VI.A. Kandungan Kitab al-Isra

Kitab al-Isra ini menyajikan penjelasan² seputar perjalanan mimpi menuju langit ketujuh dan apa yg ada di atasnya, melalui lidah seorang salik bernama Syaikh Ibnu Arabi. Ketika kami mengurai kandungan riwayat dari Sang Salik ini maka kami akan membaginya ke dalam mukaddimah dan lima bagian.

1. Dalam bagian mukaddimah, Syaikh Ibnu Arabi menjelaskan bahwa perjalanan yg ditempuhnya adalah Mi’raj ruh dalam mimpi yg bersifat maknawi. Berbeda total dengan Mi’raj yg dialami Rasulullah Saw., dimana Mi’raj Beliau bersifat empiris, dengan tubuh fisik, dan menempuh jarak dan tujuh langit.

2. Bagian pertama kitab al-Isra yg terdiri dari enam bab, menjelaskan kepribadian Rasul Pembawa Taufik (Muhammad), yg memungkinkan badan, perbuatan, dan akidah Sang Salik (Syaikh Ibnu Arabi) dapat melakukan Mi’raj. Dari situlah Rasulullah Saw. menyambutnya di langit yg tujuh. Kami perhatikan, persiapan Rasulullah Saw. untuk melakukan Mi’raj terbatas pada kehadiran Jibril as. dan terbelahnya dada Beliau. Berbeda dengan seorang wali –berdasarkan riwayat Syaikh Ibnu Arabi dalam al-Isra ini– membutuhkan persiapan yg jauh lebih berat dan lebih keras. Sebab seorang wali harus belajar dan memahami hukum² akidah untuk persiapan badani tersebut, agar seorang salik dapat melepaskan diri dari empat unsur/anasir dirinya: tanah, api, udara, dan air.

Mi’raj Rasulullah Saw. sudah bisa sempurna tanpa harus mempelajari hukum² tersebut, sementara Mi’raj Sufi sebagai seorang pengikut masih berusaha menyamai maqam Rasulullah Muhammad Saw.

Seorang pengikut hanya bisa “duduk” bersama dengan orang yg di ikuti (Muhammad Saw.), bukan menyatu dengannya. Tidak seorang pun bisa memiliki apa yg dimiliki oleh Rasulullah Muhammad Saw. Akan tetapi bayang² anugerah ilahi kepada Rasulullah Saw. membentang sampai menaungi para pengikut Beliau. Dari sinilah apabila Mi’raj Rasulullah Saw. dilakukan dalam keadaan sadar dan dengan tubuh fisik maka Mi’raj para pengikutnya (kaum Sufi) berada dalam mimpi dan dengan ruh mereka ke dalam dunia, yg keberadan dunia itu didukung oleh hadits² shahih mutawatir.

3. Bagian kedua riwayat (Syaikh Ibnu Arabi) menjelaskan pengalaman seorang salik di tujuh langit. Di langit pertama ia berjumpa dengan ruhaniah Nabi Adam as. Setelah Sang Salik menimba banyak pengetahuan darinya maka dia terus mendaki ke langit kedua, yaitu langitnya para arwah. Di langit kedua ruh Sang Salik mendapat kenikmatan dengan menyaksikan ruhaniah Nabi Isa as. Ruh Salik mempelajari Zhahir al-Aman, yakni sebuah tulisan yg menegaskan status kewalian dirinya (Syaikh Ibnu Arabi). Tulisan itu ditulis atas perintah ruh al-arwah, yaitu Isa as., dan ditulis oleh juru tulis Beliau dan pembantunya. Menurut Syaikh Ibnu Arabi, ini sebuah bukti bahwa Isa as. adalah penutup sekaligus pusat kewalian umat Rasulullah Muhammad Saw. Tulisan tersebut adalah nash terpenting tentang kewalian, sebab ia menentukan macam² kebaikan dan kewajiban bagi seorang wali.

Di langit ketiga, yaitu langit keindahan dan tambang keagungan, Sang Salik meminta agar diperkenalkan dengan maqam Nabi Yusuf as.; maqamnya seorang amin al-umana’ (paling terpercaya di antara orang² yg terpercaya) dan jamal al-naba’ (keindahannya para Nabi). Barang siapa yg menyaksikan alam lahut kemudian menghapus unsur² nasut nya dan tergerak untuk meninggalkannya maka pada waktu itu ia sudah sempurna dan layak mendaki langit keempat.

Di langit keempat: langit kemuliaan (sama’ al-i’tila’), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya Nabi Idris as.. Kami kira, ruh Salik di langit ini disambut dengan ucapan: “Selamat datang, wahai Sayyidil Auliya’ (tuannya para wali).” Yg kami pahami dari isyarat di atas, seseorang yg melewati langit kedua dan sudah ditetapkan sebagai seorang wali, jika ia bisa melewati ke-fana’-an di langit ketiga maka ia akan mendapatkan keabadian langit keempat, di sinilah ia menyandang gelar pemimpin dalam kewalian, sehingga ia layak disebut Sayyidil Auliya’.

Di langit kelima, langit pengawasan (sama’ al-syurthah), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya manusia yg menjadi pemimpin umat manusia, sekalipun kepemimpinannya belum tampak, yaitu Nabi Harun as.

Di langit keenam, langit kata² (sama’ al-kalam), ruh Salik berjumpa dengan ruhaniahnya Nabi Musa as., yg menjelaskan puncak akhir dan buah dari Mi’raj Sufi. Nabi Musa as. berkata, “Ketahuilah, engkau bertamu kepada Tuhanmu, agar Dia membukakan rahasia hatimu untukmu, dan menyadarkanmu tentang rahasia kitab-Nya, supaya statusmu sebagai pewaris menjadi sempurna dan statusmu sebagai utusan menjadi sah. Namun janganlah engkau berharap memperoleh ajaran syariat yg menghapus (syariat Muhammad—penj.), atau berharap mendapat kitab wahyu. Pintu untuk itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya setelah engkau memperoleh maqam ini maka engkau akan pulang sebagai seorang utusan. Dari itulah hendaklah engkau bersikap lembut dalam membimbing makhluk.”

Demikianlah semuanya menjadi lebih jelas bagi Sang Salik di Sama’ al-Kalam ini, baik tentang arti Mi’raj-nya itu maupun batas akhir pencapaiannya. Mi’raj Sufi adalah pencapaian ‘irfani dan pengetahuan, dan pulang dengan membawa misi dakwah serta kelembutan sikap.

Di langit ketujuh, ruh Salik melihat ruhaniah Sang Khalilullah (Kekasih Tuhan), ia sedang mengelilingi Baitul Makmur dengan diliputi cahaya. Sang Salik meminta izin agar diperkenankan masuk ke Baitul Makmur tersebut. Seperti pembahasan di muka, kedudukan Baitul Makmur bagi para penghuni langit bagaikan Ka’bah bagi penduduk bumi. Mereka mengerjakan shalat dan berthawaf di sana. Sang Khalilullah (Nabi Ibrahim as.) itu mengajukan beberapa persyaratan… Kemudian Nabi Ibrahim as. memperkenalkan _maqam_ Nabi Muhammad Saw., yg diunggulkan oleh Allah Ta’ala di atas para Rasul lain dengan bukti adanya Al-Qur’an yg terpelihara.

Perhatikanlah mana yg lebih mulia antara Nabi Musa as. yg berkata:

‘Ajiltu ilaika Robbi litardho

“Aku bersegera kepada-Mu, wahai Tuhan, agar Engkau ridha.”

Dibandingkan Rasulullah Muhammad Saw. yg untuknya ada firman berbunyi:

Walasawfa yu’thiika Robbuka fatardho

“Dan sungguh Tuhanmu akan memberi kamu, agar engkau ridha.”

Perhatikan pula antara Nabi Musa as. yg berkata:

Robbisyrohlii sodrii

“Tuhanku, lapangkanlah dadaku.”

Dibandingkan Rasulullah Muhammad Saw. yg Allah Ta’ala berfirman untuknya:

Alam nasyroh laka sodroka

“Bukankah kami telah melapangkan dadamu?”

Rasulullah Muhammad Saw. tidak sekadar lebih mulia dibandingkan dengan Nabi Musa as., akan tetapi Nabi Ibrahim as. juga menerangkan bahwa maqam Rasulullah Muhammad Saw. lebih mulia dibandingkan maqam dirinya, sebagai bapak Islam dan bapaknya para Nabi. Nabi Ibrahim as. berkata kepada Sang Salik, “Bedakanlah antara orang yg menatap bintang² di langit seraya berkata:

Anaa saqiimu

“Aku menderita.”

Dan orang yg Allah Ta’ala sendiri berfirman tentangnya:

Maa kadzibal fu’aadu maa ro’a

“Hati tidak pernah dusta akan apa yg dilihatnya.”

Aku (Ibrahim as.) berdoa:

Robbighfirlii khothii’atii yawmaddiini

“Tuhan, ampuni kesalahanku pada hari pembalasan kelak.”

Dengan Rasulullah Muhammad Saw., Allah Ta’ala berfirman tentangnya:

Liyaghfirolakallaahu maa taqoddama min dzanbika wamaa ta’akh-khoro

Agar Allah mengampuni dosa²mu terdahulu dan yg akan datang.”

Aku (Ibrahim as.) berdoa:

Waj’allii lisaana sidqin fil akhoriina

“Dan jadikanlah aku buah tutur yg baik bagi orang² (yg datang) kemudian.”

Sedangkan Rasulullah Muhammad Saw., Allah Ta’ala berfirman tentangnya:

Warofa’naa laka dzikroka

“Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.”

Demikianlah Khalilullah Ibrahim as. memberi penjelasan kepada Sang Salik tentang bagaimana Allah Ta’ala menganugerahkan kepada Rasulullah Muhammad Saw. segala hal yg diharap-harapkan oleh para Nabi sebelumnya. Untuk itulah, tidak ada seorang Nabi pun yg menghalangi ruh Sang Salik untuk melihat kesempurnaan Rasulullah Muhammad Saw. dan para pengikutnya. Untuk itu pula, Khalilullah Ibrahim as. di akhir perkataannya tidak berhak mengucapkan kepada Salik: “Wahai anakku, lanjutkan perjalananmu ke tempat yg engkau dipanggil untuk mendatanginya….” Ruh Sang Salik pun meninggalkan tujuh lapis langit tersebut.

4. Setelah melewati ketujuh langit itu, Sang Salik tiba di Sidratul Muntaha. Dia tertunduk lemah di hadapan cahaya dan kebesaran yg menyelimutinya. Kemudian dia berusaha mendaki ke alam malaikat (al-mala’ al-a’la). Ada suara yg memanggilnya, “Antara dirimu dan diri-Nya ada Hadhrat al_Kursi.” Ruh Salik kemudian terbang menuju Kursi dengan sayap² ‘azam (kemauan keras). Di situlah dia berjumpa dengan Qutub Syari’at (Muhammad Saw).

Kami, sebagai pembaca sekaligus penulis, mendapati sebuah penjelasan yg mengakui bahwa Syaikh Ibnu Arabi adalah Guru Besar, yg menguasai berbagai instrumen yg digunakan para penulis sebelumnya, baik berupa nilai kebudayaan maupun kedalaman balaghah dan i’jaz.

Wasiat dari Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. kepada Sang Salik mencakup seluruh wasiat yg pernah disampaikan para Nabi semasa hidup mereka. Karena itulah kita dapati wasiat² tersebut saling melebur, kadang saling bertentangan, namun sekaligus saling melengkapi; bersifat dialektis, yg belum pernah diterima oleh seorang pun. Sebab Salik belum mencapai cakrawala penalaran sufistik yg membuatnya kenal akan Allah Ta’ala melalui jalan kesalingberlawanan tersebut.

Demikian pula perintah² Allah Ta’ala datang dengan membawa pertentangan². Semua perintah itu tidak saling melentur, akan tetapi saling melebur. Salah satu wasiat Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. kepada Sang Salik, “Jangan mengharap kekuasaan yg tidak akan pernah dimiliki oleh seorang pun sesudahmu. Tapi ucapkanlah begini: ‘Segala-galanya berasal dari sisi-Mu. Aku berharap mendapat kekuasaan yg tidak layak dimiliki oleh selain diri-Mu.’ Untuk itulah maka engkau harus mencontoh akhlak dan sifat Tuhanmu. Menetaplah di Mihrab maka rezeki akan datang tanpa hisab. Tapi jangan menetap di mihrab itu sebagai alasan (mendatangkan rezeki).

Carilah tangga untuk menggapai tauhid. Jangan suka menggoyang-goyang akar (tauhid), karena hal itu (menyebabkan) murka (Tuhan). Menggoyang akar (tauhid) adalah tanda orang² pendusta dan pendurhaka. Serahkan seluruh urusanmu kepada pemilik langit, maka engkau akan tahu hakikat asma². Tapi jangan serahkan (kepada-Nya) karena engkau bukan orang kedua. Jangan sampai engkau terhijab oleh makna berpasang-pasangan (al-Matsani). Jangan cari jubah selain diri-Nya, barang siapa bertawakkal kepada-Nya maka ia akan diberi kecukupan. Carilah jubah dari yg sejenis denganmu. Sebab Dia ingin sekali menjadi lebih kuat untuk dirimu. Lemparkan tabutmu ke laut. Karena ia pasti menjumpainya kembali, Tapi jangan lempar sekarang juga. Dan tulus ikhlaslah demi Tuhanmu.”

Demikianlah makna² itu saling bertolakan dengan sangat cepat, membawa kehadiran ingatan seorang pembaca ke derajat kekerasan paling tinggi. Senandung kata² mengalun dan memperhalus tajamnya kekerasan itu. Kita pun hidup dalam momen yg singkat, dimana kemabukan merayapi lidah² perasa kita.

Sang Salik merasa bahagia dengan adanya wasiat dari Qutub Syari’at (Muhammad Saw.), dan dia berharap ingin tinggal bersamanya lebih lama lagi. Sayangnya, Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. tidak tinggal bersama siapapun selain Tuhannya. Sebab itulah Sang Salik pergi setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih kepada Sang Qutub Syari’at Muhammad Saw. karena telah menjelaskan panjang lebar tentang hakikat² maqamat dan rahasia² kesufian. Dia pun mengendarai paragraf² dalam rak² buku, dan terbang ke alam malaikat sembari menyaksikan keajaiban² alam ghaib. Dari situ dia mencoba untuk mendekat dengan lebih dekat lagi.

5. Bagian keempat buku ini (menjelaskan): bahwa Sang Salik melewati tahapan demi tahapan yg berjumlah lima: Qaba Qusain, Au Adna, al-Lauh al-A’la, al-Riyah wa Shalshal al-Jaras, dan Auha. Pada setiap tahapan ini Tuhan berkomunikasi, berfirman, mengajari, dan memberi pemahaman kepada Sang Salik.

a. Pada tahap pertama, yaitu di Qaba Qusain, Sang Salik dipanggil namanya, “Wahai mawarnya para pencinta (Tuhan), wahai keindahannya para pewaris (Nabi), apa saja yg engkau temukan di sepanjang perjalananmu menuju Kami? Dengan apa engkau bertamu kepada Kami?” Dia mulai bercerita tentang keindahan² pemandangan yg dilihatnya, sejak pertama kali dia meninggalkan unsur dirinya yg berupa air sampa tiba di langit pertama. Dia menyebutkan satu per satu manfaat yg dipetiknya dari perjumpaan bersama para Nabi di tujuh langit serta dengan Sang Qutub Syariat Muhammad Saw. di hadhrat al-Kursi. Setelah Sang Salik selesai menceritakan bermacam-macam pengalamannya, Tuhan melepaskannya dari segala macam pikiran, lalu memberinya pakaian ubudiyah.

Berangkat dari momentum semacam itu, kami melihat bahwa Sang Salik pada setiap percakapan dipanggil namanya dengan kata : “Wahai hamba-Ku.” Di situ pula ada isyarat tentang kenyataan bahwa Sang Salik mendapat keistimewaan berupa pengabdian (ubudiyah), “Wahai hamba-Ku, jangan berbicara, karena Akulah Yang Bicara (mukallim) sekaligus lawan bicara (mukallam). Dari diri-Ku lah sumber kata² (kalam). Jangan jadikan kata²Ku ini selain diri-Ku. Sebagaimana langit dan bumi tidak akan mampu menampung-Ku.”

b. Sang Salik, dengan sayap² fana’ terbang ke tahapan Au Adna. Ketika dia turun dari kendaraan fana’ itu, dan berhadapan dengan dinding² asmanya, dia pun mengadu kerinduannya, rasa cintanya, dan harapannya. Maka sambutan itu berbunyi: “Itu adalah kehendak-Ku, maka pasrahlah. Engkau harus menyerahkan dan menerima semua perkaramu kepada garis² takdir-Ku.”

Di sinilah pelajaran kedua diperoleh, setelah pelajaran tentang ubudiyah diperolehnya pada tahapan Qaba Qusain. Dan Sang Salik tulus ikhlas memasrahkan seluruh kehendaknya, menyerahkan segala urusannya, dan mau menerima apa adanya. Ini adalah pernyataan yg kami rasa bahwa Syaikh Ibnu Arabi melihat dirinya dengan cara melihat kehendak Allah Ta’ala. Tulisan² (Syaikh Ibnu Arabi) beralih dari penjelasan tentang kerinduan dan cinta kepada penjelasan tentang kehendak Tuhan Yang Maha Mulia nan Agung. Tuhan ingin bercakap-cakap dengan Syaikh Ibnu Arabi seperti yg dilakukan-Nya terhadap Imam Ibnu Hamid al-Ghazali. Adalah sebuah keharusan Salik betul² menyimak agar dapat menangkap rahasia² tersembunyi, dan mempertajam penglihatan mata hati agar dapat menangkap pancaran² cahaya.

c. Setelah melewati tahapan Au Adna, Sang Salik tiba di al-Lauh al-Mahfudz (al-A’la). Di al-Lauh itu dia melihat tulisan mengenai maqam² ahlu raihan dan ruh, mereka adalah ahli tauhid.

Yg jelas, Syaikh Ibnu Arabi mengikat firman Allah Ta’ala:

Innaa nahnu nazzalnadzdzikro wa innaa lahu lahaafidhuuna

“Sesungguhnya kami menurunkan al-Dzikr, dan kami pula yg akan menjaganya.”

Dengan ibarat dalam kata:

allauhul mahfuudhu

“Lauh Mahfudz (papan yg terpelihara)”

Dalam kedua kalimat di atas terdapat pengulangan makna dan pengulangan kata ( Ha Fa Dza: menjaga/ memelihara).

Mengingat tauhid adalah intisari Al-Qur’an dan Islam, dan Allah Ta’ala menjamin Al-Qur’an dari adanya perubahan dan penggantian, maka menurut kami, Syaikh Ibmu Arabi melihat tauhid tertulis di Lauh Mahfudz. Akan tetapi tauhid yg dimaksud Syaikh Ibnu Arabi di sini bukan akidah maupun pemikiran, sebagaimana dipahami ahli kalam. Tauhid di sini adalah praktek, hal, dan maqam. Selanjutnya, Syaikh Ibnu Arabi adalah seorang ahli tauhid yg mendaki tangga martabat dan maqamat. Mengingat Al-Qur’an menyebutkan 36 kata tauhid –yg kami maksud dengan tauhid adalah kalimat (laa ilaaha illa Allah)— maka untuk itulah Syaikh Ibnu Arabi membagi maqam² ahli tauhid ke dalam 36 sifat. Setiap kali Seorang Salik mampu menyingkap satu tabir maka tauhid akan benderang kepadanya.

Menurut kami, rahasia menghubung-hubungkan hijab dengan tauhid adalah bahwa kata tauhid itu sendiri adalah negasi (penyangkalan/nafyun) kemudian afirmasi (penetapan/itsbat), yaitu, menegasikan keberadaan Tuhan sebagai pengantar untuk menetapkan ke-Esa-an Allah. Sungguh Allah Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, berada di atas tabir² sifat, asma, dan af’al.

Setelah Syaikh Ibnu Arabi melihat maqam² ahli tauhid, dia kemudian mendapat panggilan, “Wahai Salik, dimanakah maqam² ini di antara mereka?” Kami sampaikan kepada Ibnu Arabi, “Engkau benar.” Andaikan tidak ada kesesuaian nama maka niscaya tidak akan ada penisbatan apapun di antara maqam² ahli tauhid –yakni orang² yg menyaksikan Tuhan, dimana tabir² telah tersingkap dari mata hati mereka -dan ahwal-nya ahli tauhid– yakni orang² yg menggenggam kuat akidah, mengimani alam ghaib, yg terhijab dari Tuhan akibat dunia dan jiwanya sendiri.

d. Setelah melewati al-lauh al-mahfudz, kuda tunggangan menurunkan ruh Sang Salik di Hadhrat Shalshal al-Jaras. Tiba² angin topan berhembus kencang, kilatan petir menggelegar, dan hati Sang Salik dipenuhi ketakutan. Setelah angin ribut mulai reda, ada suara memanggil Sang Salik, “Aku telah mengantarkanmu di tempat hatimu, kediaman nuranimu.” Dia menjawab, “Hati tidak memiliki tempat. Aku hanya ingin Allah. Dalam rububiyah, seorang hamba hanya bertauhid.”

e. Sang Salik terhempas, dia fana’ dalam dirinya sendiri, dia tidak lagi kekal bersama Tuhan, kecuali setelah dalam jiwanya dia menemukan makna yg pernah di angankannya jauh² sebelum itu, yaitu setelah menjadi lebih jelas apa yg dicarinya, yakni maqam sebagai pengikut Muhammad, pewaris Muhammad, menjadi orang paling sempurna di antara para waliyullah.

Menurut kami, seluruh pembicaraan setelah itu ditujukan kepada Sang Salik. Dalam realitasnya pembicaraan itu melewati Sang Salik, namun tujuan utamanya adalah pemilik maqam ini, yaitu Muhammad Saw. Setiap percakapan dan komunikasi yg dilakukan Allah Ta’ala dengan hamba-Nya, melewati Sang Salik yg fana’, namun lawan bicara yg sesungguhnya adalah Nabi Muhammad Saw.

Kami bisa meringkas gambaran soal ini. Begini: setiap Salik keluar dari dalam dirinya sendiri, mencari maqam Muhammadi. Jika kita boleh menganalogikannya, maka ketika Sang Salik tiba di maqam itu, dia serupa dengan partikel² kecil di alam semesta ini yg mengelilingi bulan. Pada dasarnya, partikel² itu sangat gelap. Ketika cahaya bulan menerpanya maka dia berbentuk dengan meniru bentuk cahaya bulan yg meliputinya. Hakikat partikel² kecil yg mengeliligi bulan ini, tidak pernah berubah: Namun partikel² kecil itu menerima cahaya bulan di permukaan dzatnya, dan dia menghilang dari dirinya sendiri karena terlalu dekat dengan cahaya.

Dari sinilah kami paham, mengapa setiap khitab (ucapan Tuhan) diarahkan kepada Sang Salik pada saat berada dalam maqam fana’Khitab bergerak melewati Sang Salik menuju manusia sempurna (insan kamil), Muhammad Saw.

Dalam tahapan ini, tahapan Auha, rahasia² disingkapkan kepada Sang Salik, dimana sebagian rahasia itu dijelaskan ketika sedang munajat. Ringkasnya, memperkenalkan Sang Salik tentang dirinya sendiri, sebagai manusia, dan kedudukanya di hadapan alam semesta disebut munajat al-tasyrif (munajat pengagungan), memperkenalkan Sang Salik tentang Tuhannya Yang Maha Esa, yg tidak terbatasi oleh gagasan dan ide, tidak terlihat oleh mata kepala maupun mata hati disebut munajat al-taqdis (munajat pengkudusan), dan memperkenalkan Sang Salik tentang nikmat² Allah Ta’ala atas diri Sang Salik disebut munajat al-Minnat (munajat anugerah). Sedangkan memperkenalkan Sang Salik tentang tingginya maqam Muhammad Saw. dibanding seluruh maqam yg ada disebut munajat al-Durrat al-Baidha’ (munajat mutiara putih).

6. Bagian kelima: bagian kelima ini tampil sebagai ujian, Sang Salik setelah melewati setiap tempat² di atas, perkara² yg tersembunyi telah diungkapkan, rahasia² tersingkap, maka dia seakan-akan wajib menjadi orang yg bertanggung jawab. Ilmu pengetahuan, jika kita menganalisisnya lebih tajam lagi, adalah amanat. Kita menerima ilmu sebagai amanat, dan menyampaikannya sebagai amanat pula. Kita mengambil ilmu dengan syarat mampu menjaganya dari kelupaan, mengamalkannya, dan menyampaikan kepada orang lain yg layak dengan persyaratan yg sama pula. Untuk itulah, sangat logis apabila Mi’raj ‘irfani Syaikh Ibnu Arabi di akhiri dengan ujian kepada diri Sang Salik mengenai isyarat² nubuwat.

Mendaki Tangga Langit

Mulai Perjalanan

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Buku Lain

Rekomendasi

Di sejumlah pesantren salafiyah, buku ini (Tanwir al-Qulub) biasanya dipelajari bersamaan dengan kitab-kitab fikih. Yang sedikit membedakan, kitab ini ditulis oleh seorang pelaku tarekat sekaligus mursyid dari tarekat Naqsyabandiyah.

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load

Sabilus Salikin

Sabilus Salikin atau Jalan Para Salik ini disusun oleh santri-santri KH. Munawir Kertosono Nganjuk dan KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan.
All articles loaded
No more articles to load

Tingkatan Alam Menurut Para Sufi

“Tingkatan Alam Menurut Para Sufi” فَإِذَا سَوَّيْتُهُۥ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُّوحِى فَقَعُوا لَهُۥ سٰجِدِينَ “Maka…

Islam, Iman dan Ihsan

عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضاً قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى…

Hidup Ini Terlalu Singkat

Postingan yg indah dari Bunda Amanah: Bismillahirrahmanirrahim. “Hidup ini Terlalu Singkat” Oleh: Siti Amanah Hidup…
All articles loaded
No more articles to load

Mengenal Yang Mulia Ayahanda Guru

Sayyidi Syaikh Kadirun Yahya Muhammad Amin al-Khalidi qs.

Silsilah Kemursyidan

Dokumentasi

Download Capita Selecta

Isra' Mi'raj (Rajab)

26 Jan - 05 Feb

Ramadhan

30 Mar - 09 Apr

Hari Guru & Idul Adha

20 Jun - 30 Jun

Muharam

27 Jul - 06 Ags

Maulid Nabi

28 Sep - 08 Okt

Rutin

30 Nov - 10 Des

All articles loaded
No more articles to load
All articles loaded
No more articles to load
All articles loaded
No more articles to load

Kontak Person

Mulai perjalanan ruhani dalam bimbingan Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah, Sayyidi Syaikh Ahmad Farki al-Khalidi qs.

Abangda Teguh

Sidoarjo, Jawa Timur

WhatsApp
Facebook
Telegram
Twitter
Email
Print