Pangkalan Brandan adalah sebuah kota kecil di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Di kota yang berada di pesisir pantai timur pulau Sumatera inilah letak ladang minyak tertua kedua di Indonesia yang dibangun oleh Belanda pada tahun 1891, di mana minyak pertama yang diekspor oleh Indonesia berasal dari kilang minyak tersebut.
Pada tanggal 20 Juni 1917, bertepatan dengan tanggal 30 Sya’ban 1335 H, di kota yang menjadi jalur penghubung antara provinsi Sumatera Utara dan Aceh inilah, lahir seorang anak yang kelak menjadi seorang tokoh ulama besar di bidang tasawuf, guru besar metafisika, Mursyid (guru spiritual) dalam ajaran Tarekat Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah, sekaligus sebagai seorang cendikiawan muslim, dan tokoh di dunia pendidikan. Beliau adalah Prof. Dr. H. Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya, sang founder, pendiri Yayasan Prof. Dr. H. Kadirun Yahya, yang dilahirkan dengan nama kecil Muhammad Amin.
Beliau adalah anak ke empat dari lima bersaudara. Ibunya bernama Siti Dour Aminah Siregar, sedangkan ayah Beliau bernama Sutan Sori Alam Harahap yang berasal dari kampung Sikarang-karang, Padang Sidempuan, seorang pegawai perminyakan di Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM), sebuah perusahaan minyak Belanda, anak perusahaan Royal Dutch Shell yang melakukan eksplorasi minyak di Pangkalan Brandan.
Prof. Dr. H. Kadirun Yahya bukan hanya besar dalam lingkungan yang kental akan nuansa Islami, Beliau juga turunan dari tokoh-tokoh spiritual tarekat, di mana kakek-kakek Beliau adalah dua orang Syaikh Tarekat, baik dari pihak ayah maupun ibu Beliau, yaitu Syaikh Yahya dari pihak ayah dan Syaikh Abdul Manan dari pihak ibu. Sehingga tak jarang keluarga ini mendapat kunjungan dari para Syaikh pada zaman itu, di mana pada kesempatan-kesempatan inilah sedikit banyak Beliau mendengar tentang ajaran Tarekat Naqsyabandiyah.
Kedua kakek Beliau, Syaikh Yahya dan Syaikh Abdul Manan inilah yang memberi nama kecil Muhammad Amin kepada Beliau. Kemudian setelah besar Beliau diberi nama Kadirun Yahya, oleh Syaikh Abdul Wahab Rokan, seorang tokoh besar tarekat dari Babussalam (Basilam), Tanjungpura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Pada masa itu Pangkalan Brandan adalah kota yang memiliki nuansa Islami sangat kental, dan banyak para ulama Tarekat mengembangkan ajarannya di kota ini dan sekitarnya. Demikian pula keluarga Sutan Sori Alam Harahap. Keluarga ini juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islami religius di dalam kesehariannya. Pada masa kecilnya, Prof. Dr. H. Kadirun Yahya muda sering menghabiskan waktu dengan bermain-main dan mengaji di Masjid Azizi, sebuah masjid megah di kota Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, yang saat itu merupakan ibu kota kesultanan Langkat.
Dikarenakan pembawaan Beliau yang sopan dan penuh santun, selalu ringan tangan untuk membantu orang lain, karena terbawa dari pendidikan dan contoh dari lingkungan rumah Beliau, sehingga tak jarang pengurus masjid meminta Beliau untuk mengumandangkan Adzan di masjid tersebut, bila masuk waktu Sholat. Kesempatan menjadi muadzin di Masjid Azizi yang sangat indah ini merupakan sebuah kehormatan yang langka didapat, apa lagi di umur Beliau yang saat itu masih muda belia.
Inilah masjid yang dibangun oleh Sultan Langkat Haji Musa al-Muazzam Syah sejak tahun 1899, dan selesai dibangun serta diresmikan oleh putranya, Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah pada tahun 1902. Rancangannya ditangani oleh GD Langereis, seorang arsitek berkebangsaan Jerman, dengan para pekerja dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri, sedangkan bahan bangunannya banyak didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura. Sehingga masjid yang dibangun atas anjuran Syaikh Abdul Wahab Rokan Babussalam ini, bisa dikatakan sebagai salah satu simbol kebesaran agama Islam di Langkat.