Beberapa hari al-Syadzili dan rombongan melakukan perjalanan, dan tibalah di negeri Mesir. Al-Syadzili langsung menuju ke kota Iskandaria, kota indah yang selalu ia singgahi di setiap perjalanannya (al-Thuruq al-Shufiyyah fi Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman: 200).
Pada saat al-Syadzili menginjakkan kaki di negeri Mesir, saat itu bertepatan tanggal 15 Sya‘ban (Nishfu Sya‘ban) 1227 M., bersamaan dengan wafatnya al-Syaikh Abû al-Hajjaj al-Aqsyary Ra. yang dikenal sebagai Quthub al-Zaman pada waktu itu. Di kemudian hari, para ulama’ al-shiddiqin Mesir, berkeyakinan bahwa al-Syadzili ditetapkan oleh Allâh Swt. sebagai Wali Quthub menggantikan al-Syaikh Abû al-Hajjaj al-Aqsyary (Tanwir al-Ma‘ali fî Manaqib al-Syaikh ‘Ali Abi al-Hasan al-Syadzili, halaman: 17).
Kedatangan al-Syadzili di kota Iskandaria ini mendapatkan sambutan hangat dari Sultan Mesir, Malik Shaleh (w. 1249 M.), maupun penduduk yang sudah banyak mengenal dan mendengar namanya (al-Thuruq al-Shufiyyah fî Mishr Nasyatuha wa Nazhmuha wa Rawaduha, halaman: 200).
Tidak hanya orang-orang biasa, tapi juga segenap ulama, para shalihîn dan shiddîqîn, para ahli Hadis, ahli fiqh, dan manusia-manusia yang sudah mencapai tingkat kemuliaan lainnya. Mereka semua, dengan senyum kebahagiaan membuka tangan seraya mengucapkan, “Marhaban, ahlan wa sahlan! “
Pertemuan mereka dengan al-Syadzili tampak begitu akrab dan hangatnya, seakan-akan perjumpaan sebuah keluarga yang telah lama terpisah. Sebagaimana negeri Iraq, negeri Mesir juga merupakan gudangnya para ulama’ besar min al-shalihîn di wilayah itu.
Al-Syadzili diberi hadiah oleh sultan Mesir, Malik Shaleh (w. 1249 M.), sebuah tempat tinggal yang cukup luas bernama Burûj al-Sûr, (al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasyatuhâ wa Nazhmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 200). Tempat itu berada di kota Iskandaria, sebuah kota yang terletak di pesisir Laut Tengah.
Kota Iskandaria (Alexandria) terkenal sebagai kota yang amat indah, menyenangkan, dan penuh keberkahan. Di komplek pemukiman al-Syadzili itu terdapat tempat penyimpanan air dan kandang-kandang hewan. Di tengah-tengah komplek terdapat sebuah masjid besar, dan disebelahnya ada pula petak-petak kamar sebagai zawiyah (tempat tinggal para murid tarekat untuk ‘uzlah atau suluk) (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 37).
Di tempat itu pula al-Syadzili menikah dan membangun bahtera rumah tangga. Lahirlah beberapa putera dan keturunan, di antaranya: al-Syaikh Syihâbuddin Ahmad, Abû al-Hasan ‘Alî (w. 761 H./1404 M.) (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman 39), Abu Abdillah Muhammad Syarafuddin, Zainab, dan Arifatul Khair.
Sebagian putera-puterinya itu setelah menikah kemudian menetap di kota Damanhur, tidak jauh dari Iskandaria. Sedangkan sebagian lagi tetap tinggal di Iskandaria menemani al-Syadzili bersama ibunda mereka.
Seperti apa yang telah al-Syadzili lakukan selama di Tunisia, di negeri para ulama ini pun al-Syadzili juga tetap berdakwah dan mengajar. Al-Syadzili menjadikan kota Iskandaria yang penuh keberkahan ini sebagai pusat dakwah dan pengembangan tarekat pada tahun 642 H./1244 M (al-Thuruq al-Shûfiyyah fî Mishr Nasyatuhâ wa Nazhmuhâ wa Rawâduhâ, halaman: 196).
Al-Syadzili kemudian membangun sebuah masjid dengan menara-menara besar yang menjulang tinggi ke angkasa. Di salah satu menara itu al-Syadzili menjalankan tugas sebagai seorang guru mursyid, yaitu sebagai tempat untuk membai‘at murid-muridnya.
Adapun bagian menara yang lain ia pergunakan untuk menyalurkan hobinya selama ini, yaitu khalwat. Selain di Iskandaria, di kota Kairo pun, sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Mesir, al-Syadzili juga memiliki aktifitas rutin mengajar.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, majelis-majelis pengajian al-Syadzili dibanjiri pengunjung, baik dari kalangan masyarakat awam, keluarga dan petinggi kerajaan, maupun para ulama besar dan terkemuka.
Orang-orang alim dan saleh yang bertemu dan mengikuti penguraian dan pengajian-pengajiannya, yang datang dari barat maupun timur, mereka merasa kagum dengan apa yang disampaikan oleh al-Syadzili. Bahkan, tidak sampai berhenti disitu saja, mereka kemudian juga berbai‘at kepada al-Syadzili sekaligus menyatakan diri sebagai muridnya.
Dari deretan para ulama itu, terdapat nama-nama agung, seperti Sulthan al-‘Ulamâ’ Sayyid al-Syaikh ‘Izzuddîn bin ‘Abd al-Salâm (w. 1262 M.), al-Syaikh Islâmî bi Mishral Makhrusah, al-Syaikh al-Muhadditsîn al-Hafîdz Taqiyyuddîn bin Daqîqil ‘Ied, al-Syaikh al-Muhadditsîn al-Hafidz ‘Abd. al-‘Azhîm al-Mundziri (w. 1258 M.), dan al-Syaikh Ibnu al-Shalah, al-Syaikh Ibnu al-Hâjib (w. 1248 M.).
Selain itu juga al-Syaikh Jamaluddîn ‘Ushfur, al-Syaikh Nabihuddîn bin ‘Auf, al-Syaikh Muhyiddîn bin Suraqah, dan al-‘Alam Ibnu Yasin (salah satu murid terkemuka al-Imâm al-Akbar Sayyid al-Syaikh Muhyiddîn Ibnu al-‘Arabî, radhiyAllâhu ‘anh, wafat tahun 638 H./1240 M.), serta masih banyak lagi yang lainnya (Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, halaman 64).
Mereka semua hadir serta mengikuti dengan tekun dan seksama majelis pengajian yang sudah ditentukan secara berkala oleh al-Syadzili, baik di Iskandaria maupun Kairo. Di Kairo, tempat yang biasa dipergunakan al-Syadzili untuk berdakwah adalah di perguruan “al-Kamilah”.
Selain dakwah, syi’ar al-Syadzili juga melalui majelis-majelis pengajian, khususnya dalam bidang ilmu tasawuf, semakin berkembang dan mengalami kemajuan pesat, tarekat yang ia dakwahkan pun semakin berkibar (Mazhab Sufi, halaman: 47). Orang-orang yang datang untuk berbai‘at dan mengambil berkah tarekatnya datang dari segala penjuru dan memiliki latar belakang beraneka warna. Mulai dari masyarakat umum hingga para ulama’, para pejabat hingga rakyat jelata. zawiyah (pondok pesulukan), sebagai wadah penempaan rûhanî yang al-Syadzili dirikan pun kian hari semakin dipadati oleh santri-santrinya.
Tarekat yang ia terima dari gurunya, al-Syaikh ‘Abd. al-Salam bin Masyîsyi (w. 625 H/1228 M) (Mazhab Sufi, halaman: 46), ia dakwahkan secara luas dan terbuka (al-Tashawwuf wa al-Hayât al-‘Ishriyyah, halaman: 167). Sebuah tarekat yang mempunyai karakter tasawuf ala Maghribî, yaitu lebih memiliki kecenderungan dan warna syukur, sehingga bagi para pengikutnya merasakan dalam pengamalannya tidak terlalu memberatkan.
Dalam pandangan tarekat ini, segala yang terhampar di permukaan bumi ini, baik itu yang terlihat, terdengar, terasa, menyenangkan, maupun tidak menyenangkan, semuanya itu merupakan media yang bisa digunakan untuk “lari” kepada Allâh Swt.
Selain itu, tarekat yang al-Syadzili populerkan ini juga dikenal sebagai tarekat yang termudah dalam hal ilmu dan amal, ihwal dan maqâm, ilham dan maqal, serta dengan cepat bisa menghantarkan para pengamalnya sampai ke hadirat Allâh Swt. Di samping itu, tarekat ini juga terkenal dengan keluasan, keindahan, dan kehalusan do‘a dan hizib-hizibnya, (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islâm: Manifestasi, halaman: 38).
Di samping kiprah al-Syadzili dalam syi’ar dan dakwah serta pembinaan rûhanî bagi para murid-muridnya, al-Syadzili juga turut secara langsung terjun dan terlibat dalam perjuangan di medan peperangan (al-Tashawwuf wa al-Hayât al-‘Ishriyyah, halaman 167).
Ketika itu, raja Perancis Louis IX yang memimpin tentara Salib bermaksud membasmi kaum muslimin dari muka bumi sekaligus menumbangkan Islâm dan menaklukkan seluruh jazirah Arab. Al-Syadzili, yang kala itu sudah berusia 60 tahun lebih dan hilang penglihatan, meninggalkan rumah dan keluarga, berangkat ke kota al-Mansyurah.
Al-Syadzili bersama para pengikutnya bergabung bersama para mujâhidîn dan tentara Mesir. Sedangkan pada waktu itu pasukan musuh sudah berhasil menduduki kota pelabuhan Dimyat (Demyaat) dan akan dilanjutkan dengan penyerbuan mereka ke kota al-Mansyurah.
Tidak sedikit para ulama Mesir yang turut berjuang dalam peristiwa itu, antara lain al-Imam Syaikh ‘Izzu al-Dîn bin ‘Abd al-Salâm, Syaikh Majduddîn bin Taqiyyuddîn ‘Alî bin Wahhab al-Qusyairi, Syaikh Muhyiddîn bin Suraqah, dan Syaikh Majduddîn al-Ikhmimi.
Para shalihîn dan ulama’ min al-Shiddiqîn itu, di waktu siang hari berpeluh bahkan berdarah-darah di medan pertempuran bersama para pejuang lainnya demi tetap tegaknya panji-panji Islâm. Sedangkan, apabila malam telah tiba, mereka semua berkumpul di dalam kemah untuk bertawajjuh, menghadapkan diri kepada Allâh Swt., salat dan berdo‘a dan bermunajat kepada “Sang Penguasa” agar kaum muslimin memperoleh kemenangan.
Setelah selesai mereka beristighatsah, di tengah kepekatan malam, mereka kemudian mengkaji dan mendalami kitab-kitab, terutama yang dinilai ada hubungannya dengan situasi pada saat itu. Kitab-kitab itu antara lain: Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, Qûth al-Qulûb, dan al-Risâlah (Thabaqât al-Syadziliyyah al-Kubrâ al-Musammâ Jâmi’ al-Karâmât al-‘Aliyyah fî Thabaqât al-Sâdah al-Syadziliyyah, halaman: 72).
Karena anugerah Allah jualah akhirnya peperangan itu dimenangkan oleh kaum muslimin. Raja Louis IX beserta para panglima dan bala tentaranya berhasil ditangkap dan ditawan. Perlu diketahui, sebelum berakhirnya peperangan itu, pada suatu malam al-Syadzili, dalam mimpinya, bertemu dengan Rasûlullâh Saw. Pada waktu itu, Rasûlullâh Saw. berpesan kepada al-Syadzili supaya memperingatkan Sultan agar tidak mengangkat pejabat-pejabat yang zalim dan korup.
Rasûlullâh menyampaikan bahwa pertempuran akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin. Pada pagi harinya al-Syadzili pun mengabarkan berita gembira itu kepada teman-teman seperjuangannya. Kenyataannya, setelah pejabat-pejabat tersebut diganti, kemenangan pun datang.
Peristiwa berjayanya kaum muslimin itu terjadi pada bulan Dzul Hijjah tahun 655 H./1257 M. Usai peperangan itu al-Syadzili lalu kembali ke Iskandaria. Al-Syadzili menjalankan dakwah dan mensyi‘arkan tarekatnya di negeri Mesir itu sampai pada bulan Syawwal 656 H./1258 M (Qadhiyyah al-Tashawwuf al-Madrasah al-Syadziliyyah, halaman: 42).
Sumber: Alif.ID