ā¢Ā Kata āMiārajā sebagai kata tunggal. Kaum Sufi melihat kata āMiārajā ini menggambarkan suatu gerakan naik ke atas (taraqqiy). Gerak naik ke atas ini tidak terbatas pada gerakan fisik, yaitu naik ke langit. Akan tetapi ia mengandung banyak makna, semisal adanya peningkatan dalam menyucikan jiwa atau adanya peningkatan dalam menyerap ilmu pengetahuan.
ā¢Ā Karya Imam al-Ghazali yg berjudulĀ Maāarij al-Quds fi Madarij Maārifat al-NafsĀ menerangkan tentang meningkatnya (Miāraj) pengetahuan (Maārifat) manusia tentang dirinya sendiri menuju makrifat tentang Allah Taāala. Rasulullah Saw. bersabda:
Man āarofa nafsahu āarofa robbahu
āBarang siapa yg kenal akan dirinya maka dia kenal akan Tuhannya.ā
Aārofukum binafsihi aārofukum birobbihi
āOrang yg paling mengenal dirinya sendiri di antara kalian adalah orang yg paling mengenal tentang Tuhannya.ā
Demikian pula dengan karya al-Ghazali Miāraj al-Salikin yg menjelaskan bahwa orangĀ² yg mengucapkan kalimat syahadat terbagi kedalam tujuh golongan. Setiap akidah yg salah adalah hijab dan kegelapan. Sementara jagad semesta ini adalah tangga untuk mengenal Tuhan Yang Maha Pencipta lagi Maha Suci.
ā¢Ā Syaikh Ahmad Ibnu āAjibah menggunakan kata āMiārajā untuk menggambarkan gagasannya yg menyatakan bahwa makna yg dikandung oleh satu kata ā kataĀ² sufistik khususnya ā dapat melakukan Miāraj bersamaĀ maqamĀ²Ā paraĀ salik.Ā Dalam hal ini, makna itu sendiri dipahami oleh orang awam, didaki oleh orangĀ khawas, dan hanya bisa digapai olehĀ khawashul khawash.
Karya Syaikh Ibnu āAjibah yg berjudul Miāraj al-Tasyawwuf ila Haqaiq al-Tashawwuf adalah karya ensiklopedi sufistik. Akan tetapi, karya ensiklopedia tersebut menyesuaikan Miāraj sebuah makna dengan maqam seorang salik. Contohnya ketika Syaikh Ibnu āAjibah ingin menguraikan makna dari kata al-Mujahadah, dia menuliskannya begini: āMujahadah dhahir (mujahadahnya orang awam) adalah dengan langgeng mentaati perintah dan menjauhi larangan, Mujahadah bathin (mujahadahnya orang khawash) adalah dengan menghilangkan seluruh pikiran buruk dan menghadirkan diri secara terus-menerus di hadapan Sang Kudus, sedangkan Mujahadah Sarair (mujahadahnya orang khawashul khawash) adalah dengan menyaksikan terus-menerus akan Tuhan, tanpa sedikitpun berpaling dari-Nya.ā
Banyak sekali karyaĀ² yg mengadopsi makna visi untuk kata āMiārajā, dan makna yg terangkum oleh ucapan Syaikh Ibnu Arabi dalam al-Futuhat jilid III halaman 54: āSetiap pandangan ke arah alam semesta dari diri seseorang maka ia disebut nuzul (turun), dan setiap pandangan ke arah Tuhan dari diri seseorang maka ia disebut āuruj (miāraj/naik)ā.
Dari sinilah kemudian macamĀ² Miāraj sangat banyak dan tak terhitung jumlahnya. Sebab setiap kitab dan karya, masingĀ² menawarkan cara Miāraj tersendiri bagi para salik (penempuh jalan Tuhan), dengan beragam maqam dan ahwal. Contohnya karya terkenal dari Syaikh Fariduddin al-Atthar yg berjudul Manthiq al-Thair, dimana bagian kedua karya itu menggambarkan perjalanan para salik di sepanjang lembahĀ², yg dimulai dari upaya mereka untuk mencari dan berakhir pada keadaan fanaā.