Sedangkan dari sisi kandungan kata Miāraj, ia merangkul gagasan tentang kenaikan dan gerak fisik. Di sini kami melihat adanya adab dan tata cara menempuh perjalanan Miāraj Sufi dalam bukuĀ² yg secara panjang lebar menggambarkan tentang surga dan neraka, sepertiĀ Risalat al-GhufranĀ karya al-Muāri, juga bukuĀ² yg membahas tempatĀ² dan wilayahĀ² mimpi, sepertiĀ Risalat al-Tawabiā wa al-ZawabighĀ karya Syaikh Ibnu Syuhaid al-Andalusi. Akan tetapi kita tidak akan membahas tentang adab dan tata cara tersebut atau amalanĀ² lain yg serupa dengannya, yg terangkai dalam puisi dan syairĀ² sebagai buah hasil peradaban dan budaya Islam, seperti qasidahnya Sinai yg berjudulĀ Siyar al-āUbbad ila al-Maāad. Tujuannya adalah supaya kita lebih fokus membicarakan teksĀ² yg membahas tentang Miāraj, tanpa mengaitkannya dengan apapun, terkecuali ia berhubungan dengan adab dan tatacara tersebut.
ā¢Ā Teks pertama kali yg memperhatikan soal Kesadaran adalah karya dari Imam al-Junaid (w. 297 H), seorang Sufi, Guru spiritual (al-murabbi), yg sadar dari kemabukan (al-shahi) sekalipun sudah sampai pada Tuhan (al-Washil). Walaupun teks karya tersebut bersih dari maksud apapun namun kami merasakan adanya hembusan angin Miāraj disana. Ia melesat cepat tanpa ada penjelasan. Di salah satu risalahnya Imam al-Junaid berkata kepada sahabatĀ²nya, āKeindahan yg dapat memuliakanmu mengalir jernih dari Tuhan Yang Maha Agung nan Pemurah, Ia menyingkap hakikat untukmu yg bisa membuat-Nya tampak di hadapanmu, Ia mendekatkan dirimu kepada-Nya sedekat-dekatnya, Ia melimpahkan kenikmatan untukmu di tempat yg dekat dengan-Nya lalu berbicara denganmu, Ia mengokohkan dirimu di tempat agung itu, yg sangat dekat itu, dengan kekuatan, kemantapan, kedamaian, ketenangan, serta panggilan-Nya. Di manakah dirimu, sementara Ia menghadapkan keseluruhan dirimu kepada-Nya, la menghadirkan semua yg dikehendaki-Nya dari dirimu di sisi-Nya, Ia mempersiapkanmu untuk mendengarkan ucapan-Nya, Ia juga mempersiapkanmu untuk menjawab kataĀ²Nya, pada saat itulah, engkau adalah orang yg berbicara sekaligus lawan bicara.ā
ā¢Ā Sedangkan Miāraj Sufi pertama kali sudah jelas, yaitu riwayat dariĀ Syaikh Abu Yazid al-Busthami. Dia memulai penjelasannya dengan memperkenalkan kepada kita bahwa Miāraj Sufi adalah visi dalam mimpi. Dia mengatakan, āDalam aku merasa seakan-akan naik (miāraj) ke langit yg tujuh, menuju Allah.ā
Akan tetapi Miāraj yg dialami Syaikh Abu Yazid al-Busthami berbeda dengan Miāraj Rasulullah Saw., yg bertujuan untuk memuliakan dan menghormati Beliau. Di hadapan kita, Miāraj Syaikh Abu Yazid al-Busthami adalah sebuah ujian (imtihan). Inilah Syaikh Abu Yazid al-Busthami, setiap kali dia sampai di satu langit maka kenikmatan dan kelezatan yg berlimpah ruah padanya mengajaknya untuk berpaling dan menetap di sana, meminta Syaikh Abu Yazid al-Busthami untuk meninggalkan niat dan tujuannya. Syaikh Abu Yazid al-Busthami tahu bahwa semua itu adalah ujian bagi dirinya.
Dia tetap tidak mau menoleh kemana pun untuk menghormati keagungan Allah Taāala. Setiap kali Syaikh Abu Yazid al-Busthami tiba di satu langit, dan pemandanganĀ² indah diperlihatkan kepadanya, para malaikat berhias diri untuknya, dia tetap berpaling dari semua itu dan berseru kepada Tuhan, āYg aku mau bukan yg diperlihatkan kepadaku ini.ā
Ketika Syaikh Abu Yazid al-Busthami mengucapkan kataĀ² tersebut, yg menegaskan akan ketulusan niatnya dalam mencari Allah Taāala, maka tangan malaikat menarik dan membawanya ke langit yg lebih tinggi. Menurut pandangan kami, di tujuh langit itu Syaikh Abu Yazid al-Busthami tidak berjumpa satu pun dari para Nabi atau Rasul. Berbeda dengan Miāraj-nya Rasulullah Saw. Sebaliknya tujuh langit itu dipenuhi oleh para malaikat yg beribadah. Para malaikat itu mengajak Syaikh Abu Yazid al-Bushtami untuk tinggal bersama mereka, dan bersama-sama dalam bertasbih dan beribadah kepada Allah Taāala.
Ketika Syaikh Abu Yazid al-Busthami tiba di langit yg ketujuh, ia mendengar suara yg berseru: āWahai Abu Yazid, berhentilah, berhenti! Engkau telah tiba di batas terakhir (al-muntaha).ā Akan tetapi Syaikh Abu Yazid al-Busthami tidak mempedulikan suara itu, dia tahu bahwa semua itu adalah ujian akan ketulusan niatnya untuk berjumpa dengan Allah Taāala. Ketika sudah menunjukkan akan ketulusan hatinya, dan melewati ujian di setiap tujuh langit itu dengan selamat, maka Allah Taāala mengubahnya menjadi seekor burung.
Syaikh Abu Yazid Al-Busthami terus-menerus terbang di al-Malakut, dan berjalan-jalan di al-Jabarut. Dia melampaui hijab demi hijab sampai kemudian tiba di al-Kursi. Dia terus terbang hingga kemudian sampai di tepi suatu samudra cahaya. Dia terus terbang melewati berbagai samudra cahaya, sampai kemudian tiba di satu samudra cahaya paling luas, yg di atasnya terdapat Arsy Tuhan. Syaikh Abu Yazid Al-Busthami sama sekali tidak mau berpaling kepada apapun, sebaliknya dia terus berseru: āYg aku mau bukan apa yg ditampakkan kepadaku iniā¦ā Ketika ketulusan niat dan kemauannya tampak jelas maka Tuhan memanggilnya, āKemarilahā¦ kemarilahā¦ duduklah di atas permadani kekudusan-Ku, sampai engkau bisa melihat kelembutanĀ² ciptaan-Ku.ā
Di sinilah Syaikh Abu Yazid al-Busthami berada dalam satu keadaan yg tidak bisa dijelaskan, disambut oleh ruh para Nabi, dan Rasulullah Saw. berbicara kepadanya, āWahai Abu Yazid, selamat datang. Ahlan wa sahlan. Allah mengutamakan dirimu lebih dari kebanyakan makhluk-Nya yg lain. Apabila engkau pulang maka sampaikanlah salamku kepada umatku. Berilah mereka nasehat semampumu. Ajaklah mereka kepada Allah Taāala.ā Inilah puncak Miāraj Syaikh Abu Yazid al-Busthami. Di tempat kedekatan paling tinggi Rasulullah Muhammad Saw. bercakap-cakap dengannya, dan menitipkan sepucuk surat untuk umatnya.
Dengan demikian unsurĀ² Miāraj Sufi sudah sempurna di tangan Miāraj Syaikh Abu Yazid al-Busthami, sebab Mi āraj-nya di satu sisi adalah visi dalam mimpi, dan di sisi lain Allah Taāala tidak meminta Syaikh Abu Yazid menyampaikan syariat baru. Di akhir perjalanan Miārajnya, Syaikh Abu Yazid hanya berdiam di hadapan Nabinya umat ini, dan orang yg seperti itu hanya menunggu perintahĀ² dari Sang Nabi. Dari teks ini kami memahami bahwa Dzat yg mengutamakan dan memilih seseorang dengan status kewalian hanyalah Allah Taāala. Ketika status kewalian sudah ditetapkan maka ia harus terjun ke tengahĀ² masyarakat Islam untuk menempuh jalan spiritualitas. Inilah jalan yg lemah, dimana Rasulullah Saw. juga menjalaninya.
ā¢Ā Miāraj Syaikh Ibnu Arabi
Di waktu malam setiap gerak menjadi terdiam, setiap langkah terhenti, dunia kita yg fana tertidur, sedangkan kedalaman jiwa kita tetaplah terjaga, supaya pancaran cahayanya membentang menerangi kegelapan malam, jiwaĀ² terbang meninggalkan badan dan kerangkeng waktu, berjalan menempuh dunia yg hanya bisa disaksikannya sendiri saja. Jika di waktu siang manusia berjalan di atas muka bumi ini maka di waktu malam seluruh makhluk hidup dalam dunia masingĀ². Inilah saatĀ² dimana kita bisa menyendiri bersama diri kita sendiri, dan kita bisa tinggal di dalam hakikat diri kita.
Malam adalah waktu yg paling disukai kaum Sufi. Tubuh tertidur dan jiwa tetap jaga. Ruh menembus dunia yg sangat luas. Kesucian dan ridha meliputi para penghuni dan pengunjungnya. Pada saat tubuh terlelap kesadaran pergi meninggalkan alam kasat mata, dan detik demi detik memasuki alam mimpi. Baik mimpi itu berupa munculnya ketidaksadaran di hadapan āmata kesadaranā, atau berupa tersingkapnya tabir bagi mata hati sehingga dapat melihat apa saja yg tertulis di hariĀ² ghaib, atau berupa terbukanya khazanah ingatan tentang susunanĀ² baru di hadapan kesadaran. Apabila berupa hakikat dan kedalaman mimpi maka ia selamanya berupa kekerasan yg niscaya bagi orang yg tidur (Si Pemimpi), dan dalam hal itu tidak ada kebaikan bagi yg tidur.
Akan tetapi dunia mimpi terus bersambung dengan dunia nyata. Malam terlahir dari siang. Barang siapa yg bertakwa kepada Allah Taāala ketika bangun maka Allah akan menjaganya dalam tidurnya. Di sinilah letak nilai penting mimpi yg benar (ruāya shahihah), yg dipuji langsung oleh Rasulullah Saw.
Demikianlah Miāraj Syaikh Ibnu Arabi yg ditulisnya dalam kitab al-Isra ila Maqam al-Asra. Ia membawa kita di atas sayapĀ² persahabatan (al-Shuhbah), menidurkan panca indra, dan mengajak kita ke dalam mimpi yg menyalakan dunia cahaya dan āirfan; mimpi yg menghidupkan hurufĀ² yg bisa dirangkai dalam kata dan menunggu kelahirannya dalam realita. Miāraj Sufi atau Wali āyg terjadi dalam mimpi, menuju langit yg tujuh bahkan jauh ke atas lagi, untuk mendengarkan perintah Tuhan sekalipun tanpa perintah membawa syariat baruā adalah salah satu macam ruāya shahihah, yg banyak diperbincangkan oleh ulamaĀ² kita. Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) mengatakan, āRuāya shahihah bermacam-macam: pertama, ilham yg Allah sisipkan ke dalam hati seorang hamba. Ilham itu adalah firman yg digunakan oleh Allah sebagai media komunikasi dengan hamba-Nya dalam mimpi, seperti yg dikatakan oleh Ubadah bin as-Shamid dan lainnya. Kedua, sebuah perumpamaan yg diciptakan oleh malaikat, yg bertugas dalam urusan mimpi. Ketiga, perjumpaan antara ruh orang yg bermimpi dengan ruhĀ² orang yg sudah mati, seperti ruh keluarganya, teman karib, atau sahabatĀ²nya. Keempat, miāraj ruhnya untuk berjumpa Allah Taāala dan bercakap-cakap dengan-Nya. Kelima, masuknya ruh ke surga, melihat-lihat kondisi surga, dan lain sebagainya.ā
Perjumpaan antara ruhnya orang hidup dengan ruhnya orangĀ² yg sudah mati adalah salah satu macam ruāya shahihah, dimana ruāya shahihah ini dipandang sebagai salah satu peristiwa empiris. Penjelasan semacam ini menunjukkan tentang keberadaan berbagai macam Miāraj dalam mimpi yg pernah dialami oleh orangĀ² ahli ibadah, ahli zuhud, dan ulamaĀ² beriman. Akan tetapi semua itu tidak pernah sampai kepada kita. Boleh jadi karena mereka sengaja menyimpannya, atau diceritakan saja tanpa ada satu pun buku tertulis yg bisa kita baca. Semisal Miāraj yg dialami oleh Syaikh Abu Yazid atau Syaikh Ibnu Arabi.
Sejak awal Miāraj Syaikh Ibnu Arabi menempati posisi sebagai visi dalam mimpi, yg tidak membawa syariat baru. Karena itulah tidak layak disamakan dengan Miārajnya Rasulullah Saw. Sebab peristiwa Miāraj dengan tubuh fisik hanya dialami oleh Rasulullah Saw., tidak ada kemungkinan sedikitpun seorang wali dapat mencicipi maqam kenabian. Pada bab ke-462 dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyah, Syaikh Ibnu Arabi menegaskan bahwa dirinya tidak layak berbicara tentang maqam kenabian, ia hanya dapat berbicara sesuai kadar dirinya sebagai pewaris semata. Sebab tidak seorang pun pengikut yg berhak memasuki maqam kenabian.
Pendapat serupa disampaikan dalam kitab Tarjuman al-Asywaq bahwa para pengikut dilarang memasuki maqam Rasulullah Saw. Puncak makrifat seorang pengikut hanya berada pada posisi sebagai penerima warisan. Memandang warisan tersebut layaknya orang yg berada di bawah surga sedang memandang kepada orang yg berada di atas āIlliyyin. Atau seperti orang yg berada di bumi melihat bintang di langit.
Ada sebuah riwayat dari Syaikh Abu Yazid al-Busthami bahwa maqam kenabian yg dibukakan kepada dirinya hanya sebesar lubang jarum, hanya tampak dan tidak boleh memasukinya. Dengan begitu saja Syaikh Abu Yazid merasa dirinya hampir terbakar.
Miāraj dengan tubuh fisik dan untuk membawa syariat adalah keistimewaan yg khusus diberikan kepada Nabi. Sedangkan Miāraj ruh dalam mimpi yg bersifat āirfani adalah warisan pusaka yg dialami oleh seorang waliyullah, pengikut Rasulullah Saw., dan selamanya Miāraj jenis ini berbeda dengan Miārajnya Nabi. Syaikh Abdul Wahab Al-Syaārani mengatakan, puncak akhir kewalian tidak sepadan dengan titik awal kenabian. Jika seorang wali melangkah maju untuk mengambil apa yg penah diambil oleh para Nabi maka wali itu akan terbakar. Puncak akhir perjuangan seorang wali adalah untuk beribadah kepada Tuhan sesuai syariat yg dibawa oleh Rasulullah Saw., baik sebelum maupun sesudah mata hati mereka mendapat pencerahan. Adalah mustahil para waliyullah mengambil syariat langsung dari Allah (al-Yawaqit wa al-Jawahir jilid III hal. 64).
Demikianlah berbagai derajat dapat dibedakan satu sama lain. Para waliyullah sekalipun lebih mulia dibanding orang awam, dengan diberinya pengetahuan āirfani, namun mereka tetap tertolak untuk mendekati silsilah suci dan disucikan nan maksum, manusia yg mendapat jaminan, yaitu silsilah yg berakhir di tangan Rasulullah Saw. Tidak ada syariat maupun Nabi lagi setelah syariat dan kenabian Rasulullah Saw. Seluruh umat manusia setelah Rasulullah Saw. hanya bisa berlomba untuk menjadi para pengikutnya (yg terbaik).
Penggambaran syarāiyah tentang Miāraj Sufi hanya bisa sempurna di tangan Syaikh Ibnu Arabi, dimana Beliau mengalami berbagai macam Miāraj dalam mimpinya. Dalam konteks kesusastraan dan kebudayaan, pengalaman Miāraj Syaikh Ibnu Arabi yg paling penting tertuang dalam kitab al-Isra ila Maqam al-Asra.