1. Teks Syaikh Ibnu Arabi ini adalah karya sastra yg melantunkan irama musik, mengalir, dan senada. Untuk itulah, sebagai upaya menjaga eksistensi irama musik teksnya, maka saya menghormati keselarasan sajak²nya. Sajak menjadi pemisah dan titik. Mengingat Syaikh Ibnu Arabi sendiri mempertahankan irama sajak² tersebut sepanjang karyanya ini maka kita sama sekali tidak melihat estetika prosanya itu gugur atau sia². Sebaliknya dia menampilkan kedalaman balaghah pada susunan kata²nya, berupa keberlimpahan bahasa, kebudayaan, dan gagasan.
2. Setiap gerakan huruf²nya sangat jelas, sehingga membacanya menjadi mudah, dan segala kerancuan musnah.
3. Sudah pasti terjadi perbedaan dalam hal kepenulisan antara teks lama dan teks baru. Untuk itulah saya membiarkan penulisan teks lama dan tidak melakukan komparasi antar naskah dalam hal yg berkaitan dengan penulisan lama tersebut. Saya mencukupkan diri dengan menyajikan teks yg sudah masyhur dengan gaya penulisan baru. Dari situlah saya tidak menyertakan nomor² pada matan atau daftar isi, sebab dianggap tidak perlu.
4. Syaikh Ibnu Arabi menulis karyanya al-Isra ini dengan gaya kepenulisan riwayat, dia tidak membaginya ke dalam bab² dan pasal², seperti yg dia terapkan pada karya²nya yg lain. Akan tetapi Syaikh Ibnu Arabi menulis kitab al-Isra ini beruntun dari awal sampai akhir tanpa jeda bab². Karenanya saya memandang perlu membagi karya tersebut ke dalam beberapa bagian sesuai tema pembahasannya; bagian mukaddimah, dan lima bagian pembahasan. Saya melakukan pembagian semacam itu ketika menguraikan kandungan kitab, seperti yg telah disampaikan di muka.
5. Kitab al-Isra ini meneguk habis ayat² Al-Qur’an, hampir setiap ibarat dan kalimat menyimpan bukti, isyarat, atau kandungan Al-Qur’an. Untuk itulah, di catatan pinggir saya menyertakan nomor ayat² Al-Qur’an yg terdapat pada matan teks. Tindakan ini saya tujukan untuk mempertahankan irama musik matan teks.
6. Hasil tahrij atas hadits² yg terdapat dalam teks, saya kumpulkan dalam satu daftar dan diurut sesuai abjad. Daftar tahrij hadits ini saya masukkan di antara beberapa daftar lainnya, yg berada di akhir kitab. Setiap ada satu hadits di matan teks, saya sebutkan nomor rujukannya yg terdapat pada daftar tahrij ini.
7. Makna² yg tersimpan di dalam kitab al-Isra ini berlesatan dengan cepat, sehingga kami tidak bisa mengikutinya. Setiap huruf yg ditulis, Syaikh Ibnu Arabi mengisinya dengan makna dan isyarat ayat Al-Qur’an. Tidak ada ruang untuk memberi catatan, tafsir, syarah, dan uraian dalam kitab ini. Inilah alasan mengapa sebagian orang merasa kitab tersebut sangat rumit dan ambigu. Akan tetapi menurut kami, ia bagai sebuah perjalanan dengan memanggul mutiara² kata. Dalam ungkapan orang lain, karya Syaikh Ibnu Arabi ini bagaikan perahu yg penumpangnya berpasang-pasangan. Dengan kata lain, karya ini adalah seorang ibu yg mengandung makna² tanpa pernah melahirkannya.
Inilah alasan mengapa saya berpendapat bahwa mendistribusikan karya Syaikh Ibnu Arabi ini tanpa menyertakan penjelasan dan sisipan apapun atau keterangan atas isyarat²nya adalah tindakan yg dapat mengurangi amanah keilmuan. Sebab sebuah teks menjadi kurang bermanfaat apabila hanya dipahami oleh kalangan cerdik pandai tertentu.
Dari argumen itulah saya mencurahkan sekuat tenaga untuk memberikan penjelasan atas kata² dalam al-Isra, mengurai isyarat²nya, dengan catatan penjelasan dan keterangan saya tersebut tidak menghalangi teks dari semesta makna yg absolut. Sebab menisbatkan bahasa yg digunakan Syaikh Ibnu Arabi kepada gagasan²nya bagaikan menisbatkan jasad kepada ruhnya. Syaikh Ibnu Arabi tidak pernah meminjam bahasa popular untuk mengungkapkan inti gagasan khasnya. Sebaliknya dia menciptakan bahasa sendiri dengan meniupkan ruh makna kepadanya. Sehingga bahasa Syaikh Ibnu Arabi menyimpan berbagai kandungan makna, dan masing² bisa muncul dan naik ke permukaan. Karena itulah saya membiarkan kalimat²nya bagaikan jendela terbuka untuk menatap semesta absolut yg berada di hadapan para pembaca. Di sini para pembaca dapat melihat dan melangkah, sesuai kapasitas, kapabilitas, dan hasrat masing².
Terakhir, kita bersimpuh di hadapan Syaikh Ibnu Arabi… Sebagian golongan dari ulama Salaf menolak Syaikh Ibnu Arabi, terutama setelah adanya serangan dari Syaikh Ibnu Taimiyah kepadanya. Golongan lain mencoba mencerabut Syaikh Ibnu Arabi dari akar keislamannya yg baik, lalu menggambarkannya sebagai orang yg kebingungan dalam bentara wujud, orang yg merasa menyatu dengan setiap manusia di berbagai ruang dan waktu, dan menilai Syaikh Ibnu Arabi sebagai orang yg mengajarkan wahdatul wujud, dimana ajaran ini menemukan akar pemikirannya dalam falsafah agama India.
Akan tetapi kaum terdidik kita terkait langsung dengan Syaikh Ibnu Arabi dengan beragam macam dan bentuk. Kita adalah generasi satu umat yg dalam perjalanan sejarah pemikirannya memiliki seorang Guru Besar seperti Syaikh Ibnu Arabi. Membaca karya²nya merupakan sebuah perjalanan menyenangkan dalam semesta pengetahuan. Sebelum kita menerima atau menolaknya, marilah kita bersama-sama melakukan perjalanan tersebut. Kita akan mengiringi kalimat²nya yg dapat di umpamakan dengan perahu atau bahtera yg sedang berlayar menuju semesta pengetahuan (ma’rifat). Pada akhirnya, kita tidak akan bisa berbuat apapun selain mengagungkan seorang ulama besar muslim ini, seorang ahli fiqih yg mampu menyimak rahasia² fiqih, seorang teolog yg mampu menemukan detail² akidah, dan seorang sufi yg tidak pernah puas dengan pecerahan dan visi² yg dialaminya. Setiap orang yg pernah memasuki semesta Syaikh Ibnu Arabi tidak mau keluar untuk menyimak ucapan² orang selain Beliau. Sebab teks² karya Syaikh Ibnu Arabi telah menampung seluruh pilar bangunan seorang pemikir besar: baik susunan kata²nya, keilmuannya, keseriusannya, maupun keberaniannya. Syaikh Ibnu Arabi mencela jagad semesta yg pintu² masuknya ditutup pada zamannya. Betul memang, terkadang muncul kesan bahwa Syaikh Ibnu Arabi menyombongkan dirinya sendiri. Akan tetapi bukankah Beliau telah meninggalkan banyak karya untuk kita, dimana karya² itu dapat menghapus kesan² negatif tersebut?!
Dr. Su’ad al-Hakim
Beirut, 27 Rajab 1408 H/16 Maret 1988 M