Dari segi bahasa makna rabitah adalah hubungan atau ikatan; terambil dari kata rabth yang berarti mengikat atau menghubungkan, (al-Munawir Qamus ‘Arabi-Indunisia, halaman: 501). Ungkapan rabitah al-mursyid, dengan demikian, menunjukan kepada makna menghubungkan diri dengan mursyid atau merabit dengan mursyid.
Pada hakikatnya perintah rabitah itu mengikuti dan mempunyai landasan dari ayat Alquran, Hadis dan pendapatnya para ulama’, Di dalam Alquran perintah melakukan rabitah diungkapkan melalui firman Allâh SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٢٠٠﴾
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung, (Ali `Imrân, 3: 200).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَابْتَغُواْ إِلَيهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُواْ فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿٣٥﴾
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan, (al-Maidah: 35)
Sedangkan dari Hadis sebagaimana disebutkan di dalam kitab Shahih al-Bukhari:
أَنَّ سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ شَكَا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَدَمَ انْفِكَاكِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُ حَتَّى فِى الْخَلَاءِ، أَيْ بِحَسْبِ الرُّوْحَانِيَّةِ، وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ كَرَّمَ اللهُ تَعَالَى وَجْهَهُ يَأْخُذُهُ الْحَيَاءَ مِنْهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، (البهجة السنية، ص: 71)
Sesungguhnya sayyidina abu bakar as-Shiddiq RA. mengeluh kepada nabi Muhammad SAW. Tidak dapat berpisah dengan nabi hingga di dalam tempat mandi sekalipun (secara ruhani atau terbayang-bayang), sehingga Abu Bakar RA. merasa malu terhadap nabi SAW, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 71).
وعن أَبي موسى الأشعري رضي الله عنه: أن النَّبيّ صلى الله عليه وسلم، قَالَ: (( المَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 237)
Kata rabithu dalam ayat tersebut menurut Ibn Manzhur dalam Lisan al-Arab-nya bermakna hafizhu atau lazimu berkekalan atau terus-menerus, yaitu al-Muwazhabah ‘ala al-Amr berkekalan atau terus-menerus melakukan sesuatu. Asal makna rabithu (ribath atau murabathah) adalah al-Iqamah ‘ala jihad al-‘aduw (melakukan perang terhadap musuh), (Lisan al-Arab, juz 7, halaman: 303).
Pemahaman ideal mengenai maksud kata rabithu (ribrah atau murabathah) dalam firman Allâh tersebut, dengan menyimak makna-makna yang terkait dengan kata itu sendiri, muncul dalam tarekat, yaitu berkekalan atau terus-menerus menghubungkan diri secara rohani dengan mursyid dalam rangka memerangi iblis sebagai musuh manusia yang paling nyata. Tidak ada musuh yang paling layak untuk selalu diwaspadai dan diperangi kecuali iblis la’natullah yang memang berusaha terus menghancurkan manusia.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa rabitah al-mursyid (merabit mursyid) pada dasarnya adalah berjamaah secara rohani dengan mursyid, yaitu imam-berimam dalam khafilah rohani Rasulullah SAW Menunjuk kepada pengertian inilah Imam Ja’far al-Shâdiq, tokoh sufi dari kalangan ahli bait Nabi SAW, yang dikutip oleh Abu Nu’aim al-Ishfahani dalam ensiklopedia orang-orang suci–nya yang berjudul Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’ mengatakan: “Barangsiapa menjalani hidup dengan bergabung dalam batin (rohani) Rasul, maka dialah yang disebut orang sufi, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1, halaman: 20).
Di samping itu, dapat pula dikatakan bahwa rabitah al-mursyid (merabit mursyid) menunjuk kepada makna melibatkan Rasul SAW dalam setiap munajat dan ibadah agar munajat dan ibadah itu dapat langsung mendapat sambutan dari Allâh sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allâh SWT:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللهَ تَوَّاباً رَّحِيماً ﴿٦٤﴾
Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang, (al-Nisâ’, 4: 64).
Melibatkan Rasul SAW atau merabit mursyid dalam ibadah dapat disimak pula dari sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan imam-imam Hadis lainnya disebutkan bahwa ketika Umar meminta izin kepada Nabi SAW, untuk menunaikan ibadah umrah, Nabi SAW bersabda:
فَقَالَ يَا أَخِي لَا تَنْسَنَا مِنْ دُعَائِكَ، (مسند أحمد، ج 1، ص: 326)
“Wahai saudara mudaku, serikatkan (libatkan) kami dalam doamu dan jangan lupakan kami, (Musnad Ahmad, juz 1, halaman: 326).
Dalam kasus yang berbeda, melibatkan Rasul SAW atau merabit mursyid dapat disimak dari kisah Umar ibn Khaththab RA. yang melibatkan Paman Nabi SAW yang bernama Abbas RA. ketika ia berdo’a memohon hujan:
فَقَدْ ذَكَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُمْ كَانُوْا يَتَوَسَّلُوْنَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ حَيَاتِهِ فِي الْاِسْتِسْقَاءِ ثُمَّ تَوَسَّلَ بِعَمِّهِ الْعَبَّاسِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَتَوَسَّلَهُمْ هُوَ اِسْتِسْقَاؤُهُمْ، (تحفة الأحوذي، ج 10، ص: 26)
Sayyidina umar RA. Telah menyebutkan sesungguhnya para sahabat bertawassul kepada nabi di waktu masih hidup untuk meminta hujan kepada Allah SWT kemudian para sahabat bertawassul kepada paman nabi (abbas) setelah wafat beliau, (Tuhwah al-Ahwadzi, juz 10, halaman: 26).
Artinya, Umar melibatkan ‘Abbas RA. sebagai pengganti Rasul SAW untuk mendapatkan karunia Allâh SWT berupa hujan. Dengan melibatkan ‘Abbas RA. sesungguhnya Umar RA. hendak bergabung dalam khafilah rohani Rasul SAW melalui orang yang masih hidup dan yang dicintai Rasul SAW meskipun Umar RA. sendiri memiliki kedudukan yang istimewa di sisi Rasul SAW
Berdasarkan hal ini, maka orang-orang mukmin lainnya, apalagi yang hidup pada masa sekarang, sudah seyogianya mencari seorang hamba Allâh SWT yang karena kecintaan dan ketaatannya kepada Allâh SWT dan Rasul-Nya SAW layak dicintai oleh Allâh SWT dan Rasul-Nya SAW dan layak pula menduduki posisi sebagai khalifah pengganti Rasul SAW.
Teknik Melakukan Rabitah
Di dalam shalat, ketika melakukan tasyahud, kita diperintahkan mengucapkan salam kepada Nabi SAW, Assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh (salam dan Rahmat serta barakah Allâh untukmu wahai Nabi SAW). Perintah ini harus dilakukan secara lahir dan batin, secara lahir dengan mengucapkan salam itu sendiri, sedangkan secara batin adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani Rasul SAW, agar kita bisa bersama dengan Beliau SAW
Bersama dengan Rasul SAW sekaligus mengandung makna bersama dengan Allâh SWT karena Rasul SAW tidak pernah berpisah sedetik-pun dari-Nya. Kenyataan bahwa di dalam rohani Beliau SAW tersimpan Nur Allâh SWT, dan bahwa Beliau SAW sebagaimana ditegaskan oleh Aisyah RA. selalu berdzikir kepada Allâh SWT
حدثنا هارون بن معروف حدثنا اسحاق الأزرق حدثنا زكريا بن أبي زائدة عن خالد بن سلمة عن البهي عن عروة : عن عائشة أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يذكر الله في كل احيانه، (مسند أبى يعلى، ج 8، ص: 355 )
Dalam kaitan inilah mengapa sebagian Kaum Arifin yaitu orang-orang yang sudah mengenal Allâh SWT secara tahkik berkata: “Bersamalah engkau selalu dengan Allâh, dan jika engkau belum bisa, maka bersamalah engkau selalu dengan orang yang sudah bersama dengan Allâh”, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 512).
Namun begitu, karena kita tidak mengenal Rasul SAW secara jasmani, maka yang dapat kita lakukan adalah menghubungkan rohani kita dengan rohani ulama yang kita kenal secara jasmani, yaitu ulama yang benar-benar berkapasitas sebagai Waratsah al-Anbiyâ’ (Ahli Waris Para Nabi), yang kepada mereka beliau mewariskan isi rohani beliau dengan izin Allâh SWT.
Hamba-hamba Allâh SWT seperti itu dalam Alquran disebut antara lain dengan al-Shadiqun, dan Allâh memerintahkan kita agar selalu bersama dengan mereka (secara jasmani dan rohani).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh SWT dan hendaklah kamu selalu bersama orang-orang yang benar, (al-Taubah, 9: 119).
Bahkan, bersama atau berjamaah secara rohani jauh lebih mungkin direalisasikan daripada berjamaah secara jasmani, sebab tidak mungkin kita dapat berjamaah dengan mereka secara jasmani dalam semua keadaan. Maka al-Shadiqun yaitu orang-orang yang benar, dalam ayat tersebut adalah orang-orang yang benar dalam keimanan mereka kepada Allâh, sehingga sebutan lain yang dikemukakan Alquran untuk mereka adalah al-Muminuna Haqqan, orang-orang mukmin sejati (hak), yaitu orang-orang yang apabila disebut nama Allâh SWT, hati mereka bergetar dan apabila dibacakan ayat-ayat Allâh SWT kepada mereka keimanan mereka semakin bertambah, dan hanya kepada Allâh SWT mereka bertawakal, menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian harta yang dikaruniakan kepada mereka.
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقّاً لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿٤﴾ كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِن بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقاً مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ ﴿٥﴾
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka, (al-Anfâl, 8: 3-5).
Bukan orang-orang yang beriman tetapi di dalam hatinya tumbuh subur sifat-sifat nifaq (munafik) yang diantara ciri-ciri utama mereka adalah bahwa mereka tidak berdzikir kepada Allâh kecuali sedikit.
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلاَةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآؤُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ قَلِيلاً ﴿١٤٢﴾
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali, (al-Nisâ’, 4: 142).
Mereka tiada lain adalah wali-wali Allâh yang oleh Nabi sebagaimana disinggung sebelumnya disebut dengan Mafatih al-Dzikr ‘kunci-kunci dzikir’, dan yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan kaum sufi, dan oleh Ibn Taimiyah disebut sebagai golongan yang paling baik setelah Nabi, (Majmû’ al-Fatawâ, juz 11, halaman: 17). Memandang mereka melahirkan dzikir kata Nabi dalam riwayat Imam al-ThabRAni ketika menggambarkan keberadaan mereka, (al-Mu’jam al-Kabir, juz 10, halaman: 205). Memandang mereka, terutama yang dilakukan secara rohani, mewujudkan apa yang dimaksud dengan Rabitah di sini.
Rabitah sebagai Penghalau Iblis
Melakukan Rabitah pada dasarnya dimaksudkan sebagai realisasi atas perintah berjamaah yang dalam nash diungkapkan dengan berbagai redaksi. Imam al-Bukhari dalam al-Tarikh al-Kabir-nya mengutip sebuah Hadis Nabi SAW, Kalian harus berjamaah, (al-Tarikh al-Kabir, juz 8, halaman: 447). sementara Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan sebuah Hadis bahwa Nabi SAW bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ، وإِيَّاكُمْ وَالفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ، أَخْرَجَهُ الترمذيُّ
Wahai manusia, kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai-berai, (Jâmi’ Ushûl fi Ahâdits al-Rasûl juz 6, halaman: 669).
Imam al-Tirmidzi dan al-Nasai meriwayatkan dari Ibn Umar bahwa Umar berkhutbah menyampaikan sabda-sabda Nabi yang di dalamnya antara lain beliau bersabda: Kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai (dari jamaah), karena setan bersama orang yang sendirian, (Sunan al-Tirmidzi, juz 4, halaman: 465, al-Sunan al-KubRA, juz 5, halaman: 388).
Dalam riwayat Imam al-Baihaqi Hadis tersebut diungkapkan dengan redaksi:
أَخْبَرَنَا أَبُوْ عَبْدِ اللهِ الْحَافِظِ ثَنَا أَبُوْ الْعَبَّاسِ مُحَمَّدِ بْنِ يَعْقُوْبَ ثَنَا عَبَّاسُ بْنِ مُحَمَّدٍ الدَّوْرِيْ ثَنَا هَارُوْنُ بْنُ مَعْرُوْفٍ ثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وَهْبٍ حَدَثَنِيْ سَعِيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِيْ الْعُمْيَاءِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ مَهْجَانِ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ مِنْ أَهْلِ إِيْلِيَاءِ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فِيْ حَدِيْثٍ ذَكَرَهُ قَالَ: لَمَّا دَخَلَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الشَّامَ حَمِدَ اللهُ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَرَ وَأَمَرَ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَى عَنِ الْمُنْكَرِ ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا خَطِيْبًا كَقِيَامِيْ فِيْكُمْ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَصِلَةِ الرَّحْمِ وَصِلَاحِ ذَاتِ الْبَيْنِ وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ
Kalian harus berjamaah, karena tangan Allâh ada di atas jamaah dan setan bersama orang yang sendirian, (Syu’ab al-Iman, juz 7, halaman: 488).
Hadis-Hadis di atas semuanya mengisyaratkan pentingnya berjamaah sebagai ajaran agama yang sangat fundamental, baik dalam urusan ibadah maupun dalam urusan muamalah, baik secara jasmani maupun secara rohani.
Dalam shalat kita dianjurkan berjamaah; bahkan setengah ulama menghukumi shalat berjamaah itu wajib berdasarkan hadis-hadis Nabi yang antara lain mengancam akan membakar rumah-rumah penduduk yang dekat dengan mesjid tetapi penghuninya tidak mau shalat berjamaah, (Shahih Muslim, juz 1, halaman: 451; Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, juz 5, halaman: 153).
Tujuan paling pokok dari berjamaah adalah melindungi diri dari gangguan iblis yang selalu mencari celah untuk memalingkan manusia dari kebenaran menuju kesesatan, dan mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan.
Kalau yang dimaksud berjamaah hanya semata-mata berjamaah secara jasmani, maka efektivitas perlindungan diri tidak akan tercapai secara maksimal, sebab yang menjadi sarang iblis adalah kalbu manusia, sehingga kalbu pun harus dikondisikan agar juga berjamaah, yaitu dengan melakukan rabitah (merabit mursyid).
Rabitah yang dilakukan secara berkesinambungan melahirkan berbagai fenomena positif sebagai karunia Tuhan yang jenisnya bergantung kepada kehendak-Nya, antara lain yang paling utama adalah mengalami atau merasakan kahadiran Tuhan. Apa yang dialami Nabi Yusuf As. ketika nyaris terjerumus dalam kemesuman merupakan salah satu indikasi atas kenyataan ini.
Di dalam Alquran diceritakan bahwa Yusuf sudah nyaris melakukan perbuatan mesum bersama Zulaikha andai kata ia tidak melihat dan mengalami bukti Tuhannya. Ibn Abbas RA. menjelaskan, yang dikutip oleh Imam al-Thabari dalam Tafsir-nya, bahwa ungkapan andai kata Yusuf tidak melihat bukti Tuhannya dalam surah Yusuf ayat ke-24 tersebut adalah andaikata ia tidak melihat bayangan bentuk wajah ayahnya, (Tafsir al-Thabari, juz 16, halaman: 34, nomor 19013). Dari penjelasan Ibn Abbas ini semakin jelas bahwa Yusuf mengalami rabitah secara otomatis dengan izin Allâh SAW
وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابُ، وَذَهَبَ لِيَحِلَّ سَرَاوِيْلَهُ، فَإِذَا هُوَ بِصُوْرَةِ يَعْقُوْبَ قَائِمًا فِي الْبَيْتِ، (تفسير الطبري، ج 16، ص: 34، رقم 19013)
Dalam hal berdzikir kepada Allâh khususnya, melakukan rabitah merupakan keharusan, karena jalan yang ditempuh dalam berdzikir adalah jalan rohani yang sangat halus dan penuh dengan ranjau-ranjau iblis yang selalu berusaha memalingkannya dari jalan Allâh untuk kemudian menjerumuskannya ke dalam kesesatan.
Dalam kaitan inilah Imam al-Nawawi al-Jawi menegaskan dalam kitabnya Nihayah al-Zain, Orang yang berdzikir wajib mengikuti salah seorang Imam dari Imam-imam tasawuf, (Nihayah al-Zain (Bairut: Dar al-Fikr, t.t.) halaman: 7).
Sumber: Alif.ID