Di dalam Alquran, Allâh SWT membuat perumpamaan tentang Cahaya (nûr)-Nya yang diungkapkan dengan redaksi:
اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُّورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ﴿٣٥﴾
Allâh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allâh, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allâh membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allâh memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu, (an-Nûr, 24:35).
Menurut Ka’ab al-Ahbar dan Ibn Jarir RA. yang dimaksud Nurihi alam ayat ini adalah Nuri al-Muhammad, Nur Muhammad, (Tafsir al-Qurthubi, juz 12, halaman: 259). Ketika ditanya oleh Ibn Abbas tentang ayat ini, lebih lanjut Ka’ab mengatakan: “Ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allâh SWT untuk Nabi-Nya SAW al-misykah adalah dada (jasmani)-nya, al-Zujajah adalah Qalbu (rohani)-nya, sedangkan al-Mishbah adalah nubuwat”, (Tafsir al-Bughawi, juz 3, halaman: 346).
Komentar senada diungkapkan oleh Ibn Umar RA. yang dikeluarkan oleh Imam al-ThabRAni, Ibn ‘Adi, Ibn Mardawiyyah, dan Ibn. ‘Asakir: “al-misykah adalah rongga dada (jasmani) Muhammad SAW, al-zujajah Qalbu (rohani)-nya sedangkan al-Mishbah adalah nur yang ada di dalam Qalbunya”, (Majma al-Zawaid, juz 7, halaman:83, al-Mu’jam al-Awsath, juz 2, halaman: 235, al-Mu’jam al-Kabir, juz 12, halaman: 317, Tafsir al-Qurthubi, juz 12, halaman: 263, Fath al-Qadir, juz 4, halaman: 36).
Cahaya (nur) yang ada dalam kalbu Nabi tersebut, atau yang biasa disebut dengan Nur Muhammad, termasuk di dalamnya Alquran yang juga disebut dengan cahaya (nur) yang diturunkan ke dalam qalbunya
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءكُم بُرْهَانٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُوراً مُّبِيناً ﴿١٧٤﴾
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu`jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Alquran), (al-Nisâ’, 4: 174)
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوّاً لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللهِ مُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٩٧﴾
Katakanlah: Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Alquran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembiRA bagi orang-orang yang beriman, (al-Baqarah, 2:97).
Nur Muhammad tersebut merupakan cahaya Allâh ada di bumi sebagai satu ujung sedangkan ujung yang lain ada di sisi Allâh sendiri. Hal ini ditegaskan dengan kelanjutan firman-Nya dalam ayat yang sama:
“Cahaya (Allâh) di atas cahaya (Muhammad); Allâh menuntun kepada cahaya-Nya orang yang dikehendaki.”
Maksudnya adalah bahwa cahaya Allâh berhubungan langsung dengan cahaya Muhammad, karena pada hakikatnya cahaya Allâh dan cahaya Muhammad adalah satu, dan ditempat lain digambarkan sebagai tali Allâh SWT yang harus dipegangi kuat-kuat. Dalam kaitan ini Allâh SWT berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعاً وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَاناً وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ ﴿١٠٣﴾
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah meneRangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk, (Ali Imrân, 3: 103).
Ayat lain yang tampaknya juga penting dikemukakan di sini untuk memahami keterkaitan Cahaya (Nûr) Tuhan dengan kalbu orang mukmin sebagai singgasana nur itu, di samping keterkaitannya dengan hidayah, dzikir, dan perjalanan pulang menuju Tuhan adalah:
أَفَمَن شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِّن رَّبِّهِ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللهِ أُوْلَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ﴿٢٢﴾
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata, (al-Zumar, 39:22).
Imam al-Qurthubi mengutip sebuah Hadis yang berasal dari Ibn Mas’ud yang mengatakan bahwa para sahabat bertanya kepada Nabi SAW tentang ayat itu, Bagaimana dada orang itu menjadi lapang? Rasulullâh SAW menjawab: Jika cahaya (Nur) itu masuk ke dalam qalbunya, maka ia menjadi lapang dan terbuka. Para sahabat masih bertanya, Apa tanda-tanda hal itu? Rasulullâh SAW menjawab: Melakukan perjalanan pulang ke negeri abadi (akhirat) dan meninggalkan negeri tipu daya (dunia) serta bersiap-siap menjemput kematian sebelum tiba saatnya, (Tafsir al-Qurthubi (al-Jami’ li Ahkam Alquran), juz 15, halaman: 247).
Dari informasi di atas semakin jelas bahwa cahaya (Nur) Allâh SWT bersemayam di dalam kalbu orang yang dikehendaki lapang dadanya oleh Allâh SWT, dan karena kondisi orang semacam ini dioposisikan dengan orang yang berhati keras sehingga tidak berdzikir kepada Allâh Swt, maka berarti bahwa orang yang didalam kalbunya terdapat cahaya (Nur) Allâh Swt tiada lain adalah ahli dzikir. Ia adalah orang yang tidak pernah lepas dari berdzikir kepada Allâh SWT.
Tidak seorang pun yang mendapat gelar sebagai ahli dzikir kecuali Nabi SAW sendiri dan hamba-hamba Allâh SWT yang oleh beliau disebut sebagai mafatih al-dzikr kunci-kunci dzikir; mereka adalah wali-wali Allâh yang apabila mereka dilihat orang maka orang (yang melihat) itu langsung berdzikir juga. Mereka itulah para ‘ulama yang disebut sebagai waratsah al-anbiya ahli waris para Nabi, yang kepada mereka Allâh SWT mewariskan Alquran, sehingga di kalbu mereka itulah wasilah atau Nur Tuhan bersemayam.
Mencari dan melihat mereka adalah kewajiban yang diperintahkan Allâh SWT kepada orang-orang yang beriman. Menemukan mereka berarti menemukan wasilah. Dengan wasilah, mereka akan dapat berhubungan langsung dengan Allâh serta memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari-Nya, sebagaimana bumi berhubungan langsung dengan matahari melalui cahayanya sehingga memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari matahari itu sendiri Rabitah (Merabit).
Unsur lain yang juga sangat fundamental dalam tarekat sebagai jalan menuju Tuhan dan sekaligus sebagai teknik berdzikir efektif adalah rabitah al-mursyid (merabit mursyid) yang dalam istilah Imam al-Munawi disebut dengan shuhbat al-mursyid bersahabat dengan mursyid, yaitu ketika ia menyinggung cara pencapaian akhlak yang terpuji dalam al-Faydh al-Qadîr-nya: “Cara memperoleh akhlak yang terpuji adalah dengan memperbanyak dzikir sambil bersahabat dengan mursyid yang sempurna”, (Faydh al-Qadîr, juz 3, halaman: 467).
Bersahabat dengan mursyid melahirkan akhlak yang agung, menyemaikan kesadaran keagamaan yang benar, dan membangkitkan gelora cinta ilahi yang tersalur dari kalbu mursyid ke dalam kalbu murid. Bersahabat dengan mursyid yang sempurna adalah langkah awal yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju Tuhan. Perjalanan ini sekaligus menjadi sarana diagnosa dan terapi terhadap penyakit-penyakit yang dijangkitkan oleh virus paling ganas bernama iblis.
Dalam setiap kalbu terdapat apa yang disebut hazhzh al-Syaithan bagian setan, dan bagian inilah yang diambil Jibril dari qalbu Nabi Muhammad SAW. pada saat Beliau SAW berusia empat atau lima tahun dan pada saat menjelang kebeRangkatan beliau dalam perjalanan malam menuju Tuhan, (Shahih Muslim, juz 1, halaman: 147, Shahih Ibn Hibban, juz 14, halaman: 242, al-Mustadrak, juz 2, halaman: 575, Musnad Ahmad, juz 3, halaman: 149, 288, Musnad Abi Ya’la, juz 6, halaman: 108, 224, Musnad Abi Awanah, juz 1, halaman: 113, 125).
Sumber: Alif.ID