Biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Nama Qâdiriyah diambil dari nama pendirinya yaitu Syaikh Abdul Qâdir al-Jilani yang memiliki nama lengkap al-Imam Muhyiddin Abu Muhammad Abu Shâlih Abdul Qâdir bin Abi Shâlih Musa Jangki Dausat al-Jilani, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 112).
Beliau dilahirkan di desa Busytiru kota Jilan pada bulan Ramadhan tahun 470 H./1077 M. Dan beliau wafat pada malam sabtu 8 Rabi’ul akhir tahun 561 H/1166 M. di kota Baghdad, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 184 dan Adhwa’, halaman 24).
Silsilah Beliau
Silsilah beliau baik dari bapak maupun dari ibu sambung sampai Rasûlullâh Saw. Nasab dari ayah adalah Syaikh Abdul Qâdir bin Abu Shâlih Jangki Dausat bin Abdillah bin Yahya al-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullâh al-Tsani bin Musa al-Juni bin Abdullâh al-Mahdi bin Hasan al-Mustanna bin Hasan al-Sibthi bin Ali bin Abi Thâlib, suami Sayyidatina Fatimah al-Zahra binti Rasûlullâh Saw.
Nasab dari ibu adalah Syaikh Abdul Qâdir bin Syarifah Ummul Khair Fatimah binti Abdullâh Sauma’i al-Zahid bin Abu Jamaluddin Muhammad bin Mahmud bin Thâhir bin Abu al-Atha’ Abdullâh bin Kamaluddin Isa bin Abi Alauddin Muhammad al-Jawad bin Ali al-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Imam Ja’far al-Shâdiq bin Muhammad al-Baqir bin Zaenal Abidin bin Husain al-Syahid bin Ali bin Abi Thâlib, suami Sayyidatina Fatimah al-Zahra binti Rasûlullâh Saw., (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 112 dan Adhwa’, halaman: 23).
Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang sudah masyhur keutamaan dan kelimuannya. Ayah beliau adalah seorang `ulamâ’ yang masyhur keilmuan, wira’i dan ketakwaannya. Beliau wafat ketika Syaikh Abdul Qâdir masih kecil.
Beliau juga memiliki saudara laki-laki bernama Abdullâh seorang pemuda yang ahli ilmu dan ibadah tetapi wafat pada usia muda. Tepatnya ketika Syaikh Abdul Qâdir meninggalkan Jilan dan memasuki kota Baghdad.
Sedangkan ibu beliau adalah seorang perempuan yang masyhur dengan kebaikan dan kemuliaannya. Beliau wafat ketika syaikh Abdul Qâdir sudah berada di Baghdad, (Adhwa’, halaman: 25).
Perjalanan Beliau
Sejak usia 10 tahun syaikh Abdul Qâdir sudah dikawal malaikat sebagaimana diceritakan oleh al-Tadafi bahwa syaikh Abdul Qâdir berkata: “Sejak kecil malaikat datang kepadaku setiap hari, aku tidak tahu kalau dia adalah malaikat, karena berwujud manusia. Ia mengantarkanku dari rumah ke tempatku belajar dan menyuruh teman-temanku agar memberikan tempat kepadaku dan dia bersamaku sampai aku pulang, maka pada suatu hari aku bertanya: siapakah engkau? Dia menjawab: aku adalah malaikat yang Allâh Swt. kirimkan kepadamu untuk menemanimu selama di tempat belajar, padahal setiap hari aku mempelajari sesuatu yang orang lain tidak mungkin mempelajarinya dalam satu minggu”, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 186).
Beliau meninggalkan Jilan pada usia 16 tahun dan menetap di Irak hingga mendapat perintah dari Nabi Khidir As. agar memasuki kota Baghdad pada usia 18 tahun, pada saat al-Taimi wafat yakni pada tahun 488 H. Di kota inilah beliau menimba ilmu, melakukan pengembaraan dan bermujahadah hingga tampak keberhasilannya, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 164).
Guru-guru Beliau
Syaikh Muhammad bin Yahya al-Tadafi al-Hambali di dalam kitab Qalaid al-Jawahir mengatakan ketika syaikh Abdul Qâdir tahu bahwa mencari ilmu itu wajib hukumnya bagi setiap muslim dan muslimat dan juga menjadi obat bagi jiwa-jiwa yang sakit, beliau bersemangat untuk menghasilkan berbagai macam disiplin ilmu. Setelah menyelesaikan al-Qur’an beliau belajar ilmu fiqih dari: (1) Syaikh Abu al-Wafa Ali bin Aqil al-Hambali, (2) Syaikh Abu al-Khattab Mahfudz al-Kalwadzani al-Hambali, (3) Syaikh Abu al-Hasan Muhammad bin al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin al-Husain bin Muhammad bin al-Farra’ al-Hambali, (4) Syaikh al-Qadhi Abu Sa’id al-Mubarrok bin Ali al-Mukharimi al-Hambali.
Sedangkan ilmu adab beliau belajar dari syaikh Abi Zakariya Yahya bin Ali al-Tibrizi. Beliau mendengarkan Hadits dari (1) Syaikh Abu Ghalib Muhammad bin al-Hasan al-Baqilani, (2) Syaikh Abu Sa’id Muhammad bin Abdul Karim bin Khasyisya, (3) Syaikh Abu al-Ghanaim Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Maimun al-Farsi, (4) Syaikh Abu Bakar Ahmad bin al-Muzhaffar, (5) Syaikh Abu Ja’far bin Ahmad bin al-Husain al-Qari al-Siraj, (6) Syaikh Abu al-Qasim Ali bin Ahmad bin Bannan al-Karkhi, (7) Syaikh Abu Thâlib Abdul Qâdir bin Muhammad bin Yusuf, (8) Syaikh Abdur Rahman bin Ahmad, (9) Syaikh Abu al-Barakat Hibatullâh bin al-Mubarrak, (10) Syaikh Abu al-‘Izzi Muhammad bin al-Mukhtar, (11) Syaikh Abu Nashar Muhammad, (12) Syaikh Abu Ghalib Ahmad, (13) Syaikh Abu Abdillah Yahya, (14) Syaikh Abu al-Hasan bin al-Mubarrak bin al-Thuyur, (15) Syaikh Abu Manshur Abdur Rahman al-Qazaz, (16) Syaikh Abu al-Barakat Thalhah al-‘Aquli.
Beliau juga mempelajari fiqih al-Syafi’i dan fan-fan (cabang-cabang) ilmu lainnya. Sedangkan beliau belajar tashawwuf dari (1) Syaikh Abi al-Khair Hammad al-Dabbas bin Muslim bin Dawud al-Dabbas sekaligus belajar ilmu adab dan suluk kepada beliau, (2) Syaikh Abi Sa’id al-Mubarak bin Ali al-Mukharimi, (3) Syaikh Abu Ya’qub Yusuf bin Ayyub bin Yusuf al-Hamdani, (Ittihâf al-Akâbir, halaman: 165).
Murid-murid Beliau
Dalam setiap tahunnya santri madrasah dan pesantren di Baghdad yang telah menyelesaikan pendidikannya kurang lebih tiga ribu santri, sehingga dalam jangka waktu tiga puluh tiga tahun santri yang telah menyelesaikan pendidikannya mencapai seratus ribu santri. Mereka menyebar keseluruh penjuru dunia, diantaranya Abu al-Fath Nashar bin al-Mina beliau menjadi masyâyikh Hanabilah setelah wafatnya syaikh Abdul Qâdir, Ahmad bin Abu Bakar bin al-Mubarak Abu al-Sa’ud al-Harim, al-Hasan bin Muslim mendirikan pesantren di al-Qadisiyah, Mahmud bin Utsman bin Makarim al-Nu’al, Umar bin Mas’ud al-Bazzaz yang banyak sekali khâlifah yang bertaubat atas bimbingan beliau, Abdullâh al-Jaba`i yang berasal dari desa Jabah Libanon sebelumnya beliau adalah orang nasrani yang diboyong ke Damaskus kemudian masuk Islâm yang mana oleh Zainuddin ‘Ali bin Ibrahim bin Najah salahsatu sahabat Syaikh Abdul Qâdir dibeli kemudian dimerdekakan dan mengirimnya ke syaikh Abdul Qâdir di Baghdad pada tahun 540 H. untuk belajar ilmu agama dan menetap di sana hingga syaikh Abdul Qâdir wafat, yang kemudian disusul oleh al-Muwafiq bin Qudamah penyusun kitab al-Mughni kemudian beliau berangkat ke Asbihan dan mengajar di sana hingga beliau wafat pada tahun 605 H, Hamid bin Mahmud al-Haroni yang kemudian bertemu dengan Nuruddin Zanki, Zainuddin bin Ibrahim bin Najah al-Anshari al-Dimiski beliau mengajar di madrasah syaikh Abdul Qâdir di Baghdad yang kemudian berangkat ke Damaskus dan Mesir, (Adhwa’, halaman: 175).
Termasuk santri beliau adalah Ahmad bin al-Mubarak al-Marqo’ati, Muhammad bin al-Fath al-Harami, kedua-duanya menjadi pembimbing madrasah syaikh Abdul Qâdir di Baghdad. Syaikh Abu al-Fathi al-Harowi menjadi pembimbing karena khidmat kepada syaikh Abdul Qâdir, beliau mengatakan “Aku berkhidmat kepada syaikh Abdul Qâdir selama empat puluh tahun dan selama itu aku menyaksikan syaikh Abdul Qâdir mengejarkan shalat subuh dengan wudhu’nya shalat isyâ’, dan ketika beliau hadats seketika itu juga beliau wudhu’ dan shalat dua rakaat, setiap mengerjakan shalat isyâ’ beliau masuk ke ruang khalwat dan tidak seorang pun boleh masuk, sedangkan beliau tidak keluar kecuali ketika fajar sudah terbit”.
Dan termasuk murid beliau adalah Syu’aib Abu Madyan, Abu Amr Utsman bin Marzuk bin Humaid bin Tsalamah al-Qurasyi beliau menetap di Mesir dan menjadi guru di sana. Dan pernah melaksanakan ibadah haji bersama dengan syaikh Abdul Qâdir.
Imam al-Syathnufi menyebutkan dalam kitab Bahjah al-Asrar `ulamâ’-`ulamâ’ besar dan para wali yang telah belajar ilmu dan tharîqah dari syaikh Abdul Qâdir. Kebanyakan dari mereka adalah ahli fatwa, ahli hukum (pengadilan) atau orang yang mumpuni di bidang ilmu syari’at khususnya hadits, fiqih, al-Qur’an.
Murid-murid beliau yang ahli di bidang hukum (pengadilan), (1) Abu Ya’la Muhammad al-Fara`, (2) Qadhi al-Qudhah Abu Hasan ‘Ali, (3) al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan, (4) Qadhi al-Qudhah Abu al-Qasim Abdul Malik bin ‘Isa bin Darbas al-Maridini, (5) al-Imam Abu Amr Utsman, (6) al-Qadhi Abu Thâlib Abdur Rahman Mufti Irak, (7) syaikh al-Qudhah Abu al-Fath Muhammad bin al-Qadhi Ahmad bin Bakhtiyar al-Wasithi yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Munadi, (Adhwa’, halaman:: 177).
Murid-murid beliau di bidang fatwa: (1) Abu Abdillah Muhammad bin Samdawaih al-Sharfini, (2) Ahmad bin Muhammad bin Samdawaih al-Sharfini, (3) Abu Bakar Abdullâh bin Nashar bin Hamzah al-Tamimi al-Bakri al-Baghdadi penyusun kitab Anwar al-Nazhir fi Ma’rifati Akhbari al-Syaikh Abdul Qâdir, (4) al-Imam Abu Amr Utsman bin Ismail bin Ibrahim al-Sa’di, (5) al-Hasan bin Abdullâh al-Dimyati, (6) Syaikh al-Fuqaha’ Abu Abdillah bin Sanan, (7) al-‘Allamah Abu al-Baqa’ Muhammad al-Azhari al-Sharbini, (8) al-‘Allamah Abu al-Baqa’ Shâlih Bahauddin, (9) al-‘Allamah Abu al-Baqa’ Abdullâh bin al-Husain bin al-‘Akbari al-Bashri al-Dharir, (10) Abu Muhammad al-Hasan al-Farisi, (11) Abdul Karim al-Farisi, (12) Abu al-Fadhl, (13) Ahmad bin Shâlih bin Syafi’ al-Hambali, (14) Abu Ahmad Yahya bin Barokah bin Mahfuzh al-Daibaqi al-Babishri al-‘Iraqi, (15) Abu al-Qasim Khalaf bin ‘Iyasy bin Abdul ‘Aziz al-Mishri, (16) Najm al-Din Abu al-Faraj Abdul Mun’im bin ‘Ali bin Nashir bin Shuqail al-Harani.
Murid-murid beliau yang terkenal ahli fiqh: (1) Muhammad bin Abi al-Makarim al-Fadhl bin Bakhtiyar bin abi Nashr al-Ya’qubi, (2) Abu Abdul Malik Dziyan bin Abu al-Ma’ali Rasyid bin Nabhan al-‘Iraqi, (3) al-Imam Abu Ahmad yang terkenal memiliki banyak kelebihan, karya tulis dan karamah, (4) Abu al-Farj Abdur Rahman al-Anshari al-Khazraji yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Hambali, (5) al-Mufti Abu ‘ali bin Abdur Rahman al-Anshari al-Khazraji, (6) Abu Muhammad Yusuf bin al-Muzhaffar bin Syuja’ al-‘Aquli al-Aziji al-Shahari, (7) Abu al-Abbas Ahmad bin Ismail al-Aziji yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Thabal, (8) Abu al-Ridha Hamzah bin Abu al-Abbas Ahmad bin Ismail al-Aziji, (9) Muhammad bin Ismail al-Aziji, (10) Abu al-Fath Nashar bin Fatayan bin Muthahar al-Mutsni, (11) Ali bin Abi Thâhir bin Ibrahîm bin Naja al-Mufashir al-Wa’izh al-Anshari. Dan masih banyak lagi yang lain, (Adhwa’, halaman: 178).
Murid-murid beliau yang hafal al-Qur’an dan ahli hadits fiqhiyah: (1) Abu Hafs Amr bin Abi Nashr bin ‘Ali al-Ghazal, (2) al-Imam Muhammad Mahmud bin Utsman al-Ni’al, (3) al-Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Abdul Wahid al-Maqdisi. Dan masih banyak yang lain.
Sedangkan murid-murid beliau yang menjadi guru tharîqah: (1) Abu al-Sa’ud Ahmad bin Abu Bakar al-Harami yang dijuluki Sirajul Auliyâ’, (2) al-Syahid abu Abdillah Muhammad bin Abu Ma’ali, (3) Abu al-Hasan Ali bin Ahmad bin Wahab al-Aziji, (4) Syaikh Abdul Aziz bin Dalaf al-Bagdadi yang mana dari beliaulah silsilah tharîqah Qâdiriyah menyebar ke Indonesia. Dan masih banyak yang lain, (Adhwa’, halaman: 179).
Karya-karya Beliau
Karya-karya beliau di antaranya: (1) al-Ghunyah Lithâlib al-Thariq al-Haq, (2) Futûhât al-Ghaib, (3) al-Fathur al-Rabbani wal Faidh ar-Rahmani, (4) al-Fathur al-Rabbani fi Halli al-Fadhi al-Zanjani, (5) al-Fathur al-Rabbani Lima Dzala fihi al-Zarqani, (6) Jala’ al-Khathir fi al-Zhahir wal Bathin, (7) Aurâd al-Ayyam as-Sabah, (8) Aurâd al-Auqat al-Khamsah, (9) Wirid Shalat Kubrâ, (10) Hizib al-Raja’, (11) Hizib al-Washilah, (12) al-Shalawat wa al-Ad’iyah, (13) Asrar al-Isra`, (14) Sirr al-Asrar, (15) al-Fuyûdhah al-Rabaniyah, (16) Tafsir al-Qur’an al-Karim, (17) Maratib al-Wujud. Dan masih banyak lagi karya-karya yang lain, (Adhwa’, halaman: 193).
Tharîqah Qâdiriyah tidak hanya tersebar di wilayah Baghdad akan tetapi Tharîqah Qâdiriyah tersebar ke berbagai penjuru dunia diantaranya (1) Makkah, (2) Madinah, (3) Yaman, (4) Tunisia, (5) Al-Jazair, (6) Libia, (7) Mesir, (8) Syiria, (9) Libanon, (10) Palestina, (11) Senegal, (12) Sudan, (13) Somalia, (14) Turki, (15) Asia Tengah, (16) Cina, (17) Malaysia, (18) Indonesia, (19) Yugoslafia.
Sumber: Alif.ID