Ngaji bersambung kitab Sabilus Salikin sudah sampai bagian ke-11. Pada edisi lalu, dibicarakan tentang mursyid sebagai satu dari sejumlah unsur tarekat, serta tugas mursyid sebagai pemandu jalan. Tugas mursyid yang lain adalah sebagai khalifah rasul. Menjadi mursyid tentulah tidak mudah dan ada kualifikasinya, yang juga dijabarkan di edisi ke-11 ini.
Imam-imam Hadis, selain al-Bukhari dan Muslim, meriwayatkan sebuah hadis perpisahan yang di dalamnya antara lain Nabi SAW bersabda:
… عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ….
Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah al-khulafa al-RAsyidin yang memperoleh petunjuk; berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dan ‘gigitlah’ sunnah-sunnah itu dengan gigi geRAham kalian, (Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqât al-Ashfiya’, juz 1, halaman: 18, Sunan al-Kubrâ lil Baihaqi, juz 10, halaman:114).
Dalam Hadis itu tampak bahwa sunnah Nabi SAW disandingkan dengan sunnah para khalifah (pengganti) beliau; kedua jenis sunnah ini sama-sama wajib diikuti dan dipegangi secara teguh oleh setiap mukmin. Ini menunjukan bahwa sunnah al-khulafa al-Rasyidun adalah sunnah yang suci sebagaimana Sunnah Nabi SAW sendiri. Tidak mungkin Nabi SAW memerintahkan mengikuti sunnah mereka apabila sunnah itu mengandung cacat atau hal-hal yang bertentangan dengan syaRA.
Siapakah sesungguhnya yang dimaksud dengan al-Khulaf al-Rasyidun itu? Selama ini ungkapan al-Khulafa al-Rasyidun dipahami sebagai pengganti Nabi SAW di bidang politik, yaitu sebagai kepala negara atau pemerintahan Islam yang bertanggung jawab atas semua urusan politik umat. Mereka adalah Abu Bakar al-Shiddiq RA., Umar bin al-Khattab RA., Utsman Ibn Affan RA., dan Ali bin Abi Thalib RA.
Belakangan nama Amirul Mukminin Umar Ibn Abd al-Aziz RA. diposisikan sebagai khalifah kelima dan sekaligus terakhir dari al-Khulafa al-Rasyidun, sehingga secara keseluruhannya al-Khulafa al-Rasyidun dalam pengertian ini hanya berjumlah lima orang. Tetapi di samping pengertian sebagai pengganti Nabi SAW di bidang politik, pengertian al-Khulafa al-Rasyidun juga dapat ditinjau dari segi spiritual, sebab Nabi SAW tidak sekedar sebagai kepala negara atau pemerintahan melainkan juga sebagai Nabi dan Rasul yang membawa misi tauhid dan ubudiah serta penyempurnaan akhlak yang mulia.
Beliau adalah pemimpin spiritual yang oleh Alquran digambarkan memiliki tugas-tugas:
- Membacakan kepada umat ayat-ayat Allâh SWT
- Menyucikan kalbu mereka.
- Mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ ﴿١٦٤﴾
Sungguh Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Ali Imrân: 164).
Tugas-tugas seorang khalifah sudah sepatutnya sesuai dengan tugas-tugas Nabi SAW sebagai seorang Rasul, yaitu ta’lim (mengerjakan al-Kitab dan al-Hikmah) dalam kerangka tauhid, ubudiyah, dan penyempurnaan akhlak yang mulia. Dengan pengertian kedua ini, al-Khulafa al-Rasyidin pada dasarnya menunjuk kepada ulama yang oleh Nabi SAW diposisikan sebagai waratsah al-Anbiyâ’ (ahli waris para Nabi), dan satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi SAW atau Nabi-Nabi lainnya tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan al-Ilm (ilmu) :
وَإنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأنْبِيَاءِ ، وَإنَّ الأنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِينَاراً وَلاَ دِرْهَماً وَإنَّمَا وَرَّثُوْا العِلْمَ، (صحيح ابن حبان، ج 1، ص: 289)
Allah Berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ ﴿٣٢﴾
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allâh. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar, (Fathir, 35:32).
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّ رِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴿٤٣﴾
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, (al-Nahl, 16:43).
وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيهَا وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَن فِي الْقُبُورِ ﴿٧
Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui, (al-Anbiya, 21:7).
Ciri khas mereka adalah bahwa mereka tidak pernah meminta upah atas upaya dakwah mereka karena Nabi SAW juga tidak meminta upah atas dakwah beliau
وَمَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ ﴿١٠٤﴾
Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam, (Yusuf, 12: 104).
Dan Allâh SWT memerintahkan agar mengikuti orang-orang yang tidak pernah meminta upah seperti mereka.
اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ ﴿٢١﴾
Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk, (Yâsin, 36:21).
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا ﴿٥٧﴾
Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (menghaRApkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya, (al-Furqân 25:57).
Dengan warisan ciri khas semacam ini mereka layak menyandang gelar khalifah (pengganti) Rasul yang sekaligus sebagai penegak hujjah Allâh, dan jumlah mereka tentu tidak hanya lima orang meskipun juga tidak banyak.
Sebagai hamba-hamba pilihan Tuhan, jumlah mereka memang sedikit sebagaimana ditegaskan oleh sayyidina Ali Ibn Thalib RA. ketika berkata kepada Kuhail ibn Ziyad, Demi Allâh SWT, sungguh bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang menegakkan hujjah-hujjah Allâh SWT agar tanda-tanda kebesaran-Nya tidak hilang dan hujjah-Nya tidak terbantahkan. Mereka adalah orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit, namun sangat agung dan terhormat di sisi Allâh SWT.
Bahwa al-Khulafa al-Rasyidin yang dimaksud oleh Nabi SAW lebih terkait dengan khalifah-khalifah spiritual daripada khalifah-khalifah di bidang politik dapat disimak pula dari kenyataan bahwa Umar bin al-Khattab RA. dan beberapa sahabat lainnya ternyata masih diperintahkan oleh Nabi SAW agar menemui dan meminta syafaat kepada Uwais al-Qarni RA., seorang laki-laki dalam Hadis riwayat Imam Muslim disebut sebagai Khayr al-Tabiin, orang terbaik di antara orang-orang yang hidup pada masa sahabat;
عن عمر رضي الله عنه، قَالَ: إنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُوْلُ: إنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسٌ، وَلَهُ وَالِدَةٌ وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ، فَمُرُوهُ، فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 240، تذكرة الأولياء، ص: 49)
Sesungguhnya tabiin terbaik adalah seseorang yang bernama Uwais; dia hanya punya seorang ibu dan juga punya penyakit kusta; maka mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampunan kepada Allâh SWT untuk kalian, (Riyâdh al-Shâlihîn, juz 1, halaman: 240, TadzkiRAt al-Auliyâ’, halaman: 49).
Berkaitan dengan diri Uwais al-Qarni RA. inilah, dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abu Hurairah RA., disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّيْ لَأَجِدُ نَفَسَ الرَّحْمَنِ مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ
Aku mencium nafas tuhan yang Maha Rahman dari arah tanah Yaman, (Syaikh Ismail haqqi bin Musthofa al-Khalwati al-Barsawi, Tamâm al-Faidh fi Bâbi al-Rijâl. Libanon: Dar Kutub al-Ilmiyah, 2010. halaman: 18)
Nafas al-Rahman yang dimaksudkan dalam hadis tersebut adalah Uwais al-Qarni. Dia adalah wali Allâh SWT yang paling besar pada masanya; disembunyikan oleh Allâh SWT di tengah-tengah rakyat jelata sehingga orang-orang tidak mengetahuinya dan bahkan sering mengejeknya. Dia berasal dariku dan aku berasal darinya, kata Rasulullah SAW (al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khithab, juz 1, halaman:113).
Ungkapan Rasul ini menunjukan kepada hubungan spiritual antara Uwais al-Qarni RA. dan Nabi SAW meskipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.
Sifat dan Syarat (kualifikasi) Mursyid
Dengan menyimak misi, tugas-tugas, dan ciri khas dakwah Rasulullâh SAW dan para khalifah (pengganti) beliau dapat dipahami bahwa tidak setiap ulama’ dapat serta-merta menjadi Mursyid terutama dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dan guru spiritual, karena diantara ulama ada pula bahkan banyak sekali yang sekedar berbaju ulama tetapi prilakunya justru bertentangan dengan esensi ulama’ itu sendiri, yaitu takut kepada Allâh SWT sebagaimana diisyaratkan Alquran:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَلِكَ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ ﴿٢٨﴾
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allâh di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allâh Maha perkasa lagi Maha Pengampun, (Fathir, 35:28).
Di antara mereka banyak pula yang terbuai oleh harta dan kenikmatan duniawi; mereka tidak berdakwa kecuali upah yang akan diperolehnya sudah jelas. Ulama’ semacam ini oleh Imam al-Ghazali disebut dengan ulama dunia atau ulama’ su’ (jahat) : Di antara perkara-perkara yang paling penting adalah mengetahui tanda-tanda yang membedakan antara ulama’ dunia dan ulama’ akhirat. Yang dimaksud dengan ulama’ dunia di sini adalah ulama’ su’ yang bertujuan mengejar kenikmatan dunia serta memburu kehormatan dan kedudukan di antara ahli ilmu, (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 1, halaman: 58).
Oleh karena itu ketika berbicara tentang kualifikasi seorang Mursyid, Imam al-Ghazali menjadikan kebebasan dari kecintaan terhadap harta dan kedudukan sebagai kriteria awal:
Mursyid adalah orang yang:
- Dari batinnya sudah keluar kecintaan terhadap harta dan kedudukan.
- Format pendidikannya berlangsung di tangan seorang Mursyid juga, dan begitulah seterusnya hingga silsilah itu berakhir pada Nabi SAW
- Mengalami riyadhah (latihan jiwa) seperti sedikit makan, bicara, dan tidur, serta banyak melakukan salat, sedekah dan puasa.
- Memperoleh cahaya dari cahaya-cahaya Nabi SAW
- Terkenal kebaikan biografinya dan kemulian akhlaknya seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, damai, dermawan, qanaah, amanah, lemah lembut, rendah hati, berilmu, jujur, berwibawa, malu, tenang, tidak tergesa-gesa, dan lain sebagainya.
- Suci dari akhlaq yang tercela seperti sombong, kikir, dengki, tamak, beRAngan-angan panjang, gegabah dan lain sebagainya.
- Bebas dari ekstremitas orang-orang yang ekstrem.
- Kaya dengan ilmu yang diperoleh langsung dari Rasulullah SAW sehingga tidak membutuhkan ilmu orang-orang yang mengada-ada (Ilm al-Mukallafin), (Khulashah al-Tashanif al-Tasawuf dalam Majmu Rasail al-Imam al-Ghazali, halaman: 173).
Sedikit berbeda dari Imam al-Ghazali, al-MukarRAm Saidi Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya mengumumkan kualifikasi sebagai berikut:
- Pilih Guru yang Mursyid, dicerdikan oleh Allâh SWT, bukan dicerdikan oleh yang lain-lain, dengan izin dan ridha Allâh SWT, karena Allâh SWT
- Yang kamil mukamil (sempurna dan menyempurna), diberi karunia oleh Allâh SWT, karena Allâh SWT
- Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau mendoa berbekas pada si murid, si murid berobah kearah kebaikan), berbekas pengajarannya itu, dengan izin dan ridha Allâh SWT, biidznillâh.
- Yang masyhur kesana kemari, kawan dan lawan mengatakan, ia seorang Guru Besar.
- Yang tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yaitu tidak dapat dicela oleh Hadis dan Alquran dan oleh ilmu pengetahuan (tidak bersalah-salahan dengan Hadis, Alquran dan akal).
- Tidak setengah kasih kepada dunia, karena bulatnya hatinya, kasih kepada Allâh. Ia ada giat bergeloRA dalam dunia, bekerja hebat dalam dunia, tetapi bukan karena kasih kepada dunia itu, tetapi karena prestasinya itu adalah sebagai abdinya kepada Allâh SWT dalam hidupnya.
- Mengambil ilmu dari Polan yang tertentu; Gurunya harus mempunyai tali yang nyata kepada Allâh dan Rasul dengan silsilah yang nyata, (Ibarat Sekuntum Bunga dari Taman Firdaus, halaman: 173).
Dalam kitab Mutammimat, halaman 74, Nabi SAW mengajarkan kalimat thayyibah kepada para sahabat agar hati mereka jernih dan bersih jiwanya, dan selanjutnya bisa sampai kepada Allâh SWT dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi bagi orang yang berdzikir itu tidak bisa menghasilkan hati yang jernih dan jiwa yang bersih, dan juga tidak bisa menghasilkan inti dari dzikir kecuali berguru kepada seseorang yang alim yang mengamalkan ilmunya dengan sempurna dan yang memahami makna Alquran dan kitab-kitab agama, serta memahami ilmu Hadis dan sunnah, juga mengerti tentang akidah dan ilmu wushul. Serta silsilahnya sampai kepada Nabi SAW Orang yang memiliki sifat seperti inilah yang harus dijadikan guru, karena mencari guru itu harus teliti dan serius.
Bagi seorang mursyid disyaratkan beberapa hal sebagai berikut:
- Memahami apa yang dibutuhkan oleh para sâlik, seperti ilmu fiqih dan akidah, yang sekiranya dapat memalingkan sâlik ketika mengawali suluknya sehingga sâlik tidak bertanya kepada selain mursyid.
- Mengetahui terhadap kesempurnaan-kesempurnaan hati, tata kRAma hati, kerusakan jiwa dan penyakit-penyakitnya, serta cara memelihara hati yang telah sehat dan stabil.
- Lemah lembut, penyayang terhadap muslim, khususnya pada para murid sâlikin. Ketika sang mursyid melihat para muridnya tidak mampu untuk melawan hawa nafsu dan meninggalkan kebiasaannya, maka hendaknya sang mursyid memberi toleransi kepada mereka setelah memberi nasihat, tidak memutus mereka dari bimbingannya, dan tidak menjadikan hal tersebut sebagai penyebab celaka mereka di hari kemudian, serta selalu menemani mereka sampai mereka memperoleh hidayah.
- Menutupi aib-aib para murid yang diketahui oleh mursyid
- Menjaga diri dari harta sâlik, dan tidak tamak pada apa yang dimiliki oleh mereka
- Melakukan apa yang diperintahkan oleh mursyid, dan meninggalkan apa yang dilarangnya (uswah), sehingga ucapannya memiliki pengaruh pada hati para muridnya
- Tidak duduk (bercakap-cakap) bersama-sama para muridnya, kecuali sesuai kadar kebutuhan, dan menyampaikan masalah tarekat dan syari’at seperti menelaah kitab ini (Tanwîr al-Qulûb), agar jiwa mereka bersih dari bisikan-bisikan yang kotor, dan mereka dapat beribadah dengan sempurna.
- Ucapannya harus murni dan bersih dari kejelekan hawa nafsu, guRAuan, dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat.
- Tolerir terhadap hak dirinya, yakni tidak mengharap untuk dihormati dan dimuliakan. Tidak pula memaksakan haknya yang tidak mampu dilaksanakan para muridnya, tidak menetapkan amal yang membuat mereka bosan, tidak terlalu menampakkan kebahagiaan dan kesedihan, dan tidak pula menyulitkan mereka.
- Jika sang mursyid menyaksikan dari salah seorang muridnya bahwa dengan sering duduk bersama murid, keagungan mursyid menjadi hilang dalam hati murid, maka sang mursyid memerintahkannya untuk berkhalwat menyendiri di tempat yang tidak terlalu jauh dari sang mursyid.
- Jika mursyid mengetahui bahwa harga dirinya dalam hati salah seorang muridnya runtuh, maka hendaknya sang mursyid memalingkan muridnya dengan lemah lembut.
- Tidak lengah untuk selalu membimbing muridnya menuju ahwâl-nya yang baik.
- Jika salah seorang muridnya ada yang bermimpi sesuatu, atau mengalami mukâsyafah atau musyâhadah, maka hendaknya sang mursyid tidak membicarakannya dengan murid tersebut, namun memberinya amalan yang bisa melindungi dirinya dari keburukan mimpi tersebut, dan bisa mengangkat derajatnya menjadi lebih luhur dan mulia. Karena jika mursyid membicarakan dan menjelaskan hal tersebut kepada muridnya, maka sang mursyid telah melanggar hak murid, sehingga menjadikan murid melihat dirinya memiliki derajat yang luhur, dan bisa menjatuhkan derajat diri murid sendiri.
- Melarang muridnya untuk tidak berbicara dengan orang yang tidak termasuk kawan suluknya, kecuali sangat penting. Juga melarang muridnya untuk tidak membicarakan dengan sesama kawan suluknya tentang kemuliaan-kemuliaan yang mereka peroleh. Karena jika mursyid membiarkan hal tersebut, maka sang mursyid telah melanggar hak murid sehingga menjadikan mereka takabbur.
- Membuat tempat khalwat untuk digunakan sâlik menyendiri di dalamnya, yang sekiranya tidak ada yang bisa masuk ke dalamnya kecuali orang-orang tertentu. Dan tempat khalwat lain untuk dijadikan tempat berkumpulnya murid dengan para murid suluk lainnya.
- Tidak memperlihatkan aktifitas-aktifitas dan rahasia-rahasia sang mursyid kepada muridnya, tidak pula tidur, makan, dan minum di depan muridnya. Karena dengan hal itu, bisa jadi kemuliaan sang mursyid menjadi berkurang di mata murid yang masih lemah dalam memahami orang-orang yang telah mencapai kesempurnaan. Dan hendaknya, mursyid menahan muridnya yang bertindak memata-matai, dengan tujuan agar murid memperoleh kebaikan.
- Tidak memperkenankan murid untuk banyak makan sehingga meng-hancurkan segala sesuatu yang telah dilakukan oleh sang mursyid bagi muridnya, karena kebanyakan manusia menuruti keinginan perutnya.
- Melarang teman-teman mursyid untuk duduk bersama dengan mursyid yang lain, karena hal ini sangat membahayakan bagi murid. Namun, jika mursyid berkeyakinan bahwa muridnya memiliki keteguhan cinta kepada dirinya dan tidak khawatir hati muridnya goncang, maka hal ini tidak apa-apa.
- Menjaga diri untuk tidak mondar-mandir mendatangi para pemimpin dan pejabat, agar para muridnya tidak menirunya, sehingga sang mursyid menanggung dosa dirinya dan dosa murid-muridnya, karena ini termasuk dalam Hadis:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا . رواه مسلم والترمذي
Barangsiapa melakukan tradisi yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya.
Pada umumnya, orang yang dekat dengan para pemimpin dan pejabat, sulit baginya untuk mengingkari perbuatan munkar yang dilakukan oleh para pemimpin dan pejabat yang dilihatnya. Jika sudah demikian, dengan sering berkecimpungnya mursyid dengan mereka, seakan-akan dia menyetujui terhadap kemunkaran (yang mereka lakukan).
- Ucapannya kepada murid-muridnya harus lemah lembut, menjaga diri dari perkataan kotor dan perkataan yang mencela mereka, agar hati mereka tidak lari darinya.
- Ketika salah seorang murid memanggilnya, lalu sang mursyid menjawabnya, maka sebaiknya jawaban sang mursyid itu tetap menjaga kehormatan dan kewibawaannya.
- Jika sang mursyid duduk di antara murid-muridnya, maka hendaknya dia duduk dengan tenang penuh wibawa, tidak banyak menoleh pada mereka, tidak tidur di depan mereka, tidak menjulurkan kaki, menundukkan pandangan, melirihkan suara, dan tidak merendahkan etikanya pada mereka. Pada hakikatnya para murid itu meyakini terhadap semua sifat yang terpuji, dan mengambilnya (sebagai contoh).
- Jika seorang murid mendatanginya, maka mursyid tidak berwajah muRAm. Dan ketika hendak mengakhiri (perbincangannya dengan murid), hendaknya sang mursyid mendoakannya tanpa permintaan dari murid. Dan ketika mursyid mendatangi salah seorang muridnya, maka mursyid harus dalam keadaan dan kondisi yang paling sempurna.
- Ketika salah seorang muridnya tidak ada, maka mursyid mencarinya dan mencari tahu apa penyebabnya. Jika murid itu sakit, mursyid menjenguknya. Jika murid itu sedang membutuhkan bantuan, maka sang mursyid menolongnya. Jika murid itu memiliki masalah, maka mursyid mendo’akannya.
Secara global, satu kalimat yang menyimpulkan seluruh etika mursyid di atas adalah mursyid harus mengikuti prilaku Rasulullah SAW yang ada pada diri sahabat-sahabat beliau SAW dengan sekuat tenaga, (Tanwîr al-Qulûb, halaman: 525).
Sumber: Alif.ID