Nama al-Tijani diambil dari suku Tijanah yaitu suku yang hidup di sekitar wilayah Tilimsan, Aljazair. Tarekat ini dinisbatkatkan kepada wali besar Sayyid Ahmad al-Tijani atau dikenal dengan julukan Ibnu Umar atau Abu ‘Abbas Ahmad.
Nasab al-Tijani dari ayah sampai kepada Rasulullah saw. Adapun nasab lengkapnya sebagai berikut: Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Mukhtar ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salam ibn Ahmad al-‘Alawi Ibn Ali Ibn Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Jabbar ibn Idris ibn Ishak ibn Zainal Abidin ibn Muhamad Al-Nafs al-Zakiyyah ibn Abdullah al-Kamil ibn Hasan Musana ibn Hasan al-Sibti ibn Abi Thalib dari Sayyidah Fatimah az-Zahra putri Rasulullah saw. (Ali Harazim; Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani, juz 1, halaman: 25).
Nasab dari Ibu adalah sebagai berikut; ibu Syaikh al-Tijani bernama Aisyah Binti Sayyid Atsil ibn Abu Abdillah ibn Sanusi al-Tijani, (Ali Harazim; Jawahir al-Ma’ani wa ual-Amani, juz 1, halaman: 25).
Ahmad al-Tijani dilahirkan (1150 H., 1737 M.) di ‘Ain Madhi masuk wilayah Tilimsan selatan Aljazair. Ahmad al-Tijani sejak kecil sudah digembleng dengan pendidikan yang ketat sehingga pada umur 7 tahun sudah hafal Alquran di bawah bimbingan syaikh sayyid Isa di daerah Ukaz Madi (Muhammad ibn Abdul Qadir; Manaqib al-Imam as-Syafi’i, halaman: 4),
Sejak kecil beliau telah mempelajari berbagai macam cabang ilmu seperti Fiqh, Ushul Fiqh, dan sastra dari syaikh al-Mubarak ibn Rusyd dan syaikh al-Ahdhari. Beliau dikenal dengan kecerdasan, ketekunan, memiliki semangat belajar yang tinggi sehingga pada usia 20 tahun telah mengajar dan memberi fatwa tentang berbagai masalah agama, (Ali Harazim; Jawahir al-Ma’ani wa Bulugh al-Amani, juz 1, halaman: 24).
Pada tahun 1171, saat usia Ahmad al-Tijani menginjak 21 tahun, beliau pindah ke kota Fez Maroko, yang pada saat itu menjadi pusat studi ilmu agama di wilayah barat sebagaimana kota Kairo. Di kota ini beliau mempelajari kitab Futuhat al-makkiyah karya Ibnu ‘Arabi (w. 638 H, 1240 M) di bawah bimbingan al-Thayyib ibn Muhammad al-Yamhali dari Hibthi dan Muhammad Ibn al-Hasan al-Wanjali (w.1185).
Syaikh al-Wanjali pernah berkata kepada Syaikh Ahmad al-Tijani waktu pertama kali bertemu, ”Engkau akan mencapai maqam sebagaimana maqam al-Syadzili”. Beliau juga pernah bertemu dengan Abdullâh ibn ‘Arabi al-Andalusia, mereka berbincang tentang berbagai macam hal dan sebelum berpisah, Abdullâh ibn ‘Arabi al-Andalusia berkata kepada syaikh Ahmad al-Tijani: “Allah Swt. akan membimbingmu,” kata-kata ini diulang tiga kali.
Ketika Syaikh Ahmad al-Tijani memasuki usia 31 tahun, beliau mendekatkan diri kepada Allah Swt. dengan mengikuti beberapa tarekat, diantaranya adalah; tarekat Qadiriyah di bawah bimbingan syaikh Abdul aâdir al-Jilani, tarekat Nasiriyah yang diambil dari syaikh Abi Abdillah Muhammad Ibn Abdillah, tarekat Ahmad al-Habib Ibn Muhammad, tarekat Mulamatiyah di bawah bimbingan syaikh Abi ‘Abbas Ahmad al-Thawwas, (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 35).
Beliau mendapat bimbingan persiapan untuk tahap atau fase selanjutnya. Ia menyarankan kepada syaikh Ahmad al-Tijani untuk berkhalwat (bersunyi diri) dengan memperbanyak zikir, bersabar sampai Allah SWT. memberi keterbukaan hati (Futuh) karena menurut syaikh Abi Abbas Ahmad al-Thawwas, dia berkata syaikh Ahmad al-Tijani, ”Engkau akan mendapatkan maqâm yang agung (maqâm ‘adzîm)”.
Anjuran ini tidak segera dilaksanakan oleh syaikh Ahmad al-Tijani, dan syaikh Abi Abbas Ahmad al-Thawwas mengerti terhadap sikap syaikh Ahmad al-Tijani yang demikian, ahirnya syaikh Abi Abbas Ahmad al-Thawwas memberikan kelonggaran dengan berkata, ”Tetaplah berzikir kepada Allah Swt. tanpa harus berkhalwat nanti Allah Swt. akan memberi keterbukaan (futuh) kepadamu.
Kemudian beliau pindah ke Zawiyah (pesantren) syaikh Abdul Qadir Ibn Muhammad al-Abyadh dan menetap beberapa saat kemudian kembali ke Tilimsan.
Pada tahun 1186 H. Beliau berangkat ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, berziarah ke makam Nabi Muhammad saw. di Madinah al-Munawwarah. Dalam menempuh perjalanan panjang ke Makkah, beliau menjumpai tokoh-tokoh sufi dan sekaligus mendalami ilmu tasawuf dan mengambil ilmu hikmah dari mereka.
Ketika sampai di di desa Azwari wilayah al-Jazair beliau menjumpai sayyid Ahmad Ibn Abd al-Rahman al-Azhari (w.1198) seorang tokoh Tarekat Khalwatiyah dan beliau mendalami tarekat ini. Kemudian beliau berangkat ke Tunisia dan menjumpai wali bernama syaikh Abd al-Samad al-Rakhawi (w.1196 H), di kota ini beliau belajar tarekat sambil mengajar ilmu tasawuf, diantara kitab yang diajarkan adalah al-Hikam yang dikarang oleh Ahmad Ibn Muhammad Ibn ‘Athaillah al-Sakandari, (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 36).
Kemudian beliau meneruskan perjalanan ke mesir, di negeri ini beliau menjumpai seorang sufi dari Tarekat Khalwatiyah, syaikh Mahmud al-Kurdi (w.1208 H), dari syaikh ini beliau mendalami Tarekat Khalwatiyah.
Pada satu kesempatan syaikh Mahmud al-Kurdi berkata kepada Syaikh Ahmad al-Tijani, “Engkau kekasih Allah Swt. di dunia dan di akhirat”, lalu al-Tijani bertanya, ”Dari mana pengetahuan ini?”.
Syaikh Mahmud al-Kurdi menjawab: “Dari Allah Swt.” Pada kesempatan lain syaikh Mahmud al-Kurdi bertanya lagi kepada al-Tijani: “Apa cita-citamu?” al-Tijani menjawab: “Cita-cita saya menduduki maqâm al-Qutbaniyah al-‘Udzma”.
Syaikh Mahmud al-Kurdi berkata lagi: “Engkau akan mendapatkan maqâm lebih dari itu”. Berkata al-Tijani: “Apa Engkau yang menanggungnya?”. syaikh Mahmud al-Kurdi menjawab: “Ya”.
Pada bulan Syawal tahun 1187 H. sampailah beliau ke Mekah. Pada waktu di Mekah ada seorang wali bernama Syaikh al-Imam Abi al-Abbas Sayyid Muhammad Ibn Abdillah al-Hindi (w.1187 H) (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 36).
Sewaktu Syaikh Ahmad al-Tijani berkunjung kepadanya, beliau mengungkapkan kepada Syaikh Ahmad al-Tijani melalui Surat lewat khadimnya yang berisi: “Engkau pewaris ilmuku, ilmu rahasiaku, karuniaku, dan cahayaku”.
Pernyataan di atas, menunjukkan bahwa dalam tradisi tasawuf atau kewalian, proses pendidikan ilmu batin bisa dilakukan seorang wali kepada yang lain tanpa harus melalui bimbingan langsung secara fisik.
Setelah melaksanakan ibadah haji, Syaikh Ahmad al-Tijani terus berziarah ke makam Nabi Muhammad saw. Di kota Madinah beliau menjumpai seorang wali Qutub Syaikh Muhammad Ibn Abd al-Saman (w.1775 M.) yaitu seorang tokoh Tarekat Khalwatiyah dengan maksud untuk mendapatkan ajaran-ajaran sebagai persiapan masa depan.
Dalam perjalanan pulang ke al-Jazair, Syaikh Ahmad al-Tijani menjumpai gurunya di Mesir yaitu Syaikh Mahmud al-Kurdi, dengan tujuan untuk mendiskusikan tentang masalah tasawuf yang sulit difahami (musykil).
Dalam waktu yang relatif lama beliau tiap hari berdiskusi dengan Syaikh Mahmud al-Kurdi, sampai akhirnya Syaikh Mahmud al-Kurdi mengangkat Syaikh Ahmad al-Tijani sebagai khalifah tarekat Khalwatiyah di wilayah Maroko (Ali Harazim; Jawâhir al-Ma’ani wa Bulûgh al-Amani, juz 1, halaman: 37-38 ). Syaikh Ahmad al-Tijani akhirnya diberi hak untuk menyebarkan dan mengajarkan tarekat Khalwatiyah dari gurunya syaikh Muhammad al-Qurdi, (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 49).
Pada tahun 1196 H. tepatnya syaikh Ahmad al-Tijani berusia 46 tahun. Beliau pergi ke pedalaman al-Jazair tepatnya di desa Abu Samghun. Beliau tinggal di tempat itu untuk melakukan khalwat. Pada saat sedang melakukan khalwat di Abu Samghun, syaikh al-Tijani mengalami keterbukaan (al-futuh).
Beliau bertemu Rasulullah saw. dalam keadaan sadar, terjaga bukan dalam keadaan mimpi. Selanjutnya Rasulullah saw membimbing (menalqin) syaikh Ahmad al-Tijani dengan membaca istighfâr 100 kali, Shalawat 100 kali dan selanjutnya Rasulullah saw. Bersabda:
لَا مُنَّةَ لِمَخْلُوْقٍ عَلَيْكَ مِنْ أَشْيَاخِ الطَّرِيْقِ فَاَنَا وَاسِطَتُكَ وَ مُمِدُّكَ عَلَى التَّحْقِيْقِ. فَاتْرُكْ عَنْكَ جَمِيْعَ مَا اَخَذْتَ مِنْ جَمِيْعِ الطَّرِيْقِ وَ قَالَ لَهُ: اِلْزَمْ هَذِهِ الطَّرِيْقَةَ مِنْ غَيْرِ خَلْوَةٍ وَ لَا اعْتِزَالٍ عَنِ النَّاسِ حَتَّى تَصِلَ مَقَامَكَ الَّذِى وُعِدْتَ بِهِ وَ اَنْتَ عَلَى حَالِكَ مِنْ غَيْرِ ضَيْقٍ وَ لَا حَرَجٍ وَ لَا كَثْرَةِ مُجَاهَدَةٍ. وَ اتْرُكْ عَنْكَ جَمِيْعَ الْأَوْلِيَاءِ.
“Tidak ada karunia bagi seorang makhluk dari guru-guru tarekat atas kamu, maka akulah perantara dan pembimbingmu secara nyata (oleh karena itu) tinggalkanlah semua tarekat yang telah kamu ambil. Tekunilah tarekat ini tanpa kholwat dan menghindari manusia sampai kamu mencapai kedudukan yang telah dijanjikan kepadamu dan kamu tetap berada pada keadaanmu tanpa kesempitan, tanpa susah payah, tidak banyak mujahadah dan tinggalkanlah semua wali”., (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 40-41).
Semenjak itu syaikh Ahmad al-Tijani meninggalkan semua tarekat yang pernah diambil dan pindah kepada tarekat yang ditalqinkan oleh Rasulullah saw. Syaikh Ahmad al-Tijani berkata: “Rasulullah saw. bersabda kepadaku: bahwa Rasulullah saw. adalah guru, pembimbing, pendidikku dan Rasulullah saw. selalu mendampingi dan tampak terlihat dengan mata kepala”.
Dua macam wirid di atas yaitu Istighfâr 100 kali, shalawat 100 kali berjalan selama 4 tahun (1200 H). wirid itu disempurnakan oleh Rasulullah saw. yang ditambah bacaan hailalah (Tahlil: lâ ilâha illa Allah) 100 kali yang pada kemudian hari menjadi amalan dasar tarekat al-Tijani (Jauhar al-Ma’ani, juz 1, halaman: 41).
Syaikh Abdul Qodir al-Jilani pernah memberikan isyarat tentang hal ini kepada syaikh Ahmad al-Tijani ketika masih berada di Zawiyahnya, syaikh Abdul Qâdir al-Jilani berkata: “البيضة منا بالق”.
Pada tahun 1789 M, syaikh Ahmad al-Tijani pindah dan menetap di kota Fes Maroko. Syekh Ahmad al-Tijani mengajak Maulana Sulaiman untuk mengembangkan tarekat ini. Sampai syaikh Ahmad al-Tijani meninggal dunia pada hari Kamis tanggal 17 Sya’ban 1230 H. dan dimakamkan di kota Fes Maroko.
Beliau mempunyai dua orang putera yaitu; Sayyid Muhammad al-Habib dan Sayyid Muhammad al-Kabir.
Sumber: Alif.ID