5. Rezeki
Al-Wasithy ditanya soal kufur bagi dan kepada Allah. Jawabnya: “Kufur dan iman, dunia dan akhirat, dari Allah kepada Allah, bersama Allah dan bagi Allah. Dari Allah sebagai permulaan dan awal pemunculan, dan kepada Allah sebagi tempat kembali dan pangkalnya, bersama Allah baqa’ dan fana’, dan bagi Allah kerajaan dan ciptaan.
Dikatakan oleh al-Junayd, bahwa sebagaian ulama bertanya soal tauhid. Kemudian dijawab oleh al-Junayd: “Tauhid adalah keyakinan.” “Jelaskan padaku apa tauhid itu? Demikian kata si penanya. “Tauhid adalah ma’rifat Anda, bahwa segala gerak makhluk dan diamnya merupakan pekerjaan Allah Ta’ala, Dia Maha Esa tidak berkawan. Apabila Anda sudah berpandangan demikian, Anda telah mentauhidkan-Nya.” Jawab Junayd.
Seseorang datang kepada Dzun Nun minta didoakan: “Doakan aku!.” Kata orang tersebut. “Kalau Anda benar² mantap dalam ilmu ghaib melalui kebenaran tauhid, maka doa pasti dikabulkan. Jika tidak demikian, suatu doa tidak mungkin bisa menyelamatkan orang tenggelam.” Jawab Dzun Nun.
Abul Husain an-Nury berkata: “Tauhid adalah segala bisikan yg mengisyaratkan kepada Allah, bahwa dia bebas dari campur tangan unsur keserupaan.”
Sedangkan Abu Ali ar-Ridzbary ketika ditanya soal tauhid, menjelaskan: “Tauhid adalah istiqamah kalbu dengan penetapan terhadap suatu pemisahan pada penyimpangan dan pengingkaran terhadap keserupaan. Tauhid melebur dalam satu kalimat, yaitu: Setiap yg tergambar oleh khayal dan pikiran, maka Allah Ta’ala pasti berbeda dengan khayalan dan pikiran itu.” Karena firman Allah Ta’ala:
“Tidak ada sesuatu pun yg menyamai-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura : 11).
Abul Qasim an-Nashr Abadzy berkata: “Surga abadi dengan keabadian yg diabadikan-Nya, ingatan-Nya kepadamu, rahmat dan mahabbah-Nya kepadamu, abadi dengan keabadian-Nya, dua hal yg berbeda, sesuatu yg abadi karena abadi-Nya, dan sesuatu yg abadi karena diabadikan oleh-Nya.
Ahlul Haq berkata: “Sifat² Dzat Yang Qadim abadi karena abadi-Nya, berbeda dengan ucapan oleh mereka yg bukan ahlul Haq.
Nashr Abadzy menandaskan: “Anda bersimpang siur antara sifat² (fi’l) dengan sifat² Dzat. Keduanya adalah sifat Allah Ta’ala secara esensial. Apa bila Anda terpancang pada tahap pisah (tafriqah), maka Anda di integrasi oleh sifat fi’l. Jika Anda sampai pada tahap al-ja’u Anda akan terintegrasi oleh sifat² Dzat-Nya.
Syaikh Imam Bin Ishaq al-Isfirayainy ra. mengatakan: “Ketika aku datang dari Baghdad, aku belajar di masjid Naisabur perihal ruh. Aku menjelaskan secara gamblang bahwa ruh adalah makhluk. Sementara Abul Qasim Abadzy duduk berjauhan dengan kami mendengarkan pembicaraanku. Hingga berlalu beberapa hari, kemudian ia mengatakan kepada Muhammad al-Farra’, ‘Aku bersaksi sesungguhnya kau seorang Muslim baru di tangan laki² ini,’ katanya sambil menunjuk ke arahku.”
Dikisahkan tentang Yahya bin Mu’adz, bahwa seseorang telah berkata kepadanya: “Tolong beritahu aku mengenai Allah Ta’ala?” Yahya menjawab: “Tuhan Yang Esa”. Lalu dikatakan kepada Yahya: “Bagaimana Dia?” “Dia Raja Yang Maha Kuasa”. Jawab Yahya. Orang itu kembali bertanya: “Di mana Dia?” “Dia benar² mengawasi.” Jawabnya. “Aku tidak bertanya tentang ini.” Tandas si penanya. Maka Yahya menjawab: “Tidak ada lagi selain itu.”
Ibnu Syahin bertanya pada al-Junayd tentang makna: ma’a. Junayd menjawab, bahwa ma’a mengandung dua makna: ma’al anbiyaa’ (beserta para Nabi), mengandung arti pertolongan dan penjagaan.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
Sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku mendengar dan melihat.”
(Qs.Thaaha: 46).
Dan makna ma’a secara umum sebagai predikat ilmu dan liputan. Allah Ta’ala berfirman:
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yg keempat.”
(QS. Al-Mujaadilah)
Ibnu Syahin berkomentar: “Orang seperti Anda benar² layak untuk menyampaikan petunjuk kepada umat, mengenai Allah Ta’ala.”