Tanya: Bagaimana hukum menggerak-gerakkan atau menundukkan kepala ketika berzikir?
Jika dengan menggerak-gerakkan atau menundukkan kepala itu bisa menjadikan diri orang yang berzikir lebih khusyuk, maka hal ini lebih baik baginya. Namun, jika dengan diam dia lebih khusyuk, tanpa menundukkan kepala atau menggerakkannya, maka zikir dengan keadaan diam itu lebih baik baginya.
Dan jika kedua keadaan tersebut, yaitu diam dan menggerakkan atau menundukkan kepala, dirasa sama-sama khusyuknya, maka bagi dia boleh memilih diam atau dengan gerakan. (Fatawi al-Khalili ‘ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, 36).
(سُئِلَ) فِيْمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْمَيْلِ وَالتَّحْرِيْكِ فِيْ حَالِ الْقِرَاءَةِ وَالذِّكْرِ وَشِبْهِهِمَا كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ مِنْ جَمِيْعِ النَّاسِ هَلْ لِذَلِكَ أَصْلٌ فِى السُّنَّةِ أَوْلاَ. وَهَلْ هُوَ حَرَامٌ أَوْ مَكْرُوْهٌ أَوْ مَنْدُوْبٌ وَهَلْ يُثَابُ عَلَيْهِ، وَهَلْ ثَبَتَ أَنَّهُ مَنْ تَشَبَّهَ بِالْيَهُوْدِ أَوْ لاَ؟ (أَجَابَ) إِذَا تَأَمَّلْتَ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ, الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ (آل عمران: 191) وَقَوْلَهُ تَعَالَى: وَالذَّاكِرِيْنَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ (الأحزاب: 35) …. عُمِلَتْ أَنَّ الْحَرَكَةَ فِى الذِّكْرِ وَالْقِرَاءَةِ لَيْسَتْ مُحْرَمَةً وَلاَمَكْرُوْهَةً بَلْ هِيَ مَطْلُوْبَةٌ فِيْ جُمْلَةِ أَحْوَالِ الذَّاكِرِيْنَ مِنْ قِيَامٍ وَقُعُوْدٍ وَجُنُوْبٍ وَحَرَكَةٍ وَسُكُوْنٍ وَسَفَرٍ وَحَضَرٍ وَغِنًى وَفَقْرٍ فَقَدْ أَخْرَجَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ أَبِيْ حَاتِمٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ فِيْ قَوْلِهِ اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا، يَقُوْلُ لاَ يَفْرُضُ اللهُ تَعَالَى لَمْ يَجْعَلْ لَهُ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ وَلَمْ يَعْذَرْ أَحَدٌ فِيْ تَرْكِهِ إِلاَّ مَغْلُوْبًا عَلَى عَقْلِهِ. فَقَالَ اذْكُرْ اللهَ قِيَامًا وَقُعُوْدًا وَعَلَى جُنُوْبِكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ فَي الْبَحْرِ وَالْبَرِّ فِى السَّفَرِ وَالْحَضَرِ فِى الْغِنَى وَالْفَقْرِ وَالصِّحَّةِ وَالسَّقَمِ وَالسِّرِّ وَالْعَلاَنِيَّةِ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ إِلَى أَنْ قَالَ: فَرُبَّ ذَاكِرٍ سَاكِنٍ غَافِلٍ فَإِذَا تَحَرَّكَ تَيَقَّظَ فَالْحَرَكَةُ أَوْلَى لَهُ، وَرُبَّ ذَاكِرٍ وَرُبَّ ذِكْرٍ مُتَحَرِّكٍ، الْحَرَكَةُ تَذْهَبُ خُشُوْعُهُ فَالسُّكُوْنُ أَوْلَى، وَرُبَّ ذَاكِرٍ أَوْ قَارِئٍ يَسْتَوِيْ عِنْدَهُ الْحَالاَنِ فَيَفْعَلُ مَا شَاءَ اللهُ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ، وَلِكُلِّ وَجْهِةٍ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ. وَاللهُ أَعْلَمُ. (فتاوي الخليلي على مذهب الإمام الشافعي، ص 36)
Imam Kholili ditanya tentang apa yang dilakukan orang-orang seperti menundukkan dan menggerak-gerakkan (kepala) ketika membaca, zikir dan lain sebagainya, sebagaimana hal ini terlihat pada kebanyakan orang. Apakah hal ini ada dasarnya dalam sunnah atau tidak? Apakah haram, makruh, sunnah atau ada pahalanya? Apakah hal ini sama dengan orang yang menyerupai dengan Yahudi atau tidak?
(Imam Kholili menjawab) ketika engkau memahami firman Allah: “mereka adalah orang-orang yang berzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (Qs. Ali Imran: 191). Dan firman Allah “laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah” (Qs. al-Ahzab:35).
Dilakukannya gerakan dalam zikir dan bacaan, bukanlah sesuatu yang diharamkan atau dimakruhkan, akan tetapi gerakan tersebut dianjurkan dalam beberapa keadaan orang-orang yang berzikir seperti berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, bepergian, berada di rumah, kaya dan miskin.
Ibnu Mundir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas dalam sabda Rasul: berzikirlah kalian dengan zikir (dalam segala keadaan), Rasul bersabda; Allah tidak mewajibkan, tidak pula menjadikan batasan baginya, dan tidak menerima alasan bagi seorang yang meninggalkannya kecuali akalnya telah dihilangkan.
Imam Kholili berkata berzikirklah kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring, malam dan siang, di lautan dan daratan, dalam bepergian maupun di rumah, dalam keadaan kaya atau miskin, sehat atau sakit, dalam keadaan sirri atau terang-terangan, dan dalam segala keadaan.
Selanjutnya dia berkata: betapa banyak orang yang berzirkir dengan diam yang lupa, namun ketika dia bergerak dia teringat (zikirnya), dengan demikian bergerak lebih utama baginya. Betapa banyak orang-orang yang berzikir dan betapa banyak zikir yang digerak-gerakkan sehingga gerakan itu menghilangkan kekhusyukannya, dengan demikian diam itu lebih baik (baginya).
Betapa banyak orang yang berzikir atau yang membaca, yang kedua keadaan tersebut (bergerak atau diam) menjadi sama baginya, maka dia melakukan apa yang dikehendaki Allah, dan Allah menunjukkan orang-orang yang dikehendaki-Nya pada jalan yang lurus, dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Wallahu a’lam, (Fatawi al-Khalili ‘ala Madzhab al-Imam as-Syafi’i, halaman: 36).
Hukum Mengamalkan Dua Tarekat
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tarekat itu bermacam-macam. Dengan beragamnya tarekat, hal tersebut memungkinkan bagi seseorang untuk bertarekat lebih dari satu.
Namun, pertanyaan yang muncul adalah, “Bolehkah bagi seorang salik mengikuti tarekat lebih dari satu? Misalnya Tarekat Naqsyabandiyah dengan Tarekat Syadziliyah, atau Sathariyah, dan lain sebagainya?”
Hukum seseorang yang mengamalkan dua tarekat atau lebih adalah boleh, dengan tujuan bahwa dia mengikuti tarekat-tarekat tersebut untuk melaksanakannya secara bersamaan.
وَأَجَازَهُ (أَيِ الشَّيْخُ الدَّهْلَوِيُّ) بِاْلإِرْشَادِ، وَخَلَفَهُ (أَيْ جَعَلَهُ خَلِيْفَةً) الْخِلاَفَةَ التَّامَّةَ فِى الطَّرِيْقَةِ الْخَمْسَةِ النَّقْشَبَنْدِيَّةِ، وَالْقَادِرِيَّةِ، وَالسُّهْرَاوَرْدِيَّةِ، وَالْكُبْرَاوِيَّةِ، وَالْخَسْقِيَّةِ. (البهجة السنية، ص 82)
Syaikh al-Dahlawi memperbolehkan dengan syarat adanya petunjuk guru, dan menjadikan pimpinan yang sempurna dalam lima tarekat: Naqsabandiyah, Qadiriyah, Suhrawardiyah, Kubrawiyah, Khashqiyah, (al-Bahjah as-Saniyah, halaman: 82).
Tanya: Bolehkah bagi seorang salik yang telah mengikuti satu tarekat, lalu berpindah ke tarekat lain?
Hukum berpindah dari satu tarekat ke tarekat lain adalah tidak boleh. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam kitab al-Fatâwa Hadisiyah, hlm. 50:
وَمَنْ ظَفَرَ بِشَيْخٍ بِالْوَصْفِ اْلأَوَّلِ أَوِ الثَّانِي فَحَرَامٌ عَلَيْهِ عِنْدَهُمْ أَنْ يَتْرُكَهُ وَيَنْتَقِلُ إِلَى غَيْرِهِ . (الفتاوي الحديثية، ص 50)
Barangsiapa telah menemukan seorang guru seperti kriteria yang pertama atau yang kedua, maka tidak diperbolehkan baginya untuk meninggalkan-nya dan pindah kepada guru yang lain, (al-Fatâwa Hadisiyah, halaman: 50).
Hukum Mursyid Melarang Muridnya untuk Berbaiat ke Mursyid Lain
Diantara wewenang mursyid terhadap seorang murid (salik) adalah memberikan petunjuk dan pengarahan kepada muridnya terkait apa yang menjadi kebaikannya di masa depan, baik di dunia maupun di akhirat. Termasuk kewenangan seorang mursyid adalah melarang muridnya untuk berbaiat tarekat kepada mursyid lain, apabila dengan berbaiat tarekat kepada mursyid lain sang murid tidak bisa sampai kepada Allah, atau masa depannya suram dan lain sebagainya.
الثَّانِى عَشَرَ أَنْ لاَ يَغْفُلَ عَنْ إِرْشَادِ الْمُرِيْدِيْنَ إِلَى مَا فِيْهِ صَلاَحُ حَالِهِمْ (تنوير القلوب، ص 526)
Yang keduabelas, seorang mursyid harus menunjukkan kepada muridnya terhadap hal-hal yang menjadikan kebaikan keadaan muridnya, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 526).
Hukum Mengajarkan Tarekat bagi Orang yang Sanadnya tidak Bersambung sampai Rasulullah saw.
Di antara syarat syarat seorang mursyid adalah sanad tarekatnya bersambung sampai Rasulullah saw, dan diberi izin oleh gurunya untuk mengajarkan (mentalqin) tarekat. Karena jika seorang mursyid mengajarkan tarekat, sementara sanadnya terputus, dikhawatirkan murid tidak akan bisa wushul (sampai kepada Allah).
Dengan demikian, jika seorang mursyid terputus sanadnya, maka tidak diperkenankan baginya untuk mentalqin, dan atau diminta mentalqin para murid.
فَمَنْ لَمْ يَتَّصِلْ سِلْسِلَتُهُ إِلَى حَضْرَةِ النَّبَوِيَّةِ فَإِنَّهُ مَقْطُوْعُ الْغَيْضِ وَلَمْ يَكُنْ وَارِثًا مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ تُؤْخَذُ مِنْهُ الْمُبَايَعَةُ وَاْلإِجَازَةُ. (خزينة الأسرار، ص 188)
Barangsiapa yang silsilahnya tidak bersambung kepada Rasulullah, maka seseorang itu adalah orang yang terputus sanadnya dan dia tidak dikategorikan penerus Rasulullah, maka dia tidak boleh membaiat dan mengijazahkannya, (Khazînah al-Asrâr, halaman: 188).
Hukum Suluk tanpa Guru
قَالَ الشَّيْخُ زَرُوْقٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: فَإِنَّ قُلْتَ: هَلْ يَصِحُّ دُخُوْلُ الْخُلْوَةِ وَالسُّلُوْكُ عَلَى هَذَا الْأُسْلُوْبِ بِغَيْرِ الشَّيْخِ؟ قُلْنَا: نَعَمْ، وَلَكِنْ يَتَعَذَّرُ النَّجَاحُ لِقُوَّةِ الْعَوَارِضِ وَكَثْرَتِهَا, فَلِذَلِكَ قِيْلَ: إِنَّ الشَّيْخَ وَاجِبٌ فِي هَذِهِ الْمُجَاهَدَةِ دُوْنَ مُجَاهَدَةِ التَّقْوَى وَالْاِسْتِقَامَةِ، (الفتوحات الإلهية فى شرح المباحث الأصلية، ص: 273).
Apakah sah, berkhalwat atau melakukan suluk dengan tanpa guru ? ya, akan tetapi prosentase keberhasilannya sangat minim karena kuat dan banyaknya hal-hal yang baru. Singkat kata, keberadaan seorang guru (syaikh) dalam bermujahadah adalah wajib adanya, bukan hanya mujahadah taqwa dan istiqomah, (al-Futûhât al-Ilâhiyyah fî Syarhi al-Mabâhits al-Ashâliyyah, halaman: 273).
Sumber: Alif.ID