Pada awal bulan Dzulqa‘dah tahun 656 H./1258 M., terbetik di hati al-Syadzili untuk kembali menjalankan ibadah haji ke Baitullah. Keinginan itu begitu kuat mendorong hati al-Syadzili (al-Tasawuf wa al-Hayât al-‘Ishriyyah, halaman 182). Maka, kemudian ia meminta keluarganya dan sebagian murid untuk turut menyertai.
Ketika itu al-Syadzili juga memerintahkan agar rombongan membawa pula seperangkat alat untuk menggali. Memang suatu perintah yang dirasa agak aneh bagi para pengikutnya. Pada saat ada seseorang yang menanyakan tentang hal itu, al-Syadzili pun menjawab, “Ya, siapa tahu di antara kita ada yang meninggal di tengah perjalanan nanti.”
Pada hari yang sudah ditentukan, berangkatlah rombongan dalam jumlah besar itu meninggalkan negeri Mesir menuju kota Makkah al-Mukarramah. Pada saat perjalanan sampai di gurun ‘Idzab, sebuah daerah di tepi pantai Laut Merah, tepatnya di desa Humaitsarah, yaitu antara Gana dan Quseir, al-Syadzili memberi aba-aba agar rombongan menghentikan perjalanan untuk beristirahat.
Setelah mereka semua berhenti, lalu didirikanlah tenda-tenda untuk tempat peristirahatan. Kemudian, setelah mereka sejenak melepas penatnya, lalu al-Syadzili meminta agar mereka semua berkumpul di tendanya.
Setelah para keluarga dan murid al-Syadzili berkumpul, lalu al-Syadzili memberikan beberapa wejangan dan wasiat-wasiatnya kepada mereka. Di antara wasiat yang ia sampaikan, al-Syadzili mengatakan, “Wahai anak-anakku, perintahkan kepada putera-puteramu agar mereka menghafalkan hizib Bahri (Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 41). Karena, ketahuilah bahwa di dalam hizib itu terkandung ismullahil a‘zham, yaitu nama-nama Allâh Yang Maha Agung.”
Setelah menyampaikan pesan-pesannya itu, al-Syadzili bersama dengan murid terkemukanya, al-Syaikh Abû al-‘Abbas al-Mursî, meninggalkan mereka ke suatu tempat yang tidak jauh dari tenda-tenda itu. Tapi dalam waktu yang tidak terlalu lama, kedua insan mulia itu sudah kembali masuk ke tenda semula. Waktu itu seluruh keluarga dan para murid al-Syadzili masih menunggunya.
Setelah al-Syadzili kembali duduk bersama mereka lagi, kemudian al-Syadzili berkata, “Wahai putera-puteraku dan shahabat-shahabatku, apabila sewaktu-waktu aku meninggalkan kalian nanti, maka hendaklah kalian memilih Abû al-‘Abbas al-Mursi sebagai penggantiku.
Karena, ketahuilah bahwa dengan kehendak dan ridha Allâh Swt., telah aku tetapkan dia untuk menjadi khalifah yang menggantikan aku setelah aku tiada nanti. Dia adalah penghuni maqâm yang tertinggi di antara kalian dan dia merupakan pintu gerbang bagi siapa saja yang menuju kepada Allâh Swt.”, (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50. Lihat juga al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasy’atuhâ wa Nadzmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 302).
Pada waktu antara maghrib dan isya, al-Syadzili tiba-tiba berkehendak untuk mengerjakan wudhu’. Kemudian ia memanggil Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad Syarafuddin Ra., salah satu puteranya, “Hai Muhammad, tempat itu (al-Syadzili menunjuk ke sebuah timba) agar engkau isi dengan air sumur itu.”
Di luar tenda memang terdapat sebuah sumur yang biasa diambil airnya oleh para kafilah yang melintas di daerah itu. Air sumur itu rasanya asin karena tempatnya memang tidak terlalu jauh dari tepi laut atau pantai, (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50. Lihat juga al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasy’atuhâ wa Nadzmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 104).
Mengetahui air sumur itu asin, maka putera al-Syadzili itu pun memberanikan diri untuk matur dengan mengatakan, “Wahai guru, air sumur itu asin, sedangkan yang hamba bawa ini air tawar.” Syaikh Syarafuddîn menawarkan kepada al-Syadzili air tawar yang sudah disiapkan dan memang sengaja dibawa sebagai bekal di perjalanan.
Al-Syadzili lantas mengatakan, “Iya, aku mengerti. Tapi, ambilkan air sumur itu. Apa yang aku inginkan tidak seperti yang ada dalam pikiran kalian”. Selanjutnya putera al-Syadzili itu mengambil air sumur sebagaimana yang ayahnya kehendaki. Setelah selesai berwudu, al-Syadzili berkumur dengan air sumur yang asin itu lalu menumpahkan ke dalam timba kembali.
Setelah itu al-Syadzili memerintahkan agar air bekas kumuran tersebut dituangkan kembali ke dalam sumur. Sejak saat itu, dengan izin Allâh Yang Maha Agung, air sumur itu seketika berubah menjadi tawar dan sumbernya pun semakin membesar. Sumur itu hingga sekarang masih terpelihara dengan baik (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50).
Kemudian al-Syadzili mengerjakan shalat isya lalu diteruskan dengan shalat-shalat sunnah. Tidak berapa lama kemudian ia berbaring dan menghadapkan wajahnya kepada Allâh Swt. (tawajjuh) seraya berzikir sehingga kadang-kadang mengeluarkan suara yang nyaring, sampai-sampai terdengar oleh para murid dan shahabat-shahabatnya.
Pada malam itu tiada henti-hentinya al-Syadzili memanggil-manggil Tuhannya dengan mengucapkan, “Ilâhî, Ilâhî,“ (Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,….), (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 50. Lihat juga Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42). Kadang-kadang pula al-Syadzili lanjutkan dengan mengucapkan, “Allâhumma matâ yakûnu al-liqâ’ ?” (“Ya Allâh, kapan kiranya hamba bisa bertemu?”). Sepanjang malam itu, keluarga dan murid al-Syadzili dengan penuh rasa tawadhu’, saling bergantian menunggui, merawat, dan mendampinginya.
Ketika waktu sudah sampai di penghujung malam, yaitu menjelang terbitnya fajar, setelah al-Syadzili sudah beberapa saat terdiam dan tidak mengeluarkan suara, maka mereka pun mengira bahwa al-Syadzili sudah tertidur pulas. Al-Syaikh Syarafuddîn perlahan-lahan mendekatinya.
Kemudian, dengan cara yang amat halus, putera al-Syadzili itu lalu menggerak-gerakkan tubuh al-Syadzili. Sedikit terkejut dan tertegun Syaikh Syarafuddîn mendapatinya, karena al-Syadzili al-Imam al–Quthub Ra. ternyata sudah berpulang ke rahmatullah. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn, (Qadhiyyah al-Tasawuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42). Ketika itu ia berusia 63 tahun sama dengan usia Rasûlullâh Saw (al-Mafâkhir al-Âliyah fî al-Ma’âtsir al-Syadziliyyah, halaman: 51).
Setelah shalat subuh pada pagi hari itu, jasad al-Syadzili nan suci pun segera dimandikan dan dikafani oleh keluarga dan para muridnya. Sedangkan ketika matahari mulai tinggi, semakin banyak pula para ulama’, shiddiqîn, dan auliyâ’ullah agung berduyun-duyun berdatangan untuk berta‘ziyah dan turut menshalati jenazahnya.
Di antara mereka qadhi-nya para qadhi negeri Mesir, al-Syaikh al-Walî Badruddîn bin Jamâ‘ah. Hadir pula di antara mereka para pangeran dan pejabat kerajaan. Kehadiran para insan mulia dan pembesar-pembesar negara di tempat itu untuk memberikan penghormatan kepada sang Imam Agung.
Sumber: Alif.ID