07. Tarekat, Cara Mengamalkan Syariah

Dengan mengacu pada uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa tarekat atau thariq al-shafiyyah (jalan para sufi) pada hakikatnya adalah: jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasul dalam merealisasikan penghambaan diri dan tauhid yang murni dengan cara mengosongkan kalbu dari hal-hal selain Allâh, serta memenuhinya dengan dzikrullah dalam setiap keadaan (berdiri, duduk, dan berbaring).

Dasarnya:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٩١

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allâh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka, (Q.S. Ali Imrân 3:191)

Dengan kata lain, tarekat pada dasarnya adalah “pengamalan syariah dalam kerangka tauhid dan ubudiyah.”

Di dalam janji Alquran yang seringkali terdengar kumandangnya di mimbar-mimbar adalah bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (Khair Ummat Ukhrijat li al-Nas)

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ ﴿١١٠

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik, (Q.S. Ali Imran, 3:110)

Dan sekaligus umat pilihan yang adil untuk menjadi saksi atas manusia (ummat wasathan litakuna syuhada li al-nas)

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنتَ عَلَيْهَا إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللهِ وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللهََ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٤٣

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia, (Q.S. Al-Baqarah, 2:143).

Agama mereka pun merupakan agama yang tidak tertanding dalam semua aspek sebagaimana ditegaskan oleh Nabi SAW:

وقال: الْإِسْلَامُ يَعْلُوْ وَلَا يُعْلَى عَلَيْهِ،  )صحيح البخاري ، 1/ 454)

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih darinya, (Shahîh al-Bukhâri, juz 1, halaman: 454).

Hal ini sekaligus mengandung arti bahwa umat Islam juga tidak tertandingi. Kenyataanya, hingga saat ini umat Islam masih terpuruk dan lebih banyak menjadi penonton daripada pemain di panggung peradaban.

Pernyataan Alquran,

(كَم مِّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَ اللهُ مَعَ الصَّابِرِينَ ﴿٢٤٩

Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar, ( Q.S. al-Baqarah, 2:249).

Justru sekarang lebih banyak berlaku untuk umat yang lain daripada umat Islam sendiri yang notabene merupakan mayoritas. Hal ini tiada lain karena umat Islam hanya terpaku pada formalitas agama (fikih atau syariah dalam arti sempit) yang saat ini justru selalu menjadi sumber khilafiah berkepanjangan.

Pada umumnya mereka mengamalkan syariah tanpa melibatkan tarekat, padahal di dalam tarekat sebagaimana ditegaskan dan dibuktikan oleh al-Mukarram Said Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya-tersembunyi apa yang oleh beliau disebut “teknologi Alquran,” suatu teknologi yang mampu melahirkan energi ketuhanan yang maha dahsyat sebagai sumber senjata untuk mengusir iblis la’natullah, musuh paling nyata setiap mukmin, sehingga pada gilirannya mereka mampu menegakkan shalat al khasyi’in yang juga menjadi kunci mutlak kemenangan itu sendiri.

Syari’at, tarekat, dan hakikat adalah tiga hal yang memiliki hubungan yang sangat kuat, yang salah satu dari ketiganya tidak bisa diabaikan.

Ibarat lautan yang di dalamnya terdapat mutiara yang amat besar dan indah. Untuk bisa mencapai dan mengambil mutiara tersebut, tentu kita membutuhkan kapal. Untuk mencapai dan memperoleh mutiara hakikat itu, kita butuh kapal syari’at untuk mengarungi lautan tarekat dengan selamat.

Perumpamaan lainnya, syari’at adalah pohon, tarekat adalah dahannya, dan hakikat adalah buahnya. Barangsiapa hidup hanya bersyariat tanpa berhakikat, maka sia-sia. Barangsiapa hanya berhakikat tanpa bersyariat, maka kerusakan baginya. Lebih jelasnya hal ini termaktub dalam kitab Tanwîr al-Qulûb, halaman: 408-409

Dalam sebuah syair disebutkan:

فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَطَرِيْقَةٌ * كَالْبَحْرِ وَحَقِيْقَةٌ دُرٌّ غَلَا

Syariat bagaikan kapal, tarekat bagaikan lautan, dan hakikat bagaikan intan yang mahal, (Kifâyah al-Atqiyâ’, halaman: 9)

Dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman 324 disebutkan pula bahwa orang-orang ahli dhahir adalah mereka yang ahli syariat, dan orang-orang ahli batin adalah mereka yang ahli hakikat. Keduanya menetapi hakikat, karena jalan menuju Allâh al-Haqq di dalamnya terdapat hal yang dhahir dan yang bathin. Yang dhahir dari jalan itu adalah syariat, dan bathinnya adalah hakikat. Bagian inti hakikat terdapat dalam syariat, layaknya bagian inti dari keju itu terdapat pada susu. Tanpa adanya kemurnian susu, maka tak akan terbentuk keju.

Dengan demikian, maksud dari hakikat dan syariat adalah melaksanakan ubudiyah dengan cara yang diridhai. Tiap syariat yang tidak disertai hakikat, maka syariat itu rusak. Dan tiap hakikat yang tidak disertai syariat, maka hakikat itu batal. Syariat itu benar, dan hakikat itu adalah hakikat bagi syariat. Syariat adalah menjalankan perintah Allâh, dan hakikat adalah menyaksikan (dengan dzat Allâh) dalam perintah-Nya. (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’, halaman: 324)

Tarekat, Jalan Menuju Makrifat

Pengamalan tarekat akan membuahkan apa yang disebut dengan haqîqah, dan jalan tritunggal syarîat-tarekat-hakikat, pada gilirannya akan membuahkan al-ma’rifah billah (mengenal Allâh) yang oleh Nabi SAW disebut sebagai “pangkal ilmu” (RA’s al-‘Ilm) (Musnad al-Rabi, halaman: 311), bahkan juga “pangkal harta atau modal “ (RA’s al-Mal). (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman: 7), semuanya tertuang secara ringkas dalam sabda Nabi SAW:

الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ

1532: Syariah adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, haqiqah adalah keadaan (batin)-ku, dan marifah adalah pangkal harta (modal)-ku, (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman :7).

Mengenal Allâh (al-makrifah billah) merupakan tujuan utama penciptaan makhluk. Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan:

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقَتُ الْخَلْقَ لِيَعْرِفُوْنِى

Dulu Aku adalah mutiara yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal; maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku, (Abjad al-Ulum, Juz 2, halaman: 159).

Menurut al-Qari isi Hadis tersebut sesuai dengan firman Tuhan.

(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku, (QS. Adz-Dzariyat, 51:56)

Ungkapan li ya’buduni atau “agar mereka mengabdi kepada-Ku” oleh Ibn Abbas ditafsirkan dengan li ya’Rafuni yaitu agar mereka mengenal-Ku’, (Kasyf al-Khafa, juz 2, halaman: 173).

وقال مجاهد: إلا ليعرفوني. وَهَذَا أَحْسَنُ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَخْلُقْهُمْ لَمْ يُعْرَفْ وُجُوْدُهُ وَتَوْحِيْدُهُ، (تفسير البغوي، ج 7 ، ص: 380)

Penafsiran li ya’buduni dengan li ya’RAfuni dikemukakan juga oleh para mufassir lainnya seperti Mujahid yang dikutip oleh al Tsa’alibi dalam Jawahir al-Hisan fi Tafsir Alquran, al-Baghawi dalam Ma’alim al Tanzil, dan al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam Alquran, Abu al-Saud dalam Tafsir-nya, Ibn Juraij yang dikutip oleh Ibn Katsir dalam Tafsir-nya, dan juga Imam al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani.

Mengenal Allâh SWT merupakan keharusan bagi seorang hamba yang ingin kembali kepada-Nya. Mengenal Allâh SWT juga berarti mengenal jalan kembali kepada-Nya. Jalan kembali ini pulalah yang sebenarnya juga disebut dengan tarekat, yaitu jalan yang memang disiapkan secara khusus untuk ditempuh oleh hati (qalb), jiwa (nafs) atau ruh (ruh), tiga istilah yang menunjuk kepada satu makna yang dalam bahasa Imam al-Ghazali disebut dengan lathifah RAbbaniyyah (yaitu Dzat Mahahalus yang dinisbatkan kepada Allâh Swt). (Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 3, halaman: 3-4)

Dzat yang sangat halus tersebut adalah unsur yang asal penciptaannya berasal dari Allâh SWT sebagaimana tersiRAt dari firman Allâh SWT, “nafakhtu fihi min ruhi” (setelah Kutiupkan kepadanya sebagian ruh-Ku).

(فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِينَ ﴿٢٩

Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, (Q.S. al-Hijr, 15:29).

(فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ ﴿٧٣

Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya, (QS. Shad, 38:72).

Unsur inilah yang mampu mencapai prestasi al-ma’rifah billah (mengenal Allâh) dan ia pulalah yang kelak kembali ke “asal”-nya (Allâh ‘azza wa jalla).

Persoalan mengenal Allâh SWT dan jalan kembali kepada-Nya ini sudah harus diselesaikan di dunia ini. Jika di dunia seseorang tidak mengenal Allâh SWT dan jalan kembali kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah, setidak-tidaknya sangat sulit untuk kembali kepada Tuhannya; artinya, ia tidak akan masuk ke dalam golongan yang dipanggil oleh Allâh SWT dengan firman-Nya:

 (يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, serta masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam sorga-Ku, (Q.S. al-Fajr, 89:27-30).

Dalam kaitan ini pulalah Allâh SWT menegaskan:

(وَمَن كَانَ فِي هَـذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الآخِرَةِ أَعْمَى وَأَضَلُّ سَبِيلاً ﴿٧٢

Barangsiapa di dunia buta (mata batinnya), maka dia di akhirat akan lebih buta lagi dan tersesat jalannya, (QS. al-Isra, 17:72)

Sumber: Alif.ID

Sabilus Salikin

Mulai Perjalanan

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Buku Lain

Rekomendasi

Di sejumlah pesantren salafiyah, buku ini (Tanwir al-Qulub) biasanya dipelajari bersamaan dengan kitab-kitab fikih. Yang sedikit membedakan, kitab ini ditulis oleh seorang pelaku tarekat sekaligus mursyid dari tarekat Naqsyabandiyah.

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load

Tingkatan Alam Menurut Para Sufi

“Tingkatan Alam Menurut Para Sufi” فَإِذَا سَوَّيْتُهُۥ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُّوحِى فَقَعُوا لَهُۥ سٰجِدِينَ “Maka…

Islam, Iman dan Ihsan

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى…

Hidup Ini Terlalu Singkat

Postingan yg indah dari Bunda Amanah: Bismillahirrahmanirrahim. “Hidup ini Terlalu Singkat” Oleh: Siti Amanah Hidup…
All articles loaded
No more articles to load

Mengenal Yang Mulia Ayahanda Guru

Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin al-Khalidi qs.

Silsilah Kemursyidan

Dokumentasi

Download Capita Selecta

Isra' Mi'raj (Rajab)

26 Jan - 05 Feb

Ramadhan

30 Mar - 09 Apr

Hari Guru & Idul Adha

20 Jun - 30 Jun

Muharam

27 Jul - 06 Ags

Maulid Nabi

28 Sep - 08 Okt

Rutin

30 Nov - 10 Des

All articles loaded
No more articles to load
All articles loaded
No more articles to load
All articles loaded
No more articles to load

Kontak Person

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Abangda Teguh

Kediri, Jawa Timur

Abangda Tomas

Pangkalan Bun 

Abangda Vici

Kediri, Jawa Timur

WhatsApp
Facebook
Telegram
Twitter
Email
Print

Daftar Isi