VI. Kitab al-Isra ila al-Maqam al-Asra

Syaikh Ibnu Arabi mengarang bukunya al-Isra ila al-Maqam al-Asra di Fez, Maroko pada tahun 594 H. Usianya pada waktu itu 34 tahun, dan hal itu sebelum dia pergi dan menetap di daerah timur Arab.

Setiap huruf dan makna dalam buku al-Isra tersebut, di satu sisi menunjukkan jiwa muda Syaikh Ibnu Arabi, dan di sisi lain merupakan anugerah yg membukakan dunia ilham kepadanya.

Jiwa muda Syaikh Ibnu Arabi tampak dari keinginan kuatnya untuk merangkul kesempurnaan dalam karya tersebut. Dia mencurahkan segala kemampuannya dalam menyusun kataĀ² tegas, dan berharap agar banyak orang menghapal karyanya itu sehingga dia menulisnya dalam bentuk sajak. Itulah jiwa muda yg memancar, mengalirkan prosa. Syaikh Ibnu Arabi membawa karyanya itu ke tingkatan sebagai karyaĀ² indah yg jarang ditemukan, yg mampu menggerakkan rasaĀ² terpendam dalam jiwa pembacanya. Yg demikian belum pernah dilakukan oleh penulis sebelum dirinya.

Dalam jiwa Syaikh Ibnu Arabi tersimpan kekuatan bersyair. Dia sejak kecil sudah mulai bersenandung, mengarang banyak karya, dan ikut pula berperan dalam kebangkitan sastra yg sedang berkembang di Andalusia pada waktu itu. Dalam diri Syaikh Ibnu Arabi juga tersimpan nilaiĀ² kebudayaan Islam yg sangat luas, mencakup keihmuanĀ² Al-Qur’an, Hadits, dan Fiqih. Semua itu tumpah ruah ketika Syaikh Ibnu Arabi mulai masuk ke dalam alam ruh dan dunia di balik kata.

Kitab al-Isra ini merepresentasikan seluruh kesempurnaan skill individu Syaikh Ibnu Arabi dari segi bentuk, isi, dan ilhamĀ² awalnya. Satu tahapan dalam hidup Syaikh Ibnu Arabi adalah bahwa kataĀ² tidak menggelapkan makna, dan makna tidak melampaui kata. Sehingga pembacanya dapat menikmati sajian sastrawi, pikiran, dan spiritualitas dalam satu waktu.

Kitab al-Isra ini memiliki kelebihan dibanding karyaĀ² Syaikh Ibnu Arabi yg lain dari segi susunan dan kejelasan kataĀ²nya. Ia terdengar seperti bunyi kalimat bersajak, kataĀ²nya indah. Kandungan maknanya juga memiliki keistimewaan berupa adanya kesatuan tema dan saling berkaitan. Sebab jarang kita menemukan Syaikh Ibnu Arabi menekuni satu tema tanpa menghadirkan penjelasan, sisipan, dan uraianĀ² lain yg berhubungan. Seakan-akan Syaikh Ibnu Arabi menginginkan kitab al-Isra ini sebagai karya yg bisa dihapal dalam ingatan. Dengan semangat jiwa mudanya, Syaikh Ibnu Arabi mempersenjatai karyanya ini dengan nilaiĀ² sastrawi, kebudayaan, dan spiritualitas. Semua itu dengan sempurna hadir dalam kesatuan tema dan bahasa.

Kandungan Kitab al-Isra

Kitab al-Isra ini menyajikan penjelasanĀ² seputar perjalanan mimpi menuju langit ketujuh dan apa yg ada di atasnya, melalui lidah seorang salik bernama Syaikh Ibnu Arabi. Ketika kami mengurai kandungan riwayat dari Sang Salik ini maka kami akan membaginya ke dalam mukaddimah dan lima bagian.

1. Dalam bagian mukaddimah, Syaikh Ibnu Arabi menjelaskan bahwa perjalanan yg ditempuhnya adalah Mi’raj ruh dalam mimpi yg bersifat maknawi. Berbeda total dengan Mi’raj yg dialami Rasulullah Saw., dimana Mi’raj Beliau bersifat empiris, dengan tubuh fisik, dan menempuh jarak dan tujuh langit.

2. Bagian pertama kitab al-Isra yg terdiri dari enam bab, menjelaskan kepribadian Rasul Pembawa Taufik (Muhammad), yg memungkinkan badan, perbuatan, dan akidah Sang Salik (Syaikh Ibnu Arabi) dapat melakukan Mi’raj. Dari situlah Rasulullah Saw. menyambutnya di langit yg tujuh. Kami perhatikan, persiapan Rasulullah Saw. untuk melakukan Mi’raj terbatas pada kehadiran Jibril as. dan terbelahnya dada Beliau. Berbeda dengan seorang wali –berdasarkan riwayat Syaikh Ibnu Arabi dalam al-Isra ini– membutuhkan persiapan yg jauh lebih berat dan lebih keras. Sebab seorang wali harus belajar dan memahami hukumĀ² akidah untuk persiapan badani tersebut, agar seorang salik dapat melepaskan diri dari empat unsur/anasir dirinya: tanah, api, udara, dan air.

Mi’raj Rasulullah Saw. sudah bisa sempurna tanpa harus mempelajari hukumĀ² tersebut, sementara Mi’raj Sufi sebagai seorang pengikut masih berusaha menyamai maqam Rasulullah Muhammad Saw.

Seorang pengikut hanya bisa ā€œdudukā€ bersama dengan orang yg di ikuti (Muhammad Saw.), bukan menyatu dengannya. Tidak seorang pun bisa memiliki apa yg dimiliki oleh Rasulullah Muhammad Saw. Akan tetapi bayangĀ² anugerah ilahi kepada Rasulullah Saw. membentang sampai menaungi para pengikut Beliau. Dari sinilah apabila Mi’raj Rasulullah Saw. dilakukan dalam keadaan sadar dan dengan tubuh fisik maka Mi’raj para pengikutnya (kaum Sufi) berada dalam mimpi dan dengan ruh mereka ke dalam dunia, yg keberadan dunia itu didukung oleh haditsĀ² shahih mutawatir.

3. Bagian kedua riwayat (Syaikh Ibnu Arabi) menjelaskan pengalaman seorang salik di tujuh langit. Di langit pertama ia berjumpa dengan ruhaniah Nabi Adam as. Setelah Sang Salik menimba banyak pengetahuan darinya maka dia terus mendaki ke langit kedua, yaitu langitnya para arwah. Di langit kedua ruh Sang Salik mendapat kenikmatan dengan menyaksikan ruhaniah Nabi Isa as. Ruh Salik mempelajari Zhahir al-Aman, yakni sebuah tulisan yg menegaskan status kewalian dirinya (Syaikh Ibnu Arabi). Tulisan itu ditulis atas perintah ruh al-arwah, yaitu Isa as., dan ditulis oleh juru tulis Beliau dan pembantunya. Menurut Syaikh Ibnu Arabi, ini sebuah bukti bahwa Isa as. adalah penutup sekaligus pusat kewalian umat Rasulullah Muhammad Saw. Tulisan tersebut adalah nash terpenting tentang kewalian, sebab ia menentukan macamĀ² kebaikan dan kewajiban bagi seorang wali.

Di langit ketiga, yaitu langit keindahan dan tambang keagungan, Sang Salik meminta agar diperkenalkan dengan maqam Nabi Yusuf as.; maqamnya seorang amin al-umana’ (paling terpercaya di antara orangĀ² yg terpercaya) dan jamal al-naba’ (keindahannya para Nabi). Barang siapa yg menyaksikan alam lahut kemudian menghapus unsurĀ² nasut nya dan tergerak untuk meninggalkannya maka pada waktu itu ia sudah sempurna dan layak mendaki langit keempat.

Di langit keempat: langit kemuliaan (sama’ al-i’tila’), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya Nabi Idris as.. Kami kira, ruh Salik di langit ini disambut dengan ucapan: ā€œSelamat datang, wahai Sayyidil Auliya’ (tuannya para wali).ā€ Yg kami pahami dari isyarat di atas, seseorang yg melewati langit kedua dan sudah ditetapkan sebagai seorang wali, jika ia bisa melewati ke-fana’-an di langit ketiga maka ia akan mendapatkan keabadian langit keempat, di sinilah ia menyandang gelar pemimpin dalam kewalian, sehingga ia layak disebut Sayyidil Auliya’.

Di langit kelima, langit pengawasan (sama’ al-syurthah), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya manusia yg menjadi pemimpin umat manusia, sekalipun kepemimpinannya belum tampak, yaitu Nabi Harun as.

Di langit keenam, langit kataĀ² (sama’ al-kalam), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya Nabi Musa as., yg menjelaskan puncak akhir dan buah dari Mi’raj Sufi. Nabi Musa as. berkata, ā€œKetahuilah, engkau bertamu kepada Tuhanmu, agar Dia membukakan rahasia hatimu untukmu, dan menyadarkanmu tentang rahasia kitab-Nya, supaya statusmu sebagai pewaris menjadi sempurna dan statusmu sebagai utusan menjadi sah. Namun janganlah engkau berharap memperoleh ajaran syariat yg menghapus (syariat Muhammadā€”penj.), atau berharap mendapat kitab wahyu. Pintu untuk itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya setelah engkau memperoleh maqam ini maka engkau akan pulang sebagai seorang utusan. Dari itulah hendaklah engkau bersikap lembut dalam membimbing makhluk.ā€

Demikianlah semuanya menjadi lebih jelas bagi Sang Salik di Sama’ al-Kalam ini, baik tentang arti Mi’raj-nya itu maupun batas akhir pencapaiannya. Mi’raj Sufi adalah pencapaian ‘irfani dan pengetahuan, dan pulang dengan membawa misi dakwah serta kelembutan sikap.

Di langit ketujuh, ruh Salik melihat ruhaniah Sang Khalilullah (Kekasih Tuhan), ia sedang mengelilingi Baitul Makmur dengan diliputi cahaya. Sang Salik meminta izin agar diperkenankan masuk ke Baitul Makmur tersebut. Seperti pembahasan di muka, kedudukan Baitul Makmur bagi para penghuni langit bagaikan Ka’bah bagi penduduk bumi. Mereka mengerjakan shalat dan berthawaf di sana. Sang Khalilullah (Nabi Ibrahim as.) itu mengajukan beberapa persyaratan… Kemudian Nabi Ibrahim as. memperkenalkan _maqam_ Nabi Muhammad Saw., yg diunggulkan oleh Allah Ta’ala di atas para Rasul lain dengan bukti adanya Al-Qur’an yg terpelihara.

Perhatikanlah mana yg lebih mulia antara Nabi Musa as. yg berkata:

‘Ajiltu ilaika Robbi litardho

ā€œAku bersegera kepada-Mu, wahai Tuhan, agar Engkau ridha.”

Dibandingkan Rasulullah Muhammad Saw. yg untuknya ada firman berbunyi:

Walasawfa yu’thiika Robbuka fatardho

ā€œDan sungguh Tuhanmu akan memberi kamu, agar engkau ridha.”

Perhatikan pula antara Nabi Musa as. yg berkata:

Robbisyrohlii sodrii

ā€œTuhanku, lapangkanlah dadaku.ā€

Dibandingkan Rasulullah Muhammad Saw. yg Allah Ta’ala berfirman untuknya:

Alam nasyroh laka sodroka

ā€œBukankah kami telah melapangkan dadamu?ā€

Rasulullah Muhammad Saw. tidak sekadar lebih mulia dibandingkan dengan Nabi Musa as., akan tetapi Nabi Ibrahim as. juga menerangkan bahwa maqam Rasulullah Muhammad Saw. lebih mulia dibandingkan maqam dirinya, sebagai bapak Islam dan bapaknya para Nabi. Nabi Ibrahim as. berkata kepada Sang Salik, ā€œBedakanlah antara orang yg menatap bintangĀ² di langit seraya berkata:

Anaa saqiimu

ā€œAku menderita.”

Dan orang yg Allah Ta’ala sendiri berfirman tentangnya:

Maa kadzibal fu’aadu maa ro’a

ā€œHati tidak pernah dusta akan apa yg dilihatnya.ā€

Aku (Ibrahim as.) berdoa:

Robbighfirlii khothii’atii yawmaddiini

ā€œTuhan, ampuni kesalahanku pada hari pembalasan kelak.ā€

Dengan Rasulullah Muhammad Saw., Allah Ta’ala berfirman tentangnya:

Liyaghfirolakallaahu maa taqoddama min dzanbika wamaa ta’akh-khoro

ā€œAgar Allah mengampuni dosaĀ²mu terdahulu dan yg akan datang.ā€

Aku (Ibrahim as.) berdoa:

Waj’allii lisaana sidqin fil akhoriina

ā€œDan jadikanlah aku buah tutur yg baik bagi orangĀ² (yg datang) kemudian.ā€

Sedangkan Rasulullah Muhammad Saw., Allah Ta’ala berfirman tentangnya:

Warofa’naa laka dzikroka

ā€œDan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”

Demikianlah Khalilullah Ibrahim as. memberi penjelasan kepada Sang Salik tentang bagaimana Allah Ta’ala menganugerahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. segala hal yg diharap-harapkan oleh para Nabi sebelumnya. Untuk itulah, tidak ada seorang Nabi pun yg menghalangi ruh Sang Salik untuk melihat kesempurnaan Rasulullah Muhammad Saw. dan para pengikutnya. Untuk itu pula, Khalilullah Ibrahim as. di akhir perkataannya tidak berhak mengucapkan kepada Salik: ā€œWahai anakku, lanjutkan perjalananmu ke tempat yg engkau dipanggil untuk mendatanginya….ā€ Ruh Sang Salik pun meninggalkan tujuh lapis langit tersebut.

4. Setelah melewati ketujuh langit itu, Sang Salik tiba di Sidratul Muntaha. Dia tertunduk lemah di hadapan cahaya dan kebesaran yg menyelimutinya. Kemudian dia berusaha mendaki ke alam malaikat (al-mala’ al-a’la). Ada suara yg memanggilnya, ā€œAntara dirimu dan diri-Nya ada Hadhrat al_Kursi.ā€ Ruh Salik kemudian terbang menuju Kursi dengan sayapĀ² ‘azam (kemauan keras). Di situlah dia berjumpa dengan Qutub Syari’at (Muhammad Saw).

Kami, sebagai pembaca sekaligus penulis, mendapati sebuah penjelasan yg mengakui bahwa Syaikh Ibnu Arabi adalah Guru Besar, yg menguasai berbagai instrumen yg digunakan para penulis sebelumnya, baik berupa nilai kebudayaan maupun kedalaman balaghah dan i’jaz.

Wasiat dari Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. kepada Sang Salik mencakup seluruh wasiat yg pernah disampaikan para Nabi semasa hidup mereka. Karena itulah kita dapati wasiatĀ² tersebut saling melebur, kadang saling bertentangan, namun sekaligus saling melengkapi; bersifat dialektis, yg belum pernah diterima oleh seorang pun. Sebab Salik belum mencapai cakrawala penalaran sufistik yg membuatnya kenal akan Allah Ta’ala melalui jalan kesalingberlawanan tersebut.

Demikian pula perintahĀ² Allah Ta’ala datang dengan membawa pertentanganĀ². Semua perintah itu tidak saling melentur, akan tetapi saling melebur. Salah satu wasiat Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. kepada Sang Salik, ā€œJangan mengharap kekuasaan yg tidak akan pernah dimiliki oleh seorang pun sesudahmu. Tapi ucapkanlah begini: ‘Segala-galanya berasal dari sisi-Mu. Aku berharap mendapat kekuasaan yg tidak layak dimiliki oleh selain diri-Mu.’ Untuk itulah maka engkau harus mencontoh akhlak dan sifat Tuhanmu. Menetaplah di Mihrab maka rezeki akan datang tanpa hisab. Tapi jangan menetap di mihrab itu sebagai alasan (mendatangkan rezeki).

Carilah tangga untuk menggapai tauhid. Jangan suka menggoyang-goyang akar (tauhid), karena hal itu (menyebabkan) murka (Tuhan). Menggoyang akar (tauhid) adalah tanda orangĀ² pendusta dan pendurhaka. Serahkan seluruh urusanmu kepada pemilik langit, maka engkau akan tahu hakikat asmaĀ². Tapi jangan serahkan (kepada-Nya) karena engkau bukan orang kedua. Jangan sampai engkau terhijab oleh makna berpasang-pasangan (al-Matsani). Jangan cari jubah selain diri-Nya, barang siapa bertawakkal kepada-Nya maka ia akan diberi kecukupan. Carilah jubah dari yg sejenis denganmu. Sebab Dia ingin sekali menjadi lebih kuat untuk dirimu. Lemparkan tabutmu ke laut. Karena ia pasti menjumpainya kembali, Tapi jangan lempar sekarang juga. Dan tulus ikhlaslah demi Tuhanmu.”

Demikianlah maknaĀ² itu saling bertolakan dengan sangat cepat, membawa kehadiran ingatan seorang pembaca ke derajat kekerasan paling tinggi. Senandung kataĀ² mengalun dan memperhalus tajamnya kekerasan itu. Kita pun hidup dalam momen yg singkat, dimana kemabukan merayapi lidahĀ² perasa kita.

Sang Salik merasa bahagia dengan adanya wasiat dari Qutub Syari’at (Muhammad Saw.), dan dia berharap ingin tinggal bersamanya lebih lama lagi. Sayangnya, Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. tidak tinggal bersama siapapun selain Tuhannya. Sebab itulah Sang Salik pergi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. karena telah menjelaskan panjang lebar tentang hakikatĀ² maqamat dan rahasiaĀ² kesufian. Dia pun mengendarai paragrafĀ² dalam rakĀ² buku, dan terbang ke alam malaikat sembari menyaksikan keajaibanĀ² alam ghaib. Dari situ dia mencoba untuk mendekat dengan lebih dekat lagi.

5. Bagian keempat buku ini (menjelaskan): bahwa Sang Salik melewati tahapan demi tahapan yg berjumlah lima: Qaba Qusain, Au Adna, al-Lauh al-A’la, al-Riyah wa Shalshal al-Jaras, dan Auha. Pada setiap tahapan ini Tuhan berkomunikasi, berfirman, mengajari, dan memberi pemahaman kepada Sang Salik.

a. Pada tahap pertama, yaitu di Qaba Qusain, Sang Salik dipanggil namanya, ā€œWahai mawarnya para pencinta (Tuhan), wahai keindahannya para pewaris (Nabi), apa saja yg engkau temukan di sepanjang perjalananmu menuju Kami? Dengan apa engkau bertamu kepada Kami?ā€ Dia mulai bercerita tentang keindahanĀ² pemandangan yg dilihatnya, sejak pertama kali dia meninggalkan unsur dirinya yg berupa air sampa tiba di langit pertama. Dia menyebutkan satu per satu manfaat yg dipetiknya dari perjumpaan bersama para Nabi di tujuh langit serta dengan Sang Qutub Syariat Muhammad Saw. di hadhrat al-Kursi. Setelah Sang Salik selesai menceritakan bermacam-macam pengalamannya, Tuhan melepaskannya dari segala macam pikiran, lalu memberinya pakaian ubudiyah.

Berangkat dari momentum semacam itu, kami melihat bahwa Sang Salik pada setiap percakapan dipanggil namanya dengan kata : ā€œWahai hamba-Ku.ā€ Di situ pula ada isyarat tentang kenyataan bahwa Sang Salik mendapat keistimewaan berupa pengabdian (ubudiyah), ā€œWahai hamba-Ku, jangan berbicara, karena Akulah Yang Bicara (mukallim) sekaligus lawan bicara (mukallam). Dari diri-Ku lah sumber kataĀ² (kalam). Jangan jadikan kataĀ²Ku ini selain diri-Ku. Sebagaimana langit dan bumi tidak akan mampu menampung-Ku.ā€

b. Sang Salik, dengan sayapĀ² fana’ terbang ke tahapan Au Adna. Ketika dia turun dari kendaraan fana’ itu, dan berhadapan dengan dindingĀ² asmanya, dia pun mengadu kerinduannya, rasa cintanya, dan harapannya. Maka sambutan itu berbunyi: ā€œItu adalah kehendak-Ku, maka pasrahlah. Engkau harus menyerahkan dan menerima semua perkaramu kepada garisĀ² takdir-Ku.ā€

Di sinilah pelajaran kedua diperoleh, setelah pelajaran tentang ubudiyah diperolehnya pada tahapan Qaba Qusain. Dan Sang Salik tulus ikhlas memasrahkan seluruh kehendaknya, menyerahkan segala urusannya, dan mau menerima apa adanya. Ini adalah pernyataan yg kami rasa bahwa Syaikh Ibnu Arabi melihat dirinya dengan cara melihat kehendak Allah Ta’ala. TulisanĀ² (Syaikh Ibnu Arabi) beralih dari penjelasan tentang kerinduan dan cinta kepada penjelasan tentang kehendak Tuhan Yang Maha Mulia nan Agung. Tuhan ingin bercakap-cakap dengan Syaikh Ibnu Arabi seperti yg dilakukan-Nya terhadap Imam Ibnu Hamid al-Ghazali. Adalah sebuah keharusan Salik betulĀ² menyimak agar dapat menangkap rahasiaĀ² tersembunyi, dan mempertajam penglihatan mata hati agar dapat menangkap pancaranĀ² cahaya.

c. Setelah melewati tahapan Au Adna, Sang Salik tiba di al-Lauh al-Mahfudz (al-A’la). Di al-Lauh itu dia melihat tulisan mengenai maqamĀ² ahlu raihan dan ruh, mereka adalah ahli tauhid.

Yg jelas, Syaikh Ibnu Arabi mengikat firman Allah Ta’ala:

Innaa nahnu nazzalnadzdzikro wa innaa lahu lahaafidhuuna

“Sesungguhnya kami menurunkan al-Dzikr, dan kami pula yg akan menjaganya.”

Dengan ibarat dalam kata:

allauhul mahfuudhu

ā€œLauh Mahfudz (papan yg terpelihara)ā€

Dalam kedua kalimat di atas terdapat pengulangan makna dan pengulangan kata ( Ha Fa Dza: menjaga/ memelihara).

Mengingat tauhid adalah intisari Al-Qur’an dan Islam, dan Allah Ta’ala menjamin Al-Qur’an dari adanya perubahan dan penggantian, maka menurut kami, Syaikh Ibmu Arabi melihat tauhid tertulis di Lauh Mahfudz. Akan tetapi tauhid yg dimaksud Syaikh Ibnu Arabi di sini bukan akidah maupun pemikiran, sebagaimana dipahami ahli kalam. Tauhid di sini adalah praktek, hal, dan maqam. Selanjutnya, Syaikh Ibnu Arabi adalah seorang ahli tauhid yg mendaki tangga martabat dan maqamat. Mengingat Al-Qur’an menyebutkan 36 kata tauhid –yg kami maksud dengan tauhid adalah kalimat (laa ilaaha illa Allah)— maka untuk itulah Syaikh Ibnu Arabi membagi maqamĀ² ahli tauhid ke dalam 36 sifat. Setiap kali Seorang Salik mampu menyingkap satu tabir maka tauhid akan benderang kepadanya.

Menurut kami, rahasia menghubung-hubungkan hijab dengan tauhid adalah bahwa kata tauhid itu sendiri adalah negasi (penyangkalan/nafyun) kemudian afirmasi (penetapan/itsbat), yaitu, menegasikan keberadaan Tuhan sebagai pengantar untuk menetapkan ke-Esa-an Allah. Sungguh Allah Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, berada di atas tabirĀ² sifat, asma, dan af’al.

Setelah Syaikh Ibnu Arabi melihat maqamĀ² ahli tauhid, dia kemudian mendapat panggilan, ā€œWahai Salik, dimanakah maqamĀ² ini di antara mereka?ā€ Kami sampaikan kepada Ibnu Arabi, ā€œEngkau benar.ā€ Andaikan tidak ada kesesuaian nama maka niscaya tidak akan ada penisbatan apapun di antara maqamĀ² ahli tauhid –yakni orangĀ² yg menyaksikan Tuhan, dimana tabirĀ² telah tersingkap dari mata hati mereka -dan ahwal-nya ahli tauhid– yakni orangĀ² yg menggenggam kuat akidah, mengimani alam ghaib, yg terhijab dari Tuhan akibat dunia dan jiwanya sendiri.

d. Setelah melewati al-lauh al-mahfudz, kuda tunggangan menurunkan ruh Sang Salik di Hadhrat Shalshal al-Jaras. TibaĀ² angin topan berhembus kencang, kilatan petir menggelegar, dan hati Sang Salik dipenuhi ketakutan. Setelah angin ribut mulai reda, ada suara memanggil Sang Salik, ā€œAku telah mengantarkanmu di tempat hatimu, kediaman nuranimu.ā€ Dia menjawab, ā€œHati tidak memiliki tempat. Aku hanya ingin Allah. Dalam rububiyah, seorang hamba hanya bertauhid.ā€

e. Sang Salik terhempas, dia fana’ dalam dirinya sendiri, dia tidak lagi kekal bersama Tuhan, kecuali setelah dalam jiwanya dia menemukan makna yg pernah di angankannya jauhĀ² sebelum itu, yaitu setelah menjadi lebih jelas apa yg dicarinya, yakni maqam sebagai pengikut Muhammad, pewaris Muhammad, menjadi orang paling sempurna di antara para waliyullah.

Menurut kami, seluruh pembicaraan setelah itu ditujukan kepada Sang Salik. Dalam realitasnya pembicaraan itu melewati Sang Salik, namun tujuan utamanya adalah pemilik maqam ini, yaitu Muhammad Saw. Setiap percakapan dan komunikasi yg dilakukan Allah Ta’ala dengan hamba-Nya, melewati Sang Salik yg fana’, namun lawan bicara yg sesungguhnya adalah Nabi Muhammad Saw.

Kami bisa meringkas gambaran soal ini. Begini: setiap Salik keluar dari dalam dirinya sendiri, mencari maqam Muhammadi. Jika kita boleh menganalogikannya, maka ketika Sang Salik tiba di maqam itu, dia serupa dengan partikelĀ² kecil di alam semesta ini yg mengelilingi bulan. Pada dasarnya, partikelĀ² itu sangat gelap. Ketika cahaya bulan menerpanya maka dia berbentuk dengan meniru bentuk cahaya bulan yg meliputinya. Hakikat partikelĀ² kecil yg mengeliligi bulan ini, tidak pernah berubah: Namun partikelĀ² kecil itu menerima cahaya bulan di permukaan dzatnya, dan dia menghilang dari dirinya sendiri karena terlalu dekat dengan cahaya.

Dari sinilah kami paham, mengapa setiap khitab (ucapan Tuhan) diarahkan kepada Sang Salik pada saat berada dalam maqam fana’. Khitab bergerak melewati Sang Salik menuju manusia sempurna (insan kamil), Muhammad Saw.

Dalam tahapan ini, tahapan Auha, rahasiaĀ² disingkapkan kepada Sang Salik, dimana sebagian rahasia itu dijelaskan ketika sedang munajat. Ringkasnya, memperkenalkan Sang Salik tentang dirinya sendiri, sebagai manusia, dan kedudukanya di hadapan alam semesta disebut munajat al-tasyrif (munajat pengagungan), memperkenalkan Sang Salik tentang Tuhannya Yang Maha Esa, yg tidak terbatasi oleh gagasan dan ide, tidak terlihat oleh mata kepala maupun mata hati disebut munajat al-taqdis (munajat pengkudusan), dan memperkenalkan Sang Salik tentang nikmatĀ² Allah Ta’ala atas diri Sang Salik disebut munajat al-Minnat (munajat anugerah). Sedangkan memperkenalkan Sang Salik tentang tingginya maqam Muhammad Saw. dibanding seluruh maqam yg ada disebut munajat al-Durrat al-Baidha’ (munajat mutiara putih).

6. Bagian kelima: bagian kelima ini tampil sebagai ujian, Sang Salik setelah melewati setiap tempatĀ² di atas, perkaraĀ² yg tersembunyi telah diungkapkan, rahasiaĀ² tersingkap, maka dia seakan-akan wajib menjadi orang yg bertanggung jawab. Ilmu pengetahuan, jika kita menganalisisnya lebih tajam lagi, adalah amanat. Kita menerima ilmu sebagai amanat, dan menyampaikannya sebagai amanat pula. Kita mengambil ilmu dengan syarat mampu menjaganya dari kelupaan, mengamalkannya, dan menyampaikan kepada orang lain yg layak dengan persyaratan yg sama pula. Untuk itulah, sangat logis apabila Mi’raj ‘irfani Syaikh Ibnu Arabi di akhiri dengan ujian kepada diri Sang Salik mengenai isyaratĀ² nubuwat.

Dlm Al-Isra ila al-Maqam al-Asra aw Kitab al-Mi’raj:

NASKAH-NASKAH PATOKAN

Naskah (A)

1. Berupa manuskrip di Perpustakaan Waliyuddin, Istambul 1628.
2. 75 halaman, pada setiap halaman terdapat 13 baris yg ditulis dengan khat naskhi pada umumnya.
3. Tulisan yg terdapat pada halaman pertama berbeda dengan tulisan aslinya, boleh jadi ia tambahan dari Abul Hasan al-Rumi, sebagai pentashih, penyunting, dan penulis syarahnya.
4. Pada akhir tulisan terdapat keterangan yg membuat kita tahu bahwa manuskrip tersebut dibacakan langsung kepada pengarangnya al-‘Allamah Muhyiddin Ibnu Arabi pada 633 H di rumah Syaikh Ibnu Arabi, Damasqus. Keterangan ini membuat manuskrip tersebut setingkat dengan karya asli.
5. Di akhir tulisan kita juga menemukan keterangan bahwa pada 976 H., Syamsuddin Ismail Ibnu Saudakin mempelajari, mentashih, menyunting naskah dari awal sampai akhir, dan memberikan syarah atas tulisan Abul Hasan Mahmud Ibnu Muhammad al-Rumi, saat berada di Mekkah Musyarrafah.
6. Layak disebutkan bahwa naskah (A) ini didapat dalam bentuk file dari tempat penyimpanan manuskripĀ² milik Universitas Negeri Arab, Kairo.

Naskah (B)

1. Ini naskah yg dicetak di Haidar Abad pada 1948 M dari tulisan Ashif dengan nomor 376.
2. Sepertinya, cetakan Haidar Abad ini adalah tulisan yg menimbulkan banyak kesulitan bagi penerbit dalam hat pembacaan, sehingga terdapat banyak kalimat dan kataĀ² tambahan untuk memperjelas beberapa teks asli (matan), atau dibiarkan kosong sama sekali dan di pinggirannya dicantumkan kata: demikian adanya.
3. Saya mencoba untuk tidak melakukan perbandingan atau komparasi antara naskah cetakan Haidar Abad dengan naskah (A), yg saya pegang sebagai naskah asli. Sebab pada naskah (B) ini terdapat banyak kesalahan, kekurangan, dan ketidakjelasan. Hanya saja saya merasa adanya sebuah keharusan untuk melakukan komparasi tersebut sebagai upaya memenuhi kewajiban dalam metodologi penelitian ilmiah. Karena itulah saya mendorong pembaca melihat daftar perbandingan manuskripĀ² agar pembaca dapat mempelajarinya sendiri kekuranganĀ² pada cetakan Haidar Abad. Dengan mengakui kelebihan setiap penerbit maka pembaca akan menyadari sisiĀ² warisan kebudayaan kami. Sekalipun kami sendiri tidak menuntut (para penulis) terdahulu menyertakan metodologi ilmiah seperti yg kita perlukan dari para peneliti di zaman sekarang.

Naskah (C)

Manuskrip Berlin, nomor we.1632, dari nomor panggil IB sampai 45A. Pada halaman 15 ditemukan baris kalimat tertulis dengan khat naskhi yg jelas. Penulisnya adalah Ahmad bin Muhammad, lebih terkenal dengan sebutan al-Bazuri. Penulisan manuskrip tersebut rampung pada Selasa Rabi’us Tsani 966 H.

Naskah (D)

Manuskrip Berlin, nomor pet.195, dari nomor panggil 25B sampai 61B. Pada halaman 17 ditemukan baris kalimat tertulis dengan khat naskhi yg jelas. Tanpa disertakan nama penulisnya. Tanggal penulisan 1259 H, sedangkan manuskrip itu berjudul Kitab al-Mi ‘raj.

Al-Najat min Hujub al-Isytibah

Karya ini ditulis oleh Ismail bin Saudakin, murid Syaikh Ibnu Arabi, memberi syarah atas dua kitab Gurunya al-Isra ila Maqam al-Asra dan Masyahid al-Asrar al-Qudsiyah. Karya ini menyebutkan kesalahan Syaikh Ibnu Arabi. Ibnu Saudakin dalam karyanya itu mengikuti alur penjelasan dan keterangan yg disampaikan oleh Syaikh Ibnu Arabi di madrasahnya. Dalam arti, syarah Ibnu Saudakin tidak menerjemahkan karya Syaikh Ibnu Arabi dan dia tetap menyerahkannya pada pembaca. Di satu sisi, sisipanĀ² dan keterangan Ibnu Saudakin lebih cocok sebagai pintu masuk ke dalam keseluruhan alam pemikiran Syaikh Ibnu Arabi. Di sisi lain, catatan dari pensyarah (Ibnu Saudakin) tidak keluar dari batas lingkaran temaĀ² sufistik dan kaum Sufi, sehingga kitab dan syarah tersebut bagaikan dua penjaga gawang alam tasawuf. Di samping karya Ibnu Saudakin tersebut mengandung banyak faedah penting bagi pembaca, dan bukan sekadar bagi kaum Sufi sendiri.

Saya merujuk kepada kitab al-Najat ini, terkadang sebagai perbandingan dan kadang pula untuk memperkuat beberapa penjelasan namun tanpa ada manfaat yg bisa disebutkan. Naskah yg saya gunakan adalah naskah dari perpustakaan negeri, Paris, dengan nomor 6613 Arabic. Naskah ini ditulis dengan khat naskhi yg jelas pada 970 H. Ia terdiri dari atas 137 halaman.

Dlm Al-Isra ila al-Maqam al-Asra aw Kitab al-Mi’raj:

METODOLOGI PENELITIAN YANG DIGUNAKAN

1. Teks Syaikh Ibnu Arabi ini adalah karya sastra yg melantunkan irama musik, mengalir, dan senada. Untuk itulah, sebagai upaya menjaga eksistensi irama musik teksnya, maka saya menghormati keselarasan sajakĀ²nya. Sajak menjadi pemisah dan titik. Mengingat Syaikh Ibnu Arabi sendiri mempertahankan irama sajakĀ² tersebut sepanjang karyanya ini maka kita sama sekali tidak melihat estetika prosanya itu gugur atau siaĀ². Sebaliknya dia menampilkan kedalaman balaghah pada susunan kataĀ²nya, berupa keberlimpahan bahasa, kebudayaan, dan gagasan.

2. Setiap gerakan hurufĀ²nya sangat jelas, sehingga membacanya menjadi mudah, dan segala kerancuan musnah.

3. Sudah pasti terjadi perbedaan dalam hal kepenulisan antara teks lama dan teks baru. Untuk itulah saya membiarkan penulisan teks lama dan tidak melakukan komparasi antar naskah dalam hal yg berkaitan dengan penulisan lama tersebut. Saya mencukupkan diri dengan menyajikan teks yg sudah masyhur dengan gaya penulisan baru. Dari situlah saya tidak menyertakan nomorĀ² pada matan atau daftar isi, sebab dianggap tidak perlu.

4. Syaikh Ibnu Arabi menulis karyanya al-Isra ini dengan gaya kepenulisan riwayat, dia tidak membaginya ke dalam babĀ² dan pasalĀ², seperti yg dia terapkan pada karyaĀ²nya yg lain. Akan tetapi Syaikh Ibnu Arabi menulis kitab al-Isra ini beruntun dari awal sampai akhir tanpa jeda babĀ². Karenanya saya memandang perlu membagi karya tersebut ke dalam beberapa bagian sesuai tema pembahasannya; bagian mukaddimah, dan lima bagian pembahasan. Saya melakukan pembagian semacam itu ketika menguraikan kandungan kitab, seperti yg telah disampaikan di muka.

5. Kitab al-Isra ini meneguk habis ayatĀ² Al-Qur’an, hampir setiap ibarat dan kalimat menyimpan bukti, isyarat, atau kandungan Al-Qur’an. Untuk itulah, di catatan pinggir saya menyertakan nomor ayatĀ² Al-Qur’an yg terdapat pada matan teks. Tindakan ini saya tujukan untuk mempertahankan irama musik matan teks.

6. Hasil tahrij atas haditsĀ² yg terdapat dalam teks, saya kumpulkan dalam satu daftar dan diurut sesuai abjad. Daftar tahrij hadits ini saya masukkan di antara beberapa daftar lainnya, yg berada di akhir kitab. Setiap ada satu hadits di matan teks, saya sebutkan nomor rujukannya yg terdapat pada daftar tahrij ini.

7. MaknaĀ² yg tersimpan di dalam kitab al-Isra ini berlesatan dengan cepat, sehingga kami tidak bisa mengikutinya. Setiap huruf yg ditulis, Syaikh Ibnu Arabi mengisinya dengan makna dan isyarat ayat Al-Qur’an. Tidak ada ruang untuk memberi catatan, tafsir, syarah, dan uraian dalam kitab ini. Inilah alasan mengapa sebagian orang merasa kitab tersebut sangat rumit dan ambigu. Akan tetapi menurut kami, ia bagai sebuah perjalanan dengan memanggul mutiaraĀ² kata. Dalam ungkapan orang lain, karya Syaikh Ibnu Arabi ini bagaikan perahu yg penumpangnya berpasang-pasangan. Dengan kata lain, karya ini adalah seorang ibu yg mengandung maknaĀ² tanpa pernah melahirkannya.

Inilah alasan mengapa saya berpendapat bahwa mendistribusikan karya Syaikh Ibnu Arabi ini tanpa menyertakan penjelasan dan sisipan apapun atau keterangan atas isyaratĀ²nya adalah tindakan yg dapat mengurangi amanah keilmuan. Sebab sebuah teks menjadi kurang bermanfaat apabila hanya dipahami oleh kalangan cerdik pandai tertentu.

Dari argumen itulah saya mencurahkan sekuat tenaga untuk memberikan penjelasan atas kataĀ² dalam al-Isra, mengurai isyaratĀ²nya, dengan catatan penjelasan dan keterangan saya tersebut tidak menghalangi teks dari semesta makna yg absolut. Sebab menisbatkan bahasa yg digunakan Syaikh Ibnu Arabi kepada gagasanĀ²nya bagaikan menisbatkan jasad kepada ruhnya. Syaikh Ibnu Arabi tidak pernah meminjam bahasa popular untuk mengungkapkan inti gagasan khasnya. Sebaliknya dia menciptakan bahasa sendiri dengan meniupkan ruh makna kepadanya. Sehingga bahasa Syaikh Ibnu Arabi menyimpan berbagai kandungan makna, dan masingĀ² bisa muncul dan naik ke permukaan. Karena itulah saya membiarkan kalimatĀ²nya bagaikan jendela terbuka untuk menatap semesta absolut yg berada di hadapan para pembaca. Di sini para pembaca dapat melihat dan melangkah, sesuai kapasitas, kapabilitas, dan hasrat masingĀ².

Terakhir, kita bersimpuh di hadapan Syaikh Ibnu Arabi… Sebagian golongan dari ulama Salaf menolak Syaikh Ibnu Arabi, terutama setelah adanya serangan dari Syaikh Ibnu Taimiyah kepadanya. Golongan lain mencoba mencerabut Syaikh Ibnu Arabi dari akar keislamannya yg baik, lalu menggambarkannya sebagai orang yg kebingungan dalam bentara wujud, orang yg merasa menyatu dengan setiap manusia di berbagai ruang dan waktu, dan menilai Syaikh Ibnu Arabi sebagai orang yg mengajarkan wahdatul wujud, dimana ajaran ini menemukan akar pemikirannya dalam falsafah agama India.

Akan tetapi kaum terdidik kita terkait langsung dengan Syaikh Ibnu Arabi dengan beragam macam dan bentuk. Kita adalah generasi satu umat yg dalam perjalanan sejarah pemikirannya memiliki seorang Guru Besar seperti Syaikh Ibnu Arabi. Membaca karyaĀ²nya merupakan sebuah perjalanan menyenangkan dalam semesta pengetahuan. Sebelum kita menerima atau menolaknya, marilah kita bersama-sama melakukan perjalanan tersebut. Kita akan mengiringi kalimatĀ²nya yg dapat di umpamakan dengan perahu atau bahtera yg sedang berlayar menuju semesta pengetahuan (ma’rifat). Pada akhirnya, kita tidak akan bisa berbuat apapun selain mengagungkan seorang ulama besar muslim ini, seorang ahli fiqih yg mampu menyimak rahasiaĀ² fiqih, seorang teolog yg mampu menemukan detailĀ² akidah, dan seorang sufi yg tidak pernah puas dengan pecerahan dan visiĀ² yg dialaminya. Setiap orang yg pernah memasuki semesta Syaikh Ibnu Arabi tidak mau keluar untuk menyimak ucapanĀ² orang selain Beliau. Sebab teksĀ² karya Syaikh Ibnu Arabi telah menampung seluruh pilar bangunan seorang pemikir besar: baik susunan kataĀ²nya, keilmuannya, keseriusannya, maupun keberaniannya. Syaikh Ibnu Arabi mencela jagad semesta yg pintuĀ² masuknya ditutup pada zamannya. Betul memang, terkadang muncul kesan bahwa Syaikh Ibnu Arabi menyombongkan dirinya sendiri. Akan tetapi bukankah Beliau telah meninggalkan banyak karya untuk kita, dimana karyaĀ² itu dapat menghapus kesanĀ² negatif tersebut?!


Dr. Su’ad al-Hakim
Beirut, 27 Rajab 1408 H/16 Maret 1988 M

Dlm Al-Isra ila al-Maqam al-Asra aw Kitab al-Mi’raj:


PENGANTAR PENULIS

[Dalam pengantar ini Syaikh Ibnu Arabi menjelaskan bahwa pengalaman Mi’rajnya adalah perjalanan ruh yg maknawi: rahasiaĀ² dan kandungan Al-Qur’an disingkap, ilmuĀ² diberikan, dan halĀ² tersembunyi ditampakkan. Mi’raj ini betulĀ² berbeda dengan Mi’rajnya Rasulullah Saw., yg dilakukan secara nyata dengan raga fisik, dimana Rasulullah Saw. menempuh jarak dan melintasi langit. Pada Mi’raj itu, Beliau diberi syariat ilahiah yg menghapus syariatĀ² sebelumnya.]

Bismillāhirrahmānirrahīm

Seorang syaikh, imam, yg alim dan sempurna, pentahqiq yg keilmuannya luas, penegak agama, kemuliaan Islam, lidahnya hakikat kebenaran, yg sangat pandai, panutan para pembesar, sumber perintah, keajaiban suatu zaman, satuĀ²nya orang pada masanya, Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Muhammad Ibnu Arabi al-Tha-i al-Hatimi dari Andalusia, semoga Allah mengakhiri hidupnya dengan kebaikan, berkata:

Segala puji bagi Allah yg mengeluarkan siang-Nya dari malam-Nya yg gulita,

seperti dalam firman Allah Ta’ala:

ŁˆŁŽŲ”ŁŽŲ§ŁŠŁŽŲ©ŁŒ Ł„Ł‘ŁŽŁ‡ŁŁ…Ł Ų§Ł„Ł‘ŁŽŁŠŁ’Ł„Ł Ł†ŁŽŲ³Ł’Ł„ŁŽŲ®Ł Ł…ŁŁ†Ł’Ł‡Ł Ų§Ł„Ł†Ł‘ŁŽŁ‡ŁŽŲ§Ų±ŁŽ ŁŁŽŲ„ŁŲ°ŁŽŲ§ Ł‡ŁŁ…Ł’ Ł…Ł‘ŁŲøŁ’Ł„ŁŁ…ŁŁˆŁ†ŁŽ

“Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yg besar) bagi mereka adalah malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan.” (QS. Ya Sin [36]: 37)

memancarkan matahari-Nya yg benderang dan bulan-Nya yg terang di waktu siang dan malam, menjadikan siang dan malam sebagai bukti pada saat gelap dan terang, yakni, pujian azali dengan lidah yg qadim, yg memberi bimbingan untuk menggapai puncak tertinggi keagungan dari keindahan sebuah kesempurnaan pada suara dan bunyi Qalam, di papanĀ² kemunculan kataĀ² (menurut ungkapan umum dari Syaikh Ibnu Arabi, kataĀ² adalah wujud ini. Sebab wujud adalah penampakan luar dari kalimat penciptaan ā€œKun (Jadilah)!ā€ Dalam ungkapan yg lebih spesifik, menurut Syaikh Ibnu Arabi, kataĀ² adalah hakikat acau inti sifat yg dimiliki setiap Nabi. Yg dimaksudkan Syaikh Ibnu Arabi dengan ‘kataĀ²’ dalam kitab ini adalah Nara nabi. Lihatlah Mu’jam al-Sufi tentang arti kata ‘Kalimat’.) yg ditandai dengan Nun-nya,

Seperti dalam firman Allah Ta’ala:

Ł†Ł“ Ūš ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’Ł‚ŁŽŁ„ŁŽŁ…Ł ŁˆŁŽŁ…ŁŽŲ§ ŁŠŁŽŲ³Ł’Ų·ŁŲ±ŁŁˆŁ†ŁŽ

“Nun, demi kalam dan apa yg mereka tulis,” (QS. Al-Qalam [68]: 1)

(menurut Syaikh Ibnu Arabi, Nun adalah tempat tinta yg secara universal tintanya menampung bentukĀ² jagad semesta; artinya, hurufĀ². Lihat Mu’jam al-Sufi bagian huruf Nun.)

kemurahan dan kemuliaan, yg disucikan sejak kemunculan pertama peristiwa terbelahnya langit beserta seluruh isinya dari sebuah ketiadaan,

Seperti dalan firman Allah Ta’ala:

Ų£ŁŽŁˆŁŽŁ„ŁŽŁ…Ł’ ŁŠŁŽŲ±ŁŽ Ų§Ł„Ł‘ŁŽŲ°ŁŁŠŁ†ŁŽ ŁƒŁŽŁŁŽŲ±ŁŁˆŁ“Ų§ Ų£ŁŽŁ†Ł‘ŁŽ Ų§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŁ…Ł°ŁˆŁ°ŲŖŁ ŁˆŁŽŲ§Ł„Ł’Ų£ŁŽŲ±Ł’Ų¶ŁŽ ŁƒŁŽŲ§Ł†ŁŽŲŖŁŽŲ§ Ų±ŁŽŲŖŁ’Ł‚Ł‹Ų§ ŁŁŽŁŁŽŲŖŁŽŁ‚Ł’Ł†Ł°Ł‡ŁŁ…ŁŽŲ§ Ū– ŁˆŁŽŲ¬ŁŽŲ¹ŁŽŁ„Ł’Ł†ŁŽŲ§ Ł…ŁŁ†ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ§Ł“Ų”Ł ŁƒŁŁ„Ł‘ŁŽ Ų“ŁŽŁ‰Ł’Ų”Ł Ų­ŁŽŁ‰Ł‘Ł Ū– Ų£ŁŽŁŁŽŁ„ŁŽŲ§ ŁŠŁŲ¤Ł’Ł…ŁŁ†ŁŁˆŁ†ŁŽ

“Dan apakah orangĀ² yg kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yg padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yg hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 30)

yg telah mengisra’kan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dan suatu tempat yg azali.

Ų³ŁŲØŁ’Ų­Ł°Ł†ŁŽ Ų§Ł„Ł‘ŁŽŲ°ŁŁ‰Ł“ Ų£ŁŽŲ³Ł’Ų±Ł°Ł‰ ŲØŁŲ¹ŁŽŲØŁ’ŲÆŁŁ‡ŁŪ¦ Ł„ŁŽŁŠŁ’Ł„Ł‹Ų§ Ł…Ł‘ŁŁ†ŁŽ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ³Ł’Ų¬ŁŲÆŁ Ų§Ł„Ł’Ų­ŁŽŲ±ŁŽŲ§Ł…Ł Ų„ŁŁ„ŁŽŁ‰ Ų§Ł„Ł’Ł…ŁŽŲ³Ł’Ų¬ŁŲÆŁ Ų§Ł„Ł’Ų£ŁŽŁ‚Ł’ŲµŁŽŲ§ Ų§Ł„Ł‘ŁŽŲ°ŁŁ‰ ŲØŁ°Ų±ŁŽŁƒŁ’Ł†ŁŽŲ§ Ų­ŁŽŁˆŁ’Ł„ŁŽŁ‡ŁŪ„ Ł„ŁŁ†ŁŲ±ŁŁŠŁŽŁ‡ŁŪ„ Ł…ŁŁ†Ł’ Ų”ŁŽŲ§ŁŠŁ°ŲŖŁŁ†ŁŽŲ§Ł“ Ūš Ų„ŁŁ†Ł‘ŁŽŁ‡ŁŪ„ Ł‡ŁŁˆŁŽ Ų§Ł„Ų³Ł‘ŁŽŁ…ŁŁŠŲ¹Ł Ų§Ł„Ł’ŲØŁŽŲµŁŁŠŲ±Ł

“Maha Suci Allah, yg telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yg telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tandaĀ² (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra’ [17]: 1)

Ucapan terimakasih untuk-Nya persis seperti pujianĀ² untuk-Nya yg pernah ada sebelumnya, yakni, ucapan terimakasih dengan Alif (Alif adalah dalil tentang Dzat Tuhan, berbeda dengan Ba’, ia adalah dalil Sifat. Yg dimaksud ‘ucapan terima kasih dengan Alif bukan Ba” adalah pujian yg ditujukan kepada Allah bukan kepada salah satu sifat. Lihat Mu’jam al-Sufi pada bagian Alif dan Ba’.), bukan Ba’. Sebab ucapan terima kasih dengan Ba’ terlalu berani.

Shalawat serta salam semoga dicurahkan kepada dia yg diciptakan pertama kali (yg pertama kali diciptakan adalah Muhammad Saw. Hal ini di isyaratkan dalam sebuah hadits Nabi: “Wahai Jabir, yg pertama kali Allah ciptakan adalah cahaya Nabimu ini.” [lihat Kasyf al-Khafa’ karya al-‘Ajulani, hadits no. 827, jilid 1 hal. 265-266]), bukan kepada ia yg pertama kali muncul dan tampak di sana, lalu Allah menyebutnya perumpamaan, Allah menciptakannya sebagai satu yg tak terbagi, dalam firman-Nya:

Ł„ŁŽŁŠŁ’Ų³ŁŽ ŁƒŁŽŁ…ŁŲ«Ł’Ł„ŁŁ‡ŁŪ¦ Ų“ŁŽŁ‰Ł’Ų”ŁŒ

“Tidak ada sesuatupun yg serupa dengan Dia.” (QS. Ash-Syura [42]: 11)

Dialah yg alim, satuĀ²nya tanda, Allah memberdirikannya di hadapan cermin Dzat, namun dia tidak menyatu sekaligus tidak terpisah dari Dzat. Setelah bentuk perumpamaan (shurah al-mitsI) muncul padanya, dia pun percaya dan mengucapkan selamat kepada bentuk itu. Alah menyerahkan kunciĀ² kerajaan-Nya, dan dia tunduk. TibaĀ² ada firman:

engkaulah (Muhammad) wujud paling mulia, Tanah Haram (dalam hal ini Syaikh Ibnu Arabi mengisyaratkan kehormatan Nabi Muhammad Saw., yg sangat dihormati dalam Islam) paling agung, Rukun Yamani dan Multazam (Multazam adalah tempat yg terletak di antara Rukun Yamani dan Ka’bah, ia adalah tempat berdoa bagi jama’ah haji, umrah, atau orang yg sekadar melintas untuk berdoa. Berdoa di Multazam akan terkabulkan oleh Allah Ta’ala. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., ia berkata: ā€œAku mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ā€œMultazam adalah tempat berdoa yg mustajab. Setiap hamba Allah yg berdoa di sana maka Allah akan mengabulkan doa itu.ā€ (Lihat kitab Mustafad al-Rihlah wa al-Ightirab karya Al-Qasim bin Yusuf al-Najibi Al-Sibti, hal. 276), Maqam Ibrahim, Hajar Aswad yg diciumi, rahasia dalam zamzam, pahamilah mengapa ia harus diminum, dia adalah orang yg di isyaratkan oleh sebuah kalimat ā€œorang mukmin adalah cermin saudaranya.ā€ Perhatikanlah dan rahasiakanlah apa yg tampak kepadanya dalam cermin itu. Shalawat serta salam juga semoga tercurah kepada keluarga dan para sahabat Rasulullah Saw.

Amma ba ‘d.

Saya persembahkan kepada kalangan Sufi, orangĀ² yg mengalami mi’rajĀ² akliah, yg memiliki maqamĀ² ruh, rahasiaĀ² ilahiah, dan martabatĀ² tinggi nan suci, sebuah ringkasan tentang runtutan perjalanan dari alam fisik ke tempat Tuhan, dalam satu kitab yg babĀ²nya indah sekali, yg berjudul Kitab al-Isra ila al-Maqam al-Asra.

Dalam kitab ini saya menjelaskan bagaimana hakikat bisa terungkap, dengan menanggalkan bajuĀ², bagi mereka yg memiliki mata hati dan akal pikiran. Saya juga menjelaskan penampakan hal menakjubkan dalam perjalanan Isra’ sampai tersingkapnya tabirĀ², serta tentang nama beberapa maqam termasuk maqam yg tak bermaqam (station no-station), yg kemunculannya tak dapat diketahui melalui ilmu maupun hal. Yg demikian ini adalah Mi’rajnya arwah para pewaris sunnah Nabi dan Rasul (Pewaris adalah pengikut Nabi Muhammad Saw. dalam hal ucapan, perbuatan, dan ahwal. Kecuali dalam halĀ² tertentu yg hanya boleh dimiliki oleh Nabi Muhammad Saw.. Pewaris di sini, sebagai orang mulia yg mengikuti jejak hidup Nabi Saw., adalah para ulama, seperti diterangkan dalam sebuah hadits: ā€œUlama adalah pewaris para Nabi.” Pewaris mengikuti orang yg memberikan warisan. Ada yg mewarisi Isa, ada pula yg mewarisi Musa, dan ada pewaris Muhammad. Dalam kitab ini oleh Syaikh Ibnu Arabi, mi’raj ruh dan isra’ maknawi menuju alam khayal ditujukan kepada pewaris Muhammad.)

Ini adalah mi’rajnya ruh, bukan raga fisik. Ini adalah Isra’nya asrar, bukan aswar, sebuah penglihatan oleh mata hati, bukan mata kepala; sebuah perjalanan makrifat oleh perasaan dan kenyataan, bukan perjalanan menempuh jarak dan jalan; menuju langitĀ² makna, bukan tempat di langit sana. Saya mengurai mi’raj ruhani ini dengan gaya berprosa maupun dalam bentuk syair. Penjelasannya saya selipkan secara simbolik maupun jelas dan bisa dipahami. KataĀ²nya bersajak, agar lebih mudah bagi para penghapalnya. Saya terangkan jalan, dan pertegas kenyataan. Saya terangi dengan rahasia kejujuran, dan saya susun munajat rahasia dengan kataĀ² padat dan terhitung. Hal ini (dilakukan) ketika saya ingin memberi kejelasan. Kepada-Nya saya bertawakkal, dan memohon hidayah.

Mendaki Tangga Langit

Mulai Perjalanan

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Buku Lain

Rekomendasi

Di sejumlah pesantren salafiyah, buku ini (Tanwir al-Qulub) biasanya dipelajari bersamaan dengan kitab-kitab fikih. Yang sedikit membedakan, kitab ini ditulis oleh seorang pelaku tarekat sekaligus mursyid dari tarekat Naqsyabandiyah.

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load

Tingkatan Alam Menurut Para Sufi

“Tingkatan Alam Menurut Para Sufi” ŁŁŽŲ„ŁŲ°ŁŽŲ§ Ų³ŁŽŁˆŁ‘ŁŽŁŠŁ’ŲŖŁŁ‡ŁŪ„ ŁˆŁŽŁ†ŁŽŁŁŽŲ®Ł’ŲŖŁ ŁŁŁŠŁ‡Ł Ł…ŁŁ†Ł’ Ų±Ł‘ŁŁˆŲ­ŁŁ‰ ŁŁŽŁ‚ŁŽŲ¹ŁŁˆŲ§ Ł„ŁŽŁ‡ŁŪ„ Ų³Ł°Ų¬ŁŲÆŁŁŠŁ†ŁŽ “Maka…

Islam, Iman dan Ihsan

Ų¹ŁŽŁ†Ł’ Ų¹ŁŁ…ŁŽŲ±ŁŽ Ų±ŁŽŲ¶ŁŁŠŁŽ Ų§Ł„Ł„Ł‡Ł Ų¹ŁŽŁ†Ł’Ł‡Ł Ų£ŁŽŁŠŁ’Ų¶Ų§Ł‹ Ł‚ŁŽŲ§Ł„ŁŽ : ŲØŁŽŁŠŁ’Ł†ŁŽŁ…ŁŽŲ§ Ł†ŁŽŲ­Ł’Ł†Ł Ų¬ŁŁ„ŁŁˆŁ’Ų³ŁŒ Ų¹ŁŁ†Ł’ŲÆŁŽ Ų±ŁŽŲ³ŁŁˆŁ’Ł„Ł Ų§Ł„Ł„Ł‡Ł ŲµŁŽŁ„ŁŽŁ‘Ł‰…

Hidup Ini Terlalu Singkat

Postingan yg indah dari Bunda Amanah: Bismillahirrahmanirrahim. “Hidup ini Terlalu Singkat” Oleh: Siti Amanah Hidup…
All articles loaded
No more articles to load

Mengenal Yang Mulia Ayahanda Guru

Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin al-Khalidi qs.

Silsilah Kemursyidan

Dokumentasi

Download Capita Selecta

Isra' Mi'raj (Rajab)

26 Jan - 05 Feb

Ramadhan

30 Mar - 09 Apr

Hari Guru & Idul Adha

20 Jun - 30 Jun

Muharam

27 Jul - 06 Ags

Maulid Nabi

28 Sep - 08 Okt

Rutin

30 Nov - 10 Des

14. OrangĀ² Khashah (Istimewa)

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 14: “OrangĀ² Khashah (Istimewa)” ŁˆŲµŲ§Ų­ŲØ Ų­Ł‚ŁŠŁ‚Ų© ŲŗŲ§ŲØ Ų¹Ł†…
All articles loaded
No more articles to load

14. OrangĀ² Khashah (Istimewa)

Surat Syaikh Ibnu Atha’illah Untuk Sahabatnya – 14: “OrangĀ² Khashah (Istimewa)” ŁˆŲµŲ§Ų­ŲØ Ų­Ł‚ŁŠŁ‚Ų© ŲŗŲ§ŲØ Ų¹Ł†…
All articles loaded
No more articles to load
All articles loaded
No more articles to load

Kontak Person

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Abangda Teguh

Kediri, Jawa Timur

Abangda Tomas

Pangkalan BunĀ 

Abangda Vici

Kediri, Jawa Timur

WhatsApp
Facebook
Telegram
Twitter
Email
Print