dia mengucap salam kepada penghuni kubur yang diziarahinya. Kemudian berdiam menghadap wajah sang wali dengan posisi membelakangi kiblat (posisi bermuka-muka dengan sang wali). Lalu membaca al-Fatihah satu kali, al-ikhlash sebelas kali dan ayat al-kursi satu kali, serta menghadiahkannya kepada sang wali. Setelah itu duduklah di hadapannya seraya mengosongkan diri dari segala sesuatu hingga kemudian dirinya menjadi laksana sehelai papan yang polos. Lalu bayangkanlah ruhaniahnya laksana cahaya. Jagalah cahaya itu di dalam hati, sampai didapat satu pancaran atau kondisi ruhani dari sang wali. Dan dalam hal ini, semestinya seorang murid terlebih dahulu meminta bantuan dari ruhaniah syaikh yang menjadi gurunya, serta menjadikannya sebagai perantara antara dirinya dan ruhaniah sang wali yang diziarahinya.
Mengecup nisan kuburan para wali seperti dilakukan banyak orang awam tidak perlu dipermasalahkan, karena bukan hal yang membahayakan bila mereka melakukannya dengan niat tabarruk (mencari berkah). Tidak perlu melarang-larang mereka, karena mereka berkeyakinan bahwa pada hakikatnya Allah-lah Sang Pelaku Yang bisa memberikan manfaat dan madharat kepada mereka. Mereka melakukan itu hanya sebagai ungkapan rasa cinta mereka kepada orang yang dicintai Allah Ta’ala. Sebagaimana ungkapan salah seorang ‘arif,
Aku melintas di satu rumah, rumah Laila
Lalu kukecup dinding ini dan dinding itu
Bukan cinta pada rumah itu yang memabukkan hatiku
tetapi cinta pada dia yang menjadi penghuninya
Seorang ‘arif lainnya berkata,
Apalah artinya rumah-rumah itu bila engkau tak di sana
Apalah artinya rumah, puing-puning dan kemah
kalau bukan karena engkau, rumah dan puing-puing itu tak membuatku merindu
sungguh, tidak pula kaki kan membawaku melangkah ke kemah itu